Wednesday, August 17, 2022

Bab 28 - Aku Butuh Kamu [ Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 



Seminggu kemudian, Nanda sudah diizinkan pulang ke rumah. Ayu dengan telaten merawat luka bekas operasi suaminya itu.

“Nan, karena lukamu udah sembbuh, aku punya hadiah buat kamu,” ucap Ayu sambil tersenyum manis ke arah Nanda.

“Sembuh apanya? Barangku nggak bisa bangun gini. Kedutan dikit aja udah sakit,” sahut Nanda sambil merintih menahan bagian inti tubuhnya yang masih terasa nyeri setiap kali ia mencoba untuk memunculkan hasrat kelelakiannya.

“Setidaknya, kamu sudah bisa jalan, Nan. Orang lain nggak perlu tahu kalau barangmu nggak bisa bangun,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam tas tangannya dan menyodorkan ke hadapan Nanda.

“Apa ini?” tanya Nanda saat manik matanya langsung menangkap logo institusi kepolisian yang sangat khas. “Kasus penganiayaan terhadapku tetep dilanjutkan? Baguslah. Ini nggak seberapa kalau dibandingkan dengan kehancuran masa depanku,” ucapnya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Papamu sudah resmi mencabut tuntutannya ke Sonny dan menyelesaikan semua dengan cara kekeluargaan.”

“Serius!? Sonny bisa bebas gitu aja?”

Ayu mengangguk. “Papamu sudah mengeluarkan uang untuk membebaskan dia.”

“Hah!? Ini aku yang bego atau gimana? Aku yang dipukulin sampai masuk rumah sakit. Kenapa papaku yang harus ngeluarin uang untuk bebasin Sonny. Ini nggak bener, Ay!” sahut Nanda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Yang nggak bener itu kamu, Nan,” batinnya.

“Rekaman CCTV itu udah jelas kalau Sonny mukulin aku, Ay! Masa dibebasin gitu aja, sih? Mukaku hancur, masa depanku, apalagi,”  ucap Nanda sambil melirik ke arah senjata andalan yang ada di bawah pusarnya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Nanda. “Kamu nggak mau baca ini surat apa?”

Nanda mendengus kesal dan merobek ujung amplop tersebut, kemudian mengambil surat dari dalam amplop tersebut dan membacanya. Ia menelan saliva dengan susah payah saat membaca surat panggilan dari kepolisian dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pelecehan seksual, penelantaran keluarga dan perselingkuhan, juga kasus perkelahian.

“Ay, kamu nuntut aku? Buat apa kamu baik-baik sama aku kalau di belakang, kamu nusuk aku?” seru Nanda kesal sambil melemparkan surat itu ke lantai begitu saja.

“Gimana rasanya? Kecewa? Sakit?” tanya Ayu. “Itu yang aku rasain saat kamu bersikap baik sama aku, tapi kamu tega selingkuh di belakangku.”

“Aku nggak selingkuh, Ay! Arlita itu ...” Nanda menghentikan ucapannya dan menatap serius ke arah Ayu. “Kamu tahu aku nggak pernah serius sama perempuan. Aku nggak bisa cinta sama kamu, Ay. Aku nikahin kamu cuma sebatas tanggung jawab. Nggak bisa semudah itu aku berpindah hati. Nggak masuk di logikaku, Ay!”

“Sama. Aku juga nggak bisa semudah itu berpindah hati. Kalau boleh milih, aku nggak akan pernah terlibat dengan pernikahan bedebah ini!” sahut Ayu.

Nanda menghela napas sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal. “Kita nggak usah berdebat, Ay! Aku akan kasih semuanya buat kamu. Asal nggak gini caranya. Kamu tega mau penjarain suamimu sendiri?”

“Iya.”

“Terus, gimana sama masa depan anak kita, Ay? Aku butuh cari nafkah untuk menghidupi kalian. Gimana perasaan anak kita nanti kalau tahu papanya narapidana?” tanya Nanda.

“Aku akan menghadapinya. Memang seperti itu adanya kamu. Aku sudah berusaha memberimu kesempatan untuk berubah, Nan. You wanna be Daddy! Tapi kamu nggak bisa jadi contoh yang baik buat keluarga kecil kita! Aku ... lebih baik merawat dan membesarkan anakku sebagai single mom daripada harus mendidik dia dalam rumah tangga yang toxic!” sahut Ayu sambil menatap Nanda dengan tatapan berapi-api.

“Ya kamu yang bikin semuanya jadi ruyam dan toxic!” ucap Nanda tak mau kalah.

“Aku?” Ayu tertawa kecil. “Kamu ini beneran nggak bisa sadar, ya? Yang salah itu kamu, Nan! Dari awal, kamu yang salah! Kamu yang udah merenggut semua impianku, masa depanku dan semua kebahagiaan yang aku miliki,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Nanda terdiam sesaat menatap wajah Ayu. “Ay, jangan nangis!” pintanya sembari meraih tangan Ayu dan menggenggamnya. “Kita baikan lagi, ya! Aku capek berantem sama kamu. Kamu mau apa? Aku akan berusaha penuhi semua keinginan kamu.”

“Yang aku mau sejak dulu cuma satu, Nan.”

“Apa?”

“Melihatmu hancur,” jawab Ayu sambil menatap lekat mata Nanda.

DEG!

Nanda membeku menatap Ayu yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu lembut dan tenang ini menyimpan kebencian yang begitu dalam untuknya. “Ay, aku tahu kamu lagi emosi. Kita baikan, ya! Demi anak kita. Jangan penjarain aku, Ay!” pintanya lirih.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata saat Nanda memilih menurunkan nada suaranya. Pikirannya semakin tidak karuan karena sikap Nanda yang tidak bisa ia baca ketulusan hatinya.

“Ay, please ...! Kita baikan lagi, ya!” pinta Nanda sambil meremas jemari tangan Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu perlahan dan memeluk perut Ayu yang sudah membesar. “Aku sayang dia, Ay. Kamu juga ‘kan?”

“Kalau kamu sayang, kamu nggak akan pergi sama wanita lain, Nan. Aku nggak akan kasih dua mama untuk anakku!”

“Ay, aku sama Arlita nggak ngapa-ngapain,” tutur Nanda.

“Tapi mau ngapa-ngapain ‘kan?”

“Ck. Pikiranmu terlalu negatif, Ay!” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terus berusaha mencari cara agar Ayu bersikap baik dan menarik semua tuntutan hukum terhadapnya.

“Terus, ngapain janjian ketemu di hotel tengah malam? Kamu kira aku bego apa?” sahut Ayu. “Aku diam, bukan berarti aku nggak tahu apa-apa!”

“Aku baru sampai di pintu hotel karena Arlita memang kebetulan nginap di sana. Sonny yang tiba-tiba mukul aku tanpa kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya,” ucap Nanda.

Ayu menggeleng-geleng heran menatap wajah Nanda. “Kamu keluar diam-diam dari rumah tengah malam, kamu salah. Menemui Arlita di hotel, jauh lebih salah lagi! Dari semua kesalahan yang kamu buat, kamu pernah minta maaf ke aku dengan tulus? Nggak ‘kan? Kamu malah sibuk nyari kesalahan orang lain!”

Nanda menghela napas. “Aku minta maaf, Ay!” ucapnya lirih.

“Maafku saat ini sudah habis. Nggak bisa kamu minta.”

“Ck. Salah lagi ‘kan? Ayolah! Kita baikan seperti biasanya, ya!” pinta Nanda sambil memainkan alisnya menatap Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia lelah jika setiap hari harus bertengkar di dalam rumah sendiri. “Sikap baikku ke kamu, tidak akan mengubah proses hukum yang sedang berjalan. Ayah tidak akan mencabut tuntutannya, Nan.”

“Ck. Terserah kamu, deh! Yang penting, kita baikan. Oke?” pinta Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu. Ia memeluk tubuh wanita itu dan terus menciumi perut Ayu. Kepalanya terus memikirkan cara agar Ayu dan keluarganya menarik tuntutan terhadapnya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah bersikap baik pada Roro Ayu agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya dalam keadaan sakit seperti ini.

Ayu menarik napas dalam-dalam. Hatinya bergejolak. Ia tidak ingin berubah menjadi jahat seperti ini. Tapi ia juga tidak tahan hidup dalam rumah tangga yang penuh kepalsuan seperti ini. Mereka hanya berpura-pura cinta, tapi hati mereka sama-sama berada di tempat lain.

“Ay, jangan marah lagi, ya! Aku janji, aku akan memperlakukan kamu dengan baik.”

“Setiap hari kamu sudah memperlakukan aku dengan baik, Nan. Aku berterima kasih untuk itu. Hanya saja ... tidak ada cinta dalam keluarga ini. Kamu tidak bisa mencintaiku meski aku sudah berusaha jadi istri yang baik. Daripada kita tidak pernah bahagia selamanya, bagaimana kalau kita bercerai saja?” ucap Ayu lirih sambil menahan perih di matanya.

Nanda terdiam dan menengadahkan kepalanya menatap Ayu. “Why? Kenapa kamu bilang kayak gini? Aku nggak akan menceraikan kamu, Ay. Kamu lagi hamil, makanya sensitif kayak gini. Nggak usah berpikiran macam-macam. Kita baikan saja, oke?” pintanya.

“Berbaikan saja buatku nggak cukup, Nan. Ayah Edi sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan kita,” ucap Ayu lirih.

“APA!? Nuntut aku masih belum cukup, Ay? Kamu bilang ke ayahmu kalau nggak perlu seperti ini! Kamu udah gede, Ay. Nggak perlu bergantung sama orang tua lagi. Kamu bisa buat keputusan sendiri ‘kan? Kamu ...”

“Keputusanku sama dengan keputusan ayah,” jawab Ayu. “Aku bukan Arlita atau wanita-wanitamu yang lain. Aku nggak bisa berbagi hati, Nan. Terlalu sakit buat aku dan aku nggak sekuat yang kamu pikirkan. Mungkin, dengan berpisah ... kita bisa sama-sama bahagia. Kamu juga bisa bahagia sama Arlita.”

Nanda langsung memeluk erat paha Ayu yang berdiri di hadapannya. “Nggak, Ay. Aku nggak mau kita bercerai. Aku nggak mau. Gimana keluarga kita kalau kita berpisah?”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Kamu tidak perlu khawatir! Semua akan kembali seperti dulu lagi. Kita masih bisa berteman, keluarga kita masih bisa berteman. Kamu masih mencintai Arlita, aku juga masih mencintai Sonny. Bagaimana kalau kita saling melepaskan, Nan?” ucapnya lembut.

Nanda menggeleng. Ia terus memeluk kaki Ayu seperti seorang anak yang takut kehilangan mainan kesayangannya. Hatinya begitu sulit untuk berubah. Begitu sulit untuk jatuh cinta meski di luar sana ia banyak bersenang-senang dengan wanita. Ia tidak tahu bagaimana cara membuka hati untuk Ayu. Ia tidak tahu kapan akan bisa mencintai wanita ini. Tapi ia tahu, jika saat ini ia sangat membutuhkan Ayu. Membutuhkan wanita itu untuk tetap berada di sisinya.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas