Wednesday, August 17, 2022

Bab 69 - Berubah Manja

 



Enggar melangkahkan kakinya perlahan menyusuri koridor menuju ke kamar Ayu.

“Ayu ...!” panggil Enggar sambil masuk ke dalam kamar Ayu karena kamar wanita itu dibiarkan terbuka. Artinya, Ayu sedang bersantai di kamar bersama dengan pelayan-pelayannya.

“Ya, Mas.”

“Besok malam ada acara perjamuan untuk ulang tahun Sri Sultan. Kamu mau ngasih hadiah tarian atau nggak?”

“Mmh, boleh.” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

“Kamu mau nari apa? Rama-Shinta lagi?” tanya Enggar sambil tersenyum manis ke arah Ayu.

“Emangnya kalau nari harus pasangan?” tanya Nanda yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ayu.

“Iya,” jawab Ayu santai.

“Kalau mau pasangan, kamu cuma boleh pasangan sama aku!” pinta Nanda sambil menghampiri Ayu dan duduk di sebelah wanita itu.

“Emangnya kamu bisa nari?” tanya Ayu.

Nanda gelagapan mendengar pertanyaan Ayu. “Aku bisa silat. Nggak beda jauh gerakannya sama nari.”

Ayu memutar bola matanya. “Nggak usah sok cemburu dan posesif! Nggak cocok!”

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Ayu. “Bisa nggak menghargai keberadaanku, Ay. Aku nggak mau kamu deket-deket sama cowok lain,” pintanya manja sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu mengernyitkan dahi melihat tingkah Nanda yang tiba-tiba berubah seperti anak kecil. Ia melirik ke arah Enggar yang terlihat sedang menahan tawa. “Jangan kayak anak kecil gini, Nan!” pintanya.

“Biar aja!” sahut Nanda sambil memeluk lengan Ayu dan bergelayut manja di tubuh Ayu.

Ayu memutar bola mata menghadapi sikap Nanda yang begitu manja. “Nan, kalau kamu masih manja kayak gini, aku nggak mau ketemu sama kamu lagi!”

Nanda langsung melepaskan lengan Ayu dan menatap wajah wanita itu. “Kamu tega banget sama suami sendiri?”

“Aku nggak suka lihat tingkah manjamu ini! Kamu bukan anak kecil lagi!” ucap Ayu sambil bangkit dari tempat duduk dan melangkah keluar dari kamar. “Ayo, Mas Enggar! Kita latihan nari di aula aja!”

Enggar tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah Nanda, mengerdipkan mata ke arah pria itu dan melangkah menyusul Ayu ke ruang aula yang ada di keraton tersebut.

Nanda mendengus kesal ke arah Enggar dan ikut mengejar langkah pria itu.

“Permisi, Tuan Ananda ...! Dipanggil oleh Kanjeng Bopo Edi Baskoro di ruang rapat utama.” Salah seorang pelayan tiba-tiba menghampiri Nanda.

Nanda langsung menghentikan langkahnya. Ia teringat akan urusan bisnis yang sebenarnya sedang ia lakukan bersama Karina di tempat tersebut. Nanda menyeringai kesal sembari menatap Ayu dan Enggar yang sudah berjalan beriringan menyusuri koridor menuju aula tempat mereka berlatih menari. Ia sangat penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh dua orang itu di ujung sana.

“Mari, Tuan ...!” Pelayan itu mengacungkan jempolnya, mempersilakan Nanda untuk menuju ke arah ruang rapat yang ada di keraton tersebut.

Nanda menghela napas kecewa dan melangkahkan kakinya. “Karina ... Karina ...! Kenapa ngajak rapat di saat kayak gini? Nggak tepat banget. Itu si Ayu ... aih ... bisa mesra-mesraan sama anak bangsawan itu kalau cuma berduaan doang,” batinnya.

Di sisi lain, Ayu dan Enggar sudah berada di ruang aula untuk berlatih menari bersama.

“Kamu sengaja mau buat pacar kamu itu cemburu?” tanya Enggar sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum menanggapi pertanyaan Enggar. “Kelihatan jelas, Mas?”

Enggar mengangguk. “Kelihatan juga kalau dia jealous.”

Ayu tertawa kecil. “Baguslah. Biar dia tahu rasanya kalau perasaannya dimainin tuh kayak apa. Emang dia aja yang bisa punya banyak cewek? Kalau aku mau, aku juga bisa punya banyak cowok.”

Enggar tersenyum dan duduk di kursi yang ada di sana. “Tapi aku tahu kalau kamu nggak akan ngelakuin itu.”

Ayu menghela napas sambil tertunduk lesu. “Susah, Mas. Aku susah untuk berpindah hati. Setelah putus dari Sonny, aku udah nggak bisa suka sama yang lain lagi. Mentok aja gitu ke Nanda. Udah bertahun-tahun pisah, aku juga tetep nggak bisa lepas dari dia. Kupikir, dia yang don juan itu akan mudah menikah lagi setelah aku pergi.”

“Mungkin dia sudah tobat, Ay.”

“Emangnya cowok brengsek bisa tobat?” tanya Ayu.

“Sebrengsek-brengseknya cowok, akan ada saatnya dia berubah ketika dia sudah menemukan cinta dalam hidupnya dan sudah memiliki seorang anak,” jawab Enggar sambil menatap wajah Ayu.

“Aamiin. Semoga aja dia berubah ya, Ma. Aku masih worry banget. Gimana kalau sifat playboy dia itu kumat lagi saat dia udah tua nanti?”

Enggar tertawa kecil. “Kurasa, dia sudah berada di bawah kendalimu saat dia tua nanti.”

“Kenapa Mas Enggar berpikir seperti itu?” tanya Ayu sambil tertawa kecil.

“Karena aku melihat jelas bagaimana tingkahnya. Bagaimana cara dia mengejarmu kembali dan bagaimana cara dia ingin menguasaimu,” jawab Enggar sambil tersenyum.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Enggar. Ia harap, Nanda bisa berubah seperti yang ia inginkan. Berubah menjadi pria yang lebih baik lagi untuk ia dan anak-anaknya di masa depan.

“Ayu ...! Mas Enggar ...!”

Suara teriakan seorang wanita, langsung mengalihkan pandangan Enggar dan Ayu bersamaan.

“Nadine?” Ayu dan Enggar saling menatap sambil mengernyitkan dahi. Entah mengapa, Nadine tiba-tiba datang ke keraton tersebut.

“Gimana kabar kamu, Ay?” tanya Nadine sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Aku baik. Kamu gimana? Tumben main ke sini?” balas Ayu sambil tersenyum manis.

“Aku baik juga. Nemenin Okky ke sini. Katanya, ada urusan bisnis sama papa kamu.”

“Eh!? Serius? Ketemu Nanda, dong?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Nanda ada di sini juga?” tanya Nadine.

Ayu mengangguk. “Katanya ada bisnis sama ayahku. Bawa cewek pula ngurus bisnisnya. Emangnya temen bisnis harus cewek, ya? Kalau cinlok, gimana?”

“Dimakan aja! Kan, enak,” sahut Nadine.

“Itu cilok, Nadine!” seru Ayu kesal.

Nadine terkekeh dan duduk di samping Ayu. “Kenapa kamu jadi baperan gini? Nanda sam Okky itu sebelas duabelas, Ay. Sama-sama banyak ceweknya. Nggak usah baper! Kita harus buat diri kita jadi wanita paling baik dan tempat paling nyaman buat cowok-cowok seperti mereka. Kalau udah lelah sama cewek hiburannya, pasti bakal balik lagi ke kita.”

Ayu menghela napas. “Kamu bener juga, sih. Tapi tetep aja makan hati kalau ingat dia sama cewek lain. Cowok kamu itu ... playboy-nya cuma gaya-gayaan aja karena duitnya banyak. Nggak sampe berakhir di ranjang bareng kayak Nanda ‘kan? Aku tuh trauma banget diselingkuhi mulu.”

Nadine tertawa kecil. “Aku nggak tahu soal itu, Ay. Aku juga nggak mau tahu. Semakin ingin tahu, akan semakin bikin hatiku sakit. Yang aku tahu, dia sayang sama aku dan mau ngelakuin apa aja buat aku. Termasuk ngasih nyawa dia ke aku. Semua cewek yang lagi deket sama dia, aku juga tahu.”

“Kamu diem aja digituin, Nad?” tanya Ayu.

“Diemin aja, Ay. Ntar juga balik sendiri. Gaya banget jalan sama cewek sana-sini. Giliran kita cuekin, dia ketar-ketir juga. Apalagi kalau dia sakit atau susah. Siapa lagi yang dia cari kalau bukan kita? Cewek-cewek yang mau happy-happy doang sama dia, mana mau ngurusin pasangan kita waktu lagi sakit atau susah. Kalo udah kayak gitu, tinggal aku omelin aja tuh cowok biar sadar.”

Ayu tertawa kecil. “Kamu ada benernya juga, sih. Kalau suami sakit, nggak mungkin cewek simpanannya yang rawat dia sampai sembuh. Tetep aja ujung-ujungnya nyari istri. Cowok tuh emang egois!”

“Ehem!” Enggar langsung berdehem mendengar pembicaraan Nadine dan Ayu.

Ayu dan Nadine menoleh ke arah Enggar bersamaan dan tertawa. “Maaf, Mas Enggar!” ucap mereka bersamaan.

 “Jangan karena kalian dapet cowok playboy, terus menyamaratakan semua cowok di dunia ini!” pinta Enggar sambil tersenyum menatap Nadine dan Ayu.

“Inggih, Mas!” sahut Nadine dan Ayu bersamaan.

“Ayo, nari lagi! Nadine ikut?”

Nadine mengangguk sambil tersenyum manis. Mereka sudah bersama di sanggar tari sejak kecil dan menari adalah bagian dari kesenangan yang tidak bisa mereka tinggalkan meski sudah memiliki kesibukan dengan profesi masing-masing.

“Ndoro Puteri ...! Dipanggil untuk menghadap Kanjeng Sri Sultan,” tutur salah seorang pelayan keraton sambil menghampiri Ayu.

“Eh!? Ada apa?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah pelayan tersebut.

Pelayan itu menggeleng dengan tubuh tetap membungkuk hormat.

Ayu langsung menghentikan gerakan tarinya. “Mas Enggar, Nadine, aku pergi dulu, ya!”

Nadine dan Enggar mengangguk bersamaan. Mereka melanjutkan berlatih tari bersama dan membiarkan Roro Ayu pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ayu segera melangkah menuju kediaman kakeknya. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang kakek. Biasanya, Sri Sultan memanggilnya hanya untuk mengatakan hal-hal penting saja. Ia harap, tidak ada masalah besar yang membuat Sri Sultan tiba-tiba memanggilnya ke dalam kediaman pribadinya.

 

((Bersambung ...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas