Wednesday, August 17, 2022

Bab 73 - Saat Tak Punya Apa-Apa

 


“Nan, sibuk banget?” tanya Ayu sambil menyodorkan secangkir moccacino hangat ke atas meja kerja Nanda.

“Nggak terlalu. Lagi ngecek ulang laporan produk yang mau diluncurkan aja,” jawab Nanda.

“Ini produk baru kamu?” tanya Ayu sambil menatap beberapa botol yang ada di hadapan Nanda.

Nanda mengangguk. “Mau coba?”

“Aku baru aja mandi, Nan.”

“Mandi lagi, biar makin glowing!” pinta Nanda sambil menahan tawa.

Ayu mengerutkan hidungnya. Ia menarik kursi dan duduk di samping Nanda. “Dari semua produk yang ada di dunia ini, kenapa pilih sabun mandi?”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu. “Kamu lagi ngetes aku buat pitching?”

“Kamu mau menargetkan aku buat nanam saham di perusahaanmu?” tanya Ayu balik.

“Janganlah! Kalau bisa, aku aja yang tanam saham buat kamu,” jawab Nanda sambil melirik perut Ayu.

Ayu mendelik ke arah Nanda sambil memegangi perutnya. “Kamu lagi menyimpan niat buruk?”

“Nggak, Sayang. Masa aku berniat buruk sama istri sendiri?” sahut Nanda sambil merangkul tubuh Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap lekat wajah Nanda. “Ada yang bisa aku bantu di perusahaanmu?”

Nanda menggeleng. “Kamu rawat  Mama Nia aja!” pintanya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Mau sampai kapan kamu tinggal di kantor ini?”

“Sampai aku bisa beli rumah baru. Doain, ya!” jawab Nanda sambil mengecup kening Ayu.

“Always,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. “Oh ya, rumah keluarga aku yang di sini udah nggak ditinggali karena ayah dan bunda udah pindah ke Solo. Mmh, gimana kalau kita tinggal di rumah itu setelah menikah. Jadi, kamu nggak perlu beli rumah baru. Uangnya bisa digunakan untuk yang lain. Gimana?”

“Ay, aku nggak bisa seperti itu. Aku nggak enak sama keluarga kamu kalau aku yang tinggal di rumah istri,” tutur Nanda.

“Nan, aku anak tunggal. Nggak ada yang nempati rumah itu lagi kalau bukan aku, suamiku dan anak-anak aku kelak. Kamu nggak perlu gengsi. Aku udah bilang ke ayah dan bunda. Mereka malah seneng kalau Nanda bisa tinggali rumah itu,” ucap Ayu sambil menggenggam tangan Nanda.

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda langsung menangkup wajah Ayu dan menciuminya bertubi-tubi. “Aku nggak nyangka kalau ayah dan bundamu malah akan merestui kita setelah apa yang terjadi di masa lalu.”

“Karena kamu sudah menebusnya dengan baik dan meyakinkan keluargaku kalau kamu bisa bikin puteri kesayangan mereka bahagia,” tutur Ayu.

Nanda tersenyum dan memeluk tubuh Ayu. “Ay, saat ini aku nggak punya apa-apa. Kamu yakin sama aku?”

“Kamu punya aku,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. Ia merasa sangat bahagia karena wanita ini tetaplah satu-satunya cinta yang bertahan dengannya hingga akhir.

“Mmh ... Nan, kapan kamu ngelamar aku pake cincin berlian kayak waktu itu? Katanya, mau nikahi aku?”

Nanda tertawa kecil sambil menatap  wajah Ayu. “Kamu minta cincin berlian di saat aku lagi start-up perusahaanku? Aku harus  jual ini perusahaan buat belikan kamu cincin. Cincin berliannya nyusul after marriage, bisa ‘kan?”

Ayu menggeleng. “Nggak mau! Itu mah bukan cincin untuk ngelamar aku, dong?”

“Ck. Kenapa kamu jadi mata duitan di saat aku nggak punya apa-apa?”

“Biar kamu kerja lebih keras dari hari ini,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.

“Aku udah kerja keras, Ay. Ini udah  jam sebelas malam, aku masih di kantor.”

“Kamu tinggal di sini!” sahut Ayu geram sambil memukul lengan Nanda.

“Iih, mukul? KDRT, nih.”

“Nggak. Bercanda,” tutur Ayu sambil mengelus lembut lengan Nanda. Ia membuka rantai kalung yang ia kenakan dan menunjukkan cincin pernikahan yang pernah Nanda berikan padanya di masa lalu.

Nanda terdiam sambil menatap cincin yang dijadikan liontin oleh Ayu. “Ka-kamu masih simpan cincin ini?”

Ayu mengangguk. “Aku selalu memakainya dan membawanya ke mana pun setiap hari.”

“Tapi ... waktu nari sama ...”

“Udah ada kalung aksesoris yang disediakan untuk nari. Masa aku mau pake kalung ginian lagi? Aneh ‘kan?”

Nanda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Buruan lamar aku lagi!” pinta Ayu sambil meletakkan cincin itu di atas telapak tangan Nanda.

Nanda tersenyum kecil sambil menatap wajah Ayu. “Masa lamar di sini sih, Ay?”

“Jadi, mau lamar di bawah menara Eiffel biar kayak orang-orang itu?” tanya Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.

Nanda menggeleng. “Tapi aku ingin melamar kamu di depan orang paling penting dalam hidupku,” jawabnya. Ia bangkit dari kursi dan menarik lengan Ayu.

“Kita mau ke mana? Udah malam, Nan.”

“Ke rumah sakit, Ay. Aku mau lamar kamu di depan Mama Nia,” jawab Nanda.

Ayu langsung menghentikan langkah dan mengerutkan wajahnya ke arah Nanda. “Ini sudah jam sebelas malam. Waktu besuk udah habis, Nan. Mau ngajak berantem satpam rumah sakit?”

“Boleh juga,” jawab Nanda.

“NANDA! Aku nggak lagi bercanda. Masih mau berantem sama orang?” seru Ayu.

“Hehehe. Jadi, gimana?”

“Besok pagi aja lamarannya, oke?”

“Subuh?”

“Ya nggak subuh juga, Nanda!” sahut Ayu menahan kesal.

“Yah, kalo siangan dikit, aku ada banyak kerjaan, Ay.”

“Ya udah, pulang kerja, deh!” pinta Ayu.

Nanda manggut-manggut sambil menahan tawa. “Kenapa kita mau lamaran kayak mau beli sayur di pasar? Hahaha.”

“Iya, ya? Hihihi.”

Nanda langsung menjepit leher Ayu dan mengajaknya keluar dari kantor perusahaannya itu.

“Mau ke mana?”

“Kita cari cemilan malam, yuk!”

“Nanti aku gemuk, Nan.”

“Kamu udah pernah gemuk dan cukup menarik,” ucap Nanda.

Ayu tertawa kecil. Ia merangkul pinggang Nanda dan melangkah bersama pria itu. Menyusuri jalanan di sekitar Ruko Bandar dan mencari jajanan yang ingin mereka santap untuk menemani mereka malam ini.

“Sst ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berjalan mengendap-endap ketika melihat Karina dan Enggar berada di salah satu warung sate yang ada di sana.

Ayu menahan tawa melihat sikap Nanda. Ia memperhatikan Enggar dan Karina yang terlihat begitu intim dan nyaris ingin berciuman.

“DOR ...!” teriak Nanda sambil menepuk pundak Enggar dan Karina bersamaan.

“ASTAGA! ANJING KAMU, NAN!” seru Karina sambil memukuli tubuh Nanda.

Nanda terkekeh geli. “Makanya, mau ciuman jangan di tempat umum. Hotel di sini masih banyak yang kosong.”

“Nggak level main di hotel. Kita biasa main di penthouse,” sahut Karina sambil menyeringai ke arah Nanda.

“Iih ... ngakuin? Beneran?” tanya Nanda sambil menatap wajah Enggar.

Enggar menggelengkan kepala.

“Halah, ngaku aja!” pinta Nanda sambil menoyor pundak Enggar. “Aku udah puas yang begitu-begituan. Nggak usah sok alim!”

“Aku nggak sebrengsek kamu, Nan,” sahut Enggar.

“Emang aku brengsek?” tanya Nanda.

“Astaga! Nggak sadar?” tanya Enggar balik sambil menatap Nanda.

Karina ikut tertawa. Ia menatap wajah Ayu. “Ayu, kenapa kamu mau sama cowok brengsek kayak gini? Aku tuh dijodohin sama dia udah lama. Mau nikah, masih mikir seribu kali. Takut dianya selingkuh lagi, selingkuh lagi.”

Ayu tersenyum sambil duduk di depan Karina. “Sebenarnya aku juga nggak mau. Tapi dia ngejar-ngejar terus. Aku capek lari, Rin. Udahlah, aku pasrah aja.”

“HAHAHA.”

“Kamu tega banget ngomong kayak gitu, Ay? Kesannya terpaksa nerima aku,” tutur Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ayu tertawa sambil menarik lengan Nanda agar duduk di sampingnya. “Bercanda. Nggak usah ngambekan!”

“Aku nggak ngambek. Cuma lagi mikir aja,” sahut Nanda sambil tertunduk lesu.

“Mikir apa?” tanya Ayu. Ia mulai khawatir dengan ucapannya sendiri yang membuat raut wajah Nanda berubah memburuk.

“Mikir ... kalau kamu pasrah ... bisa nggak dilakuin juga di ranjang?”

Ayu langsung mengerutkan hidungnya ke arah Nanda. “Aku udah serius! Malah bercanda!”

Mereka semua tergelak dan berbincang banyak hal tentang masa depan mereka. Ayu merasa sangat lega saat mengetahui kalau Karina akan membantu menyelamatkan hubungan mereka. Wanita cantik yang sedang dekat dengan Enggar itu berjanji akan membuat papanya tetap menaruh investasi di perusahaan keluarga Nanda, meski perjodohan mereka dibatalkan.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa kasih komentar, biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas