Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Friday, June 20, 2025

Korupsi Bukan Soal. Besaran Gaji, Tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki


Korupsi Bukan Soal Besaran Gaji, tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki



Kalau kamu pikir korupsi muncul karena gaji pejabat terlalu kecil, coba kita ulik bareng-bareng, banyak koruptor justru gajinya besar—bahkan sangat besar, tapi identitas moral mereka tercabik sedikit-sedikit sejak awal.

Korupsi merupakan bentuk moral individu yang sudah bobrok. 
Meuthia Ganie Rohman, sosiolog dari UI, dengan gamblang menyebut, “Korupsi disebabkan adanya karakter atau moral buruk dari individu…”  

Bukan masalah aparat hukum atau sistemnya rusak, ini soal moral pribadi. Begitu mindset kotor tertanam, korupsi jadi kebiasaan yang nyaman.


Kita bisa melihat kasus Megakorupsi Akil Mochtar & Pertamina

Akil Mochtar, mantan Ketua MK dengan gaji sekitar Rp 30–40 juta plus tunjangan Rp 19 juta, ternyata korupsi hingga miliaran rupiah.

Jimly Ashiddiqie menyatakannya jelas, “Ini bukan karena gaji, bukan karena sistem. Sistem sudah baik, tapi orangnya sudah rakus.”  

Kemudian, dalam Skandal Pertamina 2025—padahal ini BUMN besar dengan pejabat berimbalan tinggi. Penipuan minyak subsidi bisa rugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun!  
Itu jauh dari “gaji kecil” kan?

Saat ini, dunia telah mengalami kemunduran sosial yang luar biasa. Kejahatan dan kesalahan dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, sehingga orang tidak punya rasa malu lagi ketika melakukan tindak kejahatan karena kontrol sosial yang terus melemah. Bahkan, mereka sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan dan tidak merasa bersalah. Bisa menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. 

Penelitian tentang budaya maluyang diambil dari perspektif teori Emile Durkheimmengungkap bahwa rasa malu adalah fondasi melawan korupsi . Tanpa itu koruptor bebas menikmati fasilitas mewah, bahkan ketika mereka di penjara. Hal ini tentunya membuat orang tidak takut untuk korupsi. 
Korupsi makin dianggap sebagai hal yang wajar dalam birokrasi dan masyarakat luas. 
Artinya, ketika sistem takut, publik menganggap korupsi adalah hal biasa, identitas moral jadi lenyap.

Perilaku korupsi merupakan pengkhianatan pada Pancasila yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para petinggi negeri ini. 
Pancasila menempatkan moral dan integritas sebagai pondasi berbangsa. Namun korupsi merusak sila ke-4 (mutu demokrasi) dan sila ke-5 (keadilan sosial). Saat itu terjadi, rakyat makin jauh dari kepercayaan terhadap wakil mereka.

Korupsi bukan soal angka di rekening, tapi cerminan karakter yang ditumbuhkan sejak kecil. 
Small acts matter, dari tidak mencuri pensil di sekolah, hingga menegakkan kejujuran atas hal kecil sehari-hari. 
Kebiasaan korupsi bisa jadi sudah tertanam sejak kecil. Dan kalimat "Tuhan Maha Pengampun" menjadi senjata paling ampuh untuk berbuat dosa karena menganggap bahwa Tuhan akan mengampuni semua dosa kita. Lalu, untuk apa Tuhan menciptakan neraka jika semua kejahatan diberi pengampunan dengan mudah? 


Korupsi bukan soal seberapa besar gaji. Ini soal seberapa rapuh identitas moral seseorang. Kalau gaji tinggi tapi moral tak dijaga, korupsi jadi bumerang bagi negara. Sebaliknya, dengan kultur malu yang sehat, pelaku jera, integritas jadi eksistensi. 
Maka dari itu, kita perlu menanamkan budaya malu dan malu berbicara benar sejak dini. memperkuat karakter antikorupsi lewat pendidikan dan teladan nyata dari pemimpin.
Menciptakan sistem sosial, formal, dan hukum untuk memperkuat moral, bukan menggantinya.


Korupsi bukan soal ‘uang belum cukup’, tapi soal apakah kita pernah punya nyali mempertahankan moral saat godaan datang.




Rin Muna
Rakyat biasa yang ingin bersuara demi kebaikan negeri ini

Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi



Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi yang Harus Dikikis Adalah Gaya Hidup Mewah Mereka 




Banyak proposal menyebut naikkan gaji pejabat sebagai obat mujarab untuk meredam korupsi. Tapi kenyataannya, pas gaji tinggi, korupsi juga tetap mewabah—bahkan menjadi lebih besar. Lalu, apa akar masalahnya? Bukan dompet mereka yang kecil, tapi gaya hidup mewah mereka yang tak terkendali.


Gaji tinggi justru menjadi pelaku utama di kasus korupsi besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bilang bahwa korupsi terjadi karena gaji kecil. Tapi lihat fakta: para menteri, hakim, direktur BUMN—mereka dibayar puluhan hingga ratusan juta per bulan, ditambah tunjangan, fasilitas, pasti cukup banyak . Namun kasus e‑KTP (Rp2,3 triliun), Edhy Prabowo deretan miliaran suap, Pertamina (Rp193 triliun), Kasus Timah (Rp 271 triliun), dan kasus CPO (Rp 11 triliun), semuanya melibatkan pejabat dengan penghasilan besar .

Reddit pun komentar pedas, “Gaji sebulannya lebih gede dari gaji gue setahun aja masih korupsi… korupsi itu masalah keserakahan.”  


Pamer kemewahan jadi tanda bibit korupsi. Tempo mengungkap, banyak pejabat punya rumah mewah, mobil sport, jam mahal, dan rajin plesiran ke luar negeri  . ICW dan Mahfud MD sepakat jika gaya hidup hedonis adalah sinyal kuat untuk korupsi, bukan sekadar konsumsi, tapi komoditas status yang dibeli dengan uang publik .

Contoh kasus: 
Mantan hakim Zarof Ricar sembunyikan uang dan emas > Rp1 triliun di rumahnya, meski gaji cuma puluhan juta. Hidup mewah nggak diperlihatkan semua, tapi justru menipu publik .


Presiden Prabowo pernah ajukan kenaikan gaji untuk pejabat agar “tidak tergoda korupsi” . Tapi ICW bilang kenaikan itu bukan hanya soal gaji pokok, tapi juga tunjangan, fasilitas, dan "uang abu‑abu" yang sebenarnya diperoleh di luarnya .
Jadi, daripada menaikkan angka gaji, yang perlu diturunkan adalah standar gaya hidup pejabat tinggi itu. Kurangi akses tak jelas, dana dingin, fasilitas berlebihan, dan hidup glamor.


Reddit menyindir bahwa himbauan “hidup sederhana” tanpa sistem kuat adalah seperti menyuruh orang bersihkan kamar tapi taruh debu di bawah kasur .
Lalu, apa yang dibutuhkan?

Pemerintah perlu memperketat LHKPN dan  bisa dicek publik. Sistem pelacakan aset via PPATK/SPPT yang transparan. Memonitoring gaya hidup para pejabat (mobil, rumah, liburan sama gaji resmi).

Sebagai contoh, China memiliki program Tigers and Flies dan Italia dengan program Clean Hands yang  menggunakan lifestyle sebagai red flag .

Reformer dari UGM bilang, "larangan gaya hidup hedon bisa terlambat, karena banyak pejabat nggak tampak mewah, tapi justru simpan di rumah-saku pribadi". Maka, selain pantauan gaya hidup, integritas harus dijaga lewat budaya internal, audit berkala, dan evaluasi moral. Apakah pejabat itu pantas dapat jabatan?



Menaikkan gaji pejabat boleh, tapi itu hanya setetes solusi jika tidak dibarengi pengendalian gaya hidup mereka. Yang benar-benar harus diturunkan adalah standard mewah yang dijadikan pajangan untuk memperlihatkan bahwa jabatan bukan kesempatan gaya hidup glamor.


Rakyat butuh model pejabat yang hidupnya sederhana, perilakunya bersih, dan integritasnya visible—bukan yang gemerlap tapi rapuh moralnya. Kalau kita target dunia dengan pejabat seperti itu, baru bisa katakan: korupsi tak membesar di tengah kemewahan, tapi di tengah keangkuhan dan kekebalan moral. 






Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas