Wednesday, August 17, 2022

Bab 31 - Nasihat Nyonya Ye [Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 


“Ay, kamu ngapain?” tanya Nanda saat melihat Ayu sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper.

“Beresin pakaian aku,” jawab Ayu sambil melipat pakaiannya perlahan dan memasukkan ke dalam dua koper besar miliknya.

“Buat apa dimasukin ke koper? Kamu mau ke mana?”

“Mau pulang ke rumah orang tuaku, Nan. Ayah minta aku pulang sore ini. Dia mengajukan permohonan pembatalan nikah. Kita nggak bisa tinggal sama-sama lagi, Nan,” jawab Ayu sambil menutup koper dan menguncinya.

“Ay, kamu jangan kayak gini, dong! Aku masih sakit. Lihat! Aku masih sarungan gini. Tega banget ninggalin aku dalam keadaan kayak gini?”

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu juga tega kayak gitu saat istri kamu lagi hamil, Nan,” ucapnya.

“Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, Ay. Aku udah jelasin ke kamu berkali-kali ‘kan? Kamu nggak usah baperan gini, deh! Kita berdua ini nikah tanpa cinta. Kamu nggak bisa cinta sama aku, aku juga sama. Aku suka sama semua cewek cantik di dunia ini dan aku nggak percaya ada cinta di dunia ini! Semua rasanya sama, nggak ada yang beda!” sahut Nanda kesal.

Air mata Ayu langsung menetes perlahan mendengar ucapan Nanda. Ia semakin yakin untuk pergi dari sisi pria ini. Sekuat apa pun ia berusaha menjaga hubungan ini, memang tidak pernah ada cinta di dalamnya.

Ayu menarik dua koper besar miliknya dan melangkah perlahan.

“Ay, kamu jangan kayak anak kecil gini, deh! Aku nggak pernah memperlakukan kamu dengan buruk. Semua cewek yang deket sama aku, selalu kuperlakukan dengan baik. Gitu juga dengan kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang berhasil jadi istriku. Harusnya kamu bangga punya suami ganteng, kaya raya dan dipuja banyak cewek di luar sana,” cerocos Nanda sambil menghadang tubuh Ayu. Ia tidak tahu lagi apa yang seharusnya ia ucapkan untuk mencegah wanita itu pergi dari hadapannya.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ingin rasanya ia meneriaki pria ini. Memakinya sesuka hati, tapi ia masih takut membuat dosa pada suaminya ini.

“Ay, kenapa diam?” tanya Nanda.

“Aku capek berdebat kayak gini terus sama kamu, Nan. Hubungan kita itu nggak sehat. Udah enam bulan kita nikah dan tetap aja kayak gini. It’s a relationSHIT!” sahut Ayu.

“Terus, kamu maunya apa? Aku udah perlakukan kamu dengan baik, kamu malah bertingkah di luar sana. Tetep aja cuek sama aku,” tutur Nanda.

“Yang cuek itu aku atau kamu sih, Nan!?” seru Ayu. Ia langsung menepis tubuh Nanda dan melangkah keluar dari kamar.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil mengejar langkah Ayu dan mencegah wanita itu keluar dari rumahnya. “Ay, ingat anak kita!”

“Aku ingat, Nan. Ingat banget! Harusnya kalimat itu aku tujukan ke kamu yang tega janjian sama perempuan lain di hotel!” sahut Ayu sambil menepiskan tangan Nanda dari tubuhnya. Ia benar-benar kesal dan ingin membuat pria ini mengetahui kalau hidupnya tidak akan bergantung pada lelaki seperti dia.

“Sudah siap?” tanya Edi Baskoro yang sudah berdiri di depan pintu rumah Nanda.

“Udah, Yah,” jawab Ayu.

Edi langsung memerintahkan supir pribadinya untuk memasukan dua koper milik Ayu ke dalam mobilnya.

“Ayu ...! Ay ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya saat melihat sang papa mertua sudah berdiri di teras rumahnya.

“Masuk ke mobil!” perintah Edi sambil menatap wajah Ayu.

Ayu melangkah perlahan sambil menatap wajah Nanda yang masih terus menatap kepergiannya. Sungguh, ia tidak tega meninggalkan Nanda dalam keadaan sakit seperti ini. Ia tidak tahu bagaimana Nanda mengurus dirinya sendiri jika ia pergi.

“Pa, jangan bawa Ayu pergi!” pinta Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum sinis. “Temui istri dan anakmu di pengadilan saja!” ucapnya dingin dan bergegas masuk ke dalam mobil.

“Ay ...! Ayu ...!” panggil Nanda sambil berusaha menghampiri mobil Edi dengan susah payah karena ia masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Alat vitalnya masih terasa sakit dan nyeri. Membuatnya tidak tidak bebas bergerak.

Ayu terus menatap tubuh Nanda saat mobilnya bergerak pergi. Ia meneteskan air mata ketika ia harus meninggalkan pria itu dalam keadaan masih sakit dan membutuhkan bantuannya.

“Nggak usah nangis! Laki-laki itu perlu diberi pelajaran. Ini saatnya dia menunjukkan keseriusannya pada keluarga kita. Ayah tidak mau kalau puteri Ayah diperlakukan semena-mena. Lihat saja! Wanita mana yang akan dia minta untuk mengurusnya di saat sakit seperti ini. Kalau masih ada wanita-wanita lain lagi, lebih baik kalian bercerai saja! Sonny jauh lebih baik dari Nanda!” tegas Edi.

“Ayah, aku kasihan sama dia. Dia tetap ayah untuk anakku,” ucap Ayu lirih.

“Zaman sekarang, sudah biasa anak terlahir tanpa ayahnya. Sonny masih mencintai kamu dan mau menerima anak ini. Kamu menikah saja dengan Sonny! Daripada hidup sama laki-laki bajingan itu!”

Ayu menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Keramaian kota Surabaya, tidak membuat hatinya ikut ramai. Ia masih tidak tahu bagaimana cara menghadapi hubungan yang kacau ini. Apakah dia masih bisa mencintai Sonny dengan semua kekurangan yang ia miliki? Ia merasa, sudah tidak layak untuk pria itu. Sonny berhak mendapatkan wanita yang lebih baik. Jika hari ini Tuhan memberinya jodoh yang tidak baik, mungkin karena ia juga belum bisa menjadi wanita yang baik pula.

Begitu mobil BMW yang membawa Roro Ayu pergi dari halaman rumah Nanda, sebuah mobil Maserati berjalan perlahan memasuki rumah pria itu.

Nanda mengernyitkan dahi sambil menerka-nerka siapa orang yang akan keluar dari mobil tersebut. Begitu melihat wanita paruh baya keluar dari mobil itu, ia langsung bergegas merapikan sarung dan kaos yang ia kenakan. Kemudian melangkah menghampiri wanita itu. “Tante Yuna? Tumben ke sini? Ada apa?”

“Tante mau ngobrol sebentar sama kamu. Bisa?” tanya Yuna sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan.

“Bisa, Tante. Silakan masuk!” jawab Nanda sambil mempersilakan Yuna untuk masuk ke rumahnya.

“Roro Ayu di rumah?” tanya Yuna.

“Eh!? Dia lagi main ke rumah orang tuanya,” jawab Nanda.

“Kalau gitu, Tante Yuna di teras aja. Gimana kondisi kamu? Udah sehat?” tanya Yuna sambil menatap bagian bawah perut Nanda.

“Lumayan, Tante,” jawab Nanda sambil meringis. Ia menahan malu melihat keadaannya yang terlihat payah seperti ini.

“Rusak parah? Masih bisa berdiri, nggak?” tanya Yuna sambil menahan ngilu melihat Nanda yang masih mengenakan sarung. Ia tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi pada suami atau dua puteranya.

Nanda kebingungan dan pandangannya mengedar tak terarah. Ia hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya itu. Pertanyaan Nyonya Ye terlalu vulgar dan berhasil membuat ia sangat canggung.

Yuna menghela napas. Ia mengulurkan tangan ke arah asisten pribadinya.

Asisten pribadi itu langsung memberikan satu bundel dokumen ke tangan Yuna.

“Tante, saya cuma ngurus perusahaan satu doang. Nggak mungkin Tante Yuna mau bisnis dengan perusahaan kecil kayak saya ‘kan?” tanya Nanda.

“Lihat dulu!” perintah Yuna sambil menyodorkan dokumen ke hadapan Nanda. “Papa dan Mama kamu yang minta Tante untuk menyelesaikan masalah kalian. Kamu ini nggak sayang sama keluarga kamu sendiri? Apa susahnya jadi suami setia!?”

Nanda menghela napas. “Aku udah bertanggung jawab, Tante. Aku nggak bisa jatuh cinta ke dia. Dipaksain pun, aku nggak bisa. Aku ...”

“Kenapa kamu bisa hamilin dia? Kenapa nggak pacar kamu itu yang kamu hamilin?” tanya Yuna.

“Pake pengaman,” jawab Nanda.

“Terus, ke Ayu nggak pake pengaman? Makanya sampe kebobolan?” tanya Yuna.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna.

“Nan, kamu itu cinta sama Ayu. Kamu cuma nggak menyadarinya aja. Orang mabuk itu orang yang paling jujur. Do you remember ... apa yang kamu ucapkan ke Ayu malam itu?” tanya Yuna.

Nanda terdiam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat apa yang ia katakan pada Ayu di malam di mana ia memaksa wanita itu melayaninya.

Yuna langsung memutar rekaman suara yang ia dapatkan dari tim pengacara keluarganya.

“Hhh ... I love you, Ay ...! Yo’re mine ...!” bisikan Nanda terdengar sangat pelan di detik-detik terakhir rekaman tersebut.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia tidak menyangka jika malam itu Ayu merekam semua hal yang ia lakukan.

“Rekaman ini senjata paling ampuh untuk keluarga keraton itu menuntut kamu. Itulah sebabnya orang tuamu sampai menandatangi perjanjian yang mempertaruhkan semua harta keluarga kalian,” ucap Yuna.

“Perjanjian itu beneran ada? Aku pikir hanya ancaman papa untuk menakut-nakutiku saja,” tanya Nanda.

Yuna langsung membuka dokumen yang sudah ada di atas meja. “Ini copy berkas tuntutan keluarga keraton dan surat perjanjian mediasi antara keluarga kalian. Roro Ayu punya bukti kuat untuk menuntut kamu, Nan. Dia bahkan sudah melakukan visum tanpa sepengetahuan orang lain. She’s smart. But, dia masih memberimu kesempatan untuk berubah.”

Nanda terdiam sambil menatap dokumen yang ada di hadapannya.

“Kalau kamu tidak cinta, bisakah kamu berusaha keras mencintainya? Ini demi kebaikan semuanya. Untuk apa kamu mempertahankan wanita yang jelas-jelas tidak baik untukmu?” tanya Yuna sambil membuka  lembar lain dalam dokumen itu.

“Ini foto-foto yang didapatkan orangku yang telah menyelidiki kekasihmu yang bernama Arlita Holsler itu. Dia bukan hanya model, tapi dia ada dalam daftar pekerja prostitusi kelas dua. Ini foto-foto dia yang sering keluar-masuk ke Galaxy Gotel dengan pria-pria berbeda.  Apa yang kamu banggakan dari dia selain tubuh seksi dan cantiknya yang akan hilang saat anakmu sudah tumbuh dewasa sepertimu. Dia bisa menjamin masa depan yang baik untuk keluarga kecilmu, Nan?” tanya Yuna.

Nanda tertegun menatap potret-potret Arlita bersama wanita lain di dalam sebuah hotel dan memang bergonta-ganti pria. “Aku nggak nyangka kalau dia seperti ini. Aku pikir dia setia. Aku sudah memenuhi semua kebutuhan dia, Tante.”

“Dia setia sama uang kamu doang. Waktu kamu sakit, dia bantu kamu apa?” tanya Yuna sambil membuka lembar lain dalam dokumen tersebut.

“Ini mutasi rekening milik Nyonya Rindu. Selama ini, Roro Ayu masih menggunakan ATM milik ibunya. Dia mengeluarkan uang delapan ratus juta untuk biaya pengobatan kamu, Nan. Dia sama kamu itu, siapa yang lebih kaya?” tanya Yuna lagi.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna. Perasaannya mulai berkecamuk saat nyonya itu membeberkan banyak kenyataan yang tidak ia ketahui.

“Kamu bilang, kamu tidak pernah mencintai Ayu. But, aku dapet foto-foto ini semasa SMA kalian,” ucap Nyonya Ye sambil menunjukkan sebuah foto saat Nanda berkelahi dengan banyak preman untuk melindungi Ayu.

“Ayu juga mengorbankan nyawanya untuk kamu dua kali. Sekarang, dia sedang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk melahirkan anakmu, Nan. Where your heart? Hatimu tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang dia korbankan untukmu? She is love you. But, dia gengsi karena wanita berprestasi seperti dia ... merasa kalau pria impiannya harus lebih baik dan berprestasi seperti dia. Show you ...! Tunjukan kalau cinta itu ... bisa jatuh pada hati siapa saja, bahkan pada pembunuh sekalipun,” ucap Yuna panjang lebar.

Nanda terdiam. Ada banyak hal yang tidak pernah ia pedulikan tentang Ayu. Baginya, Ayu adalah wanita baik dan berprestasi. Ia sadar, ia tidak mungkin mendapatkan cinta wanita itu. Ia pernah menyukai Ayu saat SMA. Tapi perasaan itu ia kubur dalam-dalam saat mengetahui kalau Ayu lebih mencintai Sonny dan lebih layak berada di sisi pria itu.

“Waktu kamu hanya dua minggu. Buat dia jatuh cinta sama kamu dengan menunjukkan kesungguhan hatimu, Nan! Masa depan semua keluargamu, kini tergantung bagaimana kamu menyikapi hubunganmu dengan bijak,” ucap Yuna sambil tersenyum.

Nanda terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ayu jatuh cinta kepadanya. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya mengejar wanita. Biasanya, semua wanita akan datang dengan sendirinya dan ia hanya cukup membuka sedikit mulut untuk mendapatkannya, tanpa harus berusaha keras.

“Shit! Seumur hidup, cuma cewek satu ini yang bikin hidupku kacau balau!” umpat Nanda dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa beli paket supaya bisa baca lebih murah, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas