Wednesday, August 17, 2022

Bab 27 - Tak Percaya

 



“Braaak ...!” Edi langsung murka begitu ia melihat video rekaman CCTV Ananda yang bersama wanita lain hingga berujung perkelahian dengan Sonny.

Semua polisi yang ada di ruangan itu terdiam melihat sikap Edi yang begitu murka karena puteri semata wayangnya dinodai dan dipermainkan oleh Nanda.

“Aku sudah tertipu karena mempercayakan puteriku pada keluarga itu!” Suara bariton Edi memenuhi ruangan. Tangannya terus mengepal keras dan rahangnya mengeras hingga urat-urat di lehernya nampak begitu jelas.

“Saya akan bawa kasus ini ke meja hijau dan menuntut keluarga Perdanakusuma itu!” tegas Edi.

Polisi yang ada di sana mengernyitkan dahi. Ia menoleh ke salah satu pengacara yang sudah dikirim untuk menangani kasus Nanda.

“Pak, di sini klien saya yang jadi korban. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan harus menjalani operasi besar dengan biaya yang besar juga. Kenapa malah klien saya yang dituntut?” tanya pengacara keluarga Perdanakusuma.

“Puteri saya yang jadi korban. Saya punya semua buktinya dan saya akan tuntut dia secara pidana dan perdata, secara hukum negara juga hukum adat keraton kesultanan kami! Bilang sama Andre, aku tidak akan menolerir lagi perbuatan puteranya ini! Saya malah senang kalau dia mati,” sahut Edi dengan suara keras yang menguasai seluruh ruangan.

“Pak, bukannya masalah itu sudah diselesaikan secara kekeluargaan lewat mediasi. Kali ini kasusnya beda. Ini kasus penganiayan yang dilakukan saudara Sonny Pratama terhadap klien saya yang bernama Ananda Putera Perdanakusuma. Klien saya telah mengalami kerugian secara fisik, mental dan finansial ...”

“Halah, persetan sama itu semua!” sambar Edi sebelum pengacara itu menyelesaikan ucapannya. “Kita lihat, siapa yang akan menang. Kami atau kalian!?” serunya dengan nada semakin meninggi.

“Mas Edi ...! Bisakah kita selesaikan ini dengan cara kekeluargaan saja?” Andre langsung masuk ke dalam ruangan tersebut bersama istrinya.

“Kekeluargaan-kekeluargaan apaan!? Harga diri puteriku diinjak-injak sama kalian. Kalian masih mau menyelesaikan ini secara kekeluargaan. Saya sudah kasih anak kamu itu kesempatan untuk bertanggung jawab atas puteriku. Puteriku malah disia-siakan dan diperlakukan seperti ini!” seru Edi.

“Mas Andre, ini gimana?” bisik Nia sambil menggenggam erat tangan Andre. Perasaannya benar-benar tak karuan saat tim pengacara keluarganya mengirimkan video Nanda yang bersama dengan Arlita sesaat sebelum kejadian perkelahian itu terjadi. Hatinya benar-benar terpukul karena sikap puteranya itu.

“Mas, kami akan tarik tuntutan kami terhadap Sonny. Asal Mas Edi tidak membawa kasus Nanda ke meja hijau,” ucap Andre.  “Kami akan mempertanggungjawabkan semuanya. Nanda adalah anak kami. Kesalahan dia juga tanggung jawab kami. Kami janji, akan membuat Nanda mencintai Ayu dan menjadikan Ayu sebagai istri satu-satunya untuk dia.”

“Istri satu. Selingkuhannya banyak. Sama aja!” sahut Edi. Ia keukeuh tidak ingin memberikan maaf lagi dan membawa kasus pemerkosaan puterinya itu ke meja hijau.

“Mas, Nanda itu masih muda. Dia belum tahu ...”

“BELUM TAHU APA!? Sudah bisa bikin anak!” sambar Edi. Langsung melangkah pergi dari sana karena semakin emosi ketika berhadapan dengan Andre yang terus membela kesalahan puteranya.

“Eh!? Jangan lupa lepasin Sonny, ya! Kalau sampai kamu penjarain Sonny, aku bakal bikin perhitungan yang lebih besar lagi!” seru Edi sambil menunjuk wajah Andre sebelum ia benar-benar pergi.

Andre menghela napas. Ia terduduk lemas di sofa ruang kapolsek itu sambil memijat keningnya yang bedenyut. “Dosa apa aku sampai punya anak kayak gini?” gumamnya.

“Jadi gimana, Pak Andre? Apa akan tetap melanjutkan kasus ini ke persidangan?” tanya pengacara keluarga Andre.

Andre menggeleng. “Kamu bebaskan Sonny saja! Berapa pun dendanya, akan saya bayar.”

“Baik, Pak!”

Nia menghela napas dan bersandar lemas di sisi Andre. “Mas, kita lihat anak kita dulu! Roro Ayu sudah kabari kalau Nanda selesai operasi. Aku pusing banget, Mas,” ucapnya lirih.

Andre mengangguk. Ia segera bangkit dari sofa. Merangkul pundak Nia dan segera berpamitan dari ruang pemeriksaan tersebut. Ia menyerahkan semuanya pada pengacara keluarga yang biasa menangani perkara perusahaan dan keluarganya selama ini.

 

...

 

Di rumah sakit, Ayu terus menatap wajah Nanda yang masih belum sadarkan diri pasca operasi. Ia memeras handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat dan menyeka wajah Nanda perlahan. Perasaannya masih saja tak karuan. Ia masih sangat mecintai Sonny, tapi ia juga sangat membutuhkan Nanda untuk masa depan anaknya.

“Roro Ayu, bunda pulang dulu, ya! Ayahmu sudah jemput bunda di parkiran depan,” pamit Bunda Rindu sambil menatap wajah puterinya yang masih menunjukkan baktinya sebagai seorang istri.

Ayu mengangguk. Ia langsung meletakkan handuk di tangannya ke dalam baskom kecil yang ada di atas nakas dan melangkah mengantarkan sang bunda yang akan keluar dari ruangan tersebut. “Ayah nggak masuk ke sini?” tanyanya lirih.

Bunda Rindu menggeleng sambil tersenyum kecil. “Ayahmu nggak mau masuk ke sini. Katanya, buru-buru ada pertemuan dengan kolega bisnisnya.”

“Oh.” Ayu mengangguk tanda mengerti. Ia merasa lebih lega jika Bunda Rindu sudah pergi sebelum Nanda tersadar dari pengaruh obat bius.

“Ayu, Bunda boleh tanya sesuatu sebelum bunda pergi?” tanya Bunda Rindu.

“Iya.”

“Tadi ayahmu nyuruh bunda cek mutasi rekening. Kamu abis keluarin uang delapan ratus juta, untuk apa?” tanya Bunda Rindu.

“Buat bayar operasi Nanda, Bunda. Kenapa?”

“Oh. Nggak papa. Bunda cuma tanya aja. Ya udah, bunda pulang dulu ya!” pamit Bunda Rindu sambil memeluk tubuh Ayu dan menciumi wajah puteri kesayangannya itu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Hati-hati, Bunda! Salam untuk ayah!”

Bunda Rindu mengangguk sambil tersenyum manis dan melangkah pergi meninggalkan Roro Ayu menjaga suaminya dengan baik.

Ayu menghela napas sambil mengelus dada dengan perasaann lega. Untungnya, Bunda Rindu tidak marah karena ia menggunakan tabungan pribadi untuk membayar biaya operasi suaminya itu. Sejak dulu, Ayu memang menggunakan rekening milik ibunya dan ia enggan untuk menggantinya. Sehingga,Bunda Rindu bisa mengecek mutasi rekening yang ia gunakan setiap saat lewat internet banking yang terhubung ke ponsel bundanya itu.

Ayu melangkah tak bersemangat menghampiri Nanda yang terbaring di sana. Ia tidak tahu, harus sedih atau bahagia. Perasaannya kali ini bercampur aduk tak karuan. Ia ingin menangis, tapi tak bisa menangis. Ia ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

“Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Berbakti atau pergi?” gumam Ayu sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Sekitar dua bulan lagi, ia akan menjalani persalinan dan hingga kini ia masih belum mengetahui jenis kelamin anak yang ada di dalam perutnya itu. Ia memang sengaja tidak melakukan USG karena Nanda belum ada waktu menemaninya melihat calon bayi mereka. Mungkinkah Nanda memang tidak ingin memiliki waktu untuk melihat bayi yang tidak pernah mereka inginkan ini?

“Nak, bunda akan sayang sama kamu. Sehat-sehat, ya! Temani bundamu berjuang. Kamu anak hebat!” ucap Ayu menyemangati diri sendiri sambil tersenyum manis. Hanya senyuman kecil dan doa-doa kebaikan yang bisa ia lakukan saat ini. Ia harap, kejadian ini bisa memberi Nanda pelajaran dan menjadikannya kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab atas dirinya sendiri juga keluarga kecil mereka.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil membuka matanya perlahan. Ia langsung menoleh ke arah Ayu yang sedang berdiri di sisi ranjangnya.

“Udah sadar?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk kecil. “Aku haus.”

Ayu segera meraih botol air mineral yang ada di atas nakas dan membantu meminumkannya ke mulut Nanda. “Kamu sudah sadar dari pengaruh obat bius. Apa kamu juga bisa sadar dari pengaruh pergaulan bebas di luar sana? Kamu sudah mau jadi ayah, mau sampai kapan kayak gini terus? Sekarang, barangmu kemungkinan nggak bisa berdiri lagi. Apa cewek-cewek itu mau berhubungan sama kamu lagi?”

“HAH!?” Nanda langsung memeriksa bagian inti tubuhnya yang dibalut perban pasca operasi. “Anjing si Sonny!” umpatnya. “Aku bakal balas perbuatan dia!”

Ayu menghela napas. “Kamu yang salah, Nan. Kenapa kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu? Harusnya, Sonny nggak bikin kamu kayak gini. Harusnya dia bikin kamu mati sekalian!” ucapnya kesal.

“Kamu mau jadi janda kalau aku mati!?” sahut Nanda tak kalah kesal. Ia tiba-tiba benci dengan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan hubungan intim bersama sang istri, apalagi wanita lain.

Ayu gelagapan mendengar pertanyaan Nanda. Bukannya berubah, pria ini malah semakin menyebalkan pasca terbangun dari pengaruh obat bius. “Kusumpahin barangmu nggak bisa bangun lagi untuk selamanya!” ucapnya kesal sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda.

“Ay, kamu mau ke mana?” seru Nanda. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia sangat membutuhkan wanita itu untuk saat ini. Ia tidak mungkin meminta orang lain merawat luka di bagian inti tubuhnya ini. Akan lebih memalukan lagi jika semua orang tahu kalau barangnya telah rusak dan ia tidak bisa melakukan hubungan normal seperti biasanya.

 

 

 

 

((Bersambung...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas