Wednesday, September 14, 2022

Extra Part 01 - [Prequel Assalamualaikum, Ya Habib!"] [I Lost You, Ustadz]

 

I Lost You, Ustadz


“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga kamboja sebagai pemanis.

“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.

“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa jauh-jauh ke kampung sebelah?”

“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta. Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi Ustadzah beneran di kampung ini.”

“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa? Sendirian?” tanya Annisa.

“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman yang lain juga, kok.”

“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.

“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali akan keluar rumah.

Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih  berumur belasan tahun. Meski begitu, kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.

“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!” pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik mereka.

“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh Halimah yang bergerak pergi.

Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari rumah mungil miliknya.

“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum ramah.

“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang sangat cantik di mata mereka.

Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”

“Insya Allah nggak ada.”

Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.

“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz Zuhri kemarin?” tanya Halimah.

“Sudah, dong.”

“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?” tanya Halimah.

Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah. Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”

“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.

“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.

“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.

“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim menimpali.

“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”

“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang juga ada di sana.

“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.

“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.

“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz Zuhri,” sahut Ibrahim.

“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah tersipu.

“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?” ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.

Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh! Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”

“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.

“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.

“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.

Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani. “Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”

“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani? Aku cocok nggak sama dia?”

“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil meringis.

“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan jempolnya.

“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.

“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,” jawab Ihsan.

“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.

 

 

[[Bersambung …]]

 

 

Tulisan ini khusus buat kalian yang penasaran sama masa lalu Halimah Az-Zahra, ya!

Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.


Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!

Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

Monday, September 12, 2022

Perayaan Kehadiran Mangkuk Ayam Jago Lampang Jadi Doodle Google Hari Ini | 12 September 2022

 



Kaget banget dong saat melihat Google Doodle tiba-tiba sudah berubah jadi gambar ayam jago yang udah nggak asing lagi di mataku. Pagi-pagi banget, Mangkuk Ayam Jago ini sudah ada di trending topiknya google, loh. Kira-kira, kenapa ya Ayam Jago ini jadi salah satu logo moment dari google?


Aku ikut penasaran juga, dong. Apa sih yang bikin Mangkuk Ayam Jago ini jadi topik pembicaraan di seluruh dunia? 

Karena aku sendiri udah familier banget sama mangkuk ini. Bahkan, mangkuk ini udah ada di rumah sebelum aku lahir ke dunia, eeaak. Jadinya penasaran banget, dong. Kira-kira apa ya yang bikin Mangkuk Ayam Jago legendaris yang biasa meramaikan warung-warung bakso & mie ayam ini ... tiba-tiba jadi trend di google?

Yuk, ikuti dulu beberapa tulisan yang udah menuliskan tentang sejarah Mangkuk Ayam Jago ini!


Menurut en.wikipedia.org Mangkuk Ayam Jago (Rooster Bowl) berasal dari China lebih dari ratusan tahun yang lalu. Mangkuk Ayam Jago dibuat oleh masyarakat Hakka di Provinsi Guangdong, China. 

Guangdong adalah sebuah provinsi yang ada di pesisir tenggara Republik Rakyat Tiongkok. (wikipedia.org)

Awalnya, mangkuk ayam jago adalah mangkuk putih tanpa gambar apa pun. Setelah selesai dibuat, mangkuk buatan masyakarat Hakka ini dikirim ke Phang Key untuk pewarnaan. Di sinilah gambar ayam jago dibuat. Ayam jago ini kemudian diwarnai dengan warna merah pada bagian leher dan jenggernya. Berwarna hitam pada bagian ekor dan kakinya. Juga diberi hiasan rumput dan pohon di dekatnya. Sepertinya setiap produsen membubuhkan gambar berbeda untuk menjadi ciri khas. Karena mangkuk yang aku punya adalah produksi "Fine China" yang hanya ada gambar ayam jago dan bunga sepatu di hadapannya seperti gambar yang sedang aku posting ini.

Kualitas mangkuk ayam jago sangat tahan lama. Bahannya tebal dan kuat, jauh berbeda dengan mangkuk-mangkuk zaman sekarang yang kalau kena senggol aja, udah pecah. Soal kualitas, mangkuk ayam jago tidak salah jika menjadi salah mangkuk standar Cina.

Mangkuk Ayam Jago memiliki beberapa ukuran: lebar 5", 6", 7" dan 8" dengan kedalaman 8". Ukuran lebar 5-6 inchi biasanya digunakan untuk rumah tangga dan restoran. Sedangkan ukuran 7-8 inchi untuk pekerja karena mereka makan lebih banyak. 

Kalau kalian, suka pakai Mangkuk Ayam Jago yang ukuran berapa, nih? Kalo aku, biasa pakai 6 inchi karena aku makannya nggak banyak, hehehe.

Oh ya, menurut wikipedia juga, nih ... sebelum perang dunia ke-2, pedangan Cina di Jalan Song Wat, Bangkok memesan mangkuk-mangkuk Ayam Jago untuk mereka jual karena saat itu harganya sangat murah. Selama perang Cina-Jepang, mereka kekurangan pasokan dan harga meningkat. Karena itu, Thailan memproduksi Mangkuk Ayam Jago untuk pertama kalinya. Perusahaan pertama yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago berada di Ratchathewi district, Bangkok, oleh masyarakat Hakka.

Sekitar tahun 1957, orang Tionghoa yang ada di Thailan pindah ke Provinsi Lampang untuk mendirikan pabrik yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago karena Distrik Chae-Hom (Lampang) memiliki ketersediaan kaolin yang paling cocok untuk memproduksi Mangkuk Ayam Jago. [en.wikipedia.org]


Pada 12 September 2013, Mangkuk Ayam Lampang didaftarkan sebagai kekayaan intelektual di Department of Intellectual Property, Ministry of Commerce, Thailand. 

12 September menjadi hari perayaan kehadiran alat makan tradisional tersebut. Itulah sebabnya, kenapa Google Doodle menjadikan Mangkuk Ayam Lampang sebagai ikon hari ini. 

So, kalian ada yang ikut merayakan hari Mangkuk Ayam Jago Lampang ini juga atau nggak, sih? Share dong cerita kalian kalau kalian juga ikut merayakan Hari Mangkuk Ayam Jago ini. Kalau aku sih ... udah ikut merayakannya dengan cara makan mie instan pakai mangkuk ini, hehehe.



Cukup di sini aja tulisan dari aku, ya!

Jangan lupa komen dan share kalau kalian ingin berbagi cerita sama author!



Much Love,

Rin Muna

 






Menjahit Bendera Merah Putih untuk HUT Ke-77 RI Desa Beringin Agung





Sebuah kebanggaan tersendiri buatku karena dipercaya untuk menjahit bendera Merah Putih yang digunakan untuk upara HUT Ke-77 RI di Desa Beringin Agung. 
Aku juga nggak nyangka kalau akan dapet kepercayaan ini.
Because, aku adalah penjahit yang jarang jahit. Karena lebih banyak nulis novel dan curhat di blog, hahaha.

Kali ini, aku hanya ingin berbagi pengalaman dan mengabadikan sebuah momen yang mungkin tidak akan terulang dua kali dalam hidupku. Aku merasa istimewa dan mendapatkan sesuatu yang begitu indah. Terlebih ketika melihat bendera Merah Putih ini bisa terbang dengan gagahnya di atas sana bersama pasukan pengibar bendera yang seragamnya juga hasil jahitan tanganku dan timku di rumah jahit "Lovella Mode".

Aku tahu, karir menjahitku tidak sebagus orang-orang lain. Bisa dibilang, aku cuma dapet orderan setahun sekali, hahaha. Gitu aja bangga, ya? Gimana kalo dapet orderan setiap hari? Hahaha.
Udahlah, udah cukup menertawakan diri sendiri untuk segala kepayahan yang aku miliki.
Mau sepayah apa pun itu, buatku tetap istimewa. Karena perjuanganku nggak mudah dan effort besar itulah yang membuatku merasa bangga pada diriku sendiri. Di sela-sela mengurus dua anak yang masih kecil, di sela-sela kesibukanku menulis buku, ternyata aku masih bisa menghasilkan sebuah karya, meski karya itu sangat sederhana.

Buat kalian, aku ini lebay atau nggak, sih?
Lebay ya? Cuma kayak gini aja udah pamer-pamer.
Eits, sebenarnya bukan lebay dan pengen pamer, sih.
Tujuanku menuliskan semua hal di blog ini adalah untuk kenang-kenangan supaya suatu saat nanti aku masih diingat dalam sejarah anak-cucuku. Setidaknya aku bisa membaca ulang kisah-kisahku sendiri jika suatu hari aku terserang alzheimer.

Kamu yang udah baca tulisan ini, jangan lupa berbagi dan menginspirasi. Semoga apa yang kamu beri bisa jadi jalan rezeki untuk dirimu sendiri dan orang-orang yang kamu cintai.



Much Love,

Rin Muna


 


Wednesday, August 17, 2022

Novel "Menikahi Lelaki Brengsek" karya Vella Nine FULL VERSION

 




 

Hidup Roro Ayu yang awalnya indah dan baik-baik saja, tiba-tiba berubah jadi malapetaka ketika Nanda (sahabat baik pacarnya) menghamilinya. Persahabatan yang terjalin erat selama bertahun-tahun, berubah jadi permusuhan.

Roro Ayu ditimpa masalah bertubi-tubi. Keluarga yang awalnya harmonis, tiba-tiba dipenuhi api amarah yang tak kunjung padam. Nanda yang tidak pernah bersikap baik pada Roro Ayu, membuat Sonny tak rela  melepaskan wanita itu meski sudah menjadi istri dari sahabat baiknya.

Bagaimana Roro Ayu bisa terlepas dari masalahnya? Akankah ia mempertahankan rumah tangganya bersama Nanda atau kembali pada Sonny yang masih sangat ia cintai?

 

Follow ig : @vellanine.tjahjadi for spoiler


Bab 1 : Pesta Malapetaka

Bab 2 : Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 : Pukulan untuk Ayah

Bab 4 : Tak Ingin Berdamai

Bab 5 : Menolak Pernikahan  Kontrak

Bab 6 : Hari  Pertama Jadi Mantu

Bab 7 : Takut Kehilangan

Bab 8 : Mulai Cemburu

Bab 9 : Membangun Hubungan

Bab 10 : Nyaman Bersama Mantan

Bab 11 : Menepis Benalu

Bab 12 : Tak Bisa Berkutik

Bab 13 : Pembalasan dari  Roro Ayu

Bab 14 : Istri  Berbahaya

Bab 15 : Pilih Menantu

Bab 16 : Masih  Saja Cemburu

Bab 17 : Kerja Keras untuk  Cinta

Bab 18 : Pura-Pura Cinta

Bab 19 : Tak  Mau  Melepaskan Dia

Bab 20 : Bolehkah Aku Benci Anak  Ini?

Bab 21 : Kemarahan Mr. Rocky

Bab 22 : Terancam Direbut Galaxy

Bab 23 : Firasat

Bab 24 : Murka

Bab 25 : Awal Penderitaan Nanda

Bab 26 : Can't Love, But I Need Him

Bab 27 : Tak  Percaya

Bab 28 : Aku  Butuh Kamu

Bab 29 : Bantuan dari Keluarga Hadikusuma

Bab 30 : The Power of Nyonya  Ye

Bab 31 : Nasihat Nyonya  Ye

Bab 32 : Dihantui  Kenangan  Masa Lalu

Bab 33 : Nanda Cemburu

Bab 34 : Aku  Butuh Kalian

Bab 35 : Pukulan Terbesar

Bab 36 : Dipisahkan

Bab 37 : Hukuman untuk Nanda

Bab 38 : Bangkit dari  Rasa Sakit

Bab 39 : I am Savage and I Change

Bab 40 : Find You,  Love

Bab 41 : Usaha Nanda

Bab 42 : Sama-Sama  Menderita

Bab 43 : Harapan Besar yang  Sirna

Bab 44 : Saran dari  Okky dan  Nadine

Bab 45 : Ciuman Hangat

Bab 46 : Back to Our

Bab 47 : London Eye Destiny

Bab 48 : Back to  Indonesia

Bab 49 : Penebusan Dosa

Bab 50 : Menyamar Jadi Pelayan

Bab 51 : Trik Menyelamatkan Ayu

Bab 52 : Hukuman Pertama untuk  Ayu

Bab 53: Cemburu yang Indah

Bab 54 : Menghangatkanmu

Bab 55 : Sick for Love

Bab 56 : Enggan  Melepasmu

Bab 57 : Tidak  Direstui

Bab 58 : Perseteruan Nanda dan Andre

Bab 59 : Terlunta-Lunta

Bab 60 : Susah Cari Kerja

Bab 61 : Bantuan dari Karina

Bab 62 : Salah Paham

Bab 63 : Jarak dan Waktu yang Merenggang

Bab 64 : Kecewa Lagi

Bab 65 : Sulit Bertemu

Bab 66 : Pertemuan  yang Menyesakkan

Bab 67 : Ruang untuk Bicara

Bab 68 : Suka Cara Cemburumu

Bab 69 : Berubah Manja

Bab 70 : Tak  Lagi Berjarak

Bab 71 : Ditolak Papa Mertua

Bab 72 : Tantangan untuk Nanda

Bab 73 : Saat Tak Punya Apa-Apa

Bab 74 : Kesalahanmu itu Rindu

Bab 75 : Lamaran yang Kacau

Bab 76 : Persiapan Pernikahan

Bab 77 : Sebelum Pernikahan

Bab 78 : Cinta Adalah  Tentang Rasa Takut

Bab 79 : Kehangatan  Malam Pengantin

Bab 80 : I Do (TAMAT)






Bab 80 - I Do

 


Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya.

“Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar.

“Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya.

Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

“Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda.

Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu.

“Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!”

“Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu.

“Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janji dengan Nadine sore ini USG. Kita lihat, calon anak kita mukanya gimana. Kalo cowok, pasti ganteng kayak papanya,” ucap Nanda sambil menggiring tubuh Ayu ke parkiran dan membawanya masuk ke mobil.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Sejak dulu, ia ingin memeriksakan kehamilannya bersama Nanda. Namun, keinginan itu tak pernah tercapai sampai ia melahirkan anak pertamanya. Kali ini, Nanda yang selalu berinisiatif untuk membawanya pergi ke dokter. Bahkan, jadwal kontrol kesehatannya pun, tak lepas dari perhatian pria ini.

Beberapa menit kemudian, mobil Nanda sudah terparkir dengan baik di depan sebuah klinik bersalin milik Dokter Nadine. Dokter muda yang selalu menjadi favorite para ibu hamil karena terkenal dengan keramahannya. Selain dinas resmi di salah satu rumah sakit di Semarang, Dokter Nadine juga membuka praktik dokternya di kota Surabaya. Membuat wanita itu harus bolak-balik Semarang-Surabaya setiap harinya dan hanya bisa ditemui sejak sore hingga malam hari jika para ibu hamil kota Surabaya ingin memeriksakan kehamilannya.

“Selamat sore, Dokter Nadine ...!” sapa Nanda sambil tersenyum ramah.

“Hei ...! Sore ...!” sapa Dokter Nadine sambil tersenyum manis. Karena Nanda memiliki VIP Card, ia dan istrinya tak perlu mengambil antrian untuk melakukan pemeriksaan kandungan. “Gimana kabarnya Ibu Hamil ...?” serunya sambil mengelus-elus perut Ayu yang sudah membesar.

“Baik. Baik banget,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.

“Udah enam bulan, mau jalan tujuh bulan, ya?” tanya Nadine sambil memerintahkan asistennya untuk menyiapkan kebutuhannya.

Ayu mengangguk.

“Kita lihat keadaannya dan jenis kelaminnya sekaligus, ya! Semoga nggak mirip Nanda, ya!” ucap Nadine sambil tertawa kecil.

Nanda mendengus kesal ke arah Nadine. “Anakku ini, Nad! Anakku! Gimana ceritanya nggak boleh mirip aku?”

Nadine terkekeh geli. Mereka bertiga terus bercanda tawa sembari memeriksa kondisi kandungan Ayu.

Setelah selesai memeriksakan kandungannya, Nanda mengajak Ayu untuk bersantai di sekitar Pantai Kenjeran sembari menikmati matahari tenggelam.

Nanda tersenyum sambil menatap potret bayi perempuan yang ada di dalam perut istrinya. Ia mengambil ponsel, memotret hasil USG itu dengan latar perut istrinya. Kemudian, memasangnya di media sosial dengan caption “Always happy until the end, My World”.

“Main medsos?” tanya Ayu sambil memeluk tubuh Nanda dan  menatap layar ponsel pria itu.

“Hanya posting momen-momen penting. Supaya bisa diingat lima puluh tahun lagi kalau kita terserang alzheimer,” ucap Nanda sambil merangkul pundak Ayu.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Nggak mau fotoin muka aku? Takut fans kamu hilang?”

Nanda terkekeh geli. “Fans apaan? Nggak ada. Mantan pacar banyak yang stalking. Nanti, mereka sakit hati kalau aku pasang foto kamu.”

Ayu mengerutkan wajah sambil menyubit perut Nanda. “Alasan! Bilang aja kalau nggak bisa speak-speak mantan!”

“Hahaha. Nggaklah. Aku nggak kayak gitu. Ya udah, ayo foto!” ajak Nanda sambil mengarahkan kameranya ke wajah mereka.

Cekrek!

Nanda mengecup pipi Ayu.

Cekrek!

Nanda mengecup perut Ayu yang sudah membesar.

Cekrek!

Nanda tersenyum lebar menikmati potret-potret yang baru saja ia ambil. “Kamu nggak mau pasang di akun media sosial kamu?”

Ayu menggeleng.

“Kenapa? Kamu culas, hah!? Kenapa nggak mau pasang?” seru Nanda sambil menggelitiki perut Ayu.

Ayu menggeleng sambil menahan tawa. “Aku malu sama mahasiswa-mahasiswi aku. Badanku kayak gajah gini. Menuh-menuhin kamera. Lagian, aku nggak pernah posting kehidupan pribadi. Cuma materi kuliah doang.”

“Alasan. Bilang aja kalau kamu takut nggak bisa speak-speak mahasiswa kamu yang ganteng-ganteng?” dengus Nanda sambil meletakkan keningnya ke kening Ayu.

Ayu tertawa kecil. Ia mengalungkan lengannya ke leher Nanda dan mengecup lembut bibir pria itu. “Kamu takut bersaing sama mahasiswa ganteng?”

Nanda menganggukkan kepala.

“Mereka nggak banyak duit kayak kamu. Mana mungkin aku bisa lebih tertarik sama mereka,” ucap Ayu sambil menahan tawa.

Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?”

“Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda.

Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?”

Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?”

“Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?”

“Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya. “Kamu ngatain aku predator, hah!? Bukan salahku kalau aku melakukan itu. Kamu yang terlalu cantik dan seksi, Ay.”

“Aku nggak pernah berpakaian seksi seperti yang lain, Nan.”

“Kamu tidak pakai pakaian seksi saja sudah membangkitkan gairahku, Ay. Apalagi pakai yang seksi,” sahut Nanda sambil menatap gemas ke arah wajah Ayu yang terlihat lebih chubby dan menggemaskan saat hamil seperti ini.

Ayu terkekeh mendengar ucapan Nanda. “Kenapa bisa seperti itu?”

“Nggak tahu. Mungkin, karena Tuhan hanya meletakkan satu orang wanita dari milyaran wanita di dunia ini yang bisa menggetarkan hatiku,” jawab Nanda.

Ayu tersenyum bahagia sambil menatap lekat mata Nanda. “Nan, andai apa yang terjadi padaku di masa lalu ... terjadi juga pada puteri kita di masa depan. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan membunuh laki-laki yang sudah menyakiti puteri kita!” sahut Nanda tegas.

“Ayah Edi tidak melakukan itu padamu.”

“Eh!? Itu karena kamu mencintaiku sejak awal. Iya ‘kan?” tanya Nanda penuh percaya diri.

Ayu tertawa kecil menanggapi pertanyaan Nanda. “Jadi, kalau puteri kita mencintai pria yang salah ... apa kita akan membiarkannya hidup dengan pria itu?”

“Ay, aku tahu kamu dosen. Tapi jangan kasih aku pertanyaan yang susah dijawab, dong!” pinta Nanda sambil menatap payah ke arah Ayu.

Ayu tertawa kecil dan menyandarkan kepalanya di pundak Nanda. “Nan, kamu tahu ... ada hal-hal yang terkadang tidak bisa diterima nalar. Terkadang aku berpikir, bagaimana aku bisa mencintaimu yang begitu brengsek. Menyakitiku berkali-kali, tapi aku tidak pernah bisa benar-benar pergi. Dan aku baru sadar bahwa cinta bukan sekedar menerima kekurangan. Tapi bagaimana kita tetap bertahan, meski harus menahan jutaan rasa sakit.”

Nanda tersenyum dan membenamkan bibirnya ke pelipis Ayu. “Maafkan aku, Ay! Aku janji, tidak akan pernah menyakitimu lagi. Kalau aku melakukannya, kamu boleh bunuh aku saat itu juga.”

“Mati itu terlalu mudah untuk kamu yang sudah menyakitiku. Kamu harus tetap hidup dan menebus kesalahanmu sampai mati!” tegas Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk. “I do,” ucapnya sambil merangkul pundak Ayu. Menikmati indahnya mentari yang perlahan kembali ke tempat peristirahatannya. Ia berharap, bisa menjadi pria yang selalu mencintai Ayu. Melindungi wanita ini dan keluarga kecil yang ia bangun. Memberikan mereka nafkah, cinta, pendidikan dan jaminan masa depan yang baik. Sebab, dunianya yang pernah liar adalah bola besar yang ia genggam untuk menjadi pelindung keluarganya di masa depan.

Hal buruk yang terjadi di masa lalu adalah pelajaran paling berharga agar kita lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil sebuah keputusan. Sebab, ada banyak nasihat di dunia ini agar kita tidak menyesal. Tapi, penyesalan itu tetap ada dan tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki penyesalan dalam hidupnya. Kata sesal adalah sebuah pelajaran paling berharga dalam kehidupan dan mengendalikan tindakan kita di masa depan.

 

 

-TAMAT-

 

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Jadikan tulisan ini sebagai pelajaran hidup bahwa seburuk-buruk manusia, akan ada titik yang akan membalikkan dan mengubah hidupnya. Dan tidak semua orang memiliki kesempatan ini. Maka, selagi ada kesempatan ... tanamlah benih kebaikan meski hanya sebutir benih padi.

 

Sampai ketemu lagi di cerita-cerita selanjutnya ...!

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 79 - Kehangatan Malam Pengantin

 



“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar.

“Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda.

“Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?”

“Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya.

Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya.

“Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu.

Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa melepas tautan bibirnya.

Desahan lembut mulai keluar dari bibir Ayu dan tangannya yang halus, menjalar perlahan, masuk ke dalam kemeja yang dikenakan Nanda dan mengelus lembut punggung pria itu.

Nanda menghentikan ciumannya sambil meringis menahan nyeri ketika alat vitalnya mulai bereaksi dan menegang.

“Nan, kamu kenapa?” tanya Ayu sambil menangkup wajah Nanda.

“Agak sakit,” jawab Nanda sambil melihat ke bagian bawah tubuhnya. Entah bagaimana Ayu melakukannya, ikat pinggang yang ia kenakan sudah terlepas dan risleting celananya pun sudah terbuka.

“Sakit?” Ayu mengernyitkan dahi. “Jangan bilang kalau kamu ...?”

“Sejak kejadian itu ... emang agak sakit kalau tegang,” jawab Nanda.

“Eh!? Jadi ... kita nggak bisa ...?” Ayu menatap wajah Nanda dengan tatapan kecewa.

Nanda tertawa kecil sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya. “Kamu sudah sangat menginginkannya?”

Ayu menggeleng. “Nggak juga. Kalau kamu nggak bisa, kita tidur aja! Ini sudah larut malam dan kita juga sudah sama-sama lelah,” jawabnya sambil berusaha mendorong tubuh Nanda.

Nanda langsung mengunci tubuh Ayu agar tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. “Kalau kamu menginginkannya, aku bisa berikan rasa yang lebih enak dari pertama kali kita melakukannya,” bisiknya di telinga Ayu.

Ayu mengerutkan wajahnya. “Buat apa kalau kamu juga kesakitan. Nggak akan nyaman ‘kan?”

“Aku cuma bercanda, Ay,” jawab Nanda. Ia langsung menyesap leher Ayu hingga tubuh wanita itu semakin menegang.

“Mmh ...” Ayu mendesah kuat saat jemari tangan Nanda menyentuh bagian kenikmatan itu.

Dengan cepat, Nanda melepaskan semua kain yang tersisa di tubuh Ayu saat mengetahui kalau bagian kenikmatan di bawah sana sudah basah di area genital itu.

Bibir dan kedua tangan Nanda terus memberikan sentuhan-sentuhan di area sensitif milik Ayu sembari mempersiapkan diri untuk masuk ke sana secara perlahan.

“Mmh ... Nan ...!” Ayu langsung mencengkeram punggung Nanda saat pria itu sudah berhasil masuk ke area genital miliknya.

“Enak?” tanya Nanda sambil mencengkeram lembut rahang Ayu yang sudah diselimuti gairah.

Ayu mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya. Merasakan kenikmatan yang sudah lama tak ia rasakan sejak berpisah dengan Nanda. Meski Nanda bukanlah pria pertama yang masuk ke hatinya. Tapi dialah yang paling pertama masuk ke area terlarang dan tempat yang paling berharga dalam kehidupan Ayu. Menjadi pria nomor satu dan satu-satunya yang ada di sana.

“I love you, Ay. Don’t leave me again!” bisik Nanda setelah ia berhasil melakukan pelepasan. Ia langsung mengecup bibir Ayu dan menjatuhkan tubuhnya di samping wanita itu. Ia memejamkan mata sembari mengatur napasnya.

Ayu tersenyum sambil memperhatikan wajah Nanda. “Capek?”

Nanda menganggukkan kepalanya.

“Udah nggak kuat main lagi?”

Nanda langsung membuka mata dan menoleh ke arah Ayu yang berbaring di sampingnya. “Kamu mau minta main lagi?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum jahil.

“Aku capek, Ay. Seharian udah capek terima tamu. Lanjut besok aja, gimana?”

Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil.

Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur.  “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?”

Ayu menggeleng sambil tersenyum centil.

Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?”

Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?”

“He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?”

“Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik.

“Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda.

Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda.

Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih.

“Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu.

“Aku ngantuk. Mau tidur!” seru Ayu.

Nanda tertawa kecil dan memeluk tubuh Ayu yang ada di dalam selimut.  “Ini baru istriku yang asli,” ucapnya sambil tersenyum.

Ayu menyingkap selimut yang menutupi wajahnya dan memutar tubuhnya menatap Nanda. “Kamu ...!? Nggak suka kalau aku centil dan agresif?”

Nanda tersenyum sambil menempelkan wajahnya ke telinga Ayu. “Aku lebih suka kamu yang jutek, ketus dan selalu berani melawan aku.”

Ayu tertawa kecil. “Bodoh.”

“Aku rela jadi bodoh asalkan bisa memelukmu seperti ini setiap hari. Asal aku bisa dengarkan omelanmu, bisa mendengar kamu mendebatku dan ... bisa menikmati dengkuranmu setiap malam,” ucap Nanda sambil tersenyum manis.

“Memangnya aku tidur mendengkur?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk sambil mengeratkan pelukannya dengan mata terpejam. Ia terus memeluk tubuh Ayu dengan erat hingga ia terlelap dalam kehangatan bersama wanita itu.

 

...

Tiga bulan kemudian ...

Sepulang dari kantor, Nanda melenggang ceria memasuki rumahnya sambil memanggil nama Ayu. “Ay, aku udah beliin testpack yang kamu pesan. Cepet pake, ya!” Ia meletakkan kantong kresek ke atas meja dapur.

“Banyak banget? Kamu beli testpack atau beli keripik?” Ayu menaikkan alis saat membuka kantong tersebut dan mendapati ada banyak testpack di dalamnya.

“Biar akurat aja hasilnya kalau testpack-nya banyak, Ay. Kali aja ada yang error.”

Ayu menghela napas sambil menatap serius ke arah Nanda. “Satu aja cukup kali, Nan. Selebihnya, bisa periksa ke dokter. Itu lebih akurat. Kayak gini namanya pemborosan!”

“Jadi, gimana? Aku jual lagi testpack-nya?” tanya Nanda.

Ayu memutar kepala sambil menarik kantong kresek tersebut. “Siapa yang mau beli testpack?” Ia segera mematikan kompor dan masuk ke dalam kamar mandi.

Nanda tertawa kecil sambil mengikuti langkah Ayu. Ia berdiri di sebelah pintu kamar mandi, menunggu hasil testpack yang sudah dibawa masuk oleh Ayu.

“Ay, udah, belum? Lama banget?” seru Nanda sambil menatap daun pintu kamar mandi.

“Gimana nggak lama kalau kamu belikan testpack sebanyak ini?” sahut Ayu berseru.

“Pakai satu aja, Ay!”

“Lain kali, kamu belinya juga satu! Nggak usah buang-buang duit!” seru Ayu.

“Siap, Ibu Bendahara!” sahut Nanda sambil tersenyum. Ia tidak sabar menunggu Ayu keluar dan sangat berharap kalau istrinya itu bisa segera hamil. Kali ini, ia benar-benar merasa bahagia jika bisa menjadi seorang ayah sungguhan. Ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan anaknya seperti bagaimana Axel Noah saat berada dalam kandungan Ayu.

Ia benar-benar menyesal karena ia tidak pernah bisa menghargai apa yang sudah ia miliki di masa lalu. Jika waktu bisa kembali, ia ingin kembali ke titik di mana ia pertama kali mengenal Ayu dan menjatuhkan hatinya ke tempat terdalam yang ada di dalam diri Ayu. Sebab, cinta itu bukan melulu soal gengsi dan minder. Tapi tentang sebuah keberanian melawan keputusan semua orang yang menganggapnya bersalah, padahal itu adalah jalan terbaik yang ia pilih.

 

((Bersambung ...))

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas