Wednesday, August 17, 2022

Bab 20 - Bolehkah Aku Benci Anak Ini?

 




Dua jam sebelum pergi ke pesta ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya, mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota Surabaya.

“Mbak, teman saya ini lagi hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!” pinta Nadine saat ia dan Ayu sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.

“Oh ya? Tapi, harga untuk make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak.”

“Kami nggak permasalahkan harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang susah?” sambar Nadine dengan cepat.

Karyawan itu menggeleng. “Baik, Mbak.” Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.

Nadine menghela napas sambil melipat kedua tangan di dadanya. “Emangnya kita kelihatan kayak orang susah, ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.

Ayu tertawa kecil. “Sabar! Jangan emosi gitu, dong!” ucapnya sambil mengelus lengan Nadine.

“Kesel aku kalau diginiin sama orang. Nggak tahu apa kalau anaknya yang punya mall ini setiap hari ngejar-ngejar aku?”

“Hush! Jangan ngomong gitu! Ntar dikira kamu pamer,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

“Biar aja! Aku emang suka pamer.”

Ayu hanya terkekeh geli menatap wajah Nadine yang emosinya mudah sekali meledak hanya karena hal sepele. “Kamu lagi PMS?”

Nadine menghela napas. “Lagi kesel aku, Ay. Aku tuh dibikin kesel sama Okky sepanjang jalan. Dia bilang, mau jemput aku ke Semarang. Aku tuh udah ngalah dan mobilku kusewakan sama temen. Eh, satu jam sebelumnya ... dia bilang nggak bisa jemput aku karena di rumahnya sibuk banget. Coba dari awal ngomong gitu, aku nggak kesel kali. Akhirnya, aku harus dijagain sama ajudan kayak gini,” keluhnya.

“Emang biasanya, kamu nggak dijagain ajudan? Papamu Jenderal, Nad. Itu protokol keamanan untuk anak jenderal. Jangan main-main, deh! Aku serem loh yang waktu denger kasus dia mau ditembak mati itu. Kalau kamu yang jadi sasaran berikutnya, gimana?” tanya Ayu.

“Mati,” jawab Nadine santai.

“Kamu kok gitu sih, ngomongnya?” tanya Ayu sambil menatap sedih ke arah Nadine.

“Yah, setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Punya jalannya sendiri untuk mati. Kalau emang aku ketembak mati sama musuh-musuh papa, aku nggak keberatan. Asalkan papa baik-baik aja. Ada jutaan orang yang berlindung di balik punggung papa dan membutuhkan dia. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang anak jenderal yang nggak punya kekuatan untuk melindungi semua orang,” ucap Nadine.

“Jangan ngomong gitu, Nad! Semua ibu hamil butuh kamu. Kalau kamu nggak dinas di Semarang, aku bakal konsultasi sama kamu setiap hari supaya aku nggak setress.”

“Tarif gue mahal!” sahut Nadine sambil melirik tajam ke arah Nadine.

“Sialan kamu!” dengus Ayu sambil menoyor pundak Nadine.

Nadine tertawa kecil. “Eh, kamu beneran setress? Setress kenapa? Ibu hamil nggak boleh setress, loh. Bahaya.”

“Bahayanya gimana? Aku juga nggak mau setress. Tapi, kadang kepikir aja sendiri. Tiba-tiba kebayang hal-hal yang aku ... aku ... huft! Sulit buat aku ungkapin, Nad.”

Nadine menghela napas sambil menatap wajah Ayu. “Aku tahu, MBA itu udah beban. Apalagi, kamu harus menikah sama orang yang nggak kamu cintai. But, ada hal lebih penting yang harus kamu perjuangkan,” ucap Nadine sambil mengelus lembut perut Ayu yang mulai membuncit. “Dia,” lanjutnya.

Ayu menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca. “Boleh nggak sih aku benci anak ini, Nad?”

“Ayu ... kenapa kamu ngomong kayak gitu?” Nadine langsung menangkup wajah Ayu dan mengusap air matanya yang jatuh.

Air mata Ayu semakin mengalir deras. Ia tidak tahu pada siapa akan bercerita. Ia hampir tidak punya teman. Bercerita pada bundanya, hanya akan menambah beban orang tuanya. Rekan kerja, tidak ada yang terlalu dekat. Hanya Nadine, teman kecil yang masih begitu menjaga komunikasi dengannya meski mereka berbeda kota.

Nadine langsung memeluk tubuh Ayu. “Yang kuat, ya! Yang kuat, yang sabar, Ay! Aku percaya kamu kuat. Nggak boleh benci anak ini. Seperti apa pun papanya, dia sudah hidup dalam dirimu. Dia hidup dari darahmu, dari hatimu dan dari cintamu, Ay. Jangan benci anak ini! Dia nggak salah,” bisik Nadine tanpa bisa menahan air matanya untuk menetes.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Ayu semakin menangis sesenggukan saat Nadine memeluknya. Semua sesak di dadanya selama ini, rasanya bisa terlepas saat air mata itu bisa tumpah di dalam dekapan Nadine.

Nadine mengusap lembut punggung Ayu. Ini pertama kalinya ia melihat Ayu menangis sesenggukan dalam pelukannya. Ia rasa, beban yang sedang ditanggung Ayu memang sungguh berat. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain memeluk Ayu. Sebab, kata-kata bijak tidak akan bisa membuat masalah Ayu selesai begitu saja. “Kamu kuat, Yu! Kamu kuat. Jangan sedih lagi, ya!” bisik Nadine.

“Hiks ... hiks ... hiks ... Aku pengen balik ke Sonny, Nad. I miss him so much,” ucap Ayu sambil berlinang air mata.

Nadine melepas pelukannya dan mengusap air mata Ayu. “Aku akan bawa dia menemuimu kalau kamu rindu. But, aku nggak bisa berbuat banyak, Ay. Sonny pria yang baik, bijak dan tahu batasan. Dia bilang, nggak mau ganggu rumah tangga kalian. Dia ingin melihat kamu bahagia sama Nanda.”

“Gimana kalau aku nggak bahagia sama Nanda seumur hidupku, Nad?” tanya Ayu sambil mengusap air matanya dan berusaha menguatkan hatinya kembali.

“Kalau kamu udah nggak kuat. Kamu boleh lepaskan semuanya, Ay. Saat ini, kamu nggak usah pedulikan Nanda. Kamu pedulikan perkembangan janin kamu dulu. Urusan lain, diurus lain kali saja setelah kamu melahirkan. Kamu harus sabar, Yu! Demi si kecil. Okay?”

Ayu menganggukkan kepala perlahan sambil menatap Nadine.

“Gitu, dong! Senyum dong biar makin cantik!” pinta Nadine sambil menjepit dagu Ayu.

Ayu tersenyum menatap wajah Nadine.

Nadine tersenyum puas. “You’re strong mom! Lahirkan bayi ini dengan selamat dan sehat. Dokter Nadine akan membantu menjaganya.”

Ayu tersenyum lebar hingga memperlihatkan gingsul yang ada di sudut bibirnya. “Makasih, Nad.”

Nadine mengangguk sambil tersenyum. “Time to make-up! Pasangan kita bakal jemput jam tujuh. Nggak enak kalau mereka harus nunggu kita terlalu lama. Pasti nggak nyaman.”

Ayu mengangguk setuju.

“Oke. Mbak, bikin kita berdua jadi wanita paling cantik di negeri ini!” pinta Nadine sambil mengibaskan rambut panjangnya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajahnya di balik cermin. Make-up artist yang ada di sana, sudah memoleskan foundation ke atas wajah Ayu. Kemudian, mulai menjalankan step by step hingga dua wanita itu terlihat begitu cantik. Mereka terlihat semakin sempurna dengan balutan dress pesta yang terlihat sederhana, tapi tetap elegan.

Di parkiran, Nanda dan Rocky keluar dari mobil bersamaan secara tidak sengaja.

“Hei, Rocky ya?” sapa Nanda sambil memperhatikan wajah Rocky.

Rocky yang sedang memainkan kunci mobilnya sambil melenggang santai, langsung menghentikan langkahnya. “Siapa, ya?”

“Aku Nanda. Anaknya Oom Andre. Ingat, nggak?” sahuta Nanda.

Rocky membuka sedikit kacamata hitamnya dan memperhatikan tubuh Nanda. “Oom Andre? Andre Ahmad Perdanakusuma? Amora Internasional?” tanyanya.

Nanda mengangguk. “Iya. Udah lama kita nggak ketemu.”

“Kamu di luar negeri, ya? Nggak pernah ketemu sama kamu.”

“Emang sempet kuliah di luar negeri. Sekarang, udah di Indo lagi. Gimana kabarmu?” tanya Nanda.

“Baik. Baik banget. Eh, kamu ngapain di sini? Belanja?”

“Mau jemput istriku, Ky. Bundamu ulang tahun hari ini dan kami diundang.”

“Oh ya? Kamu udah nikah? Istrimu di sini? Ngapain? Kerja di sini?” tanya Rocky.

“Nggak. Dia lagi nyalon sama temennya. Biasalah, cewek.”

“Oh, ya? Kebetulan ... aku juga mau jemput pacarku di salon juga. Salon mana?”

“Serius!? Bareng aja kalau gitu,” ajak Nanda.

Rocky mengangguk. Ia melangkah beriringan bersama Nanda sambil bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka. Kedua orang tua mereka memang saling kenal sejak mereka kecil. Tapi, mereka tidak begitu akrab karena bersekolah di tempat berbeda dan tidak pernah bertemu lagi sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Membuat mereka bercerita banyak hal tentang masa-masa remaja mereka yang sudah terlewati dengan kenakalan mereka masing-masing.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah mendukung dan menghargai karya author. Tiap hari mau nangis tiap kali melihat kalian berbagi rejeki sama author tanpa perhitungan.

Semoga sehat selalu, banyak rejeki dan selalu jadi sahabat setia bercerita setiap hari!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas