Wednesday, August 17, 2022

Bab 72 - Tantangan untuk Nanda

 


“Ay, dengan atau tanpa restu papa, aku akan tetap menikahimu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku ingin menikah dengan restu orang tua. Kalau kamu bisa meyakinkan kakekku, maka aku akan berusaha meyakinkan papamu.”

Nanda tersenyum haru menatap Ayu. Ia langsung memeluk erat tubuh wanita itu. “Ay, maafin aku karena sudah banyak menyakitimu dan membuatmu berkorban banyak. Kali ini, biarkan aku yang berusaha meyakinkan papa.”

Ayu mengangguk. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda memilih untuk memperjuangkan cinta mereka.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda langsung merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering.

“Halo ...!” sapa Nanda saat panggilan telepon dari Karina tersambung. “Ada apa, Rin?”

“Kamu di mana, Nan?” tanya Karina dari seberang telepon.

“Aku di rooftop Galaxy Hotel,” jawab Nanda.

“Galaxy Hotel mana? Surabaya, Semarang atau Solo? Jangan-jangan malah di Jakarta, ya?” cerocos Karina.

“Surabaya, Rin. Ngapain jauh-jauh ke Jakarta?”

“Ya udah, buruan ke Rumah Sakit Wijaya! Aku juga lagi di jalan menuju ke sana.”

“Siapa yang sakit?” tanya Nanda.

“Mama kamu. Papamu tadi telepon aku. Katanya, suruh cari kamu karena dia nggak punya nomor kontak kamu yang baru. Kamu tuh ken—”

Nanda buru-buru mematikan panggilan teleponnya sebelum Karina menyelesaikan ucapannya.

“Mama masuk rumah sakit. Kita harus ke sana, Ay!” ucap Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya pergi menuju rumah sakit untuk menemui mamanya.

 

Beberapa menit kemudian ...

Nanda berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mencari nomor kamar tempat mamanya mendapatkan perawatan.

“Mama ...!” Nanda menerobos masuk ke dalam salah satu ruang rawat VIP yang ada di sana.

Nia langsung tersenyum saat melihat puteranya itu datang menghampirinya. “Nan ...!” lirihnya sembari mengulurkan tangan ke arah puteranya itu.

“Nanda di sini, Ma. Mama baik-baik aja ‘kan?” sahut Nanda sambil meraih dan menggenggam tangan Nia.

Nia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jangan tinggalin Mama lagi! Mama kangen sama Nanda.”

Nanda mengangguk. “Nanda nggak akan tinggalin Mama, kok.”

Nia menoleh ke arah Andre yang sedang berdiri di sisi kirinya. “Mas, jangan usir Nanda lagi! Anak kita Cuma satu. Kenapa kamu nggak sayang sama anak kita sendiri?”

“Aku sayang sama anak kita, Nia. Makanya, aku pilihkan wanita terbaik yang bisa jadi pendamping dia,” sahut Andre.

“Baik buat kita belum tentu baik buat anak kita, Mas,” ucap Nia sambil menitikan air mata.

“Nia, kalau perjodohan Andre dan Karina sampai batal, perusahaan kita terancam. Kamu mau kalau kita hidup gembel lagi?” sahut Andre sambil menahan kesal.

Nia menggeleng sambil menitikan air matanya. “Nggak ada cara lain, Mas? Kita bisa minta suntikan saham sama Yuna ‘kan? Dia pasti mau bantu kita.”

Andre menghela napas. “Aku udah nggak punya muka buat minta tolong ke dia. Ada berapa banyak hal memalukan yang terjadi di keluarga dan hanya jadi bahan tertawaan mereka saja. Aku dan Yeriko itu ... dulu sama-sama kuat. Bahkan lebih besar Amora Internasional daripada Galaxy. Tapi sekarang? Lihat! Punya satu anak nggak bisa diatur dan nggak bisa ngembangin perusahaan sedikitpun! Tahunya hanya main-main dan bikin masalah di keluarga kita!” tutur Andre sambil menunjuk-nunjuk wajah Nanda penuh amarah.

“Mas, kenapa kamu selalu membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain yang lebih tinggi? Di luar sana, masih banyak yang hidupnya lebih susah dari kita. Kita harusnya bersyu— uhuk ... uhuk ... uhuk ...!”

“Ma ...! Nanda akan baik-baik aja di luar sana. Nanda bukan anak kecil lagi. Mama nggak usah banyak bicara dulu! Istirahat yang baik dan Nanda akan baik-baik saja,” ucap Nanda sambil memeluk lengan Nia.

Nia menatap nanar ke arah Nanda. “Mama nggak mau jauh dari Nanda lagi. Mama mau ikut Nanda, boleh?”

Nanda langsung mengangkat kepalanya menatap Andre. Ia langsung bangkit dari kursi dan mensejajarkan tubuhnya dengan Andre. Tubuhnya yang tinggi menjulang, sudah jelas melebihi tinggi tubuh papanya sendiri.

“Kamu mau nantangin Papa? Bisa hidupi mama dan istrimu pake apa?” tanya Andre sambil tersenyum miring.

“Kalau Nanda bisa buktikan bisa hidupi Mama dan Roro Ayu tanpa bantuan Papa. Maka Papa harus bisa merestui hubunganku dengan Roro Ayu!” pinta Nanda.

“Oke. Papa tidak akan menghalangi kalian kalau memang kamu bisa membuktikannya. Bayar biaya rumah sakit mama kamu ini! Buktikan!” perintah Andre sambil melangkah pergi dari ruangan tersebut.

Nia menghela napas melihat sikap keras kepala suaminya, sama saja dengan puteranya juga. Ia harap, Nanda bisa lebih mengalah menyikapi keegoisan papanya. “Nan, kamu nggak usah ambil hati sikap papa kamu, ya! Mama masih punya uang tabungan untuk biaya berobat Mama. Nggak perlu pakai uang kamu. Kamu lebih butuh. Perusahaanmu masih baru. Jangan boros, ya! Buktikan ke papamu kalau kamu bisa sukses tanpa dia!” pintanya.

“Ma, Nanda mana bis—”

“Sst ...! Dengerin Mama, ya! Kalau Nanda sayang sama Mama, dengerin Mama!”

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sampingnya.

“Ayu, maafin Mama Nia dan Nanda di masa lalu. Nanda sudah menebus semua kesalahannya. Mama titip Nanda, ya! Jangan tinggalin dia lagi meski dia nakal dan rewel. Aslinya, dia itu baik dan sayang banget sama Ayu,” ucap Nia sambil tersenyum menatap Ayu.

Ayu menganggukkan kepala dan memeluk tubuh Nia. “Maafin Ayu juga, Ma! Ayu sudah melakukan banyak hal yang menyakiti keluarga kalian,” bisiknya.

“Sudahlah. Kita tidak perlu membahas masa lalu terus-menerus! Kita lupakan saja!” pinta Nia berbisik. “Sekarang, pikirkan masa depan kalian! Oke?”

Ayu mengangguk sambil menitikan air mata.

“Jangan nangis!” pinta Nia sambil mengusap air mata Ayu. “Mama bahagia karena cita-cita Mama untuk menjadikan kamu menantu satu-satunya sudah terwujud. Kalian segeralah menikah dan kasih cucu buat Mama! Mama sudah semakin tua, sudah kesepian setiap hari. Kalau ada cucu, Mama bisa punya teman bermain.”

Ayu menganggukkan kepala. “Ayu akan berikan cucu yang banyak untuk Mama supaya nggak kesepian di hari tua.”

Nia tersenyum sambil mengelus lembut pipi Ayu. “Jangan buat cucu cuma satu! Supaya Mama Nia nggak perlu berebut cucu dengan bundamu.”

“Tenang, Ma! Nanti Nanda buatin dua belas cucu untuk Mama,” sahut Nanda.

“Kamu yang mau melahirkan? Dikira melahirkan itu nggak sakit?” dengus Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Hehehe. Kalau bisa, aku mau gantiin kamu melahirkan. Biar kamu nggak usah ngerasain sakit.”

“Gaya banget. Emang barangmu udah normal?” tanya Nia sambil melirik ke arah bagian perut Nanda.

“Mama ...!” dengus Nanda sembari menutupi bagian bawah perutnya. “Aku udah berobat. Udah normal.”

“Udah dicoba?” tanya Nia sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda gelagapan mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa di depan calon istrinya.

“Yu, sejak kamu meninggalkan dia. Dia nggak pernah deket sama cewek mana pun. Dia ini playboy, tobat karena udah menemukan cinta sejatinya, atau tobat karena barangnya udah nggak bisa berdiri lagi? Kamu harus tes dulu! Kalau udah nikah dan barangnya nggak bisa bangun, kamu juga yang rugi,” ucap Nia sambil tertawa kecil.

“Astaga ...! Mama jangan ngomong gitu, dong! Emangnya aku cowok apaan? Pake dicoba-coba segala!?” sahut Nanda.

Nia terkekeh menatap wajah Nanda. “Harus dicobain dulu karena Ayu terlihat lebih normal dari kamu, Nan.”

“Boleh juga. Mau coba, Ay?” Nanda menatap  Ayu dengan tatapan menggoda.

“Apaan, sih!?” Ayu menyembunyikan wajahnya yang merona merah karena malu.

“Bercanda. Nggak akan ada kata cobain, kok. Aku ingin pernikahan kita bisa menciptakan banyak hal indah di dunia ini bersama-sama. Bukan sekedar menciptakan seorang bayi,” ucap Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda sudah banyak berubah. Tidak lagi Nanda yang membuatnya naik darah setiap kali melihat pria itu dikelilingi oleh wanita-wanita seksi kesukaannya.

 

 

 

((Bersambung ...))



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas