Wednesday, August 17, 2022

Bab 51 - Trik Menyelamatkan Ayu

 



Nanda melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ayu. “Kamu nggak ngenalin aku?”

Ayu memperhatikan wajah wanita cantik yang ada di hadapannya. “Kamu ...!? Nanda?” serunya.

Nanda tersenyum manis sambil menganggukkan kepala. Ia menyodorkan keranjang susu yang ada di tangannya. “Susu untuk Tuan Puteri,” ucapnya.

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda. “Kamu kenapa pakai pakaian kayak gini?”

“Sst ...! Cuma cara ini yang bisa aku pakai untuk masuk ke sini,” jawab Nanda sambil mengajak Ayu duduk di kursi panjang yang ada di sisi tempat tidur Ayu.

“Kenapa kamu nekat? Kalau ketahuan, gimana?” tanya Ayu sambil menatap pilu ke arah Nanda.

“Aku akan menanggungnya,” jawab Nanda sambil tersenyum manis. “Kamu sudah makan?"

Ayu menggeleng.

“Kamu harus makan yang banyak, ya!” pinta Nanda sambil meraih satu buah apel dan mengupasnya perlahan untuk Ayu.

Ayu terus tertawa menatap wajah Nanda. “Kamu cantik banget, sih?”

Nanda tersenyum sambil memainkan matanya. “Aku cocok jadi perempuan?”

Ayu langsung tergelak menatap sikap Nanda yang begitu menggelikan baginya.

Nanda tersenyum lega saat melihat Ayu tetap ceria meski wanita itu akan segera menjalani hukuman dari keluarganya. Ia langsung menyuapkan potongan apel di tangannya ke mulut Ayu.

“Ay, kenapa kamu mau menjalanin hukuman seperti ini? Nggak masuk ke keluarga ini, masih bisa hidup bebas di luar sana,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Aku janji, nggak akan menyia-nyiakan kamu. Kita bisa bahagia meski tanpa keluargamu yang kejam ini.”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Karena aku lahir sebagai puteri mahkota di keraton ini. Karena aku memang sudah seharusnya menjunjung tinggi dan taat dengan aturan leluhurku. Kalau aku terus melawan takdir, dinasti keluargaku akan semakin hancur, Nan. Aku harus bertanggung jawab dengan apa yang aku perbuat di luar sana.”

“Ini salahku, Ay. Kenapa kamu yang harus menanggungnya? Aku dengar, nggak ada puteri yang masih hidup saat menjalani hukuman ini. Kamu pilih mati daripada hidup sama aku?” tanya Nanda lagi.

“Iya,” jawab Ayu sambil menahan senyuman menatap wajah Nanda.

“Kamu!?” Nanda mendelik ke arah Ayu. “Aku nggak lagi bercanda, Ay.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Aku nggak akan mati kalau malaikat maut belum jemput aku.”

“Tapi menahan lima puluh cambukan, apa kamu bisa bertahan hidup?” tanya Ayu.

Ayu mengangguk. “Kamu nggak perlu khawatir! Aku pasti baik-baik saja.”

Nanda menatap nanar ke arah Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu ke dadanya. Mendekap hangat wanita itu dan tidak ingin melepaskan ia untuk selamanya. Di saat ia ingin membuat Ayu hidup bahagia bersamanya, ia malah harus melihat Ayu menderita demi mendapatkan pengakuan statusnya kembali di keluarganya sendiri.

 

 

...

Nanda terus membolak-balikkan tubuhnya saat ia sudah berbaring di atas kasur yang dikhususkan untuk pelayan yang ada di sana. Ia benar-benar tidak bisa tidur karena keesokan harinya Ayu akan menjalani hukuman cambuk dari keluarganya. Ia terus memikirkan cara untuk membebaskan wanita itu atau membuat Ayu tetap bertahan meski menerima begitu banyak cambukan.

“Ay ...! Kenapa kamu harus pilih jalan kayak gini, sih? Kenapa aku juga nggak berdaya? Kalau ketahuan sama orang keraton aku ada di sisi Ayu. Aku akan lebih menyulitkan Ayu,” tutur Nanda sambil menyentuh lembut kasur busa yang ia kenakan.

Nanda melebarkan kelopak mata sambil menepuk kasur di bawahnya. Ia bangkit dari kasur dan menarik kain kasur yang sedikit robek. Ia langsung merobek semua kain lapisan kasur itu dan mengeluarkan lembaran busa dari dalamnya.

“Semoga ... ini bisa membantu Ayu menahan sakit,” ucap Nanda sambil memasukkan busa-busa itu ke dalam tas kain yang ada di kamar pelayan dan bergegas pergi dari sana.

Kumandang suara azan, membuat Nanda tahu kalau hari sudah pagi. Ia mempercepat langkahnya menuju kediaman milik Ayu dan mengetuk pintu wanita itu.

“Siapa?” seru Ayu dari dalam kamarnya.

“Pelayan, Tuan Puteri,” jawab Nanda sambil menjepit suaranya agar menyerupai suara wanita.

“Masuklah!” perintah Ayu. Dua  orang pelayan yang sedang bersamanya, langsung membukakan pintu untuk Nanda.

“Ada apa?” tanya seorang pelayan yang ada di sana.

“Bolehkah saya membantu memandikan dan menggantikan baju Tuan Puteri?” tanya Nanda pada pelayan yang membukakan pintu untuknya.

Ayu melebarkan kelopak matanya mendengar pertanyaan Nanda.

Nanda langsung mengerdipkan sebelah matanya ke arah Ayu.

Ayu menghela napas. “Kalian berdua keluarlah! Biar dia yang melayaniku.”

“Baik, Tuan Puteri!” Dua pelayan itu bergegas keluar dari kamar Ayu dan mempersilakan Nanda untuk masuk ke sana.

Nanda menghela napas lega. Ia segera mengunci pintu dan menghampiri Ayu yang ada di sana.

“Kamu mau apa? Mau mandiin aku? Udah tahu kita lain mahrom. Masih aja mau cari masalah, hah!?” dengus Ayu sambil menendang kaki Nanda.

“Kita suami-istri, Ay. Aku punya alasan sendiri kenapa aku mau bantu gantikan bajumu. Ini,” jawab Nanda sambil mengeluarkan kain busa yang ia bawa.

“Buat apa bawa beginian?” tanya Ayu sambil mengerutkan keningnya.

“Buat ... lapisin tubuhmu supaya nggak luka saat kena pecut,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

“Eh!?” Ayu mengernyitkan dahi. “Memangnya berfungsi? Cara pakainya gimana?”

“Kamu udah mandi?” tanya Nanda sambil memperhatikan tubuh Ayu yang hanya mengenakan bathrobe.

“Udah. Baru kelar mandi.”

“Kalau gitu, pakai ini dulu!” tutur Nanda sambil mengeluarkan busa-busa di tangannya.

Ayu langsung menyilangkan kedua tangan ke dadanya. “Kamu mau melecehkan aku?”

Nanda menghela napas. “Mana bisa dibilang melecehkan kalau lagi genting seperti ini.”

Ayu terdiam sejenak mendengar ucapan Nanda. Ia menurunkan lengannya dan pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh mantan suaminya itu.

“Nan, jangan terlalu tebal! Kalau ketahuan, hukumanku bisa ditambah,” tutur Ayu sambil memperhatikan busa yang dipasang Nanda di  tubuhnya.

“Nggak, Ay. Ini nggak tebal, kok. Aku akan buat semuanya terlihat sealami mungkin. Tadinya, aku berpikir menggunakan besi atau aluminium untuk menutupi punggungmu. Tapi pasti akan langsung ketahuan saat dicambuk dan berbunyi. Aku baru terpikirkan barang ini pagi ini,” ucapnya sambil merapikan busa-busa yang sudah tertanam di punggung Ayu dengan peniti dan plester yang ada di tangannya.

“Nan, apa ini nggak terlalu jahat? Kita sedang menipu keluarga sendiri,” tanya Ayu sambil melirik ke arah punggungnya.

“Keluargamu itu yang jahat. Ini sudah zaman apa? Di luar sana, ada banyak wanita yang melahirkan anak tanpa menikah dan mereka tetap punya hak untuk hidup. Kenapa aturan keluargamu sangat tidak manusiawi seperti ini?” tanya Nanda sambil meraih kemben yang sudah ia siapkan dan memasangkan ke tubuh Ayu.

“Hukuman itu untuk kontrol sosial. Terlebih, aku adalah puteri mahkota di sini. Aku bertanggung jawab bukan hanya diriku sendiri, tapi seluruh generasiku. Betapa mudahnya orang yang terlahir di keluarga biasa.”

Nanda terdiam mendengar ucapan Ayu. Ia langsung menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Kalau nanti kita lahir di kehidupan selanjutnya, kita minta untuk lahir di keluarga biasa aja, ya! Kita bisa tinggal di pinggiran kota. Menjadi petani, memelihara ternak, melakukan banyak hal bersama tanpa rasa khawatir! Tidak akan ada yang mengusik hidup kita jika kita jadi orang biasa seperti mereka. Asalkan itu bersamamu ... itu udah bahagia buatku, Ay,” ucapnya lirih.

Ayu menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca. “Apa di kehidupan selanjutnya ... kita masih akan bertemu?”

Nanda mengangguk sambil menatap mata Ayu. “Kita harus bertemu. Aku akan cari kamu sampai ketemu, Ay.”

Ayu tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke dada Nanda. “Kalau kehidupan selanjutnya itu ada ... aku ingin kamu mencintaiku sejak pandangan pertama,” ucapnya lirih.

Nanda mengangguk sambil memeluk erat tubuh Ayu. “Aku akan mencintaimu sejak aku dilahirkan,” ucapnya. Ia membenamkan bibirnya ke kening Ayu dan terus memeluk tubuh dingin wanita itu penuh kehangatan.

 

((Bersambung...))

Mohon maaf karena weekend selalu ada kegiatan di luar, waktu nulis author jadi berkurang banyak! Efek pandemi yang udah mulai longgar, kegiatan sosial makin banyak dan sering dipanggil ke sana ke mari. Maklum, aku kan cewek panggilan, hahaha.

Dimaafin, yak! Semoga kalian selalu sabar menunggu karya-karya dariku.

Terima kasih banyak sudah mendukung aku untuk terus berkarya selama ini!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas