Wednesday, August 17, 2022

Bab 57 - Tidak Direstui

 



Nanda menarik napas dalam-dalam sambil merapikan jasnya saat ia baru saja keluar dari dalam mobil. Ia segera melangkah memasuki pintu kantor perusahaan Amora Internasional. Dengan cepat, ia langsung mencapai ke lantai gedung paling atas dan masuk ke ruang CEO.

“Dari mana saja?” tanya Andre sambil duduk di kursi kerja Nanda dan menatap tajam ke arah puteranya itu.

“Dari ...” Nanda memutar otaknya dengan cepat. Meski perasaannya tak karuan, ia tetap memberanikan diri untuk mengatakan kejujuran tentang hubungannya dengan Ayu. “Dari Keraton Surakarta.”

“Kamu mau menjalin hubungan bisnis dengan keluarga keraton itu?” tanya Andre.

Nanda menggeleng.

“Lalu? Untuk apa kamu meninggalkan perusahaan begitu lama? Sudah bosan kerja?” tanya Andre dingin.

Nanda menggeleng lagi.

“Terus apa?” seru Andre sambil menggebrak meja di depannya. “Kamu pikir, pemilik perusahaan bisa seenaknya aja, hah!? Meski kamu anak papa, papa tidak akan berbelas kasih! Nggak ingat apa yang terjadi sama perusahaan kita tiga tahun lalu, hah!? Kamu masih main-main seperti ini!”

Nanda terdiam mendengar ucapan bernada tinggi dari papanya.

“JAWAB!” sentak Andre.

“Aku ... nemuin Roro Ayu,” jawab Nanda .

“Mantan istri kamu itu?” Wajah Andre berubah seketika.

Nanda mengangguk. “Dia masih istriku, Pa.”

Andre mengernyitkan dahi. “Istri dari mana? Istri mana yang tega memenjarakan suaminya selama satu tahun? Istri mana yang tega menguras harta suami dan mertuanya sendiri? Apa yang tidak kami berikan untuk perempuan itu? Semuanya sudah kami beri dan dia tetap membuatmu masuk penjara, membuat saham perusahaan kita jatuh dan nyaris bangkrut. Jangan bodoh, Nanda!”

“Pa, aku nggak bodoh. Aku waras dan aku sadar kalau aku cuma cinta sama Roro Ayu,” sahut Nanda.

“Cuuih ...! Persetan dengan cintamu, Nan! Berapa banyak wanita yang kamu miliki saat kamu masih menjadi suami Ayu, hah!?” sambar Andre.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan papanya.

“Papa nggak mau tahu dan nggak mau dengar alasan apa pun. Yang jelas, papa sudah tidak bisa menerima wanita itu menjadi menantu papa. Kamu tetap harus menikah dengan Karina. Tanpa dia dan keluarganya, bisnis kita tidak akan bisa bertahan seperti ini. Dulu, kamu hancur karena tidak berbakti pada orang tuamu. Sekarang, berbaktilah dan ikuti perintah kami!” tegas Andre.

“Pa, aku nggak bisa menikahi wanita lain selain Roro Ayu,” sahut Nanda.

Andre tertawa kecil mendengar ucapan Nanda. “Kalau kamu tetap memutuskan untuk bersama wanita itu. Silakan keluar dari rumah! Semua harta dan fasilitas milikmu, akan papa ambil. Kita lihat, apakah kamu bisa menghidupi seorang istri hanya dengan cinta?” ucapnya sambil melangkah keluar dari ruang kerja Nanda begitu saja.

Nanda menarik napas dengan perasaan tak karuan. Telapak tangannya mengepal erat dan matanya berkaca-kaca. “Aargh ...!” teriaknya sambil menendang kursi yang ada di depan meja kerjanya. Ancaman harta dan kedudukan adalah jurus paling ampuh dari sang papa yang membuatnya tidak bisa melawan dengan mudah.

Nanda mondar-mandir belasan kali sambil memikirkan cara untuk bisa terlepas dari perjodohan bisnis yang dilakukan oleh sang papa untuk menyelamatkan perusahaannya.

Nanda segera keluar dari ruangan dan masuk ke dalam ruang tim sekretaris perusahaannya.

“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa semua orang yang ada di sana yang langsung bangkit dan membungkuk hormat ke arah Nanda.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis. “Hari ini, Ibu Karina ada jadwal ke perusahaan ini atau nggak?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Pak,” jawab salah satu sekretaris yang biasa mengurus kedatangan tamu di perusahaan tersebut.

“Kamu yang biasa urus tamu?” tanya Nanda. Ia tidak begitu hafal dengan lima sekretaris yang membantunya. Biasanya, ia hanya akan berkomunikasi dengan kepala sekretarisnya saja.

“Iya, Pak.”

“Kasih saya nomor ponsel beliau!” perintah Nanda sambil menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan sekretaris tersebut.

“Baik, Pak!” Sekretaris itu langsung memindai nomor ponsel Karina dan menyimpan ke kontak ponsel Nanda.

Nanda langsung menyambar ponsel dari tangan sekretaris itu. Ia berbalik dan melangkah pergi sembari menekan panggilan ke nomor ponsel Karina. Salah satu wanita yang terikat perjodohan bisnis dengannya karena hubungan bisnis dua perusahaan orang tua mereka.

“Halo, Karina ...! Bisa ketemu?” tanya Nanda saat Karina menjawab panggilan telepon darinya.

“Bisa. Jam berapa dan di mana?” tanya Karina lewat seberang telepon.

“Bujana Coffee Shop. Sekarang!” pinta Nanda.

“Nanda, aku masih sibuk ngurus bisnis. Satu jam lagi, gimana?”

“Oke. Aku tunggu kamu di sana!” sahut Nanda. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan melangkah menuju pintu lift.

“Permisi, Pak ...! Bapak mau pergi ke mana? Ada banyak dokumen yang harus ditandatangani.” Kepala Sekretaris perusahaan tersebut tiba-tiba menghampiri Nanda saat pintu lift baru saja terbuka.

Nanda menghela napas saat ia dikejar-kejar dengan deadline perusahaan, juga dikejar waktu agar ia bisa membatalkan perjodohannya dengan Karina. Nanda melirik arlojinya sekilas dan melangkah masuk ke dalam lift. “Antarkan berkasnya ke Bujana Coffee Shop!” perintahnya dan langsung menutup pintu lift begitu saja.

 

...

Hari-hari berikutnya, Ayu harus melakukan tirakat di rumah ibadah. Tidak hanya beribadah, ia juga harus merawat tempat ibadah itu dengan baik dan dilarang untuk keluar dari wilayah tersebut.

Setiap jam tiga pagi, Ayu sudah harus membuka mata karena ia harus sahur untuk menjalankan puasanya selama sembilan puluh hari berturut-turut. Setelahnya, ia juga harus memasak banyak makanan yang diperuntukkan untuk anak yatim dan duafa yang ada di sekitar sebagai penebusan dosa dan sedekah.

Tidak ada pria yang boleh masuk ke dalam tempat suci tersebut. Roro Ayu hanya ditemani dan dibantu oleh dua orang pelayan keraton. Satu pelayan bertugas untuk membeli barang dari luar keraton. Satu pelayan lagi bertugas untuk membantu Roro Ayu memasak di rumah mungil yang sudah disediakan untuk mereka dan terletak di samping tempat peribadatan tersebut.

Selepas sholat subuh, Roro Ayu selalu berdiri di atas menara musholla yang berdiri kokoh di atas pegunungan. Ia selalu menikmati saat-saat sang rembulan berganti dengan matahari. Menikmati udara yang begitu dingin hingga berganti dengan hangatnya sang mentari.

Setiap ia memandang begitu jauh, air matanya selalu mengalir. Hatinya selalu merindukan seseorang yang tidak bisa ia kendalikan. Sama seperti tiga tahun belakangan ini. Dari atap fakultas bisnis yang menjadi tempat pengasingan dirinya, ia selalu menatap jauh ke dunia yang hanya ada dalam khayalan sembari menggenggam erat cincin pernikahan yang masih tergantung indah menjadi liontin di lehernya.

“Nan, aku tidak tahu mengapa Tuhan terus mempermainkan hati kita. Saat aku ingin menyukaimu, kamu malah pergi mengejar wanita lain. Saat aku ingin melupakanmu, kamu malah pergi mengejarku.”

“Setiap detik dunia ini berubah. Aku harap, kali ini kamu bersungguh-sungguh mencintaiku dan tidak akan pernah berubah lagi. Aku tidak ingin menjalani sisa hidupku dalam kesepian. Berada di sisi pria lain, aku merasa tidak pantas. Aku hanya ingin kamu ...” lirih Ayu sembari menikmati embusan angin yang menyapu lembut rambut-rambutnya.

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas