Wednesday, August 17, 2022

Bab 34 - Aku Butuh Kalian

 



Ayu menarik lengan Nanda dan membawa pria itu masuk ke dalam kamarnya. “Nan, kamu ini kenapa? Datang ke sini langsung marah-marah. Kamu nggak lihat ada Sonny, ada orang tuaku? Bisa sopan dikit?”

Nanda terdiam sambil menahan kesal di dadanya. Ia sudah tidak memikirkan hal lain lagi saat melihat istrinya itu sedang asyik bercanda dengan mantan kekasihnya. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia tetap tidak rela membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain.

“Kamu pergi dari rumah dan mesra-mesraan sama cowok lain. Sadar nggak kalau kamu sudah bersuami?” sahut Nanda kesal.

“Kamu juga sadar atau nggak kalau sudah beristri?” sahut Ayu tak mau kalah.

“Sadar, Ay.”

“YA BERUBAH, DONG!” seru Ayu.

“Gimana aku mau berubah kalau kamu kayak gini! Bukannya berbakti, malah main gila sama cowok lain saat suamimu sakit!” sahut Nanda tak mau kalah.

“Kamu yang mulai duluan, Nan. Ingat, ya! Istri itu akan memperlakukan suami sebagaimana dia diperlakukan. Aku pernah nggak baik sama kamu? Pernah nggak melayani apa yang kamu butuhkan? Pernah bohongi kamu? Aku ketemu sama Sonny di tempat umum dan nggak berdua doang. Apa yang bisa kami lakuin di tempat seperti itu? Sedangkan kamu, kamu nemuin Lita di hotel tengah malam, berduaan doang, mesra-mesraan. Kamu pernah pikirin perasaanku, hah!?” seru Ayu sambil mendorong dada Nanda hingga tubuh pria itu menghantam pintu kamarnya.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia dan Ayu memang sering berdebat, tapi baru kali ini ia mendengar Ayu bicara dengan nada yang lebih tinggi darinya. Bahkan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

“Apa yang terjadi sama kamu saat ini, harusnya bisa bikin kamu sadar. Tapi kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu, Nan. Nggak malu sama penampilan kamu sekarang? Udah pake baju koko, pake sarung kayak gini ... Tuhan lagi tegur kamu dan kamu masih belum sadar juga. Ingat, karma itu nggak pernah salah tempat! Kamu yang udah hancurin seluruh hidupku dan aku lebih bahagia lihat kamu mati!” seru Ayu sambil berlinang air mata.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu. Ia benar-benar sulit mengakui kesalahannya. Meski hatinya ingin sekali meminta maaf, tapi pikirannya tetap saja kacau setiap kali berhadapan dengan wanita ini.

“Aargh ...!” Ayu langsung berpegangan ke dinding, tangan satunya memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Nggak usah pedulikan aku!” sahut Ayu sambil menepis tangan Nanda dan berjalan merayap ke arah pintu kamarnya. Ia langsung membuka pintu tersebut.

“SON, SONNY ...! AYAH ...! BUNDA ...!” seru Ayu sambil menahan napas dan rasa sakit di perutnya.

Sonny yang duduk di sofa ruang tamu, buru-buru berlari menaiki anak tangga saat mendengar teriakan Ayu.

“Mas, itu si Roro kenapa?” tanya Bunda Rindu yang sedang di dapur bersama suaminya.

“Nggak tahu. Lagi sama Nanda di kamarnya.”

“Berantem?”

Edi menghela napas. “Aku kasihan sama puteri kita kalau setiap hari tidak bahagia dengan suaminya. Lebih baik mereka bercerai saja. Aku tidak akan menuntut Nanda dan keluarganya asal Ayu bisa hidup bahagia. Sonny juga masih mau menerima puteri kita. Dia jauh lebih baik dari anaknya Andre yang brengsek itu.”

“Nggak boleh bicara seperti itu, Mas. Roro menyayangi Nanda. Kalau tidak, dia tidak mungkin memilih bertahan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk Roro. Aku rasa, Roro Ayu sudah mulai menyukai Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari bayi yang dikandung Roro. Mereka jelas punya ikatan, Mas,” ucap Bunda Rindu sambil tersenyum menatap kue ulang tahun yang ia siapkan untuk puterinya dan melangkah keluar dari dapur bersama suaminya itu.

“Ay, kamu kenapa!?” Sonnya langsung menghampiri Ayu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Tolong aku, Son! Perutku sakit banget.”

“Kita ke rumah sakit!” ajak Sonny sambil merangkul tubuh Ayu dan memapahnya.

“Biar aku yang bawa Ayu!” pinta Nanda sambil menepis tangan Sonny dari tubuh Ayu.

“Nan, kamu jauh-jauh dari aku!” pinta Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.

Sonny tersenyum miring ke arah Nanda. “Ayu nggak mau sama kamu. Biar aku yang urus dia!” pintanya sambil merangkul tubuh Ayu kembali dan memapahnya menuruni anak tangga.

“Son, Ayu kenapa!?” seru Bunda Rindu saat melihat Ayu berjalan sambil menahan sakit.

“Perut aku tiba-tiba sakit, Ma,” jawab Ayu lirih.

“Ini ...!? Ini baru tujuh bulan. Belum waktunya lahiran,” ucap Bunda Rindu. Ia segera memberikan kue ulang tahun ke tangan Edi dan menghampiri puterinya.

“Nggak tahu, Bunda. Sakit banget!” jawab Ayu sambil menitikan air mata.

“Nan, kamu gendong Ayu, deh! Biar cepet!” pinta Bunda Rindu.

“Nggak boleh! Nanda nggak boleh gendong Ayu! Sonny aja!” sahut Ayah Edi.

“Mas, Nanda itu suaminya Ayu! Kalau Sonny bukan!” sahut Bunda Rindu.

“Aku lagi kesakitan. Kalian sempat-sempatnya berdebat?” tanya Ayu sambil menahan nyeri di perutnya.

Nanda langsung menarik tubuh Sonny agar menjauh dari istrinya. Ia merangkul pundak wanita itu dan menggendongnya. Ia mempercepat langkahnya dan membawa tubuh Ayu masuk ke dalam mobil miliknya.

“Nan, aku mau pergi sama Sonny atau ayah aja,” pinta Ayu lirih sambil menahan rasa nyeri yang semakin menyiksa.

“Kamu udah kesakitan gini, masih sempat ngajak aku berdebat?” sahut Nanda. Ia segera menutup pintu mobil dan bergegas membawa Ayu ke rumah sakit terdekat.

Beberapa menit kemudian, Ayu sudah sampai di IGD rumah sakit. Ia terus merintih kesakitan sambil memanggil nama bundanya.

“Dokter, istri saya kenapa?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa kondisi istrinya.

“Kami periksa dulu, ya! Dampingi istrinya, Mas! Kasih minum teh hangat!” jawab dokter yang ada di sana.

Nanda mengangguk. Ia ingin beranjak dari sisi Ayu, tapi wanita itu mencengkeram kuat lengannya dan membuatnya tidak bisa pergi dari sana.

“Bunda ...! Bunda ...!” Ayu terus memanggil nama bundanya sambil menahan sakit di perutnya.

“Bunda masih di jalan. Sebentar lagi pasti sampai.” Nanda berbisik di telinga Ayu.

Ayu menitikan air mata sambil menatap wajah Nanda. “Sakit, Nan.”

“Dok, tolong istri saya, dong!” seru Nanda. Pikirannya semakin tak karuan saat wajah Ayu semakin pucat.

“Sus, udah pembukaan?” tanya dokter yang ada di sana.

“Baru pembukaan satu, Dokter.”

“Dok, istriku mau melahirkan?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang ada di sana. “Kandungannya baru tujuh bulan, Dok.”

“Kita tunggu dulu sampai pembukaan berikutnya, ya!” jawab dokter itu sambil tersenyum.

“Dok, istriku ini udah kesakitan! Masa masih disuruh nunggu? Kalian bisa jadi dokter atau nggak, sih!?” sentak Nanda kesal. “Lihat! Istriku udah lemes kayak ini!”

“Kami sudah biasa menangani ibu melahirkan. Kontraksi seperti ini sudah biasa,” jawab dokter itu. Ia menoleh ke arah salah satu perawat yang ada di sana. “Pasang jarum infus untuk jaga-jaga!” perintahnya.

“Baik, Dokter!”

“Detak jantung ibunya melemah, Dokter!” seru perawat yang lainnya.

Dokter dan beberapa perawat yang ada di sana sigap mengambil tindakan untuk menstabilkan kondisi kesehatan Ayu.

“Ayu ...! Kamu bakal baik-baik aja ‘kan? Kamu kuat, Yu. Harus kuat! Demi anak kita. Aku sayang sama kalian,” bisik Nanda dengan mata berkaca-kaca. Ia meletakkan dahinya ke kening Ayu. “Aku sayang kalian. Aku butuh kalian,” bisiknya lagi.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia berusaha menyentuh pipi pria itu. Tapi rasa kantuk yang menyerangnya semakin menjadi-jadi dan membuat lengannya jatuh terkulai begitu saja seiring dengan matanya yang terpejam sempurna.

“AYU ...!”

“AY ...!”

“AYU BANGUN!”

“DOKTER ...!”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas