Sunday, July 31, 2022

Bab 15 - Pilih Menantu

 


Nanda melangkahkan kakinya dengan pasti menuju ke ruang Presdir Amora International. Tempat papanya biasa bekerja setiap hari. Amora International adalah grup perusahaan dari lima belas anak perusahaan. Nanda yang masih suka bermain-main, hanya diberi jatah untuk mengurus satu anak perusahaan saja. Satu perusahaan saja tidak berkembang dan sering mengalami kerugian. Membuat Andre tidak bisa mempercayakan semua perusahaan yang ia miliki kepada puteranya.

“Pagi, Pa ...!” sapa Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja Papa Andre.

“Pagi. Tumben ke sini? Perusahaanmu bermasalah lagi?” tanya Andre.

Nanda mengangguk dan duduk santai di kursi yang ada di hadapan meja kerja papanya. “Perusahaan produksi anak lagi kacau dan bermasalah.”

“Kamu lagi bicarain Roro Ayu?” tanya Nia yang baru saja keluar dari toilet ruangan tersebut.

“He-em,” jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Nan, Roro Ayu itu keturunan bangsawan. Dia wanita berpendidikan, gaya bicara santun, sikapnya lembut. Apa kamu tidak bisa merubah sikapmu jadi pria yang baik? Kamu ini sudah mau jadi bapak, loh,” tutur Nia sambil menatap wajah Nanda.

“Lembut apanya? Membangkang terus!” celetuk Nanda. “Aku tuh udah berusaha baik-baik sama dia. Kemarin, dia udah baik sama aku. Setelah ketemu Sonny, dia makin ngeselin. Jangan-jangan si Sonny yang udah pengaruh Ayu buat nyerang keluarga kita.”

“Ayu wanita yang cerdas. Dia nggak akan mudah terpengaruh sama orang lain. Dia selalu bersikap baik. Kalau dia bersikap buruk sama kamu, mungkin karena kamu sudah memperlakukan dia dengan buruk juga.” Sahut Nia.

“Ma, yang anak mama itu aku atau dia? Kenapa belain Ayu terus? Semua orang belain Ayu. Siapa yang belain aku?” tanya Nanda sambil menahan kesal. “Dia juga bisa menindas dan merendahkan aku ‘kan?”

“Kamu sudah salah, masih minta dibela?” tanya Papa Andre sambil menatap wajah puteranya.

Nia menghela napas sambil menatap wajah puteranya. “Nan, papamu sudah mempertaruhkan semuanya supaya kamu nggak masuk ke penjara. Apa itu namanya nggak lagi belain kamu, hah!?”

“Emangnya nggak ada cara lain selain menyerahkan perusahaan keluarga kita ke keluarga mereka? Ayu udah maafin aku dan aku bisa bujuk dia untuk terima semuanya. Orang dia juga keenakan, kok. Kenapa aku aja yang disalahkan? Alasan dia aja terlalu banyak supaya bisa menguras harta keluarga kita,” sahut Nanda kesal.

“Kalau kamu nggak salah, dia nggak akan menguras keluarga kita,” sahut Andre.

“Papa kayak nggak pernah muda aja,” sahut Nanda makin kesal.

“Mudanya papa nggak kayak kamu!” Andre melebarkan kelopak matanya ke arah Nanda.

Nanda terdiam saat mendapati tatapan tajam dari papanya. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi Ayu. Jika wanita itu masuk ke perusahaannya, ia tidak akan leluasa dan bergerak bebas di sana.

Nanda menghela napas dan merendahkan nada suaranya. “Oke, Pa. Aku tahu aku salah. I’m sorry ...! But ... mmh, bisa atau nggak bikin Roro Ayu berhenti mengurusi kehidupan pribadi dan perusahaanku?”

“Alasannya?” tanya Andre dingin sambil memperhatikan layar laptopnya kembali. Ia enggan menanggapi permintaan puteranya karena ia sudah mengetahui bagaimana prestasi Ayu semasa sekolah hingga ia bekerja sebagai manager pengembangan bisnis di salah satu perusahaan swasta di kota itu. Meski ayahnya punya perusahaan, tapi Ayu malah memilih bekerja di tempat orang lain. Alasannya, hanya Ayu yang mengetahuinya sendiri.

“Mmh, anu ... mmh, itu ... anu, Pa.” Nanda kebingungan mencari jawaban. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk mencari alasan yang tepat. Tapi tetap saja semua alasan yang ada dipikirannya, malah membuat keadaan semakin kacau.

“Anu apa?” tanya Andre sambil menatap wajah puteranya.

“Itu ... mmh ...” Nanda melirik ke arah mamanya yang berdiri di sebelah Andre. “Anu ...”

“Takut kalau ayu menghabisi semua perempuan simpananmu? Pantes aja perusahaan nggak bisa berkembang. Otakmu isinya cuma perempuan aja,” sahut Nia.

“Memangnya Mama bukan perempuan? Papa nggak pernah mikirin Mama?” tanya Nanda.

“Beda, dong. Mama di sini bantu bisnis papa kamu supaya bisa berkembang. Nggak kayak pacar-pacarmu yang nggak jelas itu. Bisanya cuma mintain duitmu doang. Kalau kamu tiba-tiba jatuh miskin, apa mereka masih mau sama kamu?” sahut Andre sambil menatap wajah Nanda.

“Pa, itu semua cuma hiburan doang. Setress sama kerjaan kantor yang numpuk, pulang ke rumah denger istri ngomel terus. Makin setress aku kalau nggak ada hiburan,” ucap Nanda berdalih.

“Pandai banget beralasan. Lebih baik, kamu urus aja perusahaan dengan baik! Ada Roro Ayu yang akan membantumu mengembangkan bisnis. Daripada kamu buang-buang waktu buat ngeluh di sini, lebih baik pulang dan urus perusahaanmu!” pinta Andre.

“Papa ngusir aku?” Nanda mengernyitkan dahi menatap wajah dingin papanya.

“Papa ada tamu penting. Lebih baik kamu keluar dari ruangan ini! Papa nggak mau dia tahu kalau papa punya pewaris bisnis yang begitu payah!” perintah Andre sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda langsung bangkit dari sofa dan menatap kesal ke arah papanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau papanya tidak mau mendengarkan dia sama sekali. Kedua orang tuanya lebih memilih untuk memihak Roro Ayu yang jelas-jelas sedang ingin mengendalikannya. Apa pun yang akan dia ucapkan saat ini, tidak akan berguna sama sekali.

Tok ... tok ... tok ...!

“Selamat pagi, Pak ...!” sapa sekretaris Andre sambil masuk ke dalam ruang kerja tersebut. “Tuan dan Nyonya Ye sudah datang. Langsung saya suruh masuk atau menunggu terlebih dahulu?”

“Suruh masuk saja!” pinta Andre sambil bangkit dari kursinya.

“Baik, Pak!” Sekretaris itu langsung keluar dari pintu ruangan tersebut dan mempersilakan tamu mereka untuk masuk ke dalam ruang kerja bos mereka.

Nia langsung merangkul Andre dan melangkah bersamaan menyambut kedatangan teman baik mereka untuk membicarakan bisnis.

“Hei, ada Nanda di sini?” sapa Yuna sambil menatap wajah Nanda.

“Iya, Tante,” balas Nanda sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan Yuna dan Yeriko bergantian. Memberi penghormatan untuk orang yang sudah seharusnya ia hormati.

“Gimana bisnis kamu? Lancar?” tanya Yuna sambil tersenyum manis.

“Lancar, Tante,” jawab Nanda sambil tersenyum canggung.

“Tante dengar, kamu sudah menikah ya? Istri kamu mana?” tanya Yuna.

“Di rumah, Tante. Lagi hamil muda. Jadi, harus banyak istirahat.”

“Wah, sudah mau jadi bapak?” tanya Yuna sambil tersenyum manis. Ia merangkul lengan Yeriko yang berdiri di sampingnya.

Nia tersenyum menatap wajah Yuna dan Yeriko. “Mari duduk!”

Yuna dan Yeriko mengangguk bersamaan dan duduk di sofa tamu yang sudah disediakan. Mereka terlihat serius membicarakan kerjasama bisnis yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.

“Nanda, kamu masih urus satu perusahaan?” tanya Yeriko sambil menoleh ke arah Nanda yang kebetulan juga ada di sana.

“Iya, Oom.”

“Kamu anak tunggal. Warisan keluargamu hanya akan jatuh di kamu. Nggak perlu berbagi dengan saudara yang lain. Kenapa masih urus satu anak perusahaan saja? Papamu terlalu memanjakanmu?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Nanda.

Nanda terdiam sambil menelan salivanya dengan susah payah. Sudah hampir empat tahun ia memimpin satu anak perusahaan milik Amora dan tidak ada perkembangan. Membuktikan kalau ia tidak bisa mengembangkan bisnis orang tuanya dengan baik.

“Nan, kamu punya previlege. Apa itu tidak bisa membantumu berkembang lebih pesat dari yang lain?” tanya Yuna.

Nia menghela napas mendengar pertanyaan Yuna. “Susah, Yun. Dia nggak bisa seperti anak-anakmu yang pandai berbisnis. Ngurus satu perusahaan aja keuangannya sering minus. Untungnya perusahaan lain masih bisa nolong.”

“Oh ya? Serius, Nanda?” tanya Yuna sambil menatap wajah Nanda. “Ibumu punya perusahaan transportasi yang cukup besar, loh. Harusnya stabil ‘kan? Bahkan bisa berkembang lebih cepet.”

“Dia mah berkembang biaknya aja yang cepet,” sahut Nia sambil menunjuk Nanda dengan dagunya.

“Hahaha.” Yuna langsung tergelak mendengar ucapan Nia. Ia teringat dengan cerita wanita itu saat bertemu beberapa waktu lalu.

Nanda terdiam. Ia hanya mendengarkan pembicaraan dua pasangan bisnis yang ada di hadapannya itu. Terlalu banyak hal yang ia tidak tahu tentang sejarah dan cara membaca masa depan. Membuatnya tidak bisa bergabung dalam pembicaraan tersebut. Terlebih, di setiap pembicaraan mereka selalu terselip kalimat yang terkesan menyindir kinerjanya di perusahaan dan juga kelakuan nakalnya yang tidak berubah meski kini ia sudah berkeluarga.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih selalu menjadi sahabat setia bercerita!

Semoga bisa menghibur, menginspirasi dan menjadi motivasi untuk kalian semua dalam menghadapi kesulitan hidup ini.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 



 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas