Wednesday, August 17, 2022

Bab 46 - Back to Our

 


Nanda tersenyum saat melihat Ayu mencicipi hasil masakannya. Mereka sudah duduk di bawah salah satu pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Gimana? Enak?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Mmh ... lumayan,” jawab Ayu sambil mengunyah mencicipi sup daging buatan Nanda.

Nanda tersenyum lega. Ia mulai mencicipi porsi sup miliknya dan menikmati suasana taman yang sepi dan tenang. “Kamu sering ke sini?”

Ayu mengangguk.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak takut ada yang godain kamu?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya.

Ayu menggeleng. “Di sini aman dan aku selalu bawa chili spray untuk jaga diri,” jawabnya santai.

“Dari mana kamu kepikiran buat bawa begituan?” tanya Nanda lagi.

“Karena aku nggak bisa bela diri, aku juga nggak bisa mengandalkan orang lain untuk menjagaku. Jadi, aku harus mengandalkan diriku sendiri,” jawab Ayu.

Nanda tersenyum dan menggenggam tangan Nanda. “Mulai hari ini ... aku yang akan jaga kamu.”

“Nggak usah ngegombal di depanku! Emangnya kamu bisa dua puluh empat jam nempel mulu ke aku? Nggak kerja? Nggak sosialisasi sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Aku akan kerja di samping kamu. Aku akan sosialisasi barengan sama kamu. Duniamu akan jadi duniaku juga,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Kamu ini lagi ngomong serius atau bercanda?”

“Ck. Serius, Ay. Emangnya mukaku nggak kelihatan serius?”

Ayu menggeleng.

Nanda langsung meletakkan mangkuk sup di tangannya. Ia menggeser posisi duduknya dan bersila di hadapan Ayu. Nanda menarik napas dalam-dalam dan memasang wajah serius. “Aku serius, Ay. Can you go back to me?”

“Kalau aku nggak bisa?”

“I’ll keep walking to you,” jawab Nanda serius.

Ayu tersenyum mendengar ucapan Nanda.

Nanda ikut tersenyum menikmati wajah Ayu yang terlihat sumringah. “Kamu mau buka hati kamu lagi buat aku ‘kan?”

“Hatiku nggak pernah tertutup buat siapa pun. Hanya saja ...”

“Apa?”

“Aku tidak diizinkan masuk kembali ke dalam keraton eyangku karena statusku yang hamil di luar nikah. Kalau kamu memang cinta sama aku ... dapatkan restu dari keluarga besarku!” pinta Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Sampai sekarang kamu masih belum boleh masuk ke rumah keluargamu sendiri, Ay? Bukankah kamu bisa masuk ke sana setelah menjalani upacara ... apa itu namanya?”

“Kesucen?”

Nanda mengangguk.

Ayu tersenyum. “Setiap rumah punya aturan, Nan. Aku adalah garis keturunan langsung dari eyang dan harus menjadi contoh yang baik untuk puteri-puteri keraton lainnya. Seharusnya, aku mendapatkan hukuman karena aku melanggar aturan. Tapi bunda dan ayah sudah memohon keringanan karena mereka tidak mau melukai janin yang aku kandung,” jelasnya.

“Aku boleh masuk keraton kembali setelah menjalani upacara menyucikan diri. Dan syarat untuk melakukan upacara itu tidak mudah. Bukan hanya aku yang harus melakukannya, tapi juga kamu. Upacara pernikahan kita saja, sudah membuatmu snewen dan tidak nyaman. Bagaimana dengan upacara kesucen yang dianggap nggak masuk akal untuk orang-orang awam? Aku takut, kamu nggak bisa menghadapinya,” lanjutnya sambil menundukkan kepala.

“Ay, kamu cukup bilang ke aku semua syarat yang harus kita penuhi dan aku akan berusaha melakukannya dengan baik. Kalau aku gagal, aku akan mencobanya lagi sampai kita berhasil mendapatkan restu dari keluarga keratonmu. Maafkan aku yang sudah membuatmu terusir dari istanamu sendiri, Ay,” ucap Nanda sambil menggenggam kedua tangan Ayu dan menciuminya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Sudah jalan takdirku seperti ini. Aku hanya ... sering merindukan tempat lahirku saja.”

“Aku akan membawamu kembali ke sana. Bagaimana kalau kamu tunda program doctorate kamu? Kita menikah lagi!” ajak Nanda.

“Menikah?” Ayu langsung melepas tangannya dari genggaman Nanda.

Nanda mengangguk. “Kamu nggak mau nikah sama aku lagi?”

Ayu menggigit bibirnya sambil berpikir sejenak.

“Sejak kamu tinggal di London, apa pernah mengunjungi anak kita? Kamu tidak ingin pulang? Tidak merindukan dia?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.

DEG!

Pertanyaan Nanda kali ini langsung menusuk ke ulu hatinya. Sejak ia dibawa pergi ke luar negeri, ia tidak pernah kembali ke Indonesia. Ia bahkan tidak pernah mengunjungi pusara anaknya. Air matanya langsung mengalir begitu saja saat mengingat masa-masa kehamilan dan penantiannya untuk melihat wajah sang putera, tapi tidak pernah ia lihat.

“Setiap tanggal kelahirannya, aku selalu mengunjungi Axel. Setiap hari ulang tahunnya, aku selalu membawakan hadiah untuk dia. Dua minggu lagi, ulang tahun dia yang keempat. Kalau dia masih hidup, tahun ini dia sudah masuk sekolah TK. Aku sudah berjanji pada Axel untuk membawa kamu sebagai hadiah ulang tahunnya tahun ini,” ucap Nanda sambil menahan air matanya jatuh. “Kalau kamu nggak bersedia kembali karena aku, kembalilah untuk Axel. Setidaknya, kamu punya waktu untuk mengunjungi dia meski hanya sekali.”

Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda yang menangis di hadapannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah menangisi kepergian puteranya begitu lama dan air mata tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakitnya kali ini.

“Kamu nggak percaya sama aku?” tanya Nanda sambil mengusap matanya yang basah dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia langsung memperlihatkan foto-foto yang ia ambil setiap kali mengunjungi pemakaman puteranya.

“Nan, apa maksudmu seperti ini?” tanya Ayu sambil berusaha menahan air matanya untuk jatuh.

“Supaya kamu kembali ke aku, kembali ke Axel, kembali ke keluarga kita. Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi!” jawab Nanda sambil menitikan air mata.

“Kamu ini ... kenapa jadi cengeng banget?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda. “Dulu, kamu nggak pernah nangis kayak gini?”

Nanda meringis sambil mengusap air matanya. “Entahlah. Apa pun tentang kamu dan Axel, selalu membuat air mataku keluar begitu saja. Air mata ini bukan sedang menangis, tapi sedang merindukan kalian.”

Ayu tersenyum sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Ia mengusap lembut pipi pria itu dan mengecup sekilas bibirnya.

Nanda tertegun selama beberapa saat ketika Ayu menciumnya. Ia langsung tersenyum lebar dan menatap mata wanita itu penuh harap. “Mau pulang ke Indonesia ‘kan?” tanya Nanda sambil menggenggam tangan Ayu. “Aku janji, akan memintamu secara baik-baik ke keluargamu. Apa pun hukumannya, akan aku jalani asal kita bisa bersama lagi. Asal kamu cinta sama aku, aku akan berjuang.”

Ayu mengangguk kecil. “Makanlah dengan baik! Jangan terlalu banyak bicara! Supnya keburu dingin.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Apa kita bisa kembali ke Indonesia besok pagi?”

“Aku nggak bisa terburu-buru. Harus menyelesaikan semua urusanku terlebih dahulu sebelum aku pergi. Lagipula, acara ulang tahun anak kita masih dua minggu lagi ‘kan?”

Nanda mengangguk. “Tapi ...”

“Apa?”

“Sonny  akan menikah tiga hari lagi dan dia memintaku membawamu pergi ke pesta pernikahannya. Kamu mau datang?”

“Eh!? Sonny mau menikah? Kenapa dia nggak kabari aku?” tanya Ayu sambil meraih ponselnya dan mencari nomor kontak Sonny.

“Nggak usah hubungi dia! Ntar dia nggak jadi nikah sama cewek itu karena ingat kamu terus,” pinta Nanda sambil  menahan pergelangan tangan Ayu.

Ayu berpikir sejenak, kemudian meletakkan ponselnya kembali. “Sebelum kembali ke Indonesia. Aku punya beberapa permintaan darimu.”

“Apa?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

“Aku akan jawab setelah makanan kita habis,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“Oke.” Nanda langsung mengambil kembali makanan di hadapannya dan memakannya dengan cepat agar ia bisa memenuhi permintaan Ayu dan membawanya kembali ke Indonesia. Ia tahu, permintaan wanita seperti Ayu tidak akan muda. Ia harus menyiapkan banyak tenaga dan pikiran untuk mewujudkan permintaan Ayu yang mungkin ... rumit.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas