Wednesday, August 17, 2022

Bab 75 - Lamaran yang Kacau

 



Nanda menghampiri tubuh Nia yang masih duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan dari luar jendela kamar rawatnya. “Mama, I have something for you,” bisiknya sembari memeluk tubuh Nia dari belakang dan mengulurkan bucket bunga untuk wanita istimewa yang telah memberinya hidup dan menghidupkannya itu.

Nia langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. Ia tersenyum saat puteranya itu begitu romantis. Membuatnya teringat akan masa-masa mudanya saat bersama Andre. “Kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini ke Mama?” tanyanya.

“Nggak boleh?” tanya Nanda sambil tersenyum manis.

“Boleh banget. Kalau perlu, kamu setiap hari seperti ini. Mama pasti bahagia banget,” ucap Nia sambil menyentuh lembut pipi Nanda.

“Dalam satu bulan, Mama udah bisa buka toko bunga,” ucap Nanda sambil tertawa kecil.

Nia ikut tertawa menanggapi ucapan Nanda. “Boleh juga. Mama jualan bunga untuk ngisi waktu luang di hari tua biar nggak bosan.”

“Hmm ... katanya mau main sama cucu? Kalau sibuk sama bunga, ntar cucunya dicuekin.”

“Kalau kamu kasih mama cucu, mama pasti prioritaskan main sama cucu, dong. Kapan kamu menikahi Ayu?” tanya Nia.

Nanda tersenyum dan beringsut ke hadapan Nia. Ia berjongkok tepat di depan wanita itu dan menggenggam tangan Nia. “Ma, kalau aku menikahi Ayu ... apakah Mama akan menyayangi dia seperti anak Mama sendiri?”

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Siapa pun wanita pilihanmu, Mama akan menyayangi dia seperti Mama menyayangi kamu.”

“”Makasih, Ma ...! Aku janji akan membuat istriku juga menyayangi Mama seperti mamanya sendiri.”

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Mama harap, kamu bisa membawa istrimu menjadi anak mama yang baik. Yang sayang sama mama kamu dan tetap sayang sama ibunya sendiri.”

Nanda menganggukkan kepala dan mencium punggung tangan Nia. “Maafin Nanda karena selama ini sudah membuat Mama bersedih terus-menerus. Mama harus sehat, ya! Kalau Mama udah sehat, Nanda janji akan kasih cucu yang banyak supaya Mama nggak kesepian di rumah.”

Nia menganggukkan kepala. “Jadi, kapan kamu akan menikah dengan Ayu?”

“Setelah papa merestui kami,” jawab Nanda sambil melirik ke arah Ayu dan papanya yang sudah berdiri di belakang tubuh mamanya itu.

“Kapan papamu akan memberikan restu, Nan. Usiamu dan Ayu sudah semakin tua. Mau sampai kapan hubungan kalian seperti ini? Kalau nggak bisa punya keturunan, gimana? Mama yang punya anak satu aja, sekarang udah ngerasa kesepian karena anak Mama sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri,” ucap Nia sambil menatap pilu ke arah Nanda.

Nanda tersenyum sambil menyentuh lembut pipi mamanya. “Mama nggak perlu khawatir! Nanda pasti akan kasih cucu yang banyak buat Mama. Supaya Mama nggak kesepian, supaya istriku juga nggak kesepian di hari tuanya.”

“Janji?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia memutar kursi roda Nia. Menghadapkan wanita itu pada Andre dan Ayu yang sudah berdiri berdampingan di sana.

“Mas Andre? Ayu? Ka-kalian ...?”

Ayu tersenyum sambil merangkul lengan Andre. “Aku dan Nanda akan segera menikah. Papa Andre sudah merestui hubungan kami. Jadi, Mama Nia harus sehat supaya bisa menikahkan kami!” ucapnya.

Nia langsung tersenyum lebar sambil menutup mulutnya yang ternganga lebar. “Gimana ceritanya ... Mas Andre, kamu benar-benar merestui hubungan Ayu dan anak kita?”

Andre mengangguk sambil tersenyum manis. Ia melangkah perlahan menghampiri Nia. “Maafkan aku karena terlalu takut akan masa depan anak kita. Aku lupa bahwa sekarang dia sudah menjadi pria dewasa.”

Nia tersenyum manis. Ia bangkit dari kursi roda dan memeluk tubuh Andre. “Aku juga punya rasa takut yang sama. Tapi kita harus belajar bijak jadi orang tua. Nggak boleh egois. Saat anak udah dewasa, dia bukan milik kita lagi, Mas,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Sungguh, hati Nia sangat berat ketika mendengar kata pernikahan. Sedih bercampur bahagia. Tidak ada orang tua yang tidak sedih ketika anak yang sudah ia rawat selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya, harus ia serahkan untuk orang lain. Membiarkan anak-anak mereka itu menghabiskan waktunya lebih banyak bersama orang yang dicintai daripada dengan orang tuanya sendiri.

Andre memeluk erat tubuh Nia sambil menganggukkan kepala.

Nanda tersenyum sembari menghampiri Ayu yang berdiri di dekat ranjang tidur mamanya. “Ay, sudah tidak ada yang mengganjal dalam hubungan kita. Apa aku sudah boleh melamarmu di depan kedua orang tuaku?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda merogoh cincin berlian yang ia selipkan di kantong celananya dan menekuk lututnya di hadapan Ay.

“Ay, maukah ...”

TING!

Cincin yang dipegang Nanda tiba-tiba merosot jatuh membentur lantai, kemudian menggelinding cepat tak tentu arah hingga berhenti di bawah lemari nakas yang sempit.

“Astaga ...!” seru Nanda kesal saat cincin itu tak mau bersahabat dengannya.

“Kamu gimana sih megangnya?” Ayu langsung membungkukkan tubuhnya, mencari di mana cincin berlian itu berada.

“Aku nervous, Ay! Aku nggak pernah ngelamar cewek. Tanganku gemetaran,” sahut Nanda sambil merayap di lantai, mencari cincin berlian yang masih belum tertangkap oleh matanya.

Nia dan Andre tertawa melihat kekacauan lamaran yang terjadi. Terlebih, Nanda masih terus merayap mencari keberadaan cincin berlian yang akan digunakan untuk melamar Ayu.

“Pa, jangan ketawa! Bantuin cari cincinnya!” pinta Nanda sambil menggeser sofa dan semua perabotan yang ada di dalam ruangan tersebut hingga menjadi kacau balau.

“Nan, kamu niat ngelamar aku atau nggak, sih? Kenapa cincinnya malah dihilangkan?” tanya Ayu sambil menahan kesal.

“Niat, Sayang! Ya Allah ...!” Nanda berlari menghampiri Ayu. Menangkup kepala wanita itu dan menciumi wajahnya. “Aku cari dulu cincinnya.”

Nia dan Andre terkekeh melihat sikap puteranya yang masih kebingungan mencari cincin itu. Meski mereka melihat ke mana arah cincin itu menggelinding, mereka sengaja tidak memberitahukan Nanda.

Nanda menggeser ranjang pasien yang ada di ruangan tersebut. Kemudian, menggeser lemari nakas yang menjadi target terakhirnya.

“AY, KETEMU ...!” seru Nanda sambil meraih cincin itu dari lantai dan meniupnya. Masih menggosoknya di kain celana  yang ia kenakan agar tidak kotor dan melompat ke atas tempat tidur. Kemudian, menarik lengan Ayu dengan cepat.

Ayu langsung mengerutkan bibir sambil menahan senyumnya.

“Kita jadi nikah ‘kan? Gimana kalau kamu yang lamar aku aja biar nggak salah-salah? Aku nervous,” ucap Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah Andre dan Nia. “Oom, masa Ayu yang disuruh lamar dia? Dia nggak mau lamar aku, dong? Nggak jadi nikah, nih!”

“Hehehe. Jangan gitu dong, Ay! Iya, iya. Aku yang lamar kamu,” sambar Nanda sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia duduk di tepi ranjang dengan dua kaki tergantung dan menarik tubuh Ayu agar merapat dengannya.

“Ay, apakah kamu mau menikah dengan lelaki brengsek ini?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu sudah lima belas tahun jadi pria brengsek. Sudah waktunya pensiun. Harus berubah jadi pria baik, suami yang baik, ayah yang baik dan kakek yang baik di masa depan.”

Nanda mengangguk. “I promise. Aku akan menjadi apa pun yang kamu katakan dan kamu inginkan.”

Ayu tersenyum manis sambil mengulurkan jemari tangannya. “Jadi pasangin aku cincin, nggak?”

Nanda tertawa kecil. Ia segera memasangkan cincin itu ke jari manis Ayu dan mengecup lembut punggung tangan wanita itu. “I love you, Ay ...!”

“So am I,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu dan mengulum bibir wanita itu penuh cinta. Ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa menjalani setiap paginya bersama dengan wanita itu. Ia tahu, ada banyak hal buruk di dunia yang tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya terjerumus.

Satu hal yang paling ia sesali ketika remaja adalah ia tidak mampu membatasi pergaulannya sendiri hingga pergaulan bebas adalah sebuah kebanggaan untuk dunianya. Hingga membuat masa depannya begitu suram. Ayu adalah satu-satunya wanita yang berani menghukumnya dengan kejam agar ia bisa menjadi pria yang baik di masa depan. Dan hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pria baik dan melahirkan anak-anak yang baik pula untuk kehidupan-kehidupan berikutnya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 



 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas