Wednesday, August 17, 2022

Bab 53 - Cemburu yang Indah

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya. Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita biasa.

“Hei, kamu pelayan pribadinya Roro Ayu, ya?” sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba menghadang langkah Nanda.

Nanda langsung mengangkat wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup terkenal.

“Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil memperhatikan wajah Nanda.

“Nindi, Tuan!” jawab Nanda sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun.

“Nindi? Kamu tinggi banget untuk seorang perempuan?” tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu lebih cocok jadi model daripada jadi pelayan di keraton ini.”

Nanda tersenyum manis menanggapi pertanyaan pria itu. “Terima kasih atas pujiannya, Tuan! Mohon maaf ...! Saya harus segera ke kamar Tuan Puteri untuk membawakan makanan ini. Dia sedang sakit, tidak boleh telat makan,” pamitnya sambil melangkah.

“E-eh. Tunggu!” Pria itu kembali menghadang langkah Nanda.

“Ada apa, Tuan?”

“Ini obat oles mujarab dari keratonku. Obat ini sangat terkenal dan bisa menyembuhkan luka dengan cepat. Tidak semua orang bisa mendapatkan obat ini. Aku tahu, tubuh Roro Ayu pasti masih terluka karena cambukan di tubuhnya,” ucap pria itu sambil menyodorkan botol mungil berbahan keramik ke hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak mata dan langsung menyambar obat tersebut begitu tahu kalau obat itu terkenal mujarab. Meski ia sudah mencoba melindungi tubuh Ayu menggunakan busa. Tapi tetap saja lima puluh cambukan yang menimpa wanita itu, meninggalkan bekas luka di tubuh dan lengan belakangnya.

Pria itu tersenyum puas menatap Nanda. “Sampaikan salamku untuk Roro Ayu! Bilang kalau Mas Enggar Dierjaningrat akan tinggal di sini untuk memastikan keselamatan dia.”

“Baik, Tuan! Terima kasih ...!” ucap Nanda sambil bergegas melangkah pergi dengan cepat. Ia mendengus kesal sambil mencebikkan bibirnya. “Mentang-mentang keluarga ningrat dan bisa masuk ke sini dengan bebas, mau ngambil kesempatan ngambil perhatian Ayu? Hellow ...! Ada Nanda di sini. Aku nggak akan biarkan siapa pun deketin Ayu. Meski anaknya presiden sekali pun, langkahi dulu mayatku!” gerutu Nanda sambil menahan kesal.

Nanda langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

“Nanda?” Ayu langsung menutup tubuhnya saat ia sedang memperhatikan punggungnya yang masih memar karena terkena cambukan beberapa kali.

“Sakit, ya? Aku bawain obat oles buat kamu,” tutur Nanda sambil menghampiri Roro Ayu dan menarik kain jarik yang menutupi punggung wanita itu.

“Nan, kamu lancang banget, sih!?” seru Ayu sambil berusaha menutup kembali tubuhnya menggunakan jarik yang ia kenakan.

“Ay, aku udah lihat semuanya! Ngapain sih masih malu-malu? Biar aku obatin lukamu,” pinta Nanda sambil menarik jarik yang menutupi tubuh Ayu. Seketika, terjadi tarik-menarik antar mereka berdua dan tidak ada yang mau mengalah.

“LEPASIN!” teriak Ayu kesal sambil menarik jariknya.

Nanda mendengus kesal dan melepaskan jarik yang ditarik oleh Ayu.

Bruug ...!

“Aargh ...!” Ayu merintih kesakitan saat tubuhnya tersungkur ke lantai karena Nanda refleks melepas tarikan jariknya.

“NANDA ...! Kenapa dilepasin beneran!?” seru Ayu kesal sambil merintih kesakitan.

“Sorry ...! Sorry ...! Abisnya, kamu nyuruh aku lepasin,” tutur Nanda sambil meraih kedua pundak Ayu dan membantu bangkit dari lantai.

“Iya. Tapi jangan dilepasin tiba-tiba juga, dong!” seru Ayu sambil memegangi punggungnya yang semakin sakit karena terbentur lantai.

Nanda terkekeh dan mengecup kening Ayu berkali-kali. “Jangan marah, dong! Aku nggak sengaja.”

“Sakit, tau! Kamu tuh nggak ada puasnya bikin aku tersakiti?” protes Ayu sambil memonyongkan bibirnya.

Nanda tersenyum sambil menjepit kedua pipi Ayu dan mengecupnya.

“Nan, kamu jangan cium aku! Jijik banget tahu dicium sama perempuan,” tutur Ayu sambil menahan tawa.

“Aku laki-laki tulen, Ay,” sahut Nanda sambil mengusap lipstik merah di bibirnya dan menyodorkan bibirnya kembali ke bibir Ayu.

Ayu menarik mundur tubuhnya sambil menahan bibir Nanda menggunakan jari telunjuknya. Tangan satunya memegang pinggang Nanda karena Nanda masih terus menyodorkan tubuhnya hingga ia hampir terjengkak ke lantai kembali.

Nanda mengalihkan pandangannya ke bagian dada Ayu yang polos karena kain jarik yang menutupi tubuhnya sudah terkulai di lantai yang ada di bawah mereka.

Ayu melebarkan kelopak mata dan menoleh ke arah dadanya sendiri. Ia langsung mendorong kuat tubuh Nanda dan buru-buru menarik kain jarik di bawahnya. “Kamu ini nyari kesempatan, ya!?” dengusnya. Ia melilitkan kain jarik tersebut di tubuhnya.

Nanda tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu nggak kangen sama aku, Ay?”

“Nggak!” sahut Ayu kesal sambil duduk di kursi meja riasnya.

“Jangan ngambek, dong!” pinta Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dari belakang.

“Nggak usah macem-macem dan bikin aku kesel, deh! Ntar aku minta ganti pelayan, mau!?” dengus Ayu.

“Hehehe. Jangan, dong! Serius, deh! Aku mau obatin kamu,” tutur Nanda sambil menarik kursi yang ada di sana dan duduk di belakang Ayu.  Ia membuka botol obat dan mengoleskan salep perlahan di luka memar yang ada di bahu wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia memegangi jarik untuk menutupi dadanya dan membiarkan Nanda mengobati lukanya perlahan. “Pelan-pelan!” pintanya lirih.

“Sakit, ya?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk pelan sambil menundukkan kepala.

“Ay, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Nanda.

“Hmm.”

“Kamu kenal sama anak bangsawan dari keraton Jogja yang namanya Raden Mas Enggar ... mmh, nama belakangnya siapa ya tadi?”

“Dierjaningrat?” tanya Ayu balik.

“Kenal?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Kenal. Partner nari aku,” jawab Ayu santai.

Nanda mengernyitkan dahi. “Jangan bilang kalau dia cowok yang nari sama kamu di ulang tahun kota waktu itu!”

“Emang dia orangnya,” jawab Ayu.

“HAH!? Kamu ngakuin kalau itu dia? Kenapa santai banget? Nggak ngerasa bersalah? Kamu ada hubungan apa sama dia?” cecar Nanda.

Ayu langsung memutar tubuhnya menatap Nanda yang ada di belakangnya. “Ini pertanyaan apa? Sejak kapan kamu peduli dengan hubungan pertemananku di luar sana?”

Nanda gelagapan sambil menatap wajah Ayu. “Sejak detik ini!” tegasnya.

Ayu tertawa kecil dan kembali mengalihkan pandangannya ke cermin di hadapannya.

“Ay, kamu nggak mau jelasin sesuatu ke aku?” tanya Nanda.

“Apa yang perlu dijelaskan?” tanya Ayu.

“Hubungan kamu sama dia. Kamu punya simpanan waktu pacaran sama Sonny?” tanya Nanda.

“Simpananku banyak!” sahut Ayu sambil membanggakan dirinya.

“Kamu ...!?” Nanda mengernyitkan dahi. “Diam-diam, kamu punya banyak pacar juga?”

Ayu mengangguk. “Emangnya cuma kamu doang yang bisa punya banyak pacar? Aku ini cantik, baik hati dan puteri bangsawan. Cowok mana yang nggak mau sama cewek kayak aku??” ucapnya penuh percaya diri.

Nanda mengernyitkan dahi. “Kamu begitu percaya diri kalau di kandang sendiri, ya? Dulu, kamu nggak seperti ini?”

“Status sosial memengaruhi rasa percaya diri seseorang ‘kan?” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda ikut tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Bukankah dari dulu status sosialmu yang paling tinggi waktu SMA?”

“Mmh ... saat itu aku belum terpikirkan dengan hal-hal seperti ini. Yang aku tahu hanya belajar, belajar dan belajar,” jawab Ayu sambil tersenyum. Ia menghela napas saat mengingat masa-masa SMA-nya. “Jadi orang dewasa itu nggak enak, ya? Jadi anak kecil terus juga nggak mungkin,” keluhnya.

“Siklus hidup manusia memang harus seperti ini ‘kan?” tutur Nanda sambil menutupkan jarik kembali ke tubuh Ayu begitu ia selesai mengoleskan obat di punggung wanita itu.

“Tumben bijak?” sahut Ayu sambil tersenyum.

“Titik terendah dalam hidup, mengajarkan aku menjadi bijak. Makasih ...!” jawab Nanda sambil memeluk tubuh Ayu.

“Makasih untuk apa?” tanya Ayu sambil tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku sudah membuat hidupmu menderita. Masih bisa bilang terima kasih?”

“Karena aku sudah membuat hidupmu jauh lebih menderita dari apa yang aku alami,” jawab Nanda sambil tersenyum dan mengecup pipi Ayu. “Benar kata Bunda Yuna. Kamu sudah mengorbankan diri dan menyelamatkan nyawaku sejak kita masih duduk di bangku SMA. Jangan-jangan, kamu sebenarnya suka sama aku, ya?”

“Iih ... apaan, sih? Kepedean banget? Sonny jauh lebih baik dari kamu,” sahut Ayu.

“Cuma karena gengsi sama status kamu yang baik dan smart. Terus, kamu nggak mau mengakui kalau kamu cinta sama aku?” goda Nanda.

“Iih ... nggak kayak gitu!” sahut Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Halah ... ngaku aja! Mana mungkin kamu mau terluka berkali-kali demi aku kalau nggak cinta?” goda Nanda sambil menggelitiki pinggang Ayu.

“Nanda ...! Geli tahu!” sahut Ayu sambil membalas perlakuan Nanda. Mereka asyik bermain dan berkejar-kejaran di kamar tersebut sambil tertawa bahagia. Menjalani waktu-waktu bersama seolah tak ada rasa sakit dan penderitaan dalam hidup mereka.

 

 

((Bersambung...))

 

Setidaknya, Ananda udah tahu bagaimana cara mengalihkan kesedihan Ayu dan membuatnya tetap bahagia menjalani kesulitan dalam hubungan mereka. Supaya dia bisa belajar, bagaimana menghargai seseorang dari ujian hidup yang sudah ia alami.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas