Wednesday, August 17, 2022

Bab 45 - Ciuman Hangat

 


Nanda langsung menyambar kantong belanja dari tangan Ayu begitu melihat wanita itu sedang berbelanja di salah satu minimarket yang ada di kota tersebut. “Pacarmu yang tadi mana? Nggak temenin kamu belanja?” tanyanya.

Ayu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Nanda.

“Dia sibuk?” tanya Nanda lagi.

“Emangnya, pacar harus ada dua puluh empat jam buat kita?” sahut Ayu sambil berusaha menarik kantong belanja dari tangan Nanda.

“Nggak harus, sih. Tapi ... setidaknya dia bisa nemenin kamu karena ada aku di kota ini. Nggak takut kalau aku ngerebut kamu dari dia?” tanya Nanda sambil melangkah santai dan membawa kantong belanja milik Ayu.

Ayu menghela napas sambil mengikuti langkah Nanda. “Aku pikir, dia udah balik ke negaranya,” batinnya.

“Nan, kamu nggak balik ke Indo?” tanya Ayu sambil mengejar langkah Nanda.

“Aku balik kalau kamu mau balik juga ke sana.”

“Kalau aku  nggak mau?”

“Aku bisa pindah ke kota ini. It’s a good place,” jawab Nanda santai.

Ayu memutar bola matanya. “Kamu ini nganggur banget sampai punya waktu buat main-main di sini?”

Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ayu. “Aku sedang berjuang, Ay. Bukan sedang bermain.”

Ayu menghela napas dan tertunduk lesu. Ia benar-benar tidak bisa menghindar lagi dari Nanda. “Harusnya, kamu ngelakuin ini tiga tahun lalu. Kenapa baru sekarang?” gumamnya.

Nanda menatap wajah Ayu dan melangkah mendekati wanita itu. “Aku tahu, aku terlambat. Bisa kasih aku kesempatan? Aku janji, nggak akan sia-siakan kamu lagi.”

Ayu menatap lekat mata Nanda. Mencoba mencari ketulusan dari mata pria itu dan tatapannya malah membuatnya tidak bisa menolak permintaan pria itu. “Aku nggak yakin kalau kamu ...”

“Aku akan buktikan dan yakinkan kamu, Ay. Please ...! Kasih aku kesempatan lagi! Aku tahu, Blaize bukan pacarmu sungguhan ‘kan?”

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku ke Rion Cafe dan dia ada di sana,” jawab Nanda berbohong.

Ayu langsung menatap ke arah yang tak menentu. Berusaha menyembunyikan perasaannya karena ketahuan berbohong.

Nanda menangkup wajah Ayu dengan satu telapak tangannya. “Ay, kita masih punya kesempatan untuk berbaikan. Bisakah kita berbaikan seperti dulu? Menjadi suami-istri yang bahagia seperti yang lainnya.”

“Aku nggak yakin.”

“Yakinlah, Ay! Aku bakal buktikan ke kamu. I promise. Asal kamu kasih aku kesempatan sekali lagi!” pinta Nanda.

Ayu menarik napas dalam-dalam sembari menatap wajah Nanda. “Aku mau lihat usahamu dulu!”

“Oke.” Nanda langsung tersenyum lebar. Ia menarik napas lega, berbalik dan melangkah bersemangat menuju flat tempat tinggal Roro Ayu. Wanita itu belum mengetahui kalau saat ini ia tinggal bersebelahan dengan flat miliknya. Ia harap, Ayu tidak pernah mengetahuinya agar ia memiliki alasan untuk tetap tinggal satu flat dengan wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia tahu, menghindar bukan lagi pilihannya saat ini. Jika cinta itu masih ada dan terlanjur membeku, ia masih bisa berharap mendapatkan kehangatan agar hatinya bisa mencair perlahan dan menikmati keindahan cinta yang sudah lama tak ia rasakan.

“Hari ini kamu mau masak apa?” tanya Nanda sambil meletakkan kantong belanja di atas meja pantry begitu ia sudah masuk ke dalam rumah Ayu.

“Nggak tahu mau masak apa,” jawab Ayu.

Nanda menghela napas. “Biar aku yang masak buat kamu. Oh ya, di sini ada taman bagus yang bisa kita gunakan untuk bersantai. Gimana kalau kita makan sore di sana setelah aku selesai masak?”

“Kamu bisa masak?” tanya Ayu sambil menatap ragu ke arah Nanda.

“Bisa. Meski hanya masakan sederhana. Aku belajar memasak selama aku di lapas,” jawab Nanda sambil tersenyum.

“Hmm ... penjara ada bagusnya juga untuk kamu,” ucap Ayu sambil melepas sweeter yang ia kenakan dan membantu Nanda menyiapkan bahan-bahan yang akan mereka masak.

“Penjara itu nggak buruk. Yang buruk orang-orangnya di dalamnya,” sahut Nanda.

“Udah ngaku?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Nanda.

“Aku nggak pernah mengingkari perbuatanku, Ay. Aku cuma nggak habis pikir sama keluarga besarmu yang menuntut aku habis-habisan. Padahal, aku nggak ngelakuin tindakan kriminal. Aku nidurin kamu juga atas dasar suka sama suka,” jawab Nanda.

“Apa? Suka sama suka!?” Mata Ayu terbelalak mendengar ucapan Nanda. “Aku nggak pernah suka sama kamu.”

“Oh ya?” Nanda menarik pinggang Ayu dan merapatkan ke tubuhnya. “Look at me! Beneran nggak pernah suka?”

Ayu terdiam sambil berusaha menelan salivanya dengan susah payah saat mata Nanda tepat berada di depan matanya. Wajah tampan ini begitu menyenangkan dan bola matanya begitu menyiratkan kenyamanan.

“Kenapa diam aja?” bisik Nanda sambil melingkarkan satu lengannya lagi ke pinggang Ayu. “Kamu nggak mau ngaku kalau kamu suka sama aku? Nggak ada cewek yang nggak suka lihat cowok ganteng kayak aku.”

“Kepedean banget, sih!?” dengus Ayu sambil mendorong dada Nanda agar melepas pelukannya.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya.

“Lepasin, Nan!” pinta Ayu sambil berusaha menarik lengan Nanda yang begitu kekar saat mendekap tubuhnya.

“Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu jawab pertanyaanku,” tegas Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tetap berusaha berkelit. Ia menoleh ke arah kompor yang sudah menyala. “Masakan kita ntar gosong.”

“Itu cuma sup, nggak akan gosong,” sahut Nanda sambil mengalihkan kedua telapak tangannya, menekan punggung Ayu hingga dada wanita itu merapat ke dadanya. “Jawab pertanyaanku, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari!” pintanya.

Ayu menatap wajah Nanda sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dada pria itu agar tubuhnya tak langsung bersentuhan. Bola matanya tertuju pada wajah Nanda dan tidak tahu apa yang harus ia katakan karena saat ini perasaan hatinya sedang tak karuan.

Nanda melirik dada Ayu yang ada di bawahnya. Ia melihat rantai kalung yang tersembunyi di balik pakaian wanita itu dan teringat akan salah satu potret Ayu yang terpajang di kamarnya. Potret yang mengenakan kalung dengan liontin cincin yang membuatnya sangat penasaran karena potret itu terlalu jauh dan membuatnya tak bisa melihat jelas.

“Kamu lihat apaan!? Mesum banget, sih!?” dengus Ayu sambil memukul dada Nanda.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. “Aku sudah lihat semuanya, Ay. Aku tahu kamu luar dalam. Buat apa masih malu-malu?” tanya Nanda sambil merogoh rantai kalung dari dalam tubuh Ayu dan mengeluarkannya.

Ayu melebarkan kelopak mata saat liontin cincin pernikahannya tergantung tepat di bawah jari-jari tangan Nanda. Matanya tiba-tiba menghangat dan hatinya bergejolak tak karuan. Ia tidak ingin siapa pun mengetahui kalau ia masih menyimpan cincin pernikahan itu dengan baik di dalam dadanya dan mengenakannya setiap hari, terutama Nanda. Begitu Nanda menggenggam cincin itu ... rahasianya seolah terungkap begitu saja dan tak bisa ia sembunyikan lagi.

“Kenapa kamu masih simpan cincin pernikahan kita?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu yang mulai berkaca-kaca.

Ayu menarik napas kasar sambil mengusap air matanya yang nyaris membasahi pipi.

“Ay, jawab! Kamu masih cinta sama aku ‘kan?”

Ayu menggeleng sambil mengusap matanya yang basah.

“Kenapa nangis?”

“Aku nggak tahu, Nan,” jawab Ayu sambil menitikan air mata. Semakin ditanya, air matanya malah semakin deras dan tidak sanggup ia bendung lagi. Tumpah begitu saja di saat ia harus mengubur perasaannya dalam-dalam.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menengadahkan kepala. Menahan air matanya agar tidak ikut jatuh seperti sepasang mata milik Ayu yang kini sedang banjir. Telapak tangannya menyentuh kepala belakang Ayu dan membenamkan kepala wanita itu ke dadanya.

“Ay, kita pernah tertawa bersama, terluka bersama, menangis bersama bahkan menahan penderitaan bersama selama tiga tahun ini. Aku nggak pernah mengakui kalau aku pernah menyukaimu saat kita masih SMA. Saat pertama kali kamu terluka karena menyelamatkan nyawaku. Saat itu perasaanku benar-benar tak karuan. Aku menyukaimu, tapi kamu adalah wanita kesayangan sahabatku. Sampai akhirnya ... takdir buruk menyatukan kita dengan cara yang begitu menyiksa. Tapi aku tidak pernah menyesalinya, Ay. Aku bahagia dengan penderitaan ini karena aku sempat memilikimu,” ucap Nanda sambil menahan rasa sesak di dadanya. Saat kalimat terakhir terucap dari bibirnya, ia merasa sangat lega.

Ayu langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. “Kamu beneran suka sama aku sejak masih sekolah?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia mengusap air mata Ayu dan menangkup wajah wanita itu perlahan. Nanda menatap lekat mata Ayu dan semakin mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.

Ayu memejamkan mata perlahan ketika bibir Nanda menyentuhnya begitu lembut. Rasa ini sudah lama tak ia rasakan dan kecupan lembut dari pria ini melepaskan semua beban yang selama ini bergelayut di kepalanya. Tanpa ia sadari, nalurinya terus membawanya menikmati kehangatan yang diberikan Nanda dan membuatnya semakin bergairah membalas perlakuan mesra pria itu.

Nanda tersenyum puas setelah ia melepaskan ciumannya. Ia mengusap lembut pipi Ayu dan berkata, “kita lanjutkan masaknya! Setelah ini ... kita nikmati makanannya di taman. Ada banyak hal yang ingin aku diskusikan sama kamu, Ay.”

Ayu mengangguk setuju. Ia segera membantu Nanda menyelesaikan masakannya dan menyiapkan semua hal yang ia butuhkan untuk menikmati sore hari di Cherry Hinton Hall, salah satu taman yang cukup nyaman untuk bersantai di kota tersebut. Ia tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh pria ini. Ia harap, hal ini bisa membuat hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.

Semua wanita ditakdirkan untuk menjadi penerima. Apa pun yang akan dilakukan Nanda, ia hanya bisa menerimanya. Sebab, menolak kehadirannya tetap saja tidak bisa membuatnye hidup tenang dan bahagia. Hatinya tetap rindu, rindu pada pria brengsek yang telah berhasil menjadi seorang ayah untuk anak yang pernah tumbuh di rahimnya.

Beberapa menit kemudian, Nanda dan Ayu sudah duduk bersama di bawah pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Ay, kuliahmu di sini masih lama?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku sudah menyelesaikan S2 aku sekitar sebulan lalu. Aku lulus lebih cepat dari waktu yang seharusnya,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh ya? Kenapa kamu tidak kembali ke Indonesia?” tanya Nanda lagi.

“Aku lagi mempersiapkan diri untuk ambil Doctorate,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“S3?” Nanda mengernyitkan dahi. “Apa kamu nggak berniat untuk kembali ke Indo lagi? Kenapa belajar terus? Nggak capek? Nggak bosan?”

Ayu menggelengkan kepala. “Nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain belajar.”

“Pulang ke Indonesia dan kita lakukan banyak hal bersama!” pinta Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu terdiam. Ia sendiri tidak tahu apakah ia harus tetap tinggal di kota ini atau kembali ke Indonesia. Ia sudah lama tidak mengunjungi keluarganya dan ia tidak punya muka untuk menginjakkan kakinya di tempat yang telah memutuskan takdirnya tiga tahun lalu.

 

 

 

 

 

 

((Bersambung ...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas