Wednesday, August 17, 2022

Bab 67 - Ruang untuk Bicara

 


Nanda melangkahkan kaki menuju ke kediaman Roro Ayu begitu ia sudah berhasil mendapatkan kesempatan untuk menginap di keraton tersebut.

“Nan, kamu mau ke mana?” tanya Karina sambil mengejar langkah Nanda.

“Nemuin istriku,” jawab Nanda sambil mempercepat langkahnya.

“Ikut, Nan!” pinta Karina sambil mengikuti langkah kaki Nanda. Ia harap, ia bisa bertemu dengan pria tampan dan gagah yang tadi menari bersama mantan istri Nanda.

Nanda menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Ayu saat ia melihat Enggar sedang menyuapkan makanan untuk mantan istrinya itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia menyelonong masuk ke dalam kamar Ayu begitu saja.

Enggar langsung bangkit dari sisi tempat tidur Ayu begitu melihat Nanda datang.

“Mas, jangan pergi!” pinta Ayu sambil menyambar lengan Enggar. “Di sini aja!”

“Ay, aku ...” Nanda menatap Ayu yang enggan merespon kedatangannya.

“Mas, suapin aku lagi!” pinta Ayu manja sambil menarik lengan Enggar dan merapatkan tubuhnya ke arah pria itu.

Nanda menyeringai kesal melihat Ayu dan Enggar yang begitu intim di hadapannya. “Kalian ada hubungan apa?”

Ayu tak menghiraukan pertanyaan Nanda.

“Ay ...!” panggil Nanda karena Ayu masih enggan menatapnya.

“Ay, aku ngomong sama kamu!” seru Nanda semakin kesal.

“Mas, jangan marah-marah sama Ayu! Dia lagi sakit,” pinta Enggar. Ia meletakkan mangkuk sup di atas nakas yang ada di samping tempat tidur Ayu.

“Sakit?” Nanda mengernyitkan dahi. “Sakit apa?”

“Sudah seminggu dia menghukum dirinya sendiri. Nggak mau makan,” jawab Enggar.

“Mas ...!” Ayu menarik lengan Enggar yang baru saja ingin bangkit dari sisi ranjangnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Enggar. “Aku nggak mau ketemu sama dia, Mas,” bisiknya.

Enggar mengernyitkan dahi. Ia langsung mengerti alasan mengapa Ayu memilih untuk mengurung diri di dalam perpustakaan dan tidak mau makan sama sekali selama satu minggu.

Enggar bangkit dari tepi ranjang Ayu dan menarik lengan Nanda. Membawa pria itu keluar dari dalam kamar tersebut.

“Mas, aku mau ketemu sama istriku. Dia kenapa?” tanya Nanda.

“Harusnya, kamu tanyakan ke dirimu sendiri! Kenapa Ayu nggak mau ketemu sama kamu?” sahut Enggar sambil mendorong tubuh Nanda dan Karina. Kemudian, ia menutup pintu kamar Ayu rapat-rapat dan menguncinya.

Nanda gelagapan saat melihat Enggar berada di dalam kamar terkunci bersama dengan Ayu. “Mas, buka pintunya!” serunya sambil memukul pintu kayu berbahan jati tersebut.

“Woi ...! Istriku yang di dalam itu. Ngapain kamu berduaan sama istriku, hah!?” seru Nanda sambil menendang pintu kayu tersebut. Sayangnya, pintu itu terlalu kokoh untuk ia hancurkan.

“Nan, kayaknya marah-marah gini nggak berguna. Kalau sampai mengundang perhatian banyak orang, kita berdua bisa diusir dari sini, Nan,” tutur Karina sambil menarik lengan Nanda.

“Istriku cuma berdua aja sama dia di dalam sana. Kamu tahu, mereka bisa ...?”

“Kamu nggak percaya sama wanita yang katanya kamu cintai itu?” tanya Karina sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda menghela napas sambil mengusap wajah dan mengacak rambutnya sendiri dengan perasaan tak karuan. Ia terduduk lemas di teras kamar Ayu sambil menatap tanaman bunga yang tersusun rapi di hadapannya.

“Ayu ini kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba berubah lagi? Dasar cewek labil!” celetuk Nanda kesal.

“Hmm, cewek marah itu pasti ada sebabnya, Nan. Nggak mungkin nggak ada sebab. Apa dia marah karena kedekatan kita?” tanya Karina. “Nggak menutup kemungkinan kalau Ayu dapat informasi soal kita yang terikat perjodohan bisnis. Iya ‘kan?”

Nanda langsung menengadahkan kepalanya menatap Karina. “Apa iya? Dia tahu dari mana?”

Karina menghela napas sambil melipat kedua tangannya. “Kamu itu alumni Cassanova dari negeri mana, sih? Masa kayak gitu aja nggak peka? Bukannya mantan pacar kamu udah ratusan? Harusnya udah paling mengerti soal cewek.”

“Aih, udah tiga tahun aku hidup tanpa perempuan. Pusing aku mikirinnya, Rin!” sahut Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu pikir aja! Dia bisa nulis profil tentang kamu di bukunya ... dapet informasi dari mana?” tanya Karina sambil bersandar santai di tiang besar yang ada di sana.

Nanda langsung bangkit dari lantai dan menatap wajah Karina. “Bener juga, ya? Kamu bisa bantu aku jelasin ke Ayu?”

“Jelasin apaan?”

“Soal perjodohan kita.”

“Jelasin ke dia kalau kita memang dijodohkan sama keluarga?” tanya Karina.

“Ck. Ya jangan gitu, dong! Tambah runyam ntar,” pinta Nanda sambil memasang wajah memelas.

Karina terkekeh sambil menatap wajah Nanda. “Aku suka wajah payahmu ini, Nan.”

“Nggak usah ketawa! Bantu aku jelasin ke Ayu!” pinta Nanda sambil menarik tangan Karina dan mengetuk kembali pintu kamar Ayu.

“Mas, apa di luar nggak ada penjaga? Kenapa mereka masih belum pergi?” tanya Ayu sambil menatap wajah Enggar.

“Kurang tahu. Kamu kenapa dengan dia? Ada masalah lagi?”

Ayu menghela napas kecewa. “Aku capek, Mas. Dia bilang sayang sama aku, tapi masih aja jalan sama cewek lain terus.”

Enggar tertawa kecil. “Rasa cemburumu besar juga?”

“Bukan rasa cemburu yang besar, tapi rasa kecewaku.”

“Kamu yang sabar! Cinta itu bukan untuk mencari kesempurnaan. Kalau kamu bahagia mencintai dia, seburuk apa pun dia, kamu akan bisa menerimanya,” ucap Enggar sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

“Dia itu nggak buruk, Mas. Dia itu ... mmh, sulit digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, dia itu nyebelin, ngeselin, tukang bokis, tukang tipu, tukang bikin sakit hati!” sahut Ayu kesal.

Enggar tertawa kecil sambil menatap wajah Ayu.

“Kok malah ketawa, sih?”

“Mau kamu bilang benci ke dia seribu kali pun, di matamu tetap ada cinta untuk dia,” jawab Enggar sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

“Kelihatan?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Enggar.

Enggar menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Aku harus gimana?”

“Bicaralah sama dia! Menghindar seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu sudah dewasa, selesaikan masalah percintaanmu dengan cara dewasa pula. Jangan bertingkah seperti anak kecil!” pinta Enggar sambil tersenyum lembut ke arah Ayu.

Ayu menghela napas dan menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. “Mas Enggar jangan pergi dari sini, ya!”

“Kalian berdua butuh ruang untuk bicara dari hati ke hati. Perempuan itu, biar aku yang mengurusnya untuk kamu,” tutur Enggar sambil mengikuti langkah kaki Ayu yang berjalan menuju pintu.

“Mas Enggar tahu soal perempuan itu?”

“Kurang tahu. Tapi aku rasa, dia bukan wanita yang berbahaya. Kalau dia berbahaya, mantan suamimu itu tidak akan membawanya ke tempat ini,” jawab Enggar.

Ayu tersenyum kecut sambil meraih gagang pintu kamarnya. Ia memutar kunci pintunya dan membukanya perlahan.

Nanda langsung menghela napas lega saat Ayu sudah membukakan pintu untuknya. “Ay, bisa bicara sebentar?”

“Lima menit aja!” sahut Ayu ketus.

“Nggak masalah. Ini cukup buat kita,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Enggar tersenyum sambil keluar dan menghampiri Karina yang berdiri di belakang Nanda. “Kamu ... Karina Permata dari PT. Dua Permata, ya?”

Karina mengangguk sambil tersenyum manis.

“Aku sangat tertarik dengan sektor bisnis yang kamu jalani. Kebetulan, aku juga punya bisnis pengadaan bahan mentah. Bagaimana kalau kita sharing bisnis di tempat yang lebih nyaman?”

“Boleh.” Karina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ia menggigit bibir sambil mengikuti langkah Enggar. Pria bangsawan ini  tidak hanya memiliki wajah yang rupawan, tapi juga memiliki tubuh yang atletis.

Nanda tersenyum lega saat Enggar sudah membawa Karina pergi dari sana. Ia langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci pintu kamar tersebut.

“Nan, kamu apa-apaan, sih!?”

Nanda langsung mendorong tubuh Ayu hingga punggungnya merapat ke dinding. “Kenapa kamu menghindar?” bisiknya sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Ayu.

Ayu terdiam. Manik matanya menangkap bayangan wajah Nanda yang begitu dekat dengannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ingin sekali ia memaki pria ini dengan sumpah serapah, tapi bibirnya malah beku dan degup jantungnya berdetak cepat tak terkendali. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Pikirannya ingin membenci, tapi hati kecilnya ingin selalu berada di dekat pria ini.

 

 

((Bersambung...))

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas