Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Wednesday, October 18, 2023

Cerpen "I am Jessica" karya Vella Nine

 




“JESS, YOU ARE KILLER!”

“JESSICA KILL NIRMA!”

“JESSICA IS A KILLER. SHE KILL HER BESTFRIEND CRUELLY!”

 

Teriakan ratusan orang itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Jessica. Sudah berlalu begitu lama sejak ia mendapatkan tuduhan sebagai pembunuh dari sahabatnya sendiri. Ia harus menjalani sidang yang menyakitkan selama berbulan-bulan. Ia harus mendekam di dalam penjara selama berbulan-bulan hingga hakim menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepadanya.

Lima tahun lalu, Jessica yang tinggal dan bekerja di Ausie, memilih pulang ke Indonesia untuk menikmati libur tahun Baru bersama keluarganya. Sudah cukup lama ia tak pulang ke Indonesia. Biasanya, ia menjalani liburan bersama sang kekasih. Tapi sayang, hubungannya dengan sang kekasih kandas begitu saja karena pria itu telah berselingkuh dengan wanita lain. Pikirannya kacau, pekerjaannya menjadi tidak baik-baik saja. Ia sudah tak tahan dengan sikap sang pacar yang tidak ingin ia tinggalkan, tapi juga tak ingin meninggalkan wanita-wanita simpanannya.

Dalam waktu liburan yang begitu singkat, Jessica menghabiskan waktu bersama keluarga. Sesekali ia bertemu dengan teman-temannya yang ada di Indonesia untuk sekedar melepas kerinduan.

Hari di mana ia bertemu dengan sahabatnya adalah hari tersial dalam hidupnya. Nirma mengajaknya bertemu di salah satu kafe yang ada di pusat kota Jakarta. Semuanya berjalan normal seperti biasa. Tak ada firasat buruk apa pun yang akan terjadi pada hari itu.

Sampai akhirnya ... Nirma meninggal dunia setelah meminum ice coffee yang dipesankan Jessica terlebih dahulu. Jessica tidak berpikiran apa pun. Ia hanya ingin memesankan minuman lebih dulu, agar ia bisa gantian mentraktir sahabatnya itu.

Sore di kafe itu berubah menjadi malapetaka bagi Jessica. Ia sangat kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa karena sebelumnya tidak pernah ada dalam situasi seperti itu.

Jessica sangat sedih karena harus kehilangan sahabat baiknya, tepat di depan matanya sendiri. Belum sempat ia menghabiskan air matanya, tiba-tiba ia dituduh sebagai satu-satunya orang yang membunuh Nirma.

Sungguh, begitu hancur seluruh hari dan jiwa Jessica. Darah di seluruh tubuhnya seolah berhenti begitu saja. Air mata yang harusnya mengalir deras untuk menunjukkan kesedihannya, justru terbendung oleh rasa sakit yang tak terkira.

Tubuh mungil Jessica seolah sedang disambar petir ribuan volt ketika semua orang berteriak bahwa ia adalah seorang pembunuh.

Kenapa semua orang menganggapku sebagai pembunuh? Haruskah aku mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan? Sungguh, aku sangat takut menghadapi dunia. Teriakan mereka sungguh sangat menyakitkan. Membuatku tak ingin hidup, membuatku tak sanggup bicara, membunuh mentalku hingga aku hidup seperti mayat.

Jika bukan karena mama, wanita yang telah melahirkanku, aku tidak akan setegar ini menghadapinya. Aku ingin buktikan kepada wanita yang telah melahirkanku, bahwa aku bukanlah seorang pembunuh. Tapi semua ahli berpendapat bahwa aku bersalah dan terbukti menaruh racun di kopi Nirma. Aku tidak tahu, dari mana datangnya racun itu. Dan kenapa harus Nirma? Kenapa semua orang tiba-tiba menuduhku. Sekeras apa pun aku berusaha membela diri, mereka tetap menganggapku sebagai seorang pembunuh.

Jika aku memang seorang pembunuh, bukankah terlalu bodoh jika aku membunuh sahabatku sendiri di tengah keramaian? Bukankah hal itu bisa aku lakukan saat kami hanya satu mobil berdua? Toh, hukumannya akan tetap sama jika aku membunuhnya dan dituduh sebagai pembunuhnya? Lalu, kenapa orang-orang itu begitu jahat memperlakukanku. Sungguh, aku tidak tahu apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu kenapa Nirma mati.

Jessica kini hanya bisa menjalani hari-harinya di dalam ruang yang sepi. Hanya bercengkerama dengan dinding yang usang. Sesekali kecoa mengajaknya bercanda. Sesekali para semut menggelitiki tubuhnya. Sesekali dinginnya angin menyapa.

Jessica rindu dengan sinar mentari. Ia rindu dengan udara bebas. Ia rindu dengan teman-teman dan keluarganya. Tapi ia tidak bisa apa-apa. Vonis 20 tahun penjara, telah merenggut seluruh kebebasan masa mudanya. Ia masih harus menunggu lima belas tahun lagi untuk bebas dari tahanan.

Lima belas tahun lagi, waktu yang masih sangat lama. Jika ia tidak dipenjara dan sudah menikah, mungkin ia sudah bisa bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Sayangnya, semua impiannya itu direnggut begitu saja oleh orang-orang yang ia juga tidak tahu siapa.

“Jessica, mengakulah jika kamu yang membunuh Nirma dan kamu akan mendapatkan kebebasan!”

Jessica menggelengkan kepala. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah puluhan bahkan ratusan kali ia dengar kalimat itu. Tapi ia tak pernah mau melakukannya. Ia tidak pernah membunuh Nirma. Ia tidak akan pernah mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.

Jessica sangat takut menghadapi dunia luar. Ia tidak ingin dianggap sebagai pembunuh dan dikucilkan dunia. Bukankah menyandang kata “pembunuh” sama saja sedang hidup dalam penjara sosial?

Biarlah aku tinggal di penjara selama 20 tahun asalkan aku tidak selalu dianggap sebagai pembunuh Nirma. Biarlah aku dipenjara selamanya, karena aku sudah terlalu takut menghadapi kejamnya dunia di luar sana.”

Jessica tak akan sanggup mengakui dirinya sebagai pembunuh Nirma. Sungguh, pembunuh yang sesungguhnya adalah Tuhan. Dialah yang mencabut nyawa semua orang. Tapi tak ada yang satu pun yang berani menghakiminya. Bahkan berlutut bersujud kepada-Nya. Lalu, kenapa semua orang harus menghakimi Jessica? Bukankah Nirma tidak akan meninggal jika Tuhan tidak berkendak, sekalipun ia menenggak sebotol racun? Bukankah semua orang bisa meninggal meski sedang tidur sekalipun, jika Tuhan telah berkehendak?

Nir, aku tahu kamu pasti mendengar tangisku selama 2.500 hari sejak aku kehilangan kamu. Kamu yang paling tahu seperti apa kebenarannya. Aku mohon, bantulah aku! Tunjukkan jalan kebenaran dengan caramu! Aku hanya bisa mengharapkan keajaiban dari Tuhan dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Jika aku boleh memilih, aku akan memilih untuk mati. Supaya aku bisa bercengkerama dengan Nirma seperti biasanya. Supaya aku bisa bercerita dengan Nirma tentang ketidakadilan di dunia ini. Supaya aku bisa bercanda dengan Nirma dan saling menertawakan betapa bodohnya manusia yang saling menghakimi.

Jessica tak pernah absen menitikan air matanya setiap malam. Tapi ia terus berusaha menguatkan dirinya sendiri. Karena ia tahu, tak ada satu pun orang yang bisa jadi sandaran. Tak ada orang yang akan menguatkan dirinya. Bahkan, ia masih harus menguatkan kedua orang tuanya dalam kelemahan yang ia miliki.

“I am Jessica, not a killer!”

 


________________________________


Cerita ini hanyalah fiktif belaka. 

Aku persembahkan untuk Jessica Kumala Wongso yang saat ini masih berada di dalam penjara. Semoga, Jessica fiksi karyaku bisa menjadi sahabat bercerita dan berbagi penderitaan tentang bagaimana rasanya diasingkan dunia atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat.





 

 

 

 


Tuesday, April 26, 2022

Mie Gelas untuk Arga



Pagi ini, matahari sudah meninggi. Aku bahkan belum menyelesaikan cucianku saat putera kecilku terbangun dari tidurnya.

Setiap bangun pagi, Putraku selalu meminta makanan atau minuman. Mungkin, perutnya terasa sangat lapar saat baru saja bangun dari tidurnya.

"Ma ...! Macak mie ...!" seru Arga kecil sambil menghampiriku.

"Mau makan mie?" tanyaku sambil menatap lembut wajah puteraku.

"He-em." Ia mengangguk. Tak sabar meminta aku memasakkan mie instan untuknya.

Hari ini masih bulan puasa. Tidak ada makanan lain yang kubuat di dapur selain nasi. Itu pun tidak banyak. Hanya masak satu gelas untuk aku sahur dan makan kedua anakku yang belum berpuasa.

Aku bergegas menuju dapur. Sayangnya, tidak ada mie instan yang bisa aku masak. Karena kesibukanku mengurus rumah sambil bekerja, membuat aku kerap lupa menyetok makanan untuk anak-anakku.

Aku bergegas meraih dompet yang aku letakkan di atas lemari dapur.

"Sial!" umpatku dalam hati. Di dompetku, hanya ada selembar uang dua puluh ribuan. Hanya tinggal ini saja sisa uangku dan harus aku bagi-bagi untuk keperluan lain.

Sebagai seorang penjahit kecil, penghasilanku tidak seberapa. Tidak setiap hari mendapatkan pelanggan, tidak setiap hari pula aku mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari anakku.

Terkadang, aku masih harus pinjam uang pada adikku agar aku bisa membelikan sekaleng susu untuk Arga. Dia sangat suka susu cokelat. Dan dia tidak mau diberi susu formula meski rasa cokelat. Maybe, dia tahu kemampuan mamanya hanya bisa membelikan susu kaleng yang harganya cuma sepuluh ribuan.

Karena sisa uangku yang menipis dan tidak tahu kapan akan mendapatkan uang lagi, aku harus membagi uang dua pulih ribu ini untuk kebutuhan makan beberapa hari ke depan. Entah sampai kapan. Sampai aku bisa mendapatkan uang lagi dari hasil menjahit yang tidak bisa aku tentukan jumlahnya.

Akhirnya, aku memilih untuk membelikannya Mie Gelas saja. Kenapa? Karena harganya murah dari mie instan biasanya. Ini juga cukup untuk makan Arga karena aku selalu menambahkan nasi supaya dia bisa kenyang.

Di saat seperti ini, uang dua puluh ribu memanglah harus cukup untuk beberapa hari. Aku tidak begitu banyak keperluan. Semua keinginanku masih bisa aku tahan. Tapi kebutuhan anak-anakku, aku tidak mungkin tega menahannya. Setiap hari, aku masih bisa bersyukur karena bisa berbuka dengan segelas teh hangat dan dua butir kurma. Itu saja. Tidak banyak makanan yang aku beli saat Ramadan. Karena aku juga sedang berlatih menahan nafsu (keinginan) untuk memakan banyak makanan yang padw akhirnya lebih sering mubazir.

Kata orang, berkah bulan Ramadan adalah ketika kita makan sahur sedikit, berbuka puasa sedikit, tapi perut kita selalu kenyang dan tidak merasa sedang menjalankan ibadah puasa. Jauh berbeda dengan kondisi kita saat sedang tidak berpuasa.

Karena itulah aku bisa menjadi lebih berhemat pengeluaran. Tidak banyak biaya yang aku keluarkan untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, uang dua puluh ribu ini pasti cukup untuk bertahan beberapa hari ke depan.
Aku belikan saja mie gelas untuk Arga supaya dia bisa tetap makan, bisa tetap kenyang dan tidak rewel karena tidak ada makanan lain yang bisa ia makan.

Sederhana saja, tapi itu sudah cukup membuatku bahagia. Setidaknya, aku tidak membiarkan anak-anakku kelaparan. Aku juga tidak takut kalau keluarga kecilku akan kelaparan karena aku percaya kalau Allah akan selalu ada untukku dan menolong anak-anakku.

Ramadan tahun lalu, ketakutan ini pernah membayangiku. Bagaimana jika aku tidak bisa memberikan makanan dan pakaian yang layak untuk anak-anakku? Bagaimaba jika aku tidak bisa memberikan pendidikan yang baik dan berkualitas untuk anak-anakku kelak.

Sebab, semuanya harus aku tanggung dan pikul seorang diri. Hingga akhirnya Ramadan kali ini menjadi Ramadan pertama kali yang aku jalani bersama dengan dua anakku saja sebagai seorang single mom. 

Aku tidak sedih. Aku bahkan selalu tersenyum pada anak-anakku meski mereka hanya bisa makan dengan sesuap nasi dan garam, nasi dan kecap atau nasi dengan ikan asin. Rasanya, hidupku lebih berarti dan berharga. Setidaknya, tidak ada lagi belati yang menusukku dari belakang saat kedua tanganku sedang berdarah-darah memperjuangkan masa depan anak-anakku, memperjuangkan mereka agar bisa hidup layak dan diterima dengan baik di masyarakat. 

Aku sendiri sudah lelah dikucilkan, dihina dan dipandang sebelah mata karena terlahir dari keluarga miskin. Itulah sebabnya, aku tidak ingin anak-anakku juga dipandang sebelah mata oleh teman-teman sebayanya. Aku ingin, mereka bisa menjalani hidup normal, bersosialisasi dengan baik dan mendapatkan banyak cinta dari orang-orang di sekelilingnya.


Meski hari ini aku hanya bisa memberi makan mie gelas untuk Arga, tapi aku yakin kalau Tuhan akan memberi rezeki lain hingga bisa membuatnya merasakan nikmatnya makan daging.


Untuk para single mom yang sedang berjuang di luar sana, jangan menyerah!
Ingatlah! Anak-anak akan tetap bahagia bersama ibunya. Mereka akan tetap bahagia meski tidak pernah melihat ayahnya. Sebab, ibu juga bisa menjadi sosok ayah yang sempurna untuk anak-anaknya dalam memberikan kebutuhan dan kasih sayang. 

Be Strong!
Karena Mie Gelas untuk Arga ini adalah semangatku untuk bisa memberikan hal yang lebih baik lagi untuk esok hari.



Terima kasih sudah bersedia membaca ceritaku ...!
Jangan bersedih!
Karena aku menuliskan kisah ini dengan senyuman dan harapan yang lebih baik lagi di masa depan.



Much Love,


Rin Muna


Thursday, July 22, 2021

Jangan Kembalikan Suamiku!


“Mas, tagihan air bulan ini seratus enam puluh lima ribu. Ini hari terakhir pembayaran. Aku nggak punya uang sama sekali karena sudah dua bulan nggak kerja,” tuturku pagi itu.

 

Ya, itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan sebelum suamiku tiba-tiba pergi lagi dari rumah. Ini bukan pertama kalinya, sudah berkali-kali dia seperti itu.

Saat aku tidak punya uang dan pekerjaan untuk menghidupi dia dan anak-anak, dia akan pergi begitu saja. Dia bilang, mau pergi ngojek ke kota sebelah. Kota tempat tinggal orang tuanya. Berharap bisa pulang dengan membawa uang. Tapi ... tetap saja, yang terjadi adalah itu-itu saja. Dia tidak pernah pulang dengan membawa uang, apalagi memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Bahkan, untuk membelikan satu buah es krim saja, dia lebih memilih membiarkan anak-anaknya menangis.

 

Kejadian hari ini, persis dengan yang terjadi dua tahun lalu. Saat itu, aku juga benar-benar tak punya uang. Hanya punya uang dua puluh ribu rupiah saja. Aku sendiri tidak tahu, selembar uang hijau itu akan bertahan berapa lama untuk jajan puteriku. Saat itu juga, suamiku minta uang untuk beli rokok dan bensin. Aku tidak bisa memberinya karena uang yang aku punya hanya cukup untuk jajan anak besok.

Sementara, aku tidak punya pekerjaan tetap. Suamiku juga tidak pernah bekerja. Setiap hari hanya berdiam diri di rumah, bermain game hingga larut malam, baru bangun tidur di siang hari.

Hari itu, dia marah besar karena aku tak bisa memberinya uang. Tanpa berkata apa-apa, dia tiba-tiba pergi dari rumah. Meninggalkan aku dan puteriku begitu saja selama setahun. Tanpa memberi nafkah bulanan. Dia hanya pulang jika ingat pada puterinya. Meninggalkan uang seratus ribu rupiah untuk waktu yang tidak bisa diperkirakan. Bisa untuk sebulan, dua bulan bahkan setahun.

Bagaimana aku bisa menghidupi puteriku hanya dengan uang seratus ribu itu? Sementara, aku tidak punya pekerjaan tetap. Aku terpaksa berhenti bekerja karena ingin mengurus anak. Berharap jika suamiku bisa menggantikan posisiku sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Sayangnya, dia malah memilih untuk melepas tanggung jawabnya. Membuatku terpaksa masih harus memenuhi kebutuhan keluargaku seorang diri.

 

Hal yang lebih menyakitkan lagi, aku hamil saat suamiku tak pernah pulang ke rumah selama hampir satu tahun. Saat lima bulan kepergian suamiku, aku juga baru mengetahui kalau aku sudah hamil lima bulan juga. Rasanya seperti dicambuk ribuan kali. Sangat sakit karena aku harus dibebani oleh anak lagi, sementara satu anak dan empat orang tua yang aku hidupi, belum tahu bagaimana masa depannya.

Awalnya, aku ingin memilih bercerai. Menghidupi dua anakku sendiri saja tanpa harus terbebani oleh suami yang tidak mau memberi nafkah, tidak juga mau membantu mengurus rumah dan anak-anak. Aku ingin fokus bekerja dan menghidupi anak-anakku. Sayangnya, keinginanku untuk bercerai tidak bisa terpenuhi. Semua buku nikah dan surat-surat penting dibawa pergi suamiku. Membuatku kesulitan untuk melayangkan gugatan perceraian.

Saat itu juga, keluarga memintaku menyuruh suamiku pulang. Dengan berat hati, aku menghubungi suamiku. Memberitahu kehamilanku dan membuat keluarga kami utuh lagi. Meski harus mengorbankan seluruh perasaanku. Aku rela melakukannya demi anak dan keluarga. Demi menutupi bahwa keluarga kami dalam keadaan baik-baik saja.

Hingga anak keduaku terlahir. Suamiku masih tidak memberi uang sepeser pun. Biaya lahiran, semuanya harus kutanggung sendiri. Terpaksa meminjam uang pada teman atau tetangga yang bersedia membantu. Aku hanya menjadi penjahit kecil sejak berhenti bekerja dari perusahaan. Pendapatanku tak tentu. Tidak setiap hari ada yang datang untuk menjahitkan pakaiannya.

Meski aku kesulitan, aku tidak ingin terlihat sulit di depan keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku ingin, tetap terlihat baik-baik saja sampai hari ini. Sampai aku benar-benar tak mampu lagi menahannya.

 

Ya, hari ini ... aku putuskan untuk bercerita. Sebab, aku tak mampu lagi menahan rasa sakit yang begitu dalam. Aku takut, aku justru mengakhiri hidupku sendiri karena tak punya tempat untuk bersandar dan berbagi.

Masih ada dua anakku, nenek-kakek yang harus aku hidupi dan kedua orang tuaku yang sudah tak bekerja lagi. Aku masih ingin membahagiakan mereka. Masih ingin hidup lebih lama dan mencurahkan semua rasa sakitku dengan bercerita.

 

Jika hari ini aku memutuskan untuk menuliskan kisah pelik ini. Itu semua karena aku ingin semua orang bisa mengambil pelajaran hidup dari apa yang aku alami.

Menikah dengan orang yang belum benar-benar kita kenal, memang sangat berisiko. Karena, kita tidak pernah tahu bagaimana dia akan memperlakukan kita.

Aku menikah tanpa pacaran dan menjadi bagian dari wanita yang tidak beruntung di dunia. Bukan karena aku tidak bersyukur, tapi karena memang hidup ini telah banyak menyesatkanku. Dia bukan hanya tidak memberi nafkah ekonomi, tapi juga tidak memberi nafkah pendidikan, moral dan spiritual untuk keluarga kami.

Kata orang, jodoh adalah cermin. Membuatku terus berpikir dan putus asa. Betapa buruknya aku hingga aku mendapatkan jodoh yang begitu tidak bertanggung jawab.

Hari ini ... kejadian itu terulang kembali. Dia kembali pergi saat aku sudah tidak punya uang, sudah tidak bekerja menghasilkan uang lagi dan sakit-sakitan.

Saat ini, aku sedang berada di titik “Hidup segan, mati tak mau”.

Aku tak punya semangat untuk hidup, apalagi menghidupi anak-anakku.

Setiap hari yang aku pikirkan adalah ... bagaimana aku bisa bercerai dengan suamiku sendiri. Aku ingin bisa tenang menghidupi anak-anak dan keluargaku tanpa terhalang status pernikahan. Sementara, semua tanggung jawabnya sebagai seorang ayah tak pernah terpenuhi.

Aku bahkan terus-menerus membayat tagihan bpjs atas nama suamiku dan mengorbankan satu anakku karena aku tahu, aku tidak akan mampu membayar lebih jika ditambah satu anggota keluarga lagi.

Rasanya sakit sekali ketika aku memohon agar dia mau mengeluarkan uang untuk membayar bpjs keluarga. Tapi dari mulutnya malah keluar kalimat “Nggak perlu bayarin punyaku! Bayar aja punya kamu dan anak-anak!”

Itu adalah kalimat menyakitkan ke sekian kali dari mulutnya. Membuatku sangat sakit. Bahkan, untuk membayar bpjs dirinya sendiri saja, dia tidak mau. Bagaimana dengan nasibku dan anak-anak saat aku sudah tidak bisa bekerja lagi?

Saat aku sudah sakit-sakitan. Dia terus mengabaikanku. Bahkan, aku dan anak-anakku dibiarkan kelaparan karena dia tidak bisa masak dan tidak bisa cari uang untuk kami. Jika tidak tinggal dengan orang tuaku, mungkin aku dan anak-anakku akan dibiarkan mati begitu saja agar tidak jadi beban hidup suami.

Sialnya lagi, orang tuaku membiarkan semua ini terjadi. Meski suami sampai mencekik aku di depan nenekku sendiri, mereka semua bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa denganku. Kata mereka, pria ini adalah pria pilihanku. Aku tidak boleh menyesalinya.

Sungguh, aku sudah menyesalinya sejak setahun pernikahan kami. Aku menyesal karena memaksakan diri menerima lamaran karena desakan dari nenekku yang sudah tua. Setiap hari, dia selalu bilang ... ingin melihatku menikah dan punya anak sebelum dia meninggal. Aku tidak memedulikan diriku sendiri. Terlalu gegabah menerima pinangan dari pria yang – aku sendiri sudah meragukannya sejak awal.

Menikah tanpa pacaran, mungkin memang baik. Tapi sebaiknya kita lebih mengenal lebih jauh orang yang akan menjadi masa depan kita. Sebab, akan berlaku selamanya. Menyesal pun, tidak akan mengubah jalan hidup kita.

Saat ini, aku sedang berada di titik putus asa. Aku selalu berserah diri pada Tuhan dan meminta semua baik-baik saja. Tapi rasa sakit ini tidak bisa dipungkiri. Di kepalaku, seolah ada seseorang yang memerintahkan aku untuk mengakhiri hidup. Aku benci keadaan ini. Aku benci melawan ketidakmampuanku sendiri.

 

Saat suamiku pergi begitu saja tanpa pesan untukku, hanya berpesan pada anak bahwa dia akan mencari uang. Meski aku tahu, seminggu, sebulan atau setahun lagi ... dia tidak akan pernah memberikan aku uang untuk hidup. Aku tetap harus bertahan hidup dan membuat anak-anakku tetap hidup.

 

“Ya Tuhan ... jangan kembalikan suamiku!”

 

Doa terburuk yang pernah aku panjatkan seumur hidup. Setelah selama tujuh tahun aku berdoa agar suamiku diberi hidayah dan menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku tidak berniat untuk mencari pengganti dia dalam hidupku. Rasanya sudah sangat sakit. Jika Tuhan mengabulkan doa terakhirku, aku hanya ingin hidup tenang dan damai bersama dua anakku. Meski berjuang seorang diri, setidaknya beban terbesar dalam hidupku bisa lepas. Karena masih ada tangan-tangan kecil yang menggantungkan jemarinya di tanganku. Jika dia bijak dan ingin membahagiakan anak-anak, dia pasti akan dengan ikhlas melepasku menjalani kehidupanku sendiri.

Kuingin ... bahagiaku tanpa dia. Kuingin ... dia tidak pernah kembali dalam hidupku dan anak-anakku. Kuingin  bisa memberikan kehidupan untuk anak-anakku. Sedangkan dia, masih bisa mencari kehidupannya sendiri. Aku hanya ingin melepas ikatan yang sudah terlalu erat hingga menyakitiku tanpa jeda.

 

 

 

 ............

Ambillah pelajaran dari tulisan ini ...!

Karena banyak hal yang tidak bisa kita pilih di dunia ini. Banyak hal yang membuat kita menyesal, tapi hidup tetap harus berjalan...


......


Story by Rin Muna



Sunday, May 9, 2021

Secret Beloved - Vella Nine

 


“Secret Beloved”

A short story by Vella Nine


 

 

 

“Hei ...!” Rara langsung menyenggol lenganku saat aku sedang duduk di tepi lapangan.

Lapangan futsal di sekolah disulap menjadi panggung pensi usai ulangan semester. Aku salah satu siswa yang tidak pernah ketinggalan hadir di setiap harinya.

“Eh, kamu kenapa sih? Dari tadi ngelamun terus?” tanya Rara sambil duduk di sampingku. Ia menyodorkan kantong plastik berisi es teh ke hadapanku.

Aku langsung meraih es teh tersebut. Ini pertama kalinya aku melamun di tengah-tengah keramaian. Ah, entah berapa orang yang menyadari lamunanku. Kurasa, hanya Rara seorang dari sekian ratus siswa.

“Kamu nunggu Kak Ian tampil lagi?” tanya Rara sambil menatap panggung yang sedang mempersembahkan tarian daerah khas Aceh.

Aku menggelengkan kepala.

“Halah, ngaku aja! Abis ini, jadwalnya Kak Ian tampil main tingkilan loh,” tutur Rara.

Aku hanya tersenyum kecil. Entah kenapa, kali ini aku tidak begitu bersemangat melihat penampilan Kak Ian. Apa karena kejadian dua hari lalu ...???

Kak Ian termasuk cowok paling populer di sekolah. Dia tidak seganteng Li Hongyi, tapi menjadi favorite semua cewek di sekolah karena sifatnya yang humble dan banyak terlibat dalam kegiatan sekolah.

Kak Ian, pemilik nama asli Satria Satwika itu tidak hanya terampil memainkan musik tradisional tingkilan asal Kalimantan. Ia juga vokalis dan gitaris salah satu band ternama di kota ini. Selain di dunia musik, Kak Ian aktif menjadi komandan paskibraka sekolah, menjadi wakil ketua osis, juga aktif dalam kegiatan rohani di sekolah.

Siapa yang tidak mengenal Kak Ian di sekolah dengan kegiatan dan organisasinya yang seabrek itu? Bahkan, anai-anai penghuni perpustakaan yang tidak pernah keluar dari ruang perpustakaan pun mengenal Kak Ian.

 

Semua cewek di sekolah mengagumi Kak Ian walau kelakuannya slengean dan penampilannya selalu berantakan. Tidak pernah memasukkan baju ke dalam celananya, bahkan memakai topi pun asal nempel di atas kepalanya. Kalau soal kerapian pakaian, sudah pasti nilanya di bawah angka lima puluh.

 

Aku juga tidak mengerti kenapa aku menjadi deretan cewek yang ikut mengagumi Kak Ian. Yah, sekedar kagum saja. Bukan karena menyukai sosok cowok berkulit sawo matang yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua sentimeter itu.

 

 

Dari mana aku tahu tinggi badan Kak Ian seakurat itu? Ah, sepertinya rasa kagumku ini bukan hanya karena kegiatan organisasi dan prestasi-prestasi yang sudah ia ukir. Tapi, mulai memerhatikan kehidupan pribadinya. Aku sangat mengetahui ukuran nomor sepatu, ukuran kemeja dan celananya, makanan favoritnya juga tempat dia biasa nongkrong bersama teman-temannya.

 

“Woy ... masih aja ngelamun!” Rara berteriak tepat di telingaku.

 

“Sialan kamu!” makiku sambil menutup kuping. “Kupingku sampe ‘peng-peng-peng’ kayak gini. Kalo gendang telingaku pecah gimana?”

 

“Hahaha. Abisnya ngelamun terus,” tutur Rara. “Eh, itu Kak Ian. Cakep banget!” seru Rara sambil menunjuk ke arah panggung.

 

Aku hanya tersenyum kecil. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kak Ian. Sejak pertama masuk sekolah hingga aku duduk di kelas sebelas, aku sudah mengagumi Kak Ian seperti yang dilakukan oleh semua cewek di sekolah. Satu setengah tahun, cukup untuk mengetahui banyak hal tentang Kak Ian.

 

Dua hari lalu, aku dihadapkan dengan keadaan yang membuatku menjadi canggung, malu dan tidak punya nyali menghadapi Kak Ian. Aku terus membayangkan bagaimana seluruh cewek di sekolah menyerangku karena mereka mengetahui apa yang telah terjadi antara aku dan Kak Ian.

 

“Rin ...! Maurin!” Rara kembali menyadarkan lamunanku. Aku langsung menoleh Rara yang duduk di sampingku.

 

Rara menunjuk-nunjuk seseorang dengan bola matanya. Aku langsung menatap sepasang kaki yang sudah ada di hadapanku. Aku menengadahkan kepala menatap sosok pria pemilik kaki tersebut.

 

Oh ... Tuhan! Berapa lama aku melamun tentang Kak Ian? Kenapa aku terlarut dalam lamunan yang begitu lama hingga aku tidak menyadari penampilan Kak Ian kali ini. Lebih parahnya lagi, aku tidak menyadari kalau Kak Ian sudah berdiri di hadapanku.

 

Kak Ian melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.

Aku langsung gelagapan begitu menyadari kehadirannya. Oh, tidak! Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat ini. Otakku terasa sangat kacau. Sepertinya, aku telah melakukan hal yang memalukan.

“Ayo!” Kak Ian tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

“Eh!? Ke mana?” tanyaku bingung.

“Pulang.”

Rara membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Kak Ian. “Rin, kamu diajak pulang sama Kak Ian. Ini kesempatan langka, buruan!” bisiknya di telingaku.

“Mmh ... aku belum mau pulang. Tunggu pensi kelar,” jawabku sambil tersenyum ke arah Kak Ian.

“Tapi kita sudah janji sama mama kamu kalau ...”

Aku langsung bangkit dan membungkam mulut Kak Ian. “Jangan bilang apa pun tentang hubungan kita di sini!” pintaku berbisik.

“Kenapa?” tanya Kak Ian sambil menggenggam pergelangan tanganku.

Aku mengedarkan pandanganku. Semua mata tertuju pada kami berdua. Aku tidak sanggup menjadi pusat perhatian banyak orang. Terlebih, Kak Ian punya banyak penggemar. Aku tidak ingin semua orang tahu kalau ... kalau ... kalau aku dan Kak Ian punya hubungan lain di luar sekolah.

“Eh!?” Aku terkejut saat tangan Kak Ian menarik kuat pergelangan tanganku dan membawaku keluar dari kerumunan banyak orang.

“Kak, lepasin!” pintaku saat kami tiba di lorong yang sepi. Aku berusaha melepas pegangan tangan Kak Ian yang begitu erat.

Kak ian melepas tanganku dan berbalik menatap wajahku. “Kenapa?”

“Aku malu diperhatikan banyak orang.”

“Kamu malu punya pacar kayak aku?”

“Kita nggak pacaran,” sahutku cepat.

“Rin, aku nggak ngerti sama kamu. Semua cewek di sekolah ini pengen jadi pacarku. Kenapa kamu malah nggak mau sama aku?”

Aku menggelengkan kepala. “Kak, hubungan kita karena perjodohan orang tua. Bukan karena kita saling mencintai. Aku tahu, Kakak seperti ini karena aku nggak enak sama orang tuaku. Aku bakal mengatasi mereka supaya perjodohan kita dibatalkan.”

“Kenapa kamu pengen perjodohan ini batal?” tanya Kak Ian.

“Karena aku nggak mau punya hubungan sama seseorang yang nggak sayang sama aku. Lagipula, aku masih kelas dua SMA. Perjalanan kita masih panjang. Bisa aja suatu saat nanti, kita bertemu sama orang yang benar-benar kita cintai.”

“Apa aku pernah bilang kalau aku nggak sayang sama kamu?”

Aku menggelengkan kepala. “Kamu juga nggak pernah bilang kalau kamu sayang sama aku,” jawabku sambil tersenyum.

Kak Ian merogoh saku celana dan mengeluarkan kain merah dari sakunya. “Ini punya kamu kan?” tanya Kak Ian sambil menunjukkan syal paskibra di tangannya.

Aku menggelengkan kepala. “Banyak yang punya syal kayak gitu.”

“Di sini, ada bordiran nama Maurin,” tutur Kak Ian sambil mendekatkan tubuhnya.

Aku melebarkan kelopak mataku. Ia hampir lupa kalau syal paskibra miliknya memang pernah ia pinjamkan kepada Kak Ian setahun lalu. Pantas saja, aku terus mencari dan tidak bisa menemukan syalku.

Aku meringis ke arah Kak Ian. “Kakak ambil aja! Aku bisa beli lagi, kok.”

“Rin, aku nggak ngembalikan syal kamu bukan karena aku nggak mampu beli syal lagi atau nggak punya syal lain. Setiap aku paskibra, aku selalu pakai syal ini sambil melihat kamu dari jauh.”

Aku terdiam. Masih tidak mengerti maksud dari ucapan Kak Ian.

“Sejak kamu ngasih pinjam syal ini, aku udah suka sama kamu. Aku cuma nggak tahu gimana caranya bisa deketin kamu di sekolah. Bahkan aku nggak punya keberanian buat nyapa kamu, Rin. Aku bahagia banget saat tahu orang tua kita bersahabat dan mempertemukan kita.”

Aku langsung menatap wajah Kak Ian. “Benarkah dia menyukaiku sejak setahun lalu?”

“Aku nggak mau perjodohan kita batal. Aku mau kamu dari dulu. Aku nunggu lama banget buat dapetin kesempatan ini. Kesempatan buat deket sama kamu. Bisa nggak kalau kita ... pacaran bukan karena perjodohan itu?”

“Maksud Kak Ian?”

“Aku sayang sama kamu, jauh sebelum kita dijodohkan. Aku nggak bisa terus-terusan memerhatikan kamu dari kejauhan. Aku pengen jadi orang yang paling dekat sama kamu.” Kak Ian menyentuh lenganku. “Seperti ini ...” Ia menempelkan dahinya ke dahiku.

Oh ... My God! Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku. Apa jantungku sudah lepas dari tempatnya? Apa jantungku masih berdetak? Kenapa aku tidak bisa mengatakan apa pun saat menatap wajahku yang tergambar jelas di dalam manik matanya.

Perasaanku tak karuan, telapak tanganku gemetaran, berusaha mencari sesuatu untuk bisa menopang tubuhku agar tidak terjatuh. Tanpa sadar, aku langsung memeluk punggung Kak Ian saat bibirnya berhasil membuat seluruh tubuhku membeku.  Oh ... God! Ciuman pertamaku ...

 

 

(( Selesai ... ))

 

Terima kasih sudah membaca. Ini adalah cerpenku yang ke ...? Ah, entahlah. Aku tak pernah menghitungnya. Kalau suka sama ceritanya, silakan komen di bawah biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

-Vella Nine-

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, February 11, 2021

Cerpen | Tegar

 


Aku berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Ku nikmati semilir angin kecil yang meniup rambutku perlahan. Sambil mendengarkan lagu-lagu melow dari earphoneku.  Ku pandangi jauh sinar mentari di tengah lautan yang hampir meredup, bersembunyi ke peraduannya. Sesekali aku memainkan pasir-pasir yang kupijak dengan kakiku. Aku teringat akan masa laluku, saat aku kehilangan orang yang sangat aku cintai. Di pantai inilah tempat terakhir aku bertemu dengannya, sebelum ia pergi jauh meninggalkanku.

Tiga tahun lalu di  Pantai ini…

“Bee… jangan sedih!  Semua akan baik-baik saja,” ucap Raka yang selalu memanggilku dengan panggilan “Bee”.

“Tapi kamu pasti kembali lagi kan?” tanyaku tak dapat menahan air mata yang telah terbendung sejak beberapa menit yang lalu.

“Iya…  aku janji akan kembali lagi buat kamu. Kamu akan setia menungguku kan?” tanya Raka.

“Aku pasti setia menunggu kamu, tak perlu  kamu memintanya, aku pasti akan setia untukmu.” jawabku sambil bersandar di bahunya.

“Terima kasih Bee… aku harap cinta kita kan tetap abadi, dan kita bisa bertemu kembali.” tutur Raka perlahan.

“Aku tak berharap seperti itu, aku berharap kita  tak pernah  berpisah.” sahutku sambil menangis.

Raka memelukku erat, membiarkan aku menangis di pelukannya. Memberikan aku begitu banyak kekuatan untuk bertahan dengan kesetiaanku.  Dia berusaha memberikan aku kekuatan untuk dapat berpisah dalam jarak yang jauh, memberiku ketegaran saat menyaksikan kepergiannya di Bandara. Dia berikan aku keyakinan bahwa suatu saat dia pasti akan kembali untukku… Setahun berlalu…  semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi tidak setelah kehidupanku berubah. Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku harus pindah dari rumahku dan tinggal bersama nenekku. Selang beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan Raka karena handphoneku hilang saat aku di jalan. Hingga dua tahun lebih berlalu, aku tak pernah mendapatkan kabar tentang Raka. Aku bukan lagi gadis yang istimewa yang dikenal Raka. Aku tak punya apa-apa lagi  saat Bisnis ayahku mengalami kebangkrutan. Apalagi setelah beberapa bulan Ayahku bangkrut, beliau harus meninggal bersama dengan ibuku tercinta.

“Hai…”! teguran seseorang membuyarkan lamunanku tentang masa laluku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena aku tak mengenalnya.

“Kenapa melamun sendirian di sini?” tanya orang itu.

“Tidak apa-apa, hanya ingin menikmati semilir angin sore di sini.” sahutku.

  Oh…ya? Tapi sepertinya kamu tak menikmatinya?” sahut lelaki itu.

“Maksudnya?” tanyaku heran.

“Raut wajahmu menyimpan kedukaan, bisakah kamu berbagi denganku?” pinta lelaki itu.

Aku memandangi wajah lelaki itu dengan seksama, tapi aku tak mengenalnya.

“Maaf… aku harus pulang sekarang.” jawabku sambil meraih sandal yang sengaja ku letakkan di sampingku.

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapinya.

Aku harus bergegas pergi karena nenekku sedang sakit, aku harus kembali ke rumah untuk merawatnya. Aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama.

“Nenek… sudah minum obat?” tanyaku pada nenek.

Nenek hanya mengangguk di atas pembaringannya. Aku memeriksanya dan memberikannya makan terlebih dahulu.

“Ya ampun,,, obat nenek habis.” celetukku dalam hati.

Aku harus bagaimana? Aku sudah tidak punya uang lagi untuk membeli obat, hutang di warung untuk makan sehari-hari pun belum bisa aku lunasi.

“Kamu tidak usah membelikan obat lagi untuk nenek ya!” pinta nenek yang menyadari keadaanku.

“Nggak Nek, nenek harus tetep minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku kembali.

“Nenek tahu, kamu pasti tidak punya uang  untuk membeli obat.” ucap nenek.

“Ada Nek.” jawabku berbohong.

“Kamu jangan berbohong pada nenek, nenek sudah tahu semuanya. Nenek sudah agak baikan, tidak perlu minum obat terus.” jawab nenek.

“Nenek jangan begitu, nenek harus tetap minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku.

“Nenek tidak apa-apa, lebih baik uangnya untuk melunasi hutang-hutangmu di warung Bu Riah.” sahut Nenek.

“Nenek tau darimana kalau…?” ucapanku terhenti.

“Tadi  Bu Riah ke sini menagih hutang. Kenapa kamu tidak bilang sama nenek kalau kamu sudah tidak bekerja lagi?” tanya Nenek lembut.

“Maafkan aku Nek, aku tidak bermaksud membohongi Nenek, aku hanya tidak ingin menjadi beban pikiran Nenek. Aku memang sudah tidak  bekerja lagi beberapa bulan ini, Aku belum dapat penggantinya Nek.” ucapku lirih.

“Sudahlah, kamu tidak usah memikirkan nenek. Nenek ini memang sudah tua, sudah sakit-sakitan, memang sudah waktunya nenek kembali pada Tuhan.” ucap Nenek perlahan.

Aku menghambur ke pelukkan Nenek. “Nggak Nek! Nenek nggak boleh pergi. Nenek nggak boleh tinggalin Riby sendirian. Riby nggak punya siapa-siapa lagi selain nenek.” isakku di pelukkan Nenek.

“Kamu ini cucu nenek yang paling hebat! Nggak boleh nangis. Nenek ini semakin lama semakin tua, wajar saja kalau Nenek sakit-sakitan. Seandainya Nenek pergi,  itu karena  Allah menyayangi nenek dan kamu.” ucap nenek perlahan sambil mengusap air mataku.

Aku menangis terisak. Aku tak sanggup jika harus hidup sebatang kara. Aku  tak punya kakak, tak punya adik, tak punya orangtua. Haruskah aku kehilangan  Nenek yang selama ini hidup  bersamaku. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Kenapa begitu banyak cobaan yang di berikan Tuhan. Sekuat apapun aku mencoba bertahan dengan kepedihan ini, suatu saat aku pasti  akan terjatuh. Aku sangat lelah dengan semua ini. Tuhan… Aku  mohon panjangkan umur  Nenekku… Jangan biarkan aku  seorang diri menghadapi cobaan ini. Dan jika memang harus Engkau ambil Dia, tempatkanlah Ia di surga terindahmu Ya Allah. Tempatkanlah ia  bersama kedua orang tuaku….

Aku memeluk tubuh nenek dengan erat. Aku tak ingin kehilangan dia. Dia yang selama ini telah menemani dan memberikan aku ketegaran serta kekuatan untuk menjalani hidup ini.

Aku berjalan perlahan ke warung Bu Riah. Aku harap dia mau berbaik hati memberikan hutangan untuk makan besok.

“Permisi Bu…!” sapaku ketika sampai di warung Bu Riah.

“Eh… Riby… mau bayar hutang ya?” tanya Bu Riah sinis.

“Maaf Bu, saya belum bisa bayar hutangnya.” jawabku pelan.

“Oh… jadi ke sini mau hutang lagi ya?” tanya Bu Riah dengan nada tinggi.

Aku mengangguk perlahan. Aku tertunduk malu. Sebenarnya aku sangat malu harus berhutang terus. Tapi harus kulakukan, karena nenek butuh obat dan makan. Sementara aku tak punya pekerjaan.

“Enak aja…!” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Kamu itu nggak punya malu ya! Hutang kamu sudah terlalu banyak. Kapan kamu bisa membayarnya? Warung saya bisa bangkrut kalau kamu tak pernah membayar hutang-hutangmu.” bentak  Bu Riah di depanku.

Air mataku menetes perlahan. Aku malu sekali  dengan ibu-ibu tetangga yang memandangku.

“Bu… tolong  saya  Bu, nenek saya sedang sakit. Dia butuh makan dan butuh  obat.” rengekku sambil bersungkur di kaki Bu  Riah. Aku tak peduli semua orang berkerumunan melihatku.

“Eh…! Saya nggak peduli dengan nenekmu yang sudah bau tanah itu. Kamu pikir warung saya ini lembaga sosial?” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku.

“Ibu…! Saya mohon Bu…!” pintaku sambil memegangi kembali kaki Bu Riah dan bersujud memohon.

“Aaaarghh…!” teriak Bu Riah sambil menendang wajahku.

Aku sontak kaget dengan apa yang dilakukan Bu Riah padaku. Aku tak menyangka dia akan semarah ini padaku. Aku sadar, sudah terlalu banyak hutangku pada  Bu Riah. Tapi haruskah ia menendang wajahku seperti  ini.

“Pergi kamu dari warung saya!” usir Bu  Riah.

Orang-orang hanya memandangiku, mereka tak berani untuk membelaku.

“Astagfirullah…Riby..!” tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya memelukku.

“Oh… ternyata ada juga yang kasihan  sama anak ini!?” teriak Bu Riah. “Bawa pergi bocah ini  dari sini!” pintanya.

“Tidak  seharusnya ibu bersikap seperti ini pada Riby!” ucap Bu Ratih sambil mengusap darah yang keluar dari mulut dan hidungku.

“Memangnya kamu bisa apa? Apa kamu bisa membayarkan semua hutang anak ini?” tanya Bu  Riah.

“Saya memang tidak sekaya kamu, tapi  perlakuan kamu  ini salah. Saya bisa laporkan kamu ke polisi.” sahut Bu   Ratih.

“Apa? Jadi kamu menyalahkan saya? Mau menjebloskan saya ke penjara? Haahaahahaa… Nggak mungkin bisa! Saya punya uang banyak, hukum bisa saya beli.” sentak  Bu Riah.

“Astagfirullah… Istigfar Bu…! Ibu itu sudah kelewatan. Kesombongan Ibu itu yang akan menjatuhkan  Ibu nantinya.” tutur  Bu  Ratih.

Bu Riah tersenyum sinis. “Kamu itu orang miskin! Nggak berguna. Lebih baik kamu pergi dari sini! Bikin kotor tempat saya aja!”

“Keterlaluan…!” sentak seseorang dengan tiba-tiba dengan nada tinggi.

“Oh… ternyata ada yang bela kamu lagi Rib?” tutur Bu Riah sambil melotot ke wajahku.

“Kamu  siapanya Riby?” tanya Bu Riah pada lelaki itu.

“Saya memang bukan siapa-siapanya. Tapi  saya punya hati nuraini untuk membela orang yang lemah.” jawab lelaki itu.

“Membela? Memangnya kamu bisa apa?” tanya Bu Riah sambil memandangi lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Penampilan kamu saja seperti  ini, pasti orang miskin juga ya?”

“Itu bukan urusan anda. Berapa jumlah hutang anak itu pada Ibu?” tanya lelaki itu.

“Sangat banyak!  Orang miskin seperti kamu pasti nggak sanggup buat bayar.” jawab Bu Riah sambil tertawa mengejek.

“Sebutkan saja!” pinta lelaki itu.

“Lima juta delapan ratus tiga puluh lima rupiah.” jawab Bu Riah. “Gimana? Bisa bayar? Nggak kan?” tanya Bu Riah.

“Makanya nggak usah sok pahlawan!” lanjut Bu Riah.

Lelaki itu menghela nafas sesaat, kemudian mengambil ranselnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari ranselnya.

“Apa ini cukup?” tanya lelaki itu.

Bu  Riah tersenyum riang melihat uang yang diperlihatkan oleh lelaki itu. “Ini lebih dari cukup!” sahutnya  sambil meraih uang dari lelaki itu.

Lelaki itu memperbaiki posisi ranselnya seperti semula dan menghampiriku yang terduduk lemas di samping Bu Ratih.

“Are you Fine?” tanyanya dalam bahsa inggris.

Aku mengangguk perlahan.

“Tapi wajah kamu pucat sekali.” ucapnya bergegas menggendongku.

“Di mana ada puskesmas Bu?” tanyanya pada  Bu Ratih.

“Ayo… biar saya tunjukkan. Nggak jauh dari sini.” jawab Bu Ratih.

“Nggak usah Mas! Saya baik-baik saja kok.” tuturku lirih.

Tapi lelaki itu tak memperdulikan ucapanku. Ia  tetap menggendongku sambil berjalan terburu-buru. Kepalaku terasa sangat sakit, pandanganku semakin meredup dan aku tak dapat melihat apapun. Semua terasa gelap dan aku tak mampu merasakan apapun.

“Alhamdulillah…kamu sudah sadar.” tutur Bu Ratih saat aku  tersadar.

“Aku di mana Bu?” tanyaku pada Bu Ratih.

“Kamu di puskesmas.” jawab  Bu Ratih.

Aku terdiam beberapa  saat.

“Kamu kenapa  sedih seperti itu. Kamu tidak perlu takut untuk membayar biaya puskesmas ini, semuanya sudah dibayar sama laki-laki tadi.”  tutur Bu Ratih.

“Laki-laki? Di mana dia sekarang?” tanyaku.

“Dia sudah pergi By, katanya ada urusan penting.” jawab Bu Ratih.

“Aku belum mengucapkan terima kasih padanya.” tuturku perlahan.

“Sudahlah, Ibu sudah mewakilinya. Suatu saat  kamu pasti akan bertemu lagi dengan laki-laki baik  itu. “ sahut Bu Ratih.

“Tapi aku  tidak  tahu dia siapa Bu, aku tak mengenalnya.” ucapku.

“Sungguh kamu tak mengenalnya?” tanya Bu Ratih.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Ya sudah  lah, lebih baik kita segera pulang. Kasian  nenek kamu di rumah sendirian.” ucap Bu Ratih.

Aku mengangguk dan bangkit dari pembaringan. Kami bergegas pulang setelah berpamitan dengan dokter di puskesmas ini.

Setibanya aku di rumah, aku  terkejut melihat keadaan nenekku yang tersungkur di bawah tempat  tidurnya.

“Nenek…!” panggilku sambil berusaha menyadarkannya. Tapi Nenek hanya diam membisu, tubuhnya mulai membiru.

Bu Ratih  segera memeriksa nadi nenek dan  berkata “Dia sudah tidak ada”.

“Nggak mungkin Bu.” tuturku sambil meneteskan air mata.

“Nenek, jangan tinggalin Riby sendirian. Bangun Nek!  Banguuun…!” teriakku histeris sambil memeluk tubuh nenek  dengan sangat erat. Aku terus menangis tanpa henti. Tak ada hal lain  yang kurasakan selain kesedihanku yang begitu dalam. Aku  tak tahu apa yang terjadi dengan hidupku.  Semua orang yang ku sayangi pergi  begitu saja dari hidupku.

“Sudahlah, ikhlaskanlah!” tutur Bu  Ratih perlahan  sambil mengusap rambutku dengan lembut.

# # #

Beberapa waktu aku termenung di atas  pusara nenek. Berat sekali rasanya aku meninggalkan pusara ini. Aku masih sangat  menyayangi nenekkku. Begitu banyak pengorbanan hidupnya untukku. Bahkan di sisa-sisa hidupnya pun Dia masih begitu banyak berkorban untuk  aku. Kenapa aku harus  hidup  sebatang kara. Aku tak punya kakak ataupun adik. Kedua orang  tuaku yang sangat ku  sayangipun harus pergi menghadap Tuhan. Saat ini yang aku miliki  hanya nenek  saja. Ibuku pun anak tunggal, Nenek tak punya anak lain selain Ibuku. Ayahku masih punya tiga saudara. Tapi mereka tak pernah baik pada  Ayahku dan keluargaku, entah apa alasan yang membuat mereka  tak mau mengakui Ayahku sebagai saudara mereka.

“Ayo kita pulang!” ajak Bu Ratih yang masih setia menungguku. Semua orang sudah beranjak dari pemakaman beberapa menit yang lalu.

Aku berjalan perlahan menyusuri jalan bersama  Bu Ratih. Bu Ratih sangat baik padaku sejak dulu. Beberapa kali ia meminta agar aku dan nenek tinggal  bersamanya. Tapi aku selalu menolak karena aku takut akan menambah beban hidup untuk Bu Ratih. Karena Bu Ratih hanya hidup seorang diri, suaminya meninggal dan kedua anak laki-lakinya merantau ke daerah lain.

“Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Ibu?” tanya Bu Ratih beberapa saat setelah kami sampai di  rumah.

“Tidak usah Bu, saya sendiripun  tidak apa-apa,” jawabku.

“Sungguh?”

Aku mengangguk perlahan. Untuk beberapa saat kami berbincang-bincang tentang masa lalu Bu Ratih.  Dialah yang mengajari aku kata “Tegar”. Kalau bukan dari nasehat dia, mungkin aku masih terpuruk dalam kesendirianku.

 

 Ditulis oleh Rin Muna, Maret 2012



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas