Showing posts with label Novel ILY Ustadz. Show all posts
Showing posts with label Novel ILY Ustadz. Show all posts

Friday, October 14, 2022

Extra Part 04 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 



Pagi-pagi sekali, Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya, teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.

Anjani langsung berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita yang lainnya. “Halimah ...!”

“Anjani ...!” Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.

“Anjani, aku kangen sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.

“Asyik, dong. Aku bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.

“Wah ...! Makasih, Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.

“Uch, dasar tukang makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.

“Manusia hidup butuh makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.

Anjani tersenyum sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian, ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka itu.”

Halimah tersenyum lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku tersayang!”

Anjani mengangguk sambil tersenyum.

Halimah dan teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil bercengkerama.

Anjani tersenyum kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis yang ada di sana.

“Eh, Anjani ...? Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di dekatnya.

“Gampanglah kalau cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian, asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah teman-temannya.

Ibrahim, Agus dan Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”

“Aku mau ajak kalian dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana. Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.

“Wah! Serius? Kamu mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”

Anjani menggeleng. “Nggak, dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”

“Mau ... mau ... mau ...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.

Anjani langsung tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”

“Siap, Bu Bos!” sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.

Anjani segera melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan lainnya.

Setelah menghabiskan cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai aktivitas keseharian mereka masing-masing.

“Halimah, liburan kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.

Halimah menggeleng. “Aku mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.

“Oh ya? Seminggu ini kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.

Halimah menggeleng. “Ustadz Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”

“Oh ya?” Anjani langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak untuk menetap.

Halimah mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah pria yang terlahir di keluarga biasa.

“Oh ya? Kamu liburan ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang. Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.

Anjani tertawa kecil mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik orang tua Ustadz Zuhri.

“Iya juga, ya?” Halimah manggut-manggut tanda mengerti.

“Aku mau ajak kamu liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke arah Halimah.

“Eh!? Aku mana punya uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.

“Gampang. Aku yang traktir semuanya.”

“Beneran!?”

Anjani mengangguk. “Beneran, dong. Masa Anjani bohong, sih.”

“Mmh, aku izin ke Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”

“Pasti boleh dong kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”

Halimah menggeleng. “Terakhir hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang tuanya.”

“Oh.” Anjani manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”

Halimah mengangguk sambil tersenyum.

“Kok, dia belum datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.

“Mmh ... aku sudah bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.

“Masih lama, dong? Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Satu tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”

“Iya juga, sih.” Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”

Halimah mengangguk. “Aku tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”

“Cinta sama Ustadz Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.

“Pertama karena dia pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu bonus,” jawab Halimah.

Anjani langsung mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin pula.”

“Hush! Anjani nggak boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”

“Kalau salah satu dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.

“Kalau sudah jalan jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”

Anjani menghela napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”

“Astagfirullah ... itu fitnah, Anjani.”

“Hehehe. Bercanda,” sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita berangkat ke kota. OK?”

Halimah mengangguk. “Kamu bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”

“Siap, Juragan!” sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.

“Juragan apaan? Yang asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.

“Ucapan itu doa. Amiinin, dong!” pinta Anjani.

“Aamiin Ya Rabb.” Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.

 

 

[[Bersambung ...]]


Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!



Teirma kasih sudah dukung author terus...



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

Saturday, October 1, 2022

Extra Part 03 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 BAB 3

OBSESI ANJANI



Anjani mondar-mandir di dalam kamar berkali-kali sambil sesekali menggigit jemari kukunya. Kalimat Ustadz Zuhri yang berniat untuk mengkhitbah Halimah, terus terngiang-ngiang di telinganya.

“Kalau Ustadz Zuhri beneran mau khotbah Halimah, itu artinya Halimah bakal jadi calon istrinya di masa depan? Kok bisa Ustadz Zuhri mau lamar dia? Kita masih sekolah. Emang Halimah mau nikah muda?” gumam Anjani.

“Halimah nggak mungkin menolak Ustadz Zuhri. Apalagi dia udah mau tujuh belas tahun. Sudah boleh untuk menikah. Apa Ustadz Zuhri bakal langsung menikahi Halimah atau menunggu dia lulus sekolah dulu, ya?”

“Aargh ...! Nggak peduli bakal nunggu atau langsung menikah. Intinya, kalau Ustadz Zuhri beneran ngelamar Halimah, mereka bakal tetap jadi suami istri,” ucap Anjani.

“Nggak boleh! Ini nggak boleh terjadi. Yang kenal sama Ustadz Zuhri itu aku duluan. Harusnya Ustadz Zuhri sukanya sama aku! Kenapa malah sama Halimah. Kesel banget sama Halimah. Caper banget di depan Ustadz Zuhri,” cerocos Anjani. Ia sibuk berdialog dengan dirinya sendiri.

Anjani menatap wajahnya di cermin. “Aku sama Halimah masih cantikan mana? Cantik aku ‘kan?” tanyanya pada bayangannya sendiri. “Abi aku juga guru Agama dan Ummi guru ngaji. Keluargaku juga keluarga yang agamanya baik. Kenapa Ustadz Zuhri malah pilih Halimah yang nggak punya orang tua dan kakaknya juga nggak alim. Kak Annisa, ke mana-mana nggak pernah pake hijab.”

“Anjani ... kamu nggak boleh kalah dari Halimah. Kamu harus bisa dapetin Ustadz Zuhri sebelum dia kembali ke kampungnya karena masa pengabdiannya selesai. Ayahnya Ustadz Zuhri itu Kiai dan punya pesantren. Kalau aku menikah dengan dia, masa depanku akan cerah,” ucapnya. Ia menegakkan tubuhnya dan tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat Ustadz Zuhri menjadi suaminya.

Anjani melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia langsung menghampiri ayahnya yang sedang bersantai sambil menonton televisi. “Abi ...!” panggilnya manja.

“Ada apa?”

“Anjani boleh minta sesuatu?” tanyanya sambil bergelayut manja di pundak ayahnya.

“Apa?”

“Anjani pengen menikah.”

“APA!? Kamu masih sekolah, sudah pengen nikah?” tanya Ayah Anjani sambil memperhatikan wajah puterinya. Matanya langsung berpindah ke bagian perut puterinya. “Kamu hamil?”

“Astagfirullah, Abi! Kenapa Abi berprasangka seburuk itu? Anjani masih suci, Bi. Mana mungkin Anjani hamil.”

“Terus, kenapa minta nikah?”

“Sebentar lagi lulus sekolah, Abi. Anjani pengen nikah aja. Soalnya, Anjani suka sama seseorang dan ingin menghindari zina dengan menikah. Boleh ya, Bi!”

Ayah Anjani menghela napas. “Kamu mau menikah dengan siapa? Anak-anak di kampung ini tidak ada yang masa depannya bagus. Mereka Cuma lulusan SMA. Paling-paling kerja di kebun setiap hari. Kamu mau punya suami begitu?”

Anjani menggeleng. “Nggak mau, Abi. Makanya aku mau dinikahkan dengan Ustadz Zuhri. Dia masih muda, tampan dan pandai agama.”

“Astagfirullah, Anjani! Kamu ini jangan sembarangan bicara! Ustadz Zuhri yang di kampung sebelah itu? Apa dia mau punya istri sepertimu? Dia hanya bertugas sementara saja di desa itu. Tidak akan lama tinggal di sana.”

“Anjani akan ikut ke manapun Ustadz Zuhri pergi jika Abi mau melamar kan Ustadz Zuhri jadi suamiku.”

“Astagfirullah ...! Harusnya kamu yang dilamar. Bukan melamar, Anjani!”

“Buat Ustadz Zuhri melamarku, Abi!”

“Gimana caranya? Kamu ingin menurunkan martabat Abi di depan semua orang?”

“Abi kenal dengan orang tua Ustadz Zuhri ‘kan?”

“Iya, kenal. Tapi tidak begitu dekat.”

“Minta orang tuanya untuk menjodohkan aku dan Ustadz Zuhri, Abi.”

Ayah Anjani terdiam sambil berpikir selama beberapa saat.

“Abi ... Anjani cuma mau menikah sama Ustadz Zuhri seumur hidup. Kalau tidak menikah dengan dia, Anjani tidak akan menikah seumur hidup!” ancamnya sambil bangkit dari sofa saat ayahnya tak kunjung memberikan keputusan. Ia langsung melangkah kasar menuju kamar.

“Kamu jangan marah-marah dulu! Abi akan usahakan. Tapi tidak janji. Semoga Ustadz Zuhri juga bersedia menikahimu.”

Anjani langsung tersenyum lebar mendengar ucapan ayahnya. “Terima kasih, Abi ...!” Ia berlari ke arah ayahnya dan memeluk tubuh pria itu sambil tersenyum ceria. Ia sudah mendapatkan akses untuk membuat ikatan dengan Ustadz Zuhri. Ia hanya butuh usaha lagi untuk membuat Ustadz Zuhri menyukainya. Ia harus bisa menggagalkan Ustadz Zuhri untuk mengkhitbah Halimah agar ia menjadi pemilik satu-satunya pria tampan nan sholeh tersebut.

 

[[Bersambung ...]]

 

Terima kasih buat kalian yang udah mau nunggu cerita ini!

Cerita ini adalah Prequel “Assalamualikum, Ya Habib!” yang ada di aplikasi Fizzo.

Jadi, kalau mau tahu kenapa ada cerita ini, baca dulu novel sebelumnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 



Friday, September 16, 2022

Extra Part 02 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 

Bab 2
Hadiah untuk Halimah

“Assalamualaikum, Ustadz ...!” sapa Halimah dan teman-temannya saat mereka memasuki masjid yang menjadi tempat ibadah sekaligus belajar kajian Al-Qur’an di desa tersebut.

“Wa’alaikumussalam ...!” balas Ustadz Zuhri yang baru saja selesai menyapu masjid tersebut. “Sudah pada datang?”

“Sudah, Ustadz.”

“Pasti pada capek ya jalan kaki dari kampung sebelah. Ke belakang dulu kalau mau minum!” ajak Ustadz Zuhri.

“Iya, Ustadz. Aku haus banget. Boleh minta minum ke rumah Ustadz, kan?” Sahut Anjani.

“Boleh. Yuk!” ajak Ustadz Zuhri. Ia segera melangkahkan kakinya menuju bangunan kecil tempat tinggalnya yang ada di belakang masjid tersebut.

Halimah tersenyum kecil. Ia memilih untuk melangkah masuk ke dalam masjid.

“Halimah, kamu nggak ikut ke belakang? Istirahat dulu!” tanya Ustadz Zuhri saat menyadari Halimah tidak mengikutinya.

Halimah menggeleng sambil tersenyum. “Tidak usah, Ustadz. Halimah bawa air minum sendiri dari rumah.”

Ustadz Zuhri memperhatikan Halimah selama beberapa detik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Mengajak Anjani, Agus, Ibrahim dan Ihsan untuk beristirahat terlebih dahulu karena mereka baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.

“Waktu sholat Ashar masih setengah jam lagi. Kalian beristirahatlah di sini dulu, ya! Kita mulai belajar ba’da Ashar, seperti biasanya.”

“Siap Pak Ustadz!” sahut Ibrahim dan yang lainnya bersamaan. Mereka langsung duduk di ruang tamu Ustadz Zuhri. Menonton televisi sambil menikmati cemilan dan minuman yang tersedia di sana.

“Kalian sudah hafalan tajwid?” tanya Ustadz Zuhri.

“Sudah, Ustadz.”

“Alhamdulillah. Tilawahnya bagaimana?” tanya Ustadz Zuhri lagi.

Semua orang di sana terdiam dan saling pandang.

“Hehehe. Kami belum ada yang menguasai semuanya, Ustadz. Baru bisa nada rendah aja,” ucap Ihsan sambil meringis ke arah Ustadz Zuhri.

“Wah, padahal ustadz sudah siapkan hadiah untuk kalian kalau sudah menguasai semuanya minggu ini. Batal deh hadiahnya,” ucap Ustadz Zuhri.

“Itu, Ustadz. Halimah ...! Halimah sudah bisa tujuh tingkatan lagu Tilawah,” ucap Ibrahim.

“Oh ya? Yang bener?” tanya Ustadz Zuhri penasaran.

“Iya, Ustadz. Dia semangat banget belajar tilawah supaya bisa dapet hadiah dari Ustadz Zuhri,” ucap Agus.

Ustadz Zuhri tersenyum. “Baguslah kalau begitu. Memangnya Halimah menginginkan hadiah apa dari saya?”

“Pengen di-khitbah sama Ustadz Zuhri,” jawab Ibrahim.

Ihsan langsung membungkam mulut Ibrahim. “Kamu jangan bocorin rahasia Halimah! Nanti dia marah sama kita, gimana?”

Ibrahim menahan tawa sambil menutup mulutnya sendiri. “Maaf, aku keceplosan.”

Ustadz Zuhri tersenyum kecil. “Ya sudah, kalian istirahat dulu di sini! Saya akan coba menguji Halimah sambil menunggu waktu sholat Ashar.”

“Siap, Ustadz!” sahut Ibrahim dan yang lainnya bersamaan.

“Anjani boleh ikut, Ustadz?” tanya Anjani sambil menatap wajah Ustadz Zuhri.

“Anjani sudah hafal tingkatan lagu Tilawah juga?” tanya Ustadz Zuhri.

Anjani menggelengkan kepala.

“Saya uji Halimah dulu. Boleh ikut kalau mau melihat,” ucap Ustadz Zuhri sambil melangkahkan kakinya. Ia segera masuk kembali ke dalam masjid dan menghampiri Halimah yang sudah siap dengan mukenah dan Al-Qur’an di hadapannya.

Ustadz Zuhri langsung tersenyum lebar mendapati wajah cantik Halimah. Gadis belia itu tidak hanya memiliki paras yang cantik, tapi juga memiliki sifat dan sikap yang baik pula. Ia selalu merasa bangga dan mengagumi semua yang ada pada wanita ini. Terlebih saat ia mendengar desas-desus jika Halimah menyukainya. Ia semakin tertarik dan bersemangat untuk mengajar ilmu agama.

“Assalamualaikum, Halimah Az-Zahra!” sapa Ustadz Zuhri sambil duduk di hadapan Halimah. Ia tetap menjaga jarak sekitar dua meter dari tubuh Halimah agar tidak menimbulkan fitnah yang tidak-tidak.

“Wa’alaikumussalam, Ustadz ...!” balas Halimah sambil mengangkat wajahnya dan menatap Ustadz Zuhri.

“Subhanallah ...! Kecantikanmu sesuai dengan namamu, Halimah. Mewarisi kecantikan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah,” ucap Ustadz Zuhri sambil menatap wajah Halimah tanpa berkedip.

Halimah tersenyum dengan pipi menghangat. “Ustadz Zuhri bisa saja. Aku merasa biasa saja, Ustadz. Masih banyak wanita yang jauh lebih cantik dari saya.”

Ustadz Zuhri tersenyum bangga mendengar ucapan Halimah yang begitu rendah hati. “Kata teman-temanmu, kamu sudah bisa semua lagu Tilawah?”

Halimah mengangguk. “Insya Allah, Ustadz.”

“Bisa saya dengarkan sekarang?” tanya Ustadz Zuhri sambil tersenyum menatap Halimah.

Halimah mengangguk. Ia segera membaca ta’awud dan mulai mengeluarkan lagu-lagu tilawah dengan suara merdunya.

Ustadz Zuhri terus tersenyum menikmati suara merdu Halimah yang jarang sekali ia dengar.

“Halimah, hadiah apa yang kamu inginkan dari saya karena kamu sudah berhasil menguasai lagu tilawah dengan baik?” tanya Ustadz Zuhri begitu Halimah selesai melantunkan lagu-lagu Al-Qur’an tersebut.

“Apa saja, Ustadz. Asal Ustadz ikhlas memberinya untuk saya,” jawab Ainin sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak tahan jika bertatapan langsung dengan Ustadz Zuhri karena jantungnya tak bisa diajak untuk berkompromi. Tatapan pria idaman itu berhasil membuat pipinya mengeluarkan semburat warna merah muda.

“Aku akan meng-khitbah kamu, Halimah. Aku akan menikahimu setelah kamu lulus SMA,” ucap Ustadz Zuhri.

DEG!

Halimah langsung menatap wajah Ustadz Zuhri dengan perasaan tak karuan. Dunianya seolah berputar tak tentu arah dan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak menyangka jika Ustadz Zuhri memiliki niat untuk memperistri dirinya. Rasanya, ia sedang berada di alam mimpi karena menjadi istri dari Ustadz Zuhri adalah sebuah mimpi. Mimpi yang selalu ia ucapkan dalam doa-doa dan sholatnya hingga Allah menyentuh hati Ustadz Zuhri untuk membalas semua perasaan yang sedang ia pendam.

“Ustadz, ini sungguhan? Tidak sedang bercanda untuk membuatku senang ‘kan?” tanya Halimah.

Ustadz Zuhri menggeleng sambil tersenyum. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini karena Halimah adalah wanita cantik dan sholehah yang menjadi bunga desa di desa sebelah. Saat Halimah datang ke tempatnya untuk belajar mengaji, ia merasa jika Allah sedang memberikan jalan agar jodohnya semakin dekat dengannya. Ia ingin memiliki Halimah, wanita yang wajah dan akhlaknya begitu mengagumkan meski tinggal di pelosok desa.

 

 

[[Bersambung ...]]

 

Terima kasih buat kalian semua yang udah mau mengikuti kisah Halimah Az-Zahra.

Semoga ada banyak pelajaran hidup yang bisa kalian ambil dari tulisan ini karena kita hanya manusia biasa yang tidak akan bisa lepas dari dosa dan noda.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Wednesday, September 14, 2022

Extra Part 01 - [Prequel Assalamualaikum, Ya Habib!"] [I Lost You, Ustadz]

 

I Lost You, Ustadz


“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga kamboja sebagai pemanis.

“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.

“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa jauh-jauh ke kampung sebelah?”

“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta. Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi Ustadzah beneran di kampung ini.”

“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa? Sendirian?” tanya Annisa.

“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman yang lain juga, kok.”

“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.

“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali akan keluar rumah.

Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih  berumur belasan tahun. Meski begitu, kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.

“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!” pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik mereka.

“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh Halimah yang bergerak pergi.

Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari rumah mungil miliknya.

“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum ramah.

“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang sangat cantik di mata mereka.

Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”

“Insya Allah nggak ada.”

Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.

“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz Zuhri kemarin?” tanya Halimah.

“Sudah, dong.”

“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?” tanya Halimah.

Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah. Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”

“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.

“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.

“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.

“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim menimpali.

“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”

“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang juga ada di sana.

“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.

“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.

“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz Zuhri,” sahut Ibrahim.

“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah tersipu.

“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?” ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.

Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh! Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”

“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.

“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.

“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.

Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani. “Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”

“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani? Aku cocok nggak sama dia?”

“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil meringis.

“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan jempolnya.

“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.

“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,” jawab Ihsan.

“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.

 

 

[[Bersambung …]]

 

 

Tulisan ini khusus buat kalian yang penasaran sama masa lalu Halimah Az-Zahra, ya!

Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.


Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!

Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas