Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Thursday, October 10, 2024

SISA CERITA ILUSI CINTA

SISA CERITA ILUSI CINTA

Pixabay



Debur ombak di Pantai Kaltim Park menyapaku yang sedang duduk termenung seorang diri. Sepertinya mereka tahu jika aku sedang kesepian. Kuabaikan semilir angin yang menyapa rambut-rambutku. Karena mereka tak bersuara. Membuatku tak menyadari jika pasukan angin itu sedang mengajakku bercengkerama. Hingga gemuruh ombak, membangunkan kesadaranku. 

Tepat di depan mataku, ratusan ombak sedang menari-nari indah. Mereka ramai, seolah sedang menghibur jiwaku yang sepi. 

“Rin ...!” 

Suara itu tiba-tiba menggema di telingaku. Suara yang tak asing lagi aku dengar. Tapi, aku menyadari jika ini hanya ilusi. Dia tidak akan hadir di sini meski hanya sekedar menyapa. 

“Rina ...! Apa suaraku tidak lebih besar dari suara ombak?” 

Aku langsung memutar tubuhku ke arah suara yang ada di belakangku. Sesungguhnya, aku tidak ingin melihat sebuah kenyataan jika semua yang aku dengar hanyalah ilusiku saja. 

Tatapanku langsung tertuju pada seorang pria yang berdiri sekitar lima meter dari tempatku. Seluruh tubuhku membeku dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku masih tidak yakin jika sosok ini adalah sosok nyata. Aku pikir, semua hanya ada dalam khayalanku semata. 

Akhir-akhir ini ... pikiranku kacau. Psikisku cukup terganggu. Aku harus pergi ke psikiater setiap dua minggu sekali untuk membuat keadaanku baik-baik saja. Entah kenapa ... sejak dia pergi tanpa pesan, duniaku seolah ikut menghilang. 

“Kamu nggak kangen sama aku?” Pria itu merentangkan kedua tangannya. Berharap aku akan berlari ke arahnya dan memeluknya seperti biasa. 

Sayangnya, aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku khawatir, dia hanyalah bayangan yang aku ciptakan sendiri karena kerinduan yang begitu mendalam. Setiap berlari ke arahnya, bayangan itu langsung menghilang entah ke mana. 

Pria itu melangkah perlahan menghampiriku karena aku tak kunjung bereaksi. Lengannya yang kekar, terulur perlahan hingga ujung jemarinya menyentuh daguku. “Kenapa nggak senang aku datang?”

“Kamu cuma ilusi. Pergi!” teriakku. Aku benar-benar tidak tahan dengan bayangan pria ini. Dia kerap hadir sebagai bayangan dalam hari-hariku. Aku nyaris gila dibuatnya. 

“Ini aku, Rizki. Aku datang buat kamu,” ucap pria itu dengan suara yang sangat jelas. 

Aku menggeleng. “Nggak. Kamu bukan Rizki. Bukan!” Aku langsung berjongkok sambil menutup kedua telinga dengan telapak tanganku. 

“Ini aku, Rin. Kamu kenapa?” tanya Rizki. 

“Aaargh ...!” Aku berteriak histeris. Aku benci adegan seperti ini. Aku benci keadaan seperti ini. 

Kenapa? Kenapa begitu sulit menyingkirkan pria ini dari pikiranku? Kenapa? Kenapa aku tidak sanggup menghapusnya dari ingatanku? Kenapa dia terus hadir menghantuiku? 

Rizki adalah satu-satunya pria yang ingin aku hapus dari ingatanku. Dia satu-satunya orang yang ingin aku benci. Tapi aku selalu gagal melakukannya. 

Dua tahun lalu, Rizki menghilang tanpa pesan setelah dia mengukir banyak kenangan indah bersamaku. Entah apa yang terjadi. Dia menghilang begitu saja dan aku tidak punya keberanian untuk mencarinya. Aku tidak berani menerima kenyataan jika dia sudah tidak mencintaiku lagi. Aku memilih untuk diam, menunggu, dan berharap keajaiban. 

“Rin, kamu kenapa?” Suara Rizki tak kunjung menghilang dari hadapanku. Apakah kali ini dia benar-benar datang menemuiku? 

Aku langsung membuka mataku kembali dan menatap pria yang juga berjongkok di hadapanku itu. “Ini beneran kamu?”

Rizki mengangguk sambil tersenyum. “Kamu baik-baik aja, kan?”

Aku menggeleng. Aku nggak bisa bilang baik-baik saja sejak dia meninggalkanku tanpa pesan. Bagaimana aku bisa baik-baik saja ketika aku tiba-tiba kehilangan arah hidupku. Semua hal yang pernah kita rencanakan bersama, tiba-tiba hanya jadi cerita kosong yang tak terlaksana. 

“Maafkan aku, Rin!” ucap Rizki sembari mendekap tubuhku. 

Hangat. Rasanya sangat hangat. Rasanya seperti pelukan nyata. 

“Kenapa pergi tanpa pesan? Aku nggak tahu harus cari kamu ke mana,” bisikku sembari menitikan air mata. 

“Maafkan aku, Rin. Ada hal yang nggak bisa aku ceritakan. Aku khawatir, akan membuatku sibuk memikirkanku. Kamu sudah terlalu baik. Aku nggak mau menyulitkan kamu lagi,” ucap Rizki lirih. 

“Apa pun itu ... haruskah dengan cara seperti ini?” tanyaku lirih. 

“Aku juga nggak punya cara lain. Aku cuma nggak mau kamu sedih kalau tahu kenyataannya.”

“Kamu nggak mau buat aku sedih, tapi kamu sudah buat aku mati,” sahutku. “Apa kamu tahu gimana tersiksanya hidupku tanpa kamu?”

“Maafin aku ...!” ucap Rizki sambil mengeratkan pelukannya. 

“Aku sakit dan butuh waktu lama untuk sembuh. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku hanya akan muncul di hadapanmu ketika aku sehat. Karena aku tahu sifatmu. Kamu nggak akan tinggal diam melihat aku kesusahan,” ucap Rizki. 

“Kamu sakit?” tanyaku sembari menatap lekat mata Rizki. 

“Sekarang sudah sembuh,” ucap Rizki sambil tersenyum. Ia menggenggam tanganku dan membiarkan telapak tanganku menyentuh pipinya. “I miss you...”

Aku langsung menarik tanganku dari pipi Rizki. “Kalau kamu tidak membiarkan aku menemani masa sulitmu ... adakah orang lain di sana?”

“Kenapa kamu tanya kayak gini?” tanya Rizki. “Nggak pernah terpikir sedikitpun untuk mengkhianati cinta kita. Aku hanya sedang ...”

“Sedang memilih tidak ada aku dalam hidupmu?” sambarku. 

“Bukan gitu, Rin. Aku Cuma nggak mau kamu terlibat dalam kesulitanku,” ucap Rizki lagi. “Aku cuma pengen bikin kamu bahagia. Nggak mau ngajak kamu susah.”

Aku tersenyum sinis. “Aku pikir, kita adalah dua manusia yang saling memahami. Ternyata tidak. Kamu bertahan dengan pemikiranmu sendiri, aku juga sama. Pernahkah kamu bayangkan gimana aku tanpa kamu? Aku yang tiba-tiba kehilangan teman bercerita, aku tiba-tiba kehilangan teman tertawa, aku tiba-tiba kehilangan teman untuk merancang masa depan, aku kehilangan arah hidup.”

“Rin, aku pikir kamu adalah wanita yang kuat dan aku ...”

“Aku bisa menjalani semuanya seorang diri?” tanyaku. “Ya, aku bisa. Kamu tahu, kapal yang dulu kita rancang untuk pergi bersama, sudah aku selesaikan. Aku hias begitu indah dengan penuh cinta. Saat kapal itu sudah siap berlayar, tiba-tiba nahkodanya menghilang entah ke mana. Saat ini, kapal itu sudah usang dan tenggelam. Bahkan, ikan-ikan pun enggan untuk tinggal di sana. Kamulah yang menghancurkan segalanya.”

“Rin, aku minta maaf! Bisakah kita ulang semuanya dari awal lagi?” tanya Rizki. 

“Sekalipun kita berusaha mengulangnya, semuanya tidak akan sama lagi.”

“Gimana kalau kita mulai dari awal lagi?” tanya Rizki lagi. 

“Tidak ada kata ‘mulai’ untuk kisah yang sudah terjadi,” sahutku. 

Aku benar-benar tak mampu berpikir lagi. Sunggguh, aku merindukan pria ini, tapi aku juga terluka dalam karenanya. Aku baru saja ingin berdamai dan melepaskan semuanya. Tiba-tiba dia datang saat aku ingin mengahapus semua kisah yang pernah ada. 

“Aku datang untuk memperbaiki hubungan kita. Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu nggak perlu lagi berlelah-lelah berjuang hidup sendirian.” Rizki berusaha meyakinkanku. 

Aku tertawa kecil. Sungguh lucu jika ia mengatakan hal seperti ini, tapi dia membiarkan aku berjuang mati-matian selama dua tahun terakhir ini. 

“Rizki, kamu adalah dokter ahli psikiatri. Kamu tahu persis seperti apa risiko pasien yang harus mengonsumsi obat anti-depresan setiap hari selama dua tahun. Aku sudah lelah. Aku pengen sembuh. Cara satu-satunya membuatku sembuh adalah menghapus semua hal tentang kita di masa lalu ... juga di masa depan,” ucapku sembari menahan rasa sesak di dada. 

“Mungkin sudah ratusan pasien yang sembuh di tanganmu. Tapi kamu harus ingat kalau aku adalah satu-satunya orang yang jadi pasien karena kamu!” tegasku sembari melangkah pergi meninggalkan Rizki. 

Sungguh, aku tidak tahan berlama-lama bercengkerama dengan ilusiku sendiri. Bisa jadi, yang sedang bicara denganku adalah orang yang aku ciptakan sendiri di pikiranku, sama seperti biasanya. 

Entah dia Rizki sungguhan atau ilusi. Setidaknya, keinginanku untuk berbicara tentang perpisahan dengannya sudah terpenuhi. Aku sudah bisa melepaskan semuanya. Menghapus perlahan setiap cerita yang sudah terukir. 

Setiap jengkal pasir yang kupijak di tempat ini adalah saksi bagaimana kisah kita terukir dan bagaimana usahaku menghapusnya. Aku ingin hidup dengan baik di masa depan. Meski harus sendirian, akan tetap aku jalani. 

Terima kasih untuk semua cerita yang ada di antara kita. Semua tangis dan tawa telah kita lalui bersama meski dari tempat yang berbeda. Kita pernah jadi sepasang, tapi tak pernah bisa bersatu. Jika ada kehidupan selanjutnya, akan kumohon pada Tuhan agar kita tak lagi bertemu, sekalipun itu hanya ilusi. 




 © Copyright 2024

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menyebarkan cerita ini tanpa izin tertulis dari penulis. 





Wednesday, October 18, 2023

Cerpen "I am Jessica" karya Vella Nine

 




“JESS, YOU ARE KILLER!”

“JESSICA KILL NIRMA!”

“JESSICA IS A KILLER. SHE KILL HER BESTFRIEND CRUELLY!”

 

Teriakan ratusan orang itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Jessica. Sudah berlalu begitu lama sejak ia mendapatkan tuduhan sebagai pembunuh dari sahabatnya sendiri. Ia harus menjalani sidang yang menyakitkan selama berbulan-bulan. Ia harus mendekam di dalam penjara selama berbulan-bulan hingga hakim menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepadanya.

Lima tahun lalu, Jessica yang tinggal dan bekerja di Ausie, memilih pulang ke Indonesia untuk menikmati libur tahun Baru bersama keluarganya. Sudah cukup lama ia tak pulang ke Indonesia. Biasanya, ia menjalani liburan bersama sang kekasih. Tapi sayang, hubungannya dengan sang kekasih kandas begitu saja karena pria itu telah berselingkuh dengan wanita lain. Pikirannya kacau, pekerjaannya menjadi tidak baik-baik saja. Ia sudah tak tahan dengan sikap sang pacar yang tidak ingin ia tinggalkan, tapi juga tak ingin meninggalkan wanita-wanita simpanannya.

Dalam waktu liburan yang begitu singkat, Jessica menghabiskan waktu bersama keluarga. Sesekali ia bertemu dengan teman-temannya yang ada di Indonesia untuk sekedar melepas kerinduan.

Hari di mana ia bertemu dengan sahabatnya adalah hari tersial dalam hidupnya. Nirma mengajaknya bertemu di salah satu kafe yang ada di pusat kota Jakarta. Semuanya berjalan normal seperti biasa. Tak ada firasat buruk apa pun yang akan terjadi pada hari itu.

Sampai akhirnya ... Nirma meninggal dunia setelah meminum ice coffee yang dipesankan Jessica terlebih dahulu. Jessica tidak berpikiran apa pun. Ia hanya ingin memesankan minuman lebih dulu, agar ia bisa gantian mentraktir sahabatnya itu.

Sore di kafe itu berubah menjadi malapetaka bagi Jessica. Ia sangat kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa karena sebelumnya tidak pernah ada dalam situasi seperti itu.

Jessica sangat sedih karena harus kehilangan sahabat baiknya, tepat di depan matanya sendiri. Belum sempat ia menghabiskan air matanya, tiba-tiba ia dituduh sebagai satu-satunya orang yang membunuh Nirma.

Sungguh, begitu hancur seluruh hari dan jiwa Jessica. Darah di seluruh tubuhnya seolah berhenti begitu saja. Air mata yang harusnya mengalir deras untuk menunjukkan kesedihannya, justru terbendung oleh rasa sakit yang tak terkira.

Tubuh mungil Jessica seolah sedang disambar petir ribuan volt ketika semua orang berteriak bahwa ia adalah seorang pembunuh.

Kenapa semua orang menganggapku sebagai pembunuh? Haruskah aku mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan? Sungguh, aku sangat takut menghadapi dunia. Teriakan mereka sungguh sangat menyakitkan. Membuatku tak ingin hidup, membuatku tak sanggup bicara, membunuh mentalku hingga aku hidup seperti mayat.

Jika bukan karena mama, wanita yang telah melahirkanku, aku tidak akan setegar ini menghadapinya. Aku ingin buktikan kepada wanita yang telah melahirkanku, bahwa aku bukanlah seorang pembunuh. Tapi semua ahli berpendapat bahwa aku bersalah dan terbukti menaruh racun di kopi Nirma. Aku tidak tahu, dari mana datangnya racun itu. Dan kenapa harus Nirma? Kenapa semua orang tiba-tiba menuduhku. Sekeras apa pun aku berusaha membela diri, mereka tetap menganggapku sebagai seorang pembunuh.

Jika aku memang seorang pembunuh, bukankah terlalu bodoh jika aku membunuh sahabatku sendiri di tengah keramaian? Bukankah hal itu bisa aku lakukan saat kami hanya satu mobil berdua? Toh, hukumannya akan tetap sama jika aku membunuhnya dan dituduh sebagai pembunuhnya? Lalu, kenapa orang-orang itu begitu jahat memperlakukanku. Sungguh, aku tidak tahu apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu kenapa Nirma mati.

Jessica kini hanya bisa menjalani hari-harinya di dalam ruang yang sepi. Hanya bercengkerama dengan dinding yang usang. Sesekali kecoa mengajaknya bercanda. Sesekali para semut menggelitiki tubuhnya. Sesekali dinginnya angin menyapa.

Jessica rindu dengan sinar mentari. Ia rindu dengan udara bebas. Ia rindu dengan teman-teman dan keluarganya. Tapi ia tidak bisa apa-apa. Vonis 20 tahun penjara, telah merenggut seluruh kebebasan masa mudanya. Ia masih harus menunggu lima belas tahun lagi untuk bebas dari tahanan.

Lima belas tahun lagi, waktu yang masih sangat lama. Jika ia tidak dipenjara dan sudah menikah, mungkin ia sudah bisa bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Sayangnya, semua impiannya itu direnggut begitu saja oleh orang-orang yang ia juga tidak tahu siapa.

“Jessica, mengakulah jika kamu yang membunuh Nirma dan kamu akan mendapatkan kebebasan!”

Jessica menggelengkan kepala. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah puluhan bahkan ratusan kali ia dengar kalimat itu. Tapi ia tak pernah mau melakukannya. Ia tidak pernah membunuh Nirma. Ia tidak akan pernah mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.

Jessica sangat takut menghadapi dunia luar. Ia tidak ingin dianggap sebagai pembunuh dan dikucilkan dunia. Bukankah menyandang kata “pembunuh” sama saja sedang hidup dalam penjara sosial?

Biarlah aku tinggal di penjara selama 20 tahun asalkan aku tidak selalu dianggap sebagai pembunuh Nirma. Biarlah aku dipenjara selamanya, karena aku sudah terlalu takut menghadapi kejamnya dunia di luar sana.”

Jessica tak akan sanggup mengakui dirinya sebagai pembunuh Nirma. Sungguh, pembunuh yang sesungguhnya adalah Tuhan. Dialah yang mencabut nyawa semua orang. Tapi tak ada yang satu pun yang berani menghakiminya. Bahkan berlutut bersujud kepada-Nya. Lalu, kenapa semua orang harus menghakimi Jessica? Bukankah Nirma tidak akan meninggal jika Tuhan tidak berkendak, sekalipun ia menenggak sebotol racun? Bukankah semua orang bisa meninggal meski sedang tidur sekalipun, jika Tuhan telah berkehendak?

Nir, aku tahu kamu pasti mendengar tangisku selama 2.500 hari sejak aku kehilangan kamu. Kamu yang paling tahu seperti apa kebenarannya. Aku mohon, bantulah aku! Tunjukkan jalan kebenaran dengan caramu! Aku hanya bisa mengharapkan keajaiban dari Tuhan dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Jika aku boleh memilih, aku akan memilih untuk mati. Supaya aku bisa bercengkerama dengan Nirma seperti biasanya. Supaya aku bisa bercerita dengan Nirma tentang ketidakadilan di dunia ini. Supaya aku bisa bercanda dengan Nirma dan saling menertawakan betapa bodohnya manusia yang saling menghakimi.

Jessica tak pernah absen menitikan air matanya setiap malam. Tapi ia terus berusaha menguatkan dirinya sendiri. Karena ia tahu, tak ada satu pun orang yang bisa jadi sandaran. Tak ada orang yang akan menguatkan dirinya. Bahkan, ia masih harus menguatkan kedua orang tuanya dalam kelemahan yang ia miliki.

“I am Jessica, not a killer!”

 


________________________________


Cerita ini hanyalah fiktif belaka. 

Aku persembahkan untuk Jessica Kumala Wongso yang saat ini masih berada di dalam penjara. Semoga, Jessica fiksi karyaku bisa menjadi sahabat bercerita dan berbagi penderitaan tentang bagaimana rasanya diasingkan dunia atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat.





 

 

 

 


Wednesday, August 16, 2023

Cerpen Kompetisi : Satu Hari dalam Ingatan Kakek karya Amelia Rizki

Satu Hari dalam Ingatan Kakek

Penulis: Amelia Rizki






Semarang, 17 Desember 1945


Empat bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Santo kembali ke rumahnya di Semarang.


Suasana malam terasa mencekam akibat Belanda yang masih bercokol di tanah air. Tak banyak yang berani beraktivitas di malam hari, begitu juga dengan Santo. Sebagai seorang pejuang, ia harus lebih berhati-hati agar tak menarik perhatian para pasukan Belanda.


Malam itu terasa berbeda karena menjadi saksi kemarahan Mutia. Ia terdiam dengan tangan yang tergenggam kuat, setelah perselisihan dengan Santo, suaminya, hingga membuat kepalanya terasa pening. Dadanya naik-turun dengan helaan napas yang diambil sembarangan. Jantungnya berdentam-dentam begitu kuat, terasa ingin lepas dari tempatnya.


"Tolong mengertilah, Mutia. Ini demi negara kita." Santo mengusap wajahnya kasar.


"Tetapi Bagas itu masih berusia 16 tahun, Mas. Apa ndak kasihan sama anakmu?" Mutia menahan air yang akan jatuh di sudut matanya.


Santo menggeleng pelan, pertanda ia tetap pada keputusan. Pernyataannya yang ingin membawa anak mereka turut serta menjadi pejuang, menorehkan kecemasan yang mendalam di hati Mutia. Ingin rasanya ia menjelaskan betapa rasa khawatir itu juga datang menghampirinya, tetapi kecintaannya kepada negara ini lebih besar dari segala yang ia miliki.


Mutia terisak lirih, sadar bahwa tak ada lagi yang bisa menghentikan keputusan suaminya.


"Pergilah ke rumah simbok di Demak. Di sana kamu akan aman sementara waktu. Aku dan Bagas akan datang menjemputmu jika kondisi Semarang sudah membaik."


Santo mengecup puncak kepala Mutia, lalu memeluknya sebentar. 


"Berhati-hatilah dalam perjalanan. Jadilah wanita yang tangguh lagi kuat."


Mutia mengemas pakaiannya ke dalam sebuah kain yang diikat sedemikian rupa. Bersamanya juga ia membawa secercah harapan atas keselamatan suami dan putra semata wayang. Mutia harus kuat. Menjadi istri seorang pejuang memanglah tak mudah. Dengan mengendap-endap, ia berjalan keluar meninggalkan rumah yang telah memberikan naungan belasan tahun lamanya.


"Aku menunggu kalian datang dalam keadaan bernyawa," ucap Mutia lirih sembari menengok ke arah rumah yang baru saja ia tinggalkan.


Akan tetapi, betapa terkejutnya Mutia ketika mendengar suara ledakan granat bergema dari arah belakang. Ia menjerit kala melihat rumahnya telah berlobang di beberapa bagian. Entah bagaimana dengan nasib Santo dan Bagas. Satu yang ia pahami, keputusan Santo menyuruhnya pergi adalah demi keselamatan dan kebaikannya sendiri.


Tanpa Mutia ketahui, detik di mana granat itu meledak dan membuat lubang di dinding rumahnya, detik itu pula Santo dan Bagas bergerilya menuju basecamp para pejuang. Mereka menyamar menjadi warga sipil biasa tanpa senjata, agar para tentara musuh tak curiga dengan keberadaan mereka.


"Kita akan melakukan gerakan senyap. Semua akan dilakukan dengan cermat dan hati-hati." Letkol Basuni memberikan penjelasan.


"Kita akan menyerang mulai malam ini. Tentu saja ini akan berhasil jika kita semua bekerja sama. Musuh telah membakar rumah-rumah warga dan juga gudang persenjataan. Kita hanya memiliki tekad kuat dan bambu runcing sebagai senjata. Apakah kalian bersedia?!"


"Siap, bersedia!" Gemuruh suara penuh rasa nasionalisme mengobarkan semangat juang yang tinggi.


Mereka mulai membagi tugas agar penyerangan dapat sukses terlaksana. Golongan Toekang Listrik yang biasanya bertugas mengaliri listrik di seluruh kota, kini bekerja sama untuk memadamkan seluruh listrik di dalam kota. Sabotase ini dilakukan agar 


konsentrasi Belanda terpecah belah.


"Santo! Maju ke arah jantung kota kemudian kepung markas musuh. Bawa beberapa pasukan bersamamu!" Dengan tegas Komandan Basuni memberikan perintah. Dalam situasi seperti ini, titah  komandan menjadi keharusan dlyang harus dipatuhi tanpa ada perlawanan.


Santo mengangguk. Matanya berkilat tajam, dengan bendera merah putih terikat kuat di atas bambu runcing miliknya. Ia dan beberapa pasukan muda untuk bergerilya menuju markas musuh.


"Kita berpencar! Lumpuhkan musuh dengan senjata apa pun yang kita punya. Takada kata menyerah demi mempertahankan kemerdekaan kita," teriakan Santo berhasil memantik semangat para pemuda.


Akan tetapi, baru saja Santo hendak menyergap musuh, derap langkah sepatu terdengat mendekat.


"Hou je mond!"


Santo mematung merasakan dinginnya moncong senjata tepat berada di keningnya.


"Bajingan!" umpat Santo sembari meludah ke arah pasukan Belanda.


Terang saja tindakannya itu membuat berang tentara Belanda. Ia bergumam, lalu memukulkan senjata laras panjang itu ke kepala Santo hingga membuat kepalanya berambut gondrong miliknya mengeluarkan darah.


Pandangannya mulai kabur, lalu samar-samar ia mendengar beberapa pejuang berlari menuju ke arahnya.


"Mati kowe!" Santo berteriak sambil mendorong tubuh tegap si Belanda hingga terhuyung.


Melihat kesempatan baik ada padanya, ia menangkap tinggi-tinggi bambu runcing miliknya, lalu menghujamkannya berulang kali. Senyuman terbit di ujung bibirnya. Perasaan puas telah mengalahkan seorang musuh seakan memenuhi ruang di dalam hati. Ia kemudian bergabung bersama pasukannya untuk terus menggempur musuh.


Semangat membara para Toekang Listrik yang sebelumnya membantu memadamkan listrik kini telah turun lapangan. Mereka bergerak dengan menggenggam berbagai macam keahlian mereka seperti;kunci-kunci, linggis, palu dan lain sebagainya.


"Merdeka!"


"Merdeka!"


"Usir Belanda dari Bumi Pertiwi!"


Teriakan-teriakan itu terus menggema dari para pejuang tanah air. Beberapa saat, Santo mulai ingat keberadaan Bagas. Bagaimana pun ia bertanggung jawab atas keselamatan anaknya. Mutia, sang istri, tak akan memaafkannya jika sesuatu hal terjadi kepada anak semata wayang mereka.


"Hendro! Di mana Bagas?" tanyanya sambil menepuk pundak teman seperjuangannya.


"Bagas tadi sudah lebih dulu berangkat ke daerah di sebelah utara. Pasukannya berhasil menakuti para Belanda itu," ujar Hendro sedikit berkelakar.


"Syukurlah kalau begitu." Santo meringis memegangi keningnya yang masih berdarah. Ia menyobek kain baju miliknya, lalu membebatnya kuat agar pendarahan segera berhenti.


Jarum jam terus berputar pada porosnya. Dalam dinginnya malam, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Beberapa bangunan penting tadinya berhasil dikuasai musuh, akhirnya bisa direbut kembali oleh pejuang tanah air. Markas besar berisi beberapa berkas penting dan perlengkapan senjata lengkap beserta amunisi juga aman terkendali.


Malam yang melelahkan telah terlewati. Matahari pagi bersinar hangat menerpa wajah-wajah dingin yang penuh bekas luka. Namun, wajah-wajah itu tetap menampilkan senyuman terbaik meski rasa lelah seakan mematahkan tulang belulang. Mereka tetap bersorak bangga karena berhasil memukul mundur Belanda dan mempertahankan Ibu Kota Jawa Tengah.


Santo sudah mendapatkan perawatan agar lukanya tak semakin parah. Bagas pun tak terluka parah. Hanya beberapa goresan di tangan dan kakinya. Berita kemenangan pejuang tersebar melalui radio-radio tanah air.


"Berita pagi hari itu dari sekitar Mranggen para pejuang republieken menyataken bahwa niat moesoeh menggempoer Mranggen tidak berhasil. Peloeroe-peloereo moesoeh djatoeh berhamboeran dimoeka Kota, di belakang Semarang, dan sekitar Mranggen!"


Tak terlukiskan betapa gembiranya hati Mutia mengetahui keberanian para pejuang telah berhasil mengalahkan Belanda.


"Mbok! Simbok! Belanda sudah pergi, Mbok. Mas Santo dan Bagas sebentar lagi pasti datang menjemputku di sini." Mutia berlari-lari menyampaikan kabar gembira kepada ibunya.


Bibir yang sejak semalam hanya terkulum kini mulai tersenyum manis. Begitu bahagianya hingga masih pagi-pagi sekali ia sudah mandi dan bersolek demi menunggu kedatangan anak dan suaminya. Kebanggaannya menjadi berlipat-lipat kala teringat perdebatan mereka malam itu. Mutia merasa beruntung karena suaminya bersikeras membawa Bagas berjuang bersamanya. 


"Mutia!"


"Ibuk!"


Teriakan Santo dan Bagas memudarkan lamunan Mutia. Senyumnya makin melebar tatkala ia melihat dua sosok lelaki berjalan menuju ke arahnya. 


17 Agustus 2023


78 tahun Indonesia merdeka.


Hari ini Kota Semarang begitu semarak dengan bendera merah putih berdiri tegak di depan rumah para warga. Seorang lelaki renta memakai topi veteran duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan. Matanya berkaca-kaca dengan tangan yang sesekali gemetar. 


Tujuh puluh delapan tahun lalu, ia berjuang memukul mundur pasukan Belanda yang hampir saja kembali menduduki Ibu Kota Jawa Tengah. Meski bukan di hari yang sama, tetapi ia masih ingat keringat dan darah yang menetes dari dahinya.


Ia menggenggam kuat kain berwarna merah dan putih. Menghidu aromanya dengan sepenuh hati, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.


Meski suaranya tak sekuat dulu, meski tenaganya telah rapuh dimakan usia, tetapi ingatannya tentang hari itu takpernah hilang walau sedetik saja.


Ia terus bergumam, hingga seorang anak kecil bertubuh tambun dengan rambut sebahu itu menghambur ke dalam pangkuannya.


"Kakek Bagas, ayo pasang bendera!" ujarnya sambil menarik-narik kain yang dipegang sang kakek.


Di belakangnya, seorang lelaki berpakaian TNI juga turut menghampiri.


"Ayah, terima kasih telah berjuang bersama seluruh warga Semarang kala itu."


"Terima kasih telah menjadi tentara yang tangguh. Tugasmu menjaga tanah air, aku yang melanjutkan."


Kemudian mereka bersama-sama memasang bendera pada tiang kayu yang telah disediakan sebelumnya. Memberikan hormat pada sang saka merah putih yang demi dirinya telah rela bertumpah darah. 


Semarak bulan Agustus selalu saja ditunggu warga. Berbagai lomba diadakan demi memeriahkan suasana. Dari anak-anak hingga dewasa semua larut dalam bahagia yang nyata. Pasukan gerak jalan, panjat pinang, tarik tambang dan sepak bola menjadi pertandingan rutin setiap tahunnya.


Tak lupa yang selalu menjadi topik utama adalah karnaval dengan berbagai jenis kostum kepahlawanan. Jika sudah begini, Kakek Bagas akan setia duduk di kursi miliknya, lalu mulai bercerita tentang hebatnya para pejuang memukul mundur para penjajah. Tentang bagaimana mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar  di udara. Tentang duka kehilangan teman dan saudara di waktu yang nyaris berdekatan. 


Selanjutnya ia akan bercerita tentang bahan makanan yang hanya terbuat dari umbi singkong semata, serta senjata yang tak seberapa, para pejuang tetap gigih membela. Lalu, Kakek Bagas mulai membanding-bandingkan, bagaimana hidupnya semasa menjadi pejuang muda dengan para muda mudi jaman sekarang.



"Dulu, menjadi prajurit itu begitu membanggakan, sekarang disuruh hormat bendera saja banyak yang tidak mau."


"Zaman dulu, senjata hanya milik penguasa. Kini pasukan adalah kita yang bergerak bersama melindungi tujuan negara."



Kakek Bagas meneteskan air mata yang sempat menggantung di pelupuk. Hatinya campur aduk melihat perkembangan Indonesia yang semakin modern. Satu hal yang selalu ia katakan, "Kita sudah lama merdeka, tetapi hari ini aku melihat rakyat dijajah oleh bangsa sendiri. Orang susah semakin susah karena mereka yang berkuasa berbuat semena-mena. Sungguh kasihan!"



PROFIL PENULIS

Amelia Rizki adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis cerpen. Ia telah mengikuti beberapa event dan berhasil menjuarainya. Selain itu, ia juga turut serta menjadi penulis di beberapa antologi bersama. Jika ingin berkomunikasi dengannya bisa melalui  FB: Amelia Rizki


Cerpen Kompetisi : Surga yang Tak Pernah Ada karya Riri Rosy

 

 

Surga yang Tak Pernah Ada

Oleh : Riri Rosy

 


 

Surga, tidak selamanya tampak indah dan sempurna. Bukan juga tempat yang dipenuhi aneka bunga cantik nan harum, dengan berbagai pohon buah yang ranum. Apalagi tempat yang akan dialiri susu dan madu. Surga tidak seperti itu bagi sepasang kekasih, Anneliese dan Wirojoyo. Bagi mereka surga itu hanyalah tempat mereka biasa bersua, dengan pohon bambu di tepi sungai dengan air jernih meneduhkan keduanya.

 

Tempat rahasia mereka jauh dari keramaian. Mereka terpaksa selalu bertemu diam-diam karena ayah Anneliese, Meneer Aart Leonard Langenberg, melarang putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan orang pribumi. Baginya tidak akan mudah menyatukan banyak perbedaan di antara mereka.

 

Anneliese Beatrix Aart, wanita Belanda berkulit seputih susu itu duduk terpaku. Dengan wajah bermendung penuh kegalauan, ia menatap Wiro, pemuda pribumi yang menjadi tambatan hatinya. Pemuda itu duduk di sampingnya dengan mata menerawang jauh. Dahinya sedikit berkerut. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam. Anneliese bisa merasakan betapa berat beban perasaan Wiro saat ini.

 

Anneliese menatap wajah pemuda di sampingnya. Rambutnya hitam legam bergelombang dipotong pendek dan rapi. Alisnya tebal, garis wajah tegas dengan mata beriris hitam. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran pemuda pribumi. Kulitnya cokelat dengan sedikit bulu halus di lengan dan kakinya. Bibir tipisnya murah senyum, tetapi sangat hemat berkata-kata.

 

"Zeg eens¹, Wiro," pinta Anneliese.

 

"Mungkin kita memang harus berpisah." Wiro berpaling menatap sepasang mata cokelat gadis di sampingnya itu.

 

Seketika mata Anneliese tampak membulat, sepasang alis cantiknya terangkat. Ia menutup mulut dengan jemarinya.

 

"Nee². Kamu menyerah?"

 

"Meneer Aart benar. Kebahagiaanmu yang utama. Aku belum tentu bisa membahagiakanmu."

 

"Tidak, Wiro. Kebahagiaanku bersamamu. Ingat, ons paradijs³ . Surgaku bukanlah rumah megah, tapi di sini, bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku."

 

Wiro kembali berpaling, menatap pucuk-pucuk daun yang bergoyang oleh semilir angin. Gemericik air sungai bagai simponi indah mengiringi nyanyian burung yang sesekali hinggap di pohon sekitar sungai. Keduanya membisu, tenggelam dalam kekalutan masing-masing.

 

Anneliese, gadis berambut ikal sepinggang itu menunduk. Diamnya Wiro terasa menyiksanya. Ia menggigit bibirnya yang kemerahan. Jemarinya merapikan selendang penutup kepalanya yang sedikit melorot tertiup angin. Gadis langsing itu sengaja berpenampilan seperti wanita Jawa, menggunakan kain batik dan kebaya. Ia juga memakai selendang di kepalanya hingga menutup sebagian wajah untuk menyamarkan wajah Belandanya dengan hidung yang begitu mancung.

 

Anneliese mulai menaruh hati pada Wiro sejak pemuda itu menolongnya saat rombongan tentara Jepang berusaha menculiknya untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Sejak Jepang berkuasa, banyak warga Belanda yang dibantai atau dipulangkan. Anneliese dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri dan pindah ke tempat yang agak terpencil dengan bantuan seorang saudagar kaya, Tuan Suryo.

 

"Anneliese, hari Jumat aku akan pergi." Kata-kata Wiro membuat Anneliese langsung berpaling menatapnya.

 

"Aku ikut!"

 

"Maaf, Anneliese. Aku rasa itu tidak mungkin."

 

"Bawa aku, atau aku mati?"

 

Wiro terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Anneliese tidak sedang bercanda. Wiro sangat paham sifat keras kepalanya.

 

"Aku tak mau menikah dengan saudagar tua gendut itu." Wajah Anneliese menampakkan kemarahan. "Keluargaku berhutang budi pada Tuan Suryo yang telah membantu kami menyelamatkan diri dan ternyata duda itu menginginkanku. Kamu rela?"

 

Wajah Wiro memerah. Dadanya seakan-akan bergemuruh dan ingin meledak. Sungguh tak ada pilihan mudah baginya.

 

"Kamu sungguh-sungguh ingin ikut?" tanya Wiro seraya menatap gadisnya yang juga sedang memperhatikannya.

 

Anneliese mengangguk, matanya berbinar penuh harap.

 

"Tak akan menyesal apapun risikonya?"

 

Anneliese tersenyum.

 

"Jumat malam selepas Isya', aku akan pergi dengan bendi. Kita bertemu di jembatan." Wiro akhirnya mengambil sebuah keputusan setelah melihat Anneliese yakin untuk ikut bersamanya.

 

Senyum Anneliese mengembang penuh mendengar kata-kata Wiro. "Semoga kita menemukan surga yang lebih indah," katanya berharap.

 

"Semoga aku tak akan membuatmu kecewa."

 

"Wiro, kenapa kamu takut membuatku kecewa? Aku senang bersamamu. Kamu tahu, kan?"

 

Wiro menghela napas. Bibirnya menyungging senyum sekilas.

 

"Bagaimanapun kehidupan kita sangat berbeda, Anneliese. Aku takut tak bisa menghadirkan surga untukmu."

 

"Percayalah. Surgaku ada padamu, Wiro."

 

***

 

Sejak istrinya meninggal akibat peluru pejuang pribumi yang salah sasaran dan Anneliese nyaris ditangkap tentara Jepang, Meneer Aart mulai depresi. Ia ingin kembali ke negaranya tetapi tidak bisa. Pria itu menyesali nasib harus kehilangan istri dan setelah Jepang berkuasa, kehidupannya berubah drastis. Kesehatannya agak menurun. Ia khawatir memikirkan masa depan Anneliese, hingga ketika Tuan Suryo yang kaya tampak tertarik pada putrinya, kekhawatirannya mulai berkurang.

 

Sementara, sang putri justru sangat tak menyukai Tuan Suryo yang dianggapnya hanya mencari untung di atas deritanya. Ia juga terlanjur mencintai Wiro, pemuda pribumi yang sederhana tetapi membuatnya nyaman bersamanya.

 

Rasa sedih untuk meninggalkan ayahnya tak urung dirasakan Anneliese juga. Bagaimanapun, Meneer Aart adalah ayah yang menyayanginya. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan ayahnya, tetapi ia benar-benar muak dengan Tuan Suryo.  Tidak ada jalan lain baginya untuk menghindari Tuan Suryo selain lari bersama Wiro.

 

Anneliese mengucapkan selamat malam, lalu memeluk ayahnya erat.

 

"Kamu mau tidur sekarang, Anneliese?" tanya Meneer Aart yang sedikit heran.

 

"Aku merasa lelah dan ingin tidur sekarang," jawab Anneliese sambil berpaling ke arah pintu. Ia tidak ingin ayahnya curiga.

 

"Baiklah. Tidurlah sekarang."

 

Setelah gelisah menanti kesempatan yang tepat untuk menyelinap ke luar rumah, Anneliese melihat kedatangan dua orang pria, Tuan Suryo dan temannya. Meneer Aart menyambut mereka dengan gembira dan mereka pun langsung terlibat percakapan serius di ruangan tempat Meneer Aart biasa membaca.

 

Samar-samar ia mendengar radio menyiarkan bahwa Bung Karno telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia hari itu jam sepuluh pagi. Pekik merdeka kemudian mulai diperdengarkan.

 

Dengan debar dada yang tak karuan oleh berbagai perasaan, Anneliese mengambil beberapa potong pakaian dan menyelipkan sebuah pisau di dalamnya untuk berjaga-jaga. Ia segera melompat ke luar melalui jendela kamarnya dan berjalan dengan cepat menuju jembatan menembus gelapnya malam yang hanya diterangi sinar lampu minyak dari rumah penduduk dan cahaya bulan.

 

Wiro duduk di atas bendinya, menatap lurus ke jalan arah Anneliese akan datang. Jantungnya mulai berdentam-dentam tanpa irama. Seumur hidupnya ia belum pernah melakukan hal senekat ini, membawa lari seorang gadis. Bibir tipisnya menyungging senyum saat dilihatnya Anneliese samar-samar muncul dengan berjalan mengendap-endap ke arahnya.

 

Setelah jarak mereka tinggal kira-kira dua puluh meter, terdengar deru mobil mendekat. Mobil tentara Jepang yang berkeliling. Mata Wiro membulat, ia tak menyangka tentara Jepang itu bisa berkeliling sampai ke kampungnya. Mungkin keberadaan beberapa orang Belanda di wilayah itu sudah tercium.

 

Saat mereka melihat Anneliese berjalan seorang diri, mobil berhenti. Dua orang tentara turun dan langsung menarik gadis itu ke mobil mereka. Anneliese berontak, tetapi tenaganya kalah jauh dengan tentara-tentara bermata sipit itu. Mobil kembali melaju. Jeritan Anneliese terdengar menyayat hati saat mobil itu melintasi jembatan.

 

Wiro berusaha mengejar mobil itu meskipun kecepatan tak sepadan, tetapi kemarahannya yang memuncak membuatnya bertekad untuk menyelamatkan Anneliese. Dokar Wiro tertinggal cukup jauh, tetapi sebagai pria penduduk asli wilayah tersebut, Wiro sangat hafal jalan-jalan di sana.

 

Anneliese memeluk erat bungkusan berisi bajunya. Sepanjang perjalanan, para tentara itu memperlakukannya dengan sangat tak sopan. Ia seolah-olah hanya permainan bagi mereka. Tangan-tangan pria bermata sipit itu tak henti bergerilya di atas tubuhnya. Semakin ia meronta, semakin mereka bernafsu melakukannya. Bahkan pakaian Anneliese bagian atas sudah sebagian robek dan terbuka. Anneliese menutup dadanya dengan bungkusan yang dibawanya. Air matanya tak henti mengalir.

 

Para tentara itu bukannya merasa iba, tetapi justru tertawa semakin kencang. Benar-benar biadab. Tak puas melihat pakaian Anneliese yang mulai terbuka, seorang tentara bertubuh agak gemuk mendekati Anneliese dan dengan kasar menarik kain di tubuh gadis itu hingga memperlihatkan pahanya. Anneliese menjerit, pria itu tertawa keras.

 

Anneliese semakin marah dengan perlakuan mereka. Ia teringat pisau di dalam bungkusan bajunya. Sambil menunduk, ia memasukkan tangan kanannya untuk mengambil pisau. Begitu tangannya berhasil memegang pisau itu, dengan cepat ia menghujamkan pisau ke tubuh tentara yang menyingkapkan kainnya. Sayang, salah satu temannya dengan sigap menangkap tangannya.

 

"Oh, rupanya kamu diam-diam membawa senjata. Baiklah, pisau ini yang akan membuatmu menuruti semua perintah kami!" sergah tentara itu setelah berhasil merebut pisau.

 

Dengan bibir menyeringai, ia menyentuhkan pisau itu ke pipi, leher, lalu dada Anneliese. Ia tampak begitu menikmati ekspresi ketakutan gadis itu.

 

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah kosong bercat putih. Anneliese diseret masuk ke rumah kosong itu. Seorang tentara menamparnya saat ia berteriak meminta tolong. Gadis itu dibawa masuk ke sebuah ruangan bersama beberapa tentara.

 

Rumah kosong itu hanya menyisakan beberapa perabot besar, setelah penghuninya pergi, mungkin ada yang menjarah barang-barang di dalamnya.

 

Anneliese dibawa masuk ke sebuah kamar yang hanya berisi lemari kosong. Salah satu tentara yang memegang pisaunya segera mendorongnya ke lantai. Ia tersungkur. Saat ia meringis menahan sakit tubuhnya yang terbentur lantai, tentara bertubuh gemuk langsung menarik pakaiannya dan tertawa melihat bagian atas tubuh gadis itu terbuka.

 

Tentara yang memegang pisau langsung menarik kain bagian bawah Anneliese. Gadis itu menjerit dan berontak, tetapi salah satu tentara memegang erat kedua lengannya.

 

Bulan mengintip dari jendela yang terbuka. Ia menjadi saksi malam jahanam yang merenggut mahkota sang gadis Belanda.

 

Tentara bermata sipit itu tak peduli jerit tangis Anneliese. Mereka bergantian melampiaskan nafsu bejatnya.

 

Meskipun sempat kehilangan jejak, pada akhirnya, Wiro beruntung bisa menemukan mobil itu berhenti di depan rumah peninggalan Belanda yang kosong.

 

Beberapa lama kemudian, Wiro muncul dan langsung menghambur ke arah dua tentara yang berjaga di depan pintu. Baku hantam terjadi, satu tentara tersungkur. Satu lagi baru berhasil menembakkan senjatanya dan mengenai paha Wiro, tetapi pria itu justru menabraknya. Ia berhasil merebut senjata, menembak tentara itu lalu masuk mencari Anneliese.

 

Ia mendengar tangisan Anneliese dan tawa lelaki dari dalam sebuah ruangan. Wiro menendang pintu sambil menahan sakit di pahanya. Ia menembakkan senjata ke arah tentara Jepang yang sedang melampiaskan nafsu bejatnya pada Anneliese. Sayang, hanya tinggal satu peluru. Dua orang tentara merangsek ke arahnya dan berhasil merobohkannya. Salah satu kemudian menarik senjata dari balik bajunya dan menembakkan ke arah Wiro. Darah segar mengalir dari perut Wiro. Tak puas dengan itu, dua orang temannya ikut menendang dan menginjaknya. Wiro terkapar tak berdaya.

 

Ketiga tentara tertawa puas lalu melangkah pergi meninggal Wiro dan Anneliese yang tak berdaya. Di bawah temaram cahaya bulan yang masuk dari jendela, Anneliese samar-samar melihat tubuh Wiro yang bersimbah darah. Kali ini bersama Wiro, ia merasakan seolah-olah berada di neraka. Tubuhnya terasa sakit terutama di bagian bawah. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia merangkak sekuat tenaga mendekati Wiro.

 

"Wiro," panggilnya sambil menyentuh wajah Wiro.

 

Ia masih merasakan embusan napas lemah dari hidung Wiro. Ia mencoba mengguncang tubuh pria itu.

 

"Wiro," panggilnya menahan tangis.

 

Mata Wiro terbuka perlahan.

 

"Ma-afkan aku, Anneliese." Terbata-bata Wiro berkata dengan nada sesal.

 

"Jangan tinggalkan aku, Wiro. Bertahanlah. Kamu tahu, negaramu sudah merdeka."

 

"A-palah artinya jika kita ... tak merdeka. Tak ada lagi surga. Ma-afkan aku membuatmu ... men-derita." Napas Wiro tersengal-sengal lalu tampak makin sulit bernapas dan matanya menutup.

 

Anneliese menangis memeluk jasad Wiro. Hidup terasa tidak adil baginya. Tak ada lagi surga.

 

Ia merangkak mengambil pisaunya yang tergeletak di dekat tempatnya berbaring sebelumnya.

 

"Aku akan menyusulmu, Wiro," bisiknya sambil menghunjamkan pisau ke jantungnya.

 

***

 

Catatan kaki:

1. zeg eens: katakan padaku

2. nee: tidak

3. ons paradijs: surga kita

 

 

***

 

Profil Penulis

 

Riri Rosy, wanita introvert yang suka melukis, membaca, dan membuat aneka kerajinan ini mulai mencoba menulis dengan menulis antologi cerpen. Meskipun awalnya menulis hanya sebuah cara untuk healing, kini ia benar-benar mencintai dunia menulis fiksi. Oleh karena itu, ia berniat terus belajar sehingga bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas. Riri bisa disapa di akun facebook Riri Rosy dan instagram @riri.rosy.9.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas