Wednesday, August 17, 2022

Bab 48 - Back to Indonesia

 




“Ay, aku boleh nginap di sini?” tanya Nanda saat ia sudah mengantarkan Ayu kembali ke flat miliknya.

“Nggak boleh.”

“Jujur banget?”

“Kita belum nikah, mana boleh tinggal bareng,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam flat miliknya.

“Udah. Aku pegang buku nikahnya,” sahut Nanda sambil mengeluarkan marriage book dari dalam saku jaketnya. “Kalau kamu ngusir aku, aku tinggal tunjukin buku nikah ini dan bilang kalau kamu istri yang kejam karena sudah mengusir suami sendiri.”

“Kamu ...!?” Ayu mendengus ke arah Nanda. “Kenapa kamu masih pegang buku nikah? Padahal pernikahan kita udah dibatalkan.”

“Ini bukti kalau orang tuamu membatalkan pernikahan kita secara sepihak. Mereka pakai sistem cerai ghaib, loh. Makanya, buku nikah ini masih ada sama aku,” jawab Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

Ayu menghela napas. Ia melangkah begitu saja menuju sofa mungil rumahnya. “Tidur di sofa!”

“Ay, kita ini masih suami-istri, loh. Buku nikahnya ada, Ay,” tutur Nanda sambil mengikuti langkah Ayu menuju ke kamarnya.

“NANDA ...! Aku baru baik sama kamu. Mau kalau aku marah lagi?” seru Ayu kesal.

“Iya, iya. Aku tidur di sofa. Tapi temenin, ya!” pinta Nanda.

“Minta temenin sama TV. Aku capek,” jawab Ayu sambil masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

Nanda gelagapan sambil menatap pintu kamar Ayu yang sudah tertutup rapat. Ia menjatuhkan keningnya ke daun pintu kamar tersebut. “Ay, kalau aku nggak boleh masuk. Kamu yang keluar, dong!” rengeknya.

“Nan, aku capek. Mau tidur. Kamu tidur, gih!” sahut Ayu yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur.

“Ay, aku nggak bisa tidur,” ucap Nanda sambil terus bergerak gelisah. Ia menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Telapak tangannya terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayu.

“Iih ... Nanda ...! Kamu ini ngriseli banget, sih!?” Ayu langsung bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarnya.

Nanda langsung tersenyum lebar dan berbalik menatap wajah Ayu. “Aku belum ngantuk. Kita nonton, yuk!”

“Nonton apaan?” tanya Ayu.

“Film, dong. Masa nontonin tetangga lagi main di sebelah,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya.

Ayu memutar bola mata. Ia meraih remote televisi dan duduk di sofa. “Mau nonton film apa?”

“Ini bisa streaming ‘kan? Redtube bisa, nggak?” tanya Nanda sambil duduk di samping Ayu dan tersenyum lebar.

“Redtube gundulmu!” dengus Ayu sambil menoyor bantal sofa yang ada di tangannya.

“Eh, serius. Di sini nggak usah pake VPN untuk akses situs-situs dewasa ‘kan?” tanya Nanda sambil merebut remote dari tangan Ayu.

“Nggak boleh! Udah kena karma, masih nggak tobat juga!?” dengus Ayu.

Nanda terkekeh. Ia memeluk tubuh Ayu dan melingkarkan kedua kakinya di pinggang wanita itu. “Tobat, Ay. Jangan dikasih karma lagi!” pintanya. “Disayang, ya!”

Ayu melirik wajah Nanda sambil menahan tawa. “Kenapa kamu jadi manja gini?”

“Karena aku  kangen banget sama kamu,” jawab Nanda sambil bergelayut manja di tubuh Ayu.

Ayu tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak usah kayak anak kecil gini, deh! Kamu nginap di hotel mana di kota ini?”

“Nggak tahu,” jawab Nanda.

Ayu mengernyitkan dahi sambil menatap wajah Nanda. “Kamu udah berapa hari nggak mandi? Badanmu bau, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil mengendus tubuhnya sendiri. “Aku belum mandi dari pagi.”

“Mandi, gih!” perintah Ayu.

“Dingin, Ay. Ini England, bukan Indonesia. Badanku nggak bau-bau banget, kok,” ucap Nanda sambil mengendus tubuhnya sekali lagi. Ia mengubah posisinya dan memilih membaringkan tubuhnya di sofa tersebut. Kepalanya berada tepat di pangkuan Ayu.

“Ay, aku mau tidur di pangkuanmu malam ini. Mandinya besok pagi aja, ya! Dingin banget,” ucap Nanda sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Ayu tersenyum sambil membelai lembut rambut Nanda. “Besok kita terbang ke Indonesia. Kita langsung ke rumah eyang. Gimana?”

Nanda langsung menatap wajah Ayu yang ada di atasnya. “Serius!? Beneran besok? Aku suruh asistenku siapin tiket.”

“Nggak usah. Aku udah urus tiket untuk pulang ke sana.”

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu mengangguk.

Nanda tersenyum bahagia. Ia menarik kepala Ayu dan menciuminya berkali-kali. “Sebelum ke rumah eyang kamu ... kita ke makam Axel dulu, ya!”

Ayu mengangguk setuju. Ia memeluk lembut kepala Nanda yang masih berbaring di pangkuannya sembari menikmati film romance yang terputar di televisi miliknya. Bisa menikmati banyak waktu bersama orang dicintai adalah hal yang paling membahagiakan.

Meski saat ini Nanda terkesan manja, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Mungkin sudah terlalu banyak penderitaan yang ditanggung Nanda karena keegoisan keluarganya, juga karena keegoisan dirinya sebagai seorang wanita.

 

...

 

Sepanjang perjalanan ke Indonesia, Nanda tak pernah melepaskan genggaman tangan Ayu. Kecuali saat ia pergi ke toilet.

Sesuai dengan jadwal perjalanan yang sudah dipilih oleh Ayu, mereka berdua akan tiba di Bandara Juanda, tepat jam satu siang waktu setempat.

Ayu mengedarkan menengadahkan kepala sambil memutar tubuhnya saat ia sudah berada di pintu kedatangan Bandara Internasional Juanda, kota Surabaya. Tak banyak hal yang berubah sejak ia pergi tiga tahun lalu. Kota ini tetap menjadi kenangan masa-masa remajanya dan begitu ia rindukan. Ada bahagia, sedih, sakit, kecewa dan harapan di dalamnya.

“Selamat siang, Tuan Presdir ...!” sapa salah seorang pria berjas sambil menghampiri Nanda yang baru saja melewati pintu keluar.

“Siang,” balas Nanda sambil melepas koper di tangannya dan membiarkan orang-orangnya mengambil alih koper tersebut. Ia langsung menggandeng masuk tubuh Ayu, masuk ke dalam mobil yang telah disediakan untuknya.

“Kamu lagi pamer kesuksesan kamu di depanku, Nan? Pakai acara disambut pakai anak buah segala?” tanya Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Aku nggak tahu. Fasilitas dari perusahaan,” jawab Nanda. “Jalan, Pak!” perintahnya pada supir yang duduk di belakang kemudi.

“Ke makam putera saya,” jawab Nanda.

“Baik, Pak!”

“Mampir ke toko bunga dulu seperti biasa!” perintah Nanda lagi.

“Siap, Pak!”

Beberapa menit kemudian, mobil yang membawa Nanda dan Ayu berhenti di salah satu toko bunga yang ada di tepi jalan.

“Kamu mau kasih bunga apa untuk Axel?” tanya Nanda sambil menajak Ayu masuk ke dalam toko bunga tersebut.

“Biasanya kamu kasih apa?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya, memindai bunga-bunga yang tersedia di toko bunga tersebut.

“Aku kasih kaktus,” jawab Nanda sambil meraih pot mungil berisi bunga kaktus.

“Kaktus?”

Nanda mengangguk. “Ini lebih sederhana untuk pria seperti Axel,” jawabnya sambil tersenyum.

“Masuk akal,” tutur Ayu sambil mengangguk. Ia mengendus aroma mawar putih yang kebetulan berada di hadapannya.

“Mau bunga mawar?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku ambil bunga ini saja untuk Axel,” ucapnya sembari meraih bunga lili warna kuning. “Aku nggak pernah mengantarkan Axel ke peristirahatan terakhirnya. Ini pertama kalinya aku mengunjungi dia. Semoga dia suka dengan bunga pilihanku.”

Nanda tersenyum sambil merangkul dan mengecup pelipis Ayu. “Dia pasti senang dengan apa pun pemberian ibunya.”

Ayu mengangguk. Ia tersenyum manis sambil menatap bunga lily yang ada di tangannya. Ia tidak bisa membayangkan wajah puteranya. Sebab, ia tidak pernah mengetahui bagaimana wajah Axel setelah dilahirkan. Kedua orang tuanya pun tidak memiliki potret putranya itu. Kalau dia masih hidup, sudah pasti akan setampan wajah papanya.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berpindah ke area pemakaman elite yang ada di kota tersebut.

Ayu terus melangkahkan kakinya mengikuti Nanda. Ia tertegun ketika sampai di pusara puteranya dan menatap wajah mungil Axel yang seharusnya ia lihat sejak dilahirkan.

“Anakku ...!” Ayu langsung memeluk pusara dan potret Axel kecil yang ada di sana sambil menangis. Ia terus menciumi potret Axel. Putera kecil yang ia lahirkan dan tidak pernah ia lihat, apalagi ia sentuh tubuhnya. Di tengah hujan air matanya, bibir Ayu terus menyunggingkan senyuman sambil memeluk bingkai foto Axel. Rasanya, ia ingin berlama-lama ada di sana dan enggan pergi dari pusara puteranya itu.

“Nak, bisakah kamu turun lagi ke dunia dan tetap menjadi anak kami?” bisik Ayu sambil mengusap lembut pusara Axel Noah. Ia sangat berharap, bisa menggendong bayinya seperti yang selalu ia impikan tiga tahun lalu.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

 

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas