Wednesday, August 17, 2022

Bab 61 - Bantuan dari Karina

 



“Nan, kalau kamu nggak keberatan. Aku bisa bantu kamu. Kamu bisa kerja di perusahaanku,” tutur Karina setelah mengetahui keadaan Nanda yang diusir keluarga karena menolak perjodohan dengannya.

Nanda menggeleng. “Nggak, Rin. Makasih banget buat niat baikmu. Tapi ... aku nggak bisa menerimanya. Aku nggak mau berhutang budi dan semakin mempersulit hubungan bisnis ini.”

“Jadi, mau kamu gimana?” tanya Karina dengan mata berkaca-kaca. Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan Nanda saat ini.

“Kalau aku miskin dan nggak punya apa-apa lagi, orang tuamu pasti nggak akan mau nerima aku ‘kan?” tanya Nanda.

Karina menggelengkan kepalanya. “Nggak gitu, Nan. Dengan kita menikah, kamu bisa masuk ke perusahaanku dan kita bisa hidup bahagia bareng. Nggak perlu hidup miskin kayak gini, Nan. Demi cintamu ke perempuan itu, kamu sampe rela ngelepasin semuanya? Nggak realistis banget, Nan.”

Nanda tertawa kecil mendengar ucapan Karina. “Kalau realistis, itu bukan cinta. Tapi rasa tanggung jawab.”

“Cinta juga harus bertanggung jawab ‘kan?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda. “Sekarang, mana perempuan yang lagi kamu perjuangkan itu, Nan? Dia ada di saat kamu lagi terpuruk kayak gini? Nggak ada ‘kan?”

“Andai dia dekat, dia pasti selalu ada untukku, Rin,” jawab Nanda sembari tersenyum membayangkan wajah Ayu yang cantik, lembut dan selalu membuatnya tenang.

Karina menghela napas. “Aku udah tahu semua cerita tentang mantan istrimu itu, Nan. Oom Andre bilang, dia wanita jahat yang sudah memenjarakan kamu dan bikin keluarga kalian bangkrut tiga tahun lalu. Kalau dia itu cinta sama kamu, nggak mungkin ngelakuin itu. Kenapa perempuan kayak gitu masih kamu pertahankan? Ada aku yang selalu baik sama kamu, selalu nolong kamu, selalu ada di saat kamu butuh. Kenapa kamu nggak mau lihat aku?”

Nanda menghela napas dan menatap lekat mata Karina. “Rin, andai cinta itu bisa dipilih. Aku jelas akan pilih kamu. Itu lebih rasional. Tapi cinta itu soal hati, bukan pikiran. Cinta itu tentang ketidakmungkinan, tentang ketidaksempurnaan dan tentang ketidakadilan. Makanya, cinta itu bikin orang bodoh saat hati dan pikirannya nggak sejalan.”

Karina menatap wajah Nanda dengan mata berkaca-kaca. “Kamu rela jadi bodoh, jadi badut, jadi sampah demi perempuan itu?” tanyanya. Ia benar-benar merasa sakit karena Nanda tidak pernah melihatnya dan ingin sekali bisa menjadi wanita yang begitu hebat hidup di dalam hati Nanda saat ini. Meski wanita itu sudah menyakiti bertubi-tubi, menjatuhkannya begitu dalam. Tapi Nanda ... tetap saja melihat wanita itu sebagai wanita terbaiknya. Betapa beruntungnya wanita yang bisa dicintai Nanda dan ia juga menginginkan itu.

“Rin, jangan nangis! Sudah banyak air mata wanita di luar sana yang membawaku pada penderitaan dan karma yang berkepanjangan. Saat ini aku bukan siapa-siapa. Aku bukan lagi anak dari keluarga Perdanakusuma. Aku nggak punya apa-apa, nggak akan bisa bikin kamu bahagia,” tutur Nanda.

Karina menggelengkan kepala dan langsung memeluk erat tubuh Nanda. “Aku nggak peduli siapa dan bagaimana kamu saat ini, Nan. Aku akan tetap sayang sama kamu. Asal kamu mau buka hatimu buat aku, aku akan menerima kamu apa adanya. Aku nggak akan menuntut apa pun dari kamu. Kalau kamu nggak bisa kerja, biar aku yang kerja dan kita bisa jadi keluarga yang bahagia,” ucapnya sambil terisak.

Nanda tersenyum kecil sambil mengusap pundak Karina. “Rin, kamu wanita yang baik, cantik, cerdas dan kaya raya. Kamu lebih pantas untuk dicintai daripada mencintai. Wanita yang lebih mencintai lelaki itu ... akan lebih banyak merasakan sakit. Aku bener-bener nggak punya cinta buat kamu dan aku nggak mau melukai hatimu.”

“Huuaa ...! Hiks ... hiks ... hiks ...! Aku harus gimana? Semua keluarga besarku udah tahu kalau kamu calon istriku, Nan. Aku harus ngomong apa sama mereka? Umurku udah nggak muda lagi, aku udah nggak punya waktu buat cari cowok lain lagi,” ucap Karina sambil menangis histeris.

Nanda tersenyum sambil memeluk Karina. “Rin, kamu bukan nggak punya waktu buat cari cowok lain. Ada banyak cowok di luar sana yang selalu mengagumi dan menyukaimu. Kamu terlalu sibuk mengejar pria yang tidak mencintaimu sehingga kamu melewatkan pria-pria yang mungkin bisa mencintaimu dengan sungguh-sungguh.”

Karina melepas pelukan sambil mengusap air matanya. “Apa iya seperti itu?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lembut. “Kalau nggak percaya, cobalah!”

“Coba?” Karina mengerutkan dahi sambil menatap wajah Nanda. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu.

Nanda menangkup kedua pipi Karina dan memutar ke arah lain. “Lihat! Di sana ada banyak cowok ganteng! Coba kamu ajak kenalan!”

“Iih ... nggak mau! Nggak kenal,” tutur Karina sambil mengerutkan wajahnya.

“Makanya, kenalan!”

“Kamu kenal sama mereka, nggak?”

“Nggak,” jawab Nanda sambil terkekeh.

“Iih ... ogah, ah! Kalau mau carikan aku jodoh tuh yang kamu kenal. Biar tahu bibit, bebet dan bobotnya. Pas gitu, mereka cowok penipu gimana? Zaman sekarang, banyak cowok yang pura-pura kaya biar bisa gaet mertua kaya!” sahut Karina.

Nanda terkekeh sambil menatap wajah Karina.

“Aku serius!? Nggak usah bercanda, deh!” pinta Karina sambil menepuk paha Nanda. “Jodohin aku sama salah satu temen yang kamu kenal aja.”

“Aku nggak punya teman.”

“Bohong!”

“Serius. Temen-temenku bangsat semua, Rin. Nggak cocok buat kamu.”

“Termasuk kamu?” tanya Karina sambil melirik ke arah Nanda yang duduk di sebelahnya.

Nanda terkekeh sambil menganggukkan kepala. “Aku ketua geng-nya. Kalau anak buahnya brengsek, berarti ketuanya lebih brengsek dari mereka.”

“Hmm ... kalo ketua geng ganteng kayak kamu, aku mau ... kayak Dilan.”

“Dilan siapa?” tanya Nanda.

“Tetangga!” sahut Karina kesal karena Nanda tidak pernah tahu film romansa sekolah yang pernah hits di Indonesia.

“Nah, itu udah punya tetangga yang ganteng. Nikah aja sama Dilan-Dilan itu!” seru Nanda.

“Dilan itu tokoh halu, Nanda! Kamu kudet banget, sih!?” seru Karina kesal.

“Oh gitu?” Nanda tertawa kecil sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena ia tidak mengerti sama sekali maksud Karina.

Karina mengangguk yakin. “Rencana kamu selanjutnya gimana? Beneran mau nolak bantuanku?”

Nanda menghela napas. “Aku nggak mau makin berhutang budi sama keluargamu, Rin.”

“Mmh ...” Karina membuka pesan yang tiba-tiba masuk ke dalam ponselnya. “Eh, handphone kamu mana?”

“Aku nggak punya handphone,” jawab Nanda.

“Astaga Dragon ...! Kamu handphone aja nggak punya? Kalau mau hubungi orang lain, gimana?”

“Langsung datengin aja,” jawab Nanda.

Karina menghela napas. Ia mengeluarkan handphone lain dari dalam tas tangannya. “Pakai ini untuk sementara!”

Nanda menggeleng. “Nggak usah, Rin! Ini terlalu mahal buat aku.”

“Gaya banget, sih!?” dengus Karina sambil tertawa kecil. “Nggak baik menolak bantuan dari orang lain,” lanjutnya sembari memaksa Nanda menerima ponsel darinya.

“Eh, aku dapet info bagus, nih.” Karina langsung menyodorkan layar ponselnya ke hadapan wajah Nanda. “Ada lomba model bisnis dari perusahaan pengembangan marketing. Mau ikutan? Hadiahnya lumayan, loh. Dikasih modal usaha sampai dua milyar.”

“Hah!? Serius? Bukan penipuan ‘kan?” tanya Nanda.

“Bukan, dong. Ini perusahaan besar dan resmi. Mau ikutan, nggak? Kamu jago bikin Model Bussines Canvas. Pasti menang kalau ikutan.”

“Mmh ... tapi untuk kayak gitu, aku harus kerja bareng tim. Aku nggak punya tim apa pun, Rin. Mana mungkin aku bisa.”

“Kamu bisa bentuk tim.”

“Itu semua butuh modal. Aku punya uang dari mana?” sahut Nanda.

“Aku pinjamkan uang untuk kamu, gimana?” tanya Karina. “Jaminannya, kamu harus dapet juara satu!”

Nanda tersenyum sambil menatap wajah Karina. “Kamu mau bantu aku ... tulus atau modus?”

“Tulus, dong! Aku bukan orang yang berpikiran sempit, Nan. Kalau kamu memang mau perjodohan kita batal, kita harus memikirkan cara untuk membuat perjodohan kita batal tanpa memengaruhi hubungan bisnis keluarga kita,” jawab Karina sambil tersenyum manis.

Nanda mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum lebar. “Thank’s, Rin ...! Aku janji, akan bayar semua hutangku ke kamu secepatnya.”

Karina mengangguk sambil tersenyum. Ia memang menyukai Nanda, tapi ia juga tidak begitu takut kehilangan pria ini. Mungkin, ia belum sampai ke level cinta dengan pria ini hingga membuatnya merasa lebih nyaman berteman daripada harus terikat hubungan bisnis yang begitu formal dan membuat mereka canggung.

 

((Bersambung...))

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas