Friday, September 16, 2022

Bingungnya Jadi Janda



Hai ... Hai ...!

SELAMAT DATANG DI SESI CURHAT‼️

Seperti biasa, kali ini aku mu curhat tentang kehidupan aku.
Tulisan ini nggak terlalu penting dan receh banget. Tapi aku harap, ada secuil hikmah yang bisa kalian ambil dari pengalaman hidupku.

Ya, sesuai judul tulisanku kali ini ... aku lagi bingung banget saat aku tiba-tiba jadi janda.
Eh, nggak tiba-tiba juga, sih. Karena sebenarnya aku udah mendapat gelar sebagai janda sudah 10 bulan lalu.
10 bulan itu waktu yang sebentar atau lama, sih? 
Sebentar lah ya ... masih lama 10 tahun. Hehehe

Apa sih yang always aku bingungin saat ini?
Ya statusku inilah... Karena aku harus survive dan struggle sebagai ibu dari dua orang anak dan juga tulang punggung keluarga.
Sebenarnya, aku udah biasa jadi tulang punggung keluarga yang juga harus berbagi waktu buat ngurus rumah dan anak-anakku. Aku nggak pernah keberatan dan fine-fine aja gitu.

Tapi akhir-akhir ini ...
Aku agak bingung karena aku mulai keteteran buat cover kerjaan rumah dan cari nafkah sekaligus. Apalagi kerjaanku serabutan banget. Mengandalkan uang dari menjahit untuk kehidupan sehari-hari, masih jauh dari cukup karena yang datang jahitkan pakaian juga nggak banyak dan nggak setiap hari ada.
So, aku always cari sampingan lain. Artinya, aku memang punya second income dan third income supaya aku bisa bertahan hidup dan mempertahankan hidup anak-anakku.

Capek? Banget.
Dan yang bikin aku lebih capek lagi adalah dengerin keluhan dari orang yang paling Deket sama aku. Yaitu nenekku.
Maybe, karena suaminya udah meninggal setahun lalu dan ngerasa kesepian, dia jadi lebih bawel dari sebelumnya. Maunya dia tuh, aku pegang kerjaan rumah terus. Harus nyuci baju, nyuci piring dan beres-beres tepat waktu. Sementara, aku sering keteteran sama kerjaan yang tiba-tiba. Yah, namanya kerja serabutan, waktunya nggak bisa ditentukan dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore kayak orang kerja kantoran.
Alhasil, aku malah makin nggak konsen sama kerjaanku sendiri. Karena yang menurut aku prioritas (nyari nafkah buat keluarga) malah jadi sampingan. Karena aku harus mendahulukan ngurus rumah yang nggak menghasilkan apa-apa dan bikin aku kehilangan banyak job.

Aku udah berusaha keras buat beresin rumah. Meski nggak rapi-rapi banget karena aku emang nggak berbakat rapi-rapi rumah. Setidaknya, aku kelihatan kerja di depan nenekku biar dia nggak mengomel terus. Karena kalau aku lagi nulis novel di handphone, dia anggap aku cuma mainan doang. Alhasil, dia bakal ganggu aku dengan berbagai cara, hahaha.

Kalau menurut kalian, aku harus gimana ya?
Kalau pakai jasa ART, jelas aku belum mampu melakukannya karena income aku nggak nentu. Apalagi kalau yang baca tulisanku sepi. Makin sulitlah hidupku ini.

Jadi, buat kalian rumah berantakan itu wajar atau nggak sih buat aku yang harus hidup survive dan struggle buat anak-anakku?


Kasih pendapat kalian, dong!
Biar aku bisa lebih semangat menjalani hidup karena aku masih punya kalian yang nggak pernah lelah menemani aku bercerita tentang banyak hal di sekitarku. 
Entah itu aku kemas dalam bentuk fiksi maupun non-fiksi...


Much Love,
@rin.muna


Extra Part 02 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 

Bab 2
Hadiah untuk Halimah

“Assalamualaikum, Ustadz ...!” sapa Halimah dan teman-temannya saat mereka memasuki masjid yang menjadi tempat ibadah sekaligus belajar kajian Al-Qur’an di desa tersebut.

“Wa’alaikumussalam ...!” balas Ustadz Zuhri yang baru saja selesai menyapu masjid tersebut. “Sudah pada datang?”

“Sudah, Ustadz.”

“Pasti pada capek ya jalan kaki dari kampung sebelah. Ke belakang dulu kalau mau minum!” ajak Ustadz Zuhri.

“Iya, Ustadz. Aku haus banget. Boleh minta minum ke rumah Ustadz, kan?” Sahut Anjani.

“Boleh. Yuk!” ajak Ustadz Zuhri. Ia segera melangkahkan kakinya menuju bangunan kecil tempat tinggalnya yang ada di belakang masjid tersebut.

Halimah tersenyum kecil. Ia memilih untuk melangkah masuk ke dalam masjid.

“Halimah, kamu nggak ikut ke belakang? Istirahat dulu!” tanya Ustadz Zuhri saat menyadari Halimah tidak mengikutinya.

Halimah menggeleng sambil tersenyum. “Tidak usah, Ustadz. Halimah bawa air minum sendiri dari rumah.”

Ustadz Zuhri memperhatikan Halimah selama beberapa detik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Mengajak Anjani, Agus, Ibrahim dan Ihsan untuk beristirahat terlebih dahulu karena mereka baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.

“Waktu sholat Ashar masih setengah jam lagi. Kalian beristirahatlah di sini dulu, ya! Kita mulai belajar ba’da Ashar, seperti biasanya.”

“Siap Pak Ustadz!” sahut Ibrahim dan yang lainnya bersamaan. Mereka langsung duduk di ruang tamu Ustadz Zuhri. Menonton televisi sambil menikmati cemilan dan minuman yang tersedia di sana.

“Kalian sudah hafalan tajwid?” tanya Ustadz Zuhri.

“Sudah, Ustadz.”

“Alhamdulillah. Tilawahnya bagaimana?” tanya Ustadz Zuhri lagi.

Semua orang di sana terdiam dan saling pandang.

“Hehehe. Kami belum ada yang menguasai semuanya, Ustadz. Baru bisa nada rendah aja,” ucap Ihsan sambil meringis ke arah Ustadz Zuhri.

“Wah, padahal ustadz sudah siapkan hadiah untuk kalian kalau sudah menguasai semuanya minggu ini. Batal deh hadiahnya,” ucap Ustadz Zuhri.

“Itu, Ustadz. Halimah ...! Halimah sudah bisa tujuh tingkatan lagu Tilawah,” ucap Ibrahim.

“Oh ya? Yang bener?” tanya Ustadz Zuhri penasaran.

“Iya, Ustadz. Dia semangat banget belajar tilawah supaya bisa dapet hadiah dari Ustadz Zuhri,” ucap Agus.

Ustadz Zuhri tersenyum. “Baguslah kalau begitu. Memangnya Halimah menginginkan hadiah apa dari saya?”

“Pengen di-khitbah sama Ustadz Zuhri,” jawab Ibrahim.

Ihsan langsung membungkam mulut Ibrahim. “Kamu jangan bocorin rahasia Halimah! Nanti dia marah sama kita, gimana?”

Ibrahim menahan tawa sambil menutup mulutnya sendiri. “Maaf, aku keceplosan.”

Ustadz Zuhri tersenyum kecil. “Ya sudah, kalian istirahat dulu di sini! Saya akan coba menguji Halimah sambil menunggu waktu sholat Ashar.”

“Siap, Ustadz!” sahut Ibrahim dan yang lainnya bersamaan.

“Anjani boleh ikut, Ustadz?” tanya Anjani sambil menatap wajah Ustadz Zuhri.

“Anjani sudah hafal tingkatan lagu Tilawah juga?” tanya Ustadz Zuhri.

Anjani menggelengkan kepala.

“Saya uji Halimah dulu. Boleh ikut kalau mau melihat,” ucap Ustadz Zuhri sambil melangkahkan kakinya. Ia segera masuk kembali ke dalam masjid dan menghampiri Halimah yang sudah siap dengan mukenah dan Al-Qur’an di hadapannya.

Ustadz Zuhri langsung tersenyum lebar mendapati wajah cantik Halimah. Gadis belia itu tidak hanya memiliki paras yang cantik, tapi juga memiliki sifat dan sikap yang baik pula. Ia selalu merasa bangga dan mengagumi semua yang ada pada wanita ini. Terlebih saat ia mendengar desas-desus jika Halimah menyukainya. Ia semakin tertarik dan bersemangat untuk mengajar ilmu agama.

“Assalamualaikum, Halimah Az-Zahra!” sapa Ustadz Zuhri sambil duduk di hadapan Halimah. Ia tetap menjaga jarak sekitar dua meter dari tubuh Halimah agar tidak menimbulkan fitnah yang tidak-tidak.

“Wa’alaikumussalam, Ustadz ...!” balas Halimah sambil mengangkat wajahnya dan menatap Ustadz Zuhri.

“Subhanallah ...! Kecantikanmu sesuai dengan namamu, Halimah. Mewarisi kecantikan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah,” ucap Ustadz Zuhri sambil menatap wajah Halimah tanpa berkedip.

Halimah tersenyum dengan pipi menghangat. “Ustadz Zuhri bisa saja. Aku merasa biasa saja, Ustadz. Masih banyak wanita yang jauh lebih cantik dari saya.”

Ustadz Zuhri tersenyum bangga mendengar ucapan Halimah yang begitu rendah hati. “Kata teman-temanmu, kamu sudah bisa semua lagu Tilawah?”

Halimah mengangguk. “Insya Allah, Ustadz.”

“Bisa saya dengarkan sekarang?” tanya Ustadz Zuhri sambil tersenyum menatap Halimah.

Halimah mengangguk. Ia segera membaca ta’awud dan mulai mengeluarkan lagu-lagu tilawah dengan suara merdunya.

Ustadz Zuhri terus tersenyum menikmati suara merdu Halimah yang jarang sekali ia dengar.

“Halimah, hadiah apa yang kamu inginkan dari saya karena kamu sudah berhasil menguasai lagu tilawah dengan baik?” tanya Ustadz Zuhri begitu Halimah selesai melantunkan lagu-lagu Al-Qur’an tersebut.

“Apa saja, Ustadz. Asal Ustadz ikhlas memberinya untuk saya,” jawab Ainin sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak tahan jika bertatapan langsung dengan Ustadz Zuhri karena jantungnya tak bisa diajak untuk berkompromi. Tatapan pria idaman itu berhasil membuat pipinya mengeluarkan semburat warna merah muda.

“Aku akan meng-khitbah kamu, Halimah. Aku akan menikahimu setelah kamu lulus SMA,” ucap Ustadz Zuhri.

DEG!

Halimah langsung menatap wajah Ustadz Zuhri dengan perasaan tak karuan. Dunianya seolah berputar tak tentu arah dan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak menyangka jika Ustadz Zuhri memiliki niat untuk memperistri dirinya. Rasanya, ia sedang berada di alam mimpi karena menjadi istri dari Ustadz Zuhri adalah sebuah mimpi. Mimpi yang selalu ia ucapkan dalam doa-doa dan sholatnya hingga Allah menyentuh hati Ustadz Zuhri untuk membalas semua perasaan yang sedang ia pendam.

“Ustadz, ini sungguhan? Tidak sedang bercanda untuk membuatku senang ‘kan?” tanya Halimah.

Ustadz Zuhri menggeleng sambil tersenyum. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini karena Halimah adalah wanita cantik dan sholehah yang menjadi bunga desa di desa sebelah. Saat Halimah datang ke tempatnya untuk belajar mengaji, ia merasa jika Allah sedang memberikan jalan agar jodohnya semakin dekat dengannya. Ia ingin memiliki Halimah, wanita yang wajah dan akhlaknya begitu mengagumkan meski tinggal di pelosok desa.

 

 

[[Bersambung ...]]

 

Terima kasih buat kalian semua yang udah mau mengikuti kisah Halimah Az-Zahra.

Semoga ada banyak pelajaran hidup yang bisa kalian ambil dari tulisan ini karena kita hanya manusia biasa yang tidak akan bisa lepas dari dosa dan noda.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Wednesday, September 14, 2022

Extra Part 01 - [Prequel Assalamualaikum, Ya Habib!"] [I Lost You, Ustadz]

 

I Lost You, Ustadz


“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga kamboja sebagai pemanis.

“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.

“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa jauh-jauh ke kampung sebelah?”

“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta. Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi Ustadzah beneran di kampung ini.”

“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa? Sendirian?” tanya Annisa.

“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman yang lain juga, kok.”

“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.

“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali akan keluar rumah.

Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih  berumur belasan tahun. Meski begitu, kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.

“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!” pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik mereka.

“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh Halimah yang bergerak pergi.

Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari rumah mungil miliknya.

“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum ramah.

“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang sangat cantik di mata mereka.

Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”

“Insya Allah nggak ada.”

Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.

“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz Zuhri kemarin?” tanya Halimah.

“Sudah, dong.”

“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?” tanya Halimah.

Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah. Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”

“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.

“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.

“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.

“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim menimpali.

“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”

“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang juga ada di sana.

“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.

“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.

“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz Zuhri,” sahut Ibrahim.

“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah tersipu.

“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?” ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.

Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh! Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”

“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.

“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.

“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.

Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani. “Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”

“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani? Aku cocok nggak sama dia?”

“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil meringis.

“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan jempolnya.

“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.

“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,” jawab Ihsan.

“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.

 

 

[[Bersambung …]]

 

 

Tulisan ini khusus buat kalian yang penasaran sama masa lalu Halimah Az-Zahra, ya!

Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.


Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!

Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

Monday, September 12, 2022

Perayaan Kehadiran Mangkuk Ayam Jago Lampang Jadi Doodle Google Hari Ini | 12 September 2022

 



Kaget banget dong saat melihat Google Doodle tiba-tiba sudah berubah jadi gambar ayam jago yang udah nggak asing lagi di mataku. Pagi-pagi banget, Mangkuk Ayam Jago ini sudah ada di trending topiknya google, loh. Kira-kira, kenapa ya Ayam Jago ini jadi salah satu logo moment dari google?


Aku ikut penasaran juga, dong. Apa sih yang bikin Mangkuk Ayam Jago ini jadi topik pembicaraan di seluruh dunia? 

Karena aku sendiri udah familier banget sama mangkuk ini. Bahkan, mangkuk ini udah ada di rumah sebelum aku lahir ke dunia, eeaak. Jadinya penasaran banget, dong. Kira-kira apa ya yang bikin Mangkuk Ayam Jago legendaris yang biasa meramaikan warung-warung bakso & mie ayam ini ... tiba-tiba jadi trend di google?

Yuk, ikuti dulu beberapa tulisan yang udah menuliskan tentang sejarah Mangkuk Ayam Jago ini!


Menurut en.wikipedia.org Mangkuk Ayam Jago (Rooster Bowl) berasal dari China lebih dari ratusan tahun yang lalu. Mangkuk Ayam Jago dibuat oleh masyarakat Hakka di Provinsi Guangdong, China. 

Guangdong adalah sebuah provinsi yang ada di pesisir tenggara Republik Rakyat Tiongkok. (wikipedia.org)

Awalnya, mangkuk ayam jago adalah mangkuk putih tanpa gambar apa pun. Setelah selesai dibuat, mangkuk buatan masyakarat Hakka ini dikirim ke Phang Key untuk pewarnaan. Di sinilah gambar ayam jago dibuat. Ayam jago ini kemudian diwarnai dengan warna merah pada bagian leher dan jenggernya. Berwarna hitam pada bagian ekor dan kakinya. Juga diberi hiasan rumput dan pohon di dekatnya. Sepertinya setiap produsen membubuhkan gambar berbeda untuk menjadi ciri khas. Karena mangkuk yang aku punya adalah produksi "Fine China" yang hanya ada gambar ayam jago dan bunga sepatu di hadapannya seperti gambar yang sedang aku posting ini.

Kualitas mangkuk ayam jago sangat tahan lama. Bahannya tebal dan kuat, jauh berbeda dengan mangkuk-mangkuk zaman sekarang yang kalau kena senggol aja, udah pecah. Soal kualitas, mangkuk ayam jago tidak salah jika menjadi salah mangkuk standar Cina.

Mangkuk Ayam Jago memiliki beberapa ukuran: lebar 5", 6", 7" dan 8" dengan kedalaman 8". Ukuran lebar 5-6 inchi biasanya digunakan untuk rumah tangga dan restoran. Sedangkan ukuran 7-8 inchi untuk pekerja karena mereka makan lebih banyak. 

Kalau kalian, suka pakai Mangkuk Ayam Jago yang ukuran berapa, nih? Kalo aku, biasa pakai 6 inchi karena aku makannya nggak banyak, hehehe.

Oh ya, menurut wikipedia juga, nih ... sebelum perang dunia ke-2, pedangan Cina di Jalan Song Wat, Bangkok memesan mangkuk-mangkuk Ayam Jago untuk mereka jual karena saat itu harganya sangat murah. Selama perang Cina-Jepang, mereka kekurangan pasokan dan harga meningkat. Karena itu, Thailan memproduksi Mangkuk Ayam Jago untuk pertama kalinya. Perusahaan pertama yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago berada di Ratchathewi district, Bangkok, oleh masyarakat Hakka.

Sekitar tahun 1957, orang Tionghoa yang ada di Thailan pindah ke Provinsi Lampang untuk mendirikan pabrik yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago karena Distrik Chae-Hom (Lampang) memiliki ketersediaan kaolin yang paling cocok untuk memproduksi Mangkuk Ayam Jago. [en.wikipedia.org]


Pada 12 September 2013, Mangkuk Ayam Lampang didaftarkan sebagai kekayaan intelektual di Department of Intellectual Property, Ministry of Commerce, Thailand. 

12 September menjadi hari perayaan kehadiran alat makan tradisional tersebut. Itulah sebabnya, kenapa Google Doodle menjadikan Mangkuk Ayam Lampang sebagai ikon hari ini. 

So, kalian ada yang ikut merayakan hari Mangkuk Ayam Jago Lampang ini juga atau nggak, sih? Share dong cerita kalian kalau kalian juga ikut merayakan Hari Mangkuk Ayam Jago ini. Kalau aku sih ... udah ikut merayakannya dengan cara makan mie instan pakai mangkuk ini, hehehe.



Cukup di sini aja tulisan dari aku, ya!

Jangan lupa komen dan share kalau kalian ingin berbagi cerita sama author!



Much Love,

Rin Muna

 






Menjahit Bendera Merah Putih untuk HUT Ke-77 RI Desa Beringin Agung





Sebuah kebanggaan tersendiri buatku karena dipercaya untuk menjahit bendera Merah Putih yang digunakan untuk upara HUT Ke-77 RI di Desa Beringin Agung. 
Aku juga nggak nyangka kalau akan dapet kepercayaan ini.
Because, aku adalah penjahit yang jarang jahit. Karena lebih banyak nulis novel dan curhat di blog, hahaha.

Kali ini, aku hanya ingin berbagi pengalaman dan mengabadikan sebuah momen yang mungkin tidak akan terulang dua kali dalam hidupku. Aku merasa istimewa dan mendapatkan sesuatu yang begitu indah. Terlebih ketika melihat bendera Merah Putih ini bisa terbang dengan gagahnya di atas sana bersama pasukan pengibar bendera yang seragamnya juga hasil jahitan tanganku dan timku di rumah jahit "Lovella Mode".

Aku tahu, karir menjahitku tidak sebagus orang-orang lain. Bisa dibilang, aku cuma dapet orderan setahun sekali, hahaha. Gitu aja bangga, ya? Gimana kalo dapet orderan setiap hari? Hahaha.
Udahlah, udah cukup menertawakan diri sendiri untuk segala kepayahan yang aku miliki.
Mau sepayah apa pun itu, buatku tetap istimewa. Karena perjuanganku nggak mudah dan effort besar itulah yang membuatku merasa bangga pada diriku sendiri. Di sela-sela mengurus dua anak yang masih kecil, di sela-sela kesibukanku menulis buku, ternyata aku masih bisa menghasilkan sebuah karya, meski karya itu sangat sederhana.

Buat kalian, aku ini lebay atau nggak, sih?
Lebay ya? Cuma kayak gini aja udah pamer-pamer.
Eits, sebenarnya bukan lebay dan pengen pamer, sih.
Tujuanku menuliskan semua hal di blog ini adalah untuk kenang-kenangan supaya suatu saat nanti aku masih diingat dalam sejarah anak-cucuku. Setidaknya aku bisa membaca ulang kisah-kisahku sendiri jika suatu hari aku terserang alzheimer.

Kamu yang udah baca tulisan ini, jangan lupa berbagi dan menginspirasi. Semoga apa yang kamu beri bisa jadi jalan rezeki untuk dirimu sendiri dan orang-orang yang kamu cintai.



Much Love,

Rin Muna


 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas