Wednesday, August 17, 2022

Bab 49 - Penebusan Dosa

 


Nanda menarik napas dalam-dalam saat ia sudah berada di halaman keraton Kesultanan Surakarta. Ia menggenggam erat tangan Ayu yang ada di sebelahnya dan menoleh ke arah beberapa anak buah yang ada di belakangnya.

“Kalian pulanglah! Aku ada urusan pribadi. Kalau mama tanya, katakan saja jika aku sedang berada di keraton untuk mengambil istri,” perintah Nanda.

“Baik, Tuan!”

Semua orang yang ada di belakang Nanda, langsung bergegas pergi meninggalkan atasan mereka.

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kaki perlahan dengan tubuh gemetaran. Perasaannya bergejolak dan tak karuan. Ia sudah melanggar aturan suci keraton tersebut dan tidak tahu bagaimana harus menebus semua kesalahannya itu.

“Ndoro Puteri ...! Apakah Ndoro Puteri ingin masuk ke Istana?” salah seorang abdi dalem keraton tersebut terlihat terburu-buru menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan langkah kakinya saat ia sudah berada di depan pintu gerbang yang dijaga oleh dua prajurit keamanan tempat tersebut. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan menganggukkan kepala.

“Maaf, Ndoro ...! Ndoro Puteri dilarang masuk ke istana.”

Ayu terdiam sejenak sambil menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha mengumpulkan keberanian yang selama ini sudah tercerai-berai entah ke mana. “Aku akan laksanakan upacara kesucen,” ucapnya dengan bibir gemetar.

Abdi dalem itu terlihat sangat gelisah mendengar ucapan Ayu.

“Kenapa? Apa aku masih belum bisa melakukan upacaranya?” tanya Ayu.

“Bi-bisa, Ndoro. Tapi ... ada beberapa syarat yang masih harus dipenuhi.”

“Katakan! Apa saja syaratnya?” perintah Roro Ayu.

“Mari, ikut saya dulu!” pinta abdi dalem yang ada di sana sambil mempersilakan Ayu dan Nanda penuh rasa hormat.

Nanda dan Ayu melangkahkan kaki mengikuti abdi dalem yang ada di hadapannya hingga sampai ke salah satu kediaman yang biasa digunakan untuk menyambut tamu luar.

“Tunggu di sini! Saya akan panggilkan Kanjeng Sultan untuk menemui kalian.”

Ayu mengangguk. Ia meletakkan tas tangannya ke atas meja dan duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapan kursi singgasana yang ada di sana.

“Ay, harus berlutut kayak gini?” tanya Nanda.

Ayu langsung menarik tangan Nanda agar segera duduk di sampingnya. “Ikuti saja peraturannya!”

Nanda langsung duduk bersila di samping Ayu.

“Duduknya jangan kayak gitu!” pinta Ayu. “Kakinya dilipat ke belakang.”

“Eh!?” Nanda memperhatikan cara duduk Ayu. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya. “Ay, susah duduk kayak gini. Burungku kejepit,” bisiknya.

Ayu mendelik sambil menyikut tubuh Nanda. “Jangan bercanda terus di sini!” pintanya berbisik.

“Nggak boleh, ya?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Di tempat itu, tidak hanya mereka berdua. Ada beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri di sana, tapi semuanya hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan, napas mereka saja tidak sampai terdengar di telinga Nanda.

Tiga puluh menit kemudian ...

Nanda mulai gelisah karena orang yang akan ia temui, tak kunjung muncul di hadapannya. Duduk dengan kaki terlipat di bawahnya, membuatnya sudah merasakan nyeri dan kebas. “Ay, masih lama?” bisiknya lagi.

“Tunggu saja!” sahut Ayu. Wanita itu tetap terlihat tenang meski sudah duduk bersimpuh selama tiga puluh menit.

“Aku boleh duduk sila sebentar? Keram banget kakiku, Ay,” tanya Nanda.

“Nan, seriuslah! Kita datang untuk meminta pengampunan dan menebus kesalahan kita,” pinta Ayu.

“Kakimu nggak sakit?” tanya Nanda. “Kita bisa lumpuh kalau terlalu lama duduk di sini.”

Ayu menggeleng.

Nanda menghela napas. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tahu, saat ini Ayu sedang menderita, tapi tidak mau menunjukkan penderitaan di hadapannya.

“Apa yang membuatmu kembali ke sini?” tanya seorang pria tua yang dituntut untuk duduk di singgasananya. Di belakangnya, juga sudah ada beberapa orang dengan pakaian kebesaran. Kedua orang tua Ayu, juga ada di sana untuk menyambut kedatangan puteri mereka.

“Kenapa kamu membawa pria ini lagi?” seru Edi saat melihat Nanda sudah duduk di samping Ayu.

“Seret pria ini keluar dari sini ...!” perintah Edi pada penjaga yang ada di sana.

Dua orang penjaga, langsung menarik lengan Nanda dengan cepat.

Nanda tersentak mendengar perintah Edi yang begitu cepat membuatnya diseret keluar. Ia berusaha mempertahankan diri agar tidak dibawa pergi dari sana. Seharusnya, ia membawa semua anak buahnya ke tempat ini agar keluarga ini tidak bersikap semena-mena terhadap dirinya.

“Ayah ...! Jangan usir Nanda dari sini!” pinta Ayu sambil memegangi tubuh Nanda. Ia langsung menatap dua pengawal yang memegangi tubuh Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya.

Pengawal yang ada di sana terlihat kebingungan karena semua keluarga keraton adalah majikan bagi mereka.

“Bajingan ini nggak pantas masuk ke keluarga kita. Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan dulu dan kamu masih membawanya kemari?” seru Edi sambil menatap tajam ke arah Ayu.

“Ayah, semua orang punya kesalahan dalam hidupnya. Nanda sudah minta maaf, sudah menebus semua kesalahannya. Apa masih belum cukup?” tanya Ayu sambil menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu ...!? Ke sini mau melawan ayahmu, hah!?” seru Edi.

“Mas, jangan emosi! Kasihan Ayu,” bisik Bunda Rindu sambil berusaha menenangkan emosi suaminya.

“Edi, apa kamu tidak melihat keberadaanku? Kamu bisa sesukanya memarahi Roro Ayu dan tamu yang dia bawa?” tanya seorang pria tua yang duduk di singgasana besar itu.

“Maaf, Romo ...!” Edi langsung membungkuk dan memberi hormat pada pria nomor satu di keraton tersebut.

Sri Sultan Pakubuwono tersebut langsung menatap wajah Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya pada pengawal yang memegangi Nanda".

Nanda menghela napas lega saat dua pengawal itu  sudah melepaskannya. Ia kembali berlutut di belakang Ayu sambil menengadahkan kepala menatap Sri Sultan yang duduk di atas singgasananya. “Saya datang ke sini untuk meminta maaf dan ingin kembali mengambil Roro Ayu sebagai istri saya!” ucapnya tegas.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan tiga tahun lalu?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk.

“Kami tidak melarang Roro Ayu menikah dengan siapa pun. Hanya saja, dia tidak boleh menginjakkan kakinya ke istana karena seorang puteri mahkota telah melanggar peraturan yang mencoreng nama baik keluarga besar keraton kesultanan,” ucap Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

“Eyang, saya akan lakukan upacara kesucen untuk bisa masuk ke istana lagi. Saya ingin mendapatkan restu pernikahan dari Eyang dan semua keluarga keraton,” tutur Ayu sambil menitikan air mata menatap Sri Sultan yang juga kakeknya sendiri.

Sri Sultan menatap serius ke arah Ayu. “Syarat untuk melakukan upacara mensucikan diri tidaklah mudah. Kamu tidak akan sanggup menjalaninya, Roro Ayu.”

“Saya akan menjalaninya, Eyang. Apa pun syaratnya, akan saya penuhi. Asalkan Eyang mengizinkan aku kembali ke istana ini,” sahut Ayu sambil memberi hormat kepada Sri Sultan yang ada di hadapannya.

Sri Sultan menganggukkan kepala. Ia langsung menoleh ke arah salah satu staff administrasi kesultanan. “Bacakan persyaratan yang harus dilakukan Roro Ayu agar dia bisa melakukan upacara mensucikan diri dengan baik!”

Pria yang ditunjuk oleh Sri Sultan, mengangguk dan segera membuka dekrit keraton yang sudah menjadi aturan turun-menurun selama ratusan tahun.

“Tujuh syarat upacara menyucikan diri yang harus dipenuhi oleh Raden Roro Ayu Rizki Prameswari selaku puteri mahkota. Karena telah melanggar aturan besar, mencemarkan nama baik dan merusak moral keluarga ... maka, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus menjalani hukuman pengasingan selama minimal satu tahun. Dilarang masuk ke Istana sebelum melakukan upacara pensucian,” tutur staff administrasi kesultanan dengan suara tegas.

Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Seharusnya, ia diadili sejak empat tahun lalu. Karena permohonan penangguhan dari kedua orang tuanya dengan alasan janin dalam perut Ayu, membuatnya hanya menjalani hukuman pengasingan dan dilarang masuk ke istana kesultanan sebelum ia melakukan upacara penyucian diri. Lahir di dalam keluarga keraton memang tidak mudah. Tidak ada hukum negara yang bisa menyentuh apa yang sudah ditentukan oleh adat nenek moyang mereka. Sebagai puteri mahkota yang hamil di luar nikah, dia harus menjalani hukuman yang sangat berat.

“Pertama ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus mendapatkan lima puluh cambukan. Kedua ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus melakukan kungkum [baca; berendam] selama tujuh hari tujuh malam. Ketiga ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari tidak boleh keluar dari tempat ibadah dan wajib menjaga kebersihan tempat ibadah setiap harinya selama tiga puluh hari.”

Nanda melebarkan kelopak mata mendengar tiga syarat pertama yang harus dipenuhi oleh Ayu. Dadanya sangat sesak dan matanya ikut berkaca-kaca saat melihat air mata Ayu jatuh berderai ke pangkuannya. “It’s Crazy ...! Ayu nggak mungkin sanggup menahan hukuman seorang diri,” batinnya.

“Keempat ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberi makan anak yatim selama empat puluh hari. Kelima ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib berpuasa selama sembilan puluh hari. Keenam ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari dilarang bertemu dengan orang yang bukan mahrom-nya selama menjalani hukuman. Ketujuh ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberikan karya penebusan yang dipersembahkan untuk leluhur,” lanjut staff administrasi itu. Kemudian, menutup dokumen yang ada di tangannya setelah selesai membaca syarat-syarat yang harus dijalani Roro Ayu.

“Raden Roro Ayu Riski Prameswari, apakah kamu bersedia memenuhi syarat hukuman untuk penyucian diri?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Bersedia, Eyang,” jawab Ayu sambil menangkup kedua tangan dan menunduk hormat kepada Sri Sultan.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia menengadahkan kepala menatap Sri Sultan. “Kanjeng Sultan, biar aku saja yang menggantikan Roro Ayu menjalani hukumannya!” pintanya.

“Roro Ayu adalah puteri mahkota keraton ini. Kedudukannya tidak bisa digantikan kecuali dia mati. Hukuman untuk dia juga tidak bisa digantikan oleh siapa pun,” jawab Sri Sultan sambil menatap Nanda.

Nanda menatap wajah Sri Sultan dengan perasaan tak karuan. Ia langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ayu yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Ay, kamu nggak perlu menjalani hukuman ini untuk bisa menikah denganku. Aku nggak mau menyakiti kamu, Ay. Kita bisa tetap saling mencintai tanpa menikah.”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Aku menjalani hukuman bukan untuk menikah denganmu, Nan. Tapi untuk diterima kembali di keluargaku sendiri.”

“Tell me! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu tidak perlu menjalani hukuman ini, Ay?” tanya Nanda dengan mata berkaca-kaca.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Jangan temui aku dulu sebelum aku menyelesaikan hukumanku. Tunggu aku!” pintanya lirih.

Nanda menggelengkan kepala. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan singgsana Sri Sultan. “Ayu tidak melanggar aturan keluarga kalian. Aku yang telah melakukan kesalahan. Ini semua bukan kesalahan Ayu. Biar aku yang menanggungnya!” pintanya penuh harap. “Apa pun syaratnya akan aku penuhi asalkan kalian bisa menerima Ayu di keluarga ini lagi tanpa harus menjalani hukuman.”

Sri Sultan tersenyum ke arah Nanda. “Kalian saling mencintai?”

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

“Kalau begitu, jalani hukuman sesuai dekrit! Tidak ada yang berubah. Kamu ... tidak boleh menemui Roro Ayu selama dia menjalani hukumannya!” perintah Sri Sultan.

Nanda tertunduk lemas. Dunianya seakan runtuh saat ia mengetahui kalau apa yang dia lakukan terhadap Ayu, ternyata menimbulkan masalah besar baginya. Ia benar-benar menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Ayu dan tidak bisa melawan saat pengawal istana tersebut menyeretnya keluar dari sana.

“AYU ...! Harusnya aku yang dihukum, bukan kamu ...!” teriak Nanda sambil menatap punggung Ayu yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu besar yang sudah tertutup rapat untuknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Apa yang akan dilakukan Nanda selanjutnya? Bermasalah dengan keluarga bangsawan memang nggak mudah, ya? Semangat untuk pasangan ini!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas