Wednesday, August 17, 2022

Bab 58 - Perseteruan Nanda dan Andre

 


Nanda melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediaman orang tuanya. Sudah beberapa minggu ia tidak bertemu dengan sang ibu dan merasa sangat rindu. Dua tangannya menenteng paper bag berisi hadiah dan makanan kesukaan mamanya.

“Sore, Ma ...!” sapa Nanda sambil menghampiri Nia yang sedang asyik berbincang dengan sahabatnya di ruang tamu. “Eh, ada Bunda Yuna?”

Bunda Yuna tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Iya. Kebetulan lewat sini, jadi Bunda sekalian mampir. Gimana kabar kamu?”

“Baik, Bunda.” Nanda langsung menyalami tangan Nia dan menciumnya. Ia juga tak lupa menyalami Bunda Yuna yang ada di sana.

“Nia, aku balik dulu, ya!” pamit Bunda Yuna. “Satu jam lagi suamiku pulang ke rumah. Dia bisa ngambek kalau aku nggak ada saat dia pulang.”

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. Sebagai seorang istri, ia tahu bagaimana rutinitas dan tugas Yuna. Meski di luar sana terlihat sebagai wanita karir dengan jabatan tinggi dan memiliki banyak bisnis, saat masuk ke rumah dia tetaplah seorang istri.

“Jaga kesehatan, ya! Udah makin tua, harus peduli sama diri sendiri!” ucap Yuna sambil merangkul tubuh Nia dan bersalaman pipi.

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Kamu juga, ya! Memperhatikan keluarga, jangan lupa sama kesehatan diri sendiri. Sebagai istri dan ibu, keluarga membutuhkan kita.”

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Salam untuk Andre, ya!”

Nia mengangguk. “Salam untuk Yeriko juga.”

Yuna mengangguk dan segera berpamitan dari rumah tersebut.

Nanda terus memperhatikan Bunda Yuna yang terlihat begitu cantik dan elegan meski usianya tak lagi muda. Wanita ini juga memiliki kekuatan memengaruhi banyak orang hingga menjadikannya sebagai sosok menginspirasi. Ketika di bumi, Miss Ayuna seperti berlian dan ketika di langit ia bersinar seperti bintang. Tak banyak wanita yang masa tuanya diberi anugerah seindah ini.

“Nan …!” panggil Nia membuyarkan lamunan Nanda.

“Eh!?” Nanda mengerjapkan mata dan baru menyadari kalau mobil milik Bunda Yuna sudah tidak terlihat lagi di halaman rumahnya.

“Kenapa ngelamun? Masuk, yuk!” ajak Nia sambil merangkul lengan Nanda. “Kamu dari mana aja? Kenapa akhir-akhir ini jarang pulang? Ngurus bisnis?”

“Ngurus istri,” jawab Nanda santai dan mengempaskan tubuhnya ke sofa.

“Karina?” tanya Nia sambil tersenyum lebar. Sejak kejadian buruk yang menimpa keluarganya tiga tahun silam, puteranya itu mengalami banyak perubahan. Bahkan, menutup diri dari semua wanita hingga ia juga harus ikut campur mencarikan jodoh baru untuk puteranya tersebut.

“Kapan aku merit sama Karina!?” sahut Nanda ketus.

Nia menghela napas menghadapi sikap ketus puteranya itu. “Dia calon istri kamu, Nan. Nggak boleh seperti itu! Kamu harus bisa bangkit dari masa lalu. Karina wanita yang baik, cantik, dewasa dan berasal dari keluarga baik-baik. Dia juga tidak akan menyakiti kamu.”

“Kalau cuma cari yang nggak nyakitin, piara kucing atau kelinci aja beres!” sahut Nanda. “Aku nggak cinta sama Karina. Mama mau kalau aku mencintai wanita lain saat aku menikah sama Karina? Cinta itu nggak bisa dipaksakan, Ma.”

“Terus, kamu mau balik ke Arlita? Kamu tahu sendiri kalau dia udah divonis HIV, Nan. Untungnya, kamu nggak ketularan kena HIV juga sama dia. Kamu mau nikahi perempuan kayak gitu?” tanya Nia sambil menatap wajah Nanda.

“Nggak usah bahas masa lalu, Ma! Aku pusing!” pinta Nanda sambil mengacak rambutnya sendiri.

“Ya udah. Kamu mau minum apa? Mau kopi atau susu?” tanya Nia.

“Nggak usah, Ma! Aku mau ngomong penting sama Mama,” jawab Nanda sembari menggenggam tangan Nia yang duduk di sebelahnya.

“Tumben mukanya serius. Mau ngomong apa?” tanya Nia.

“Aku lagi ngejar Roro Ayu lagi,” tutur Nanda sambil menatap wajah Nia.

Nia terdiam sejenak sambil menarik tangannya dari genggaman Nanda.

“Mama kenapa? Nggak suka kalau aku balikan sama Roro Ayu? Dia menantu kesayangan Mama ‘kan?”

“Itu dulu. Sebelum dia benar-benar mengirimmu ke penjara,” jawab Nia dingin.

“Bukan dia yang mengirimku ke penjara,” sahut Nanda.

“Siapa lagi? Jelas-jelas, dia yang ngelaporin kamu, Nan.”

“Ma, aku udah cari tahu semuanya. Saat laporan itu masuk ke kepolisian, Roro Ayu dalam keadaan koma. Mama ingat ‘kan?”

“Ingat. Tapi dia tetep aja udah ngumpulin semua bukti dan memenjarakan kamu,” sahut Nia.

“Ma, Nadine pernah bilang kalau Roro Ayu memang ingin melaporkan aku ke polisi. Tapi dia mengurungkan niatnya dan membatalkan itu semua.”

“Kamu percaya gitu aja sama omongan Nadine?”

“Aku percaya. Karena Roro Ayu juga nggak tahu apa pun soal laporan kepolisian itu. Yang jahat itu keluarganya Roro Ayu, Ma. Mereka yang udah bikin konspirasi dan membuat kita semua salah paham. Tanda tangan Ayu, masih bisa mereka palsukan. Rekaman suara yang jadi bukti di pengadilan, ternyata sudah diedit,” tutur Nanda menjelaskan.

“Serius!? Apa selama ini Mama salah menilai dia?” tanya Nia.

“Bukan cuma Mama. Tapi aku juga. Dia sudah berkali-kali menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan aku. Semua bukti-bukti itu dia kumpulkan hanya untuk menggertakku saja dengan caranya. Dia nggak benar-benar ingin melakukannya, Ma. Dia sudah cinta sama aku sejak kami masih SMA. Cuma … wanita itu terlalu gengsi untuk mengakuinya,” jelas Nanda sambil tersenyum mengingat masa-masa sekolahnya bersama Ayu.

“Beneran? Gimana keadaan dia sekarang? Sehat?” tanya Nia.

Nanda mengangguk. Ia merogoh ponsel di saku jasnya dan membuka galeri foto miliknya. “Dia makin cantik!” ucapnya bersemangat sembari menunjukkan foto Roro Ayu yang sedang duduk di sudut perpustakaan sembari membaca buku.

“Dari dulu, dia memang senang belajar ya?” tanya Nia sambil tersenyum menatap wajah Roro Ayu.

Nanda mengangguk. “Dia baru aja menyelesaikan gelar masternya di Cambridge University. Dia juga sudah menerbitkan banyak jurnal bisnis selama sekolah di sana. Lihat, Ma! Dia itu abis marah-marah sama aku, tapi malah ketiduran di pangkuanku. Lucu banget ‘kan? Hihihi.”

Nia tersenyum sambil ikut mengusap layar ponsel Nanda. “Ini foto di mana? London Eye?”

Nanda mengangguk. Ia langsung menutup layar ponsel dengan telapak tangannya saat sang mama mengusap ke kiri dan foto yang terpampang adalah foto dirinya dengan Ayu yang sedang berciuman.

Nia tersenyum menggoda ke arah Nanda. “Mama udah lihat. Nggak usah ditutupi. Kamu beneran balikan sama Roro Ayu?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Saat ini, Roro Ayu sedang menjalani hukuman yang berat di keraton demi mendapatkan restu keluarganya. Setiap malam, aku nggak bisa tidur karena Ayu harus mempertaruhkan nyawanya. Aturan leluhur itu kuno dan kejam. Mama jangan mempersulit Ayu, ya! Dia sudah berkorban banyak hal untuk mencintai anakmu.”

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Mama menghargai keputusan kamu. Asal kamu bahagia, Mama akan mendukung kamu. Tapi ... bagaimana dengan Karina? Apa kamu bisa mengatasinya?” tanyanya.

“Dari awal aku sudah menolak perjodohan bisnis ini. Aku akan berusaha keras untuk memperjuangkan apa yang seharusnya aku perjuangkan dan melepaskan apa yang seharusnya aku lepaskan,” jawab Nanda.

“Mama akan dukung aku sama Roro Ayu ‘kan? Aku hanya butuh persetujuan dari Mama dan aku akan melawan semua orang,” tutur Nanda.

Nia mengangguk. “Apa pun yang membuatmu bahagia, Mama akan mendukungnya.”

“Aku nggak setuju!” seru Andre sambil masuk ke dalam rumah tersebut. “Nggak ada alasan apa pun dan perjodohan dengan Karina tidak bisa dibatalkan! Kamu mau perusahaan kita bangkrut lagi karena keluarganya menarik semua investasi di perusahaan kita, hah!?”

 “Pa, aku nggak mau terikat perjodohan bisnis seperti ini. Papa mau jual anak!?”

 “Berani kamu ngelawan Papa, hah!?” sentak Andre sambil menunjuk wajah Nanda penuh emosi. “Kalau kamu masih bersikeras ingin bersama perempuan keparat itu, keluar dari rumah ini dan jangan bawa apa pun selain tubuhmu sendiri!”

“Mas, kenapa ngomong kayak gitu sama anak sendiri?” Nia langsung menghampiri Andre dan mencoba untuk menenangkan suaminya itu.

“Anakmu ini nggak pernah berhenti berulah dan bikin malu keluarga. Apa kata keluarga Karina kalau sampai perjodohan ini batal?”

“Pa, ini baru perjodohan, kok. Belum sampai ke tahap pernikahan. Kemarin aku udah menikah pun, masih bisa dibatalkan,” sahut Nanda.

“Kalau gitu, perjodohan kali ini nggak boleh batal!”

“Aku nggak cinta sama Karina, Pa! Kenapa papa maksa aku buat nikahin dia? Kalau memang pernikahan ini hanya untuk bisnis, Papa aja yang nikahi Karina!”

PLAK!

Telapak tangan Andre langsung mendarat di pipi Nanda. “Berani kamu ngomong gitu ke papa, hah!?”

“Mas, jangan pukul Nanda! Cukup, Mas!” Nia langsung memeluk Nanda sambil menitikan air mata. “Kamu nggak papa, Sayang?” tanya Nia sambil mengusap kedua pipi Nanda. “Papa nggak marah beneran, kok. Nanda nggak boleh marah sama papa, ya!” lirihnya.

“Didik anak kamu ini! Jangan jadi anak pembangkang dan bikin malu keluarga. Aku nyesal udah pilih istri sepertimu. Lihat Yuna! Dia selalu tahu bagaimana caranya membahagiakan suami dan keluarganya. Anak-anak dia, nggak ada yang kelakuannya begini. Semuanya sukses. Kamu ngapain selama ini? Sampai nggak bisa didik anak kamu dengan baik!” seru Andre penuh emosi.

Air mata Nia mengalir deras mendengar ucapan kemarahan Andre. Ia tidak menyangka kalau suaminya itu masih terus membandingkan ia dengan Ayuna yang kehidupannya jauh lebih baik dari mereka.

“Mas, Mas Andre kenapa setega ini ngomong sama aku? Kalau aku bisa milih, aku ingin terlahir seperti Yuna, Mas. Perempuan mana yang nggak mau jadi seperti dia? Aku sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Nanda. Kalau aku gagal, itu semua di luar kuasaku, Mas,” ucap Nia dengan derai air mata.

“Sebelum kamu gagal, kendalikan anakmu ini!” sahut Andre sambil menunjuk wajah Nanda dan melangkah pergi.

Nanda menarik kerah baju Andre dengan cepat dan tangannya yang sudah mengepal erat sejak beberapa detik lalu, langsung menghujam wajah Andre.

BUG!

Tubuh Andre langsung tersungkur ke lantai karena ia tidak siap menahan serangan Nanda yang tiba-tiba.

“Papa boleh maki aku sepuasnya, tapi jangan maki mamaku!” seru Nanda kesal.

Nia langsung menghampiri tubuh Andre dan memeluk suaminya itu. “Nan, papamu hanya emosi sesaat saja. Jangan pukul dia!” Ia benar-benar serba salah dan tidak tahu harus memilih membela siapa.

Nanda menatap kesal ke arah Andre sambil merogoh saku celananya. “Ini kunci mobilku. Ambillah!” pinta Nanda sambil melemparkan kunci mobilnya ke hadapan Andre.

“Nan, jangan ikut emosi juga!” pinta Nia sambil menangis. Tapi, kalimatnya itu tidak didengar oleh bapak dan anak yang sedang berseteru hebat itu.

“Ini dompetku! Jam tangan, sepatu, jas dan semuanya. Aku balikin ke papa!” ucap Nanda lagi sambil melemparkan barang-barang tersebut ke arah Andre yang masih terduduk di lantai.

Nanda memperhatikan kemeja dan celana bahan yang ia kenakan. “Setelan kemeja ini, aku pinjam dulu. Besok, akan aku kembalikan ke Papa!” ucapnya. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

“Kita lihat, apa kamu bisa hidup tanpa uang dan fasilitas orang tua, hah!?” seru Andre. Ia semakin emosi melihat Nanda yang begitu berani di hadapannya.

“Mas, kenapa malah bilang begitu? Bukannya dibujuk,” tanya Nia sambil memukul pundak Andre dan segera berlari mengejar langkah Nanda. Ia berusaha keras mencegah puteranya itu untuk tidak keluar  dari rumah.

“Nan, Nanda ...! Jangan pergi, Nak! Papamu hanya emosi sesaat. Jangan diambil hati ya!” seru Nia yang tidak sanggup mengikuti jejak kaki Nanda yang berjalan lima kali lebih cepat darinya.

 

 ((Bersambung...))


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas