Pagi-pagi sekali,
Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya,
teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi
yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat
suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.
Anjani langsung
berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita
yang lainnya. “Halimah ...!”
“Anjani ...!”
Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua
tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan
Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke
luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.
“Anjani, aku kangen
sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap
erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.
“Asyik, dong. Aku
bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di
tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.
“Wah ...! Makasih,
Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.
“Uch, dasar tukang
makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.
“Manusia hidup butuh
makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri
Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.
Anjani tersenyum
sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian,
ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka
itu.”
Halimah tersenyum
lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku
tersayang!”
Anjani mengangguk
sambil tersenyum.
Halimah dan
teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa
oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil
bercengkerama.
Anjani tersenyum
kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah
menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis
yang ada di sana.
“Eh, Anjani ...?
Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak
gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di
dekatnya.
“Gampanglah kalau
cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian,
asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah
teman-temannya.
Ibrahim, Agus dan
Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”
“Aku mau ajak kalian
dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana.
Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.
“Wah! Serius? Kamu
mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”
Anjani menggeleng. “Nggak,
dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut
aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”
“Mau ... mau ... mau
...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.
Anjani langsung
tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”
“Siap, Bu Bos!”
sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.
Anjani segera
melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan
lainnya.
Setelah menghabiskan
cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur
semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai
aktivitas keseharian mereka masing-masing.
“Halimah, liburan
kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.
Halimah menggeleng. “Aku
mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu
Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.
“Oh ya? Seminggu ini
kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.
Halimah menggeleng. “Ustadz
Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”
“Oh ya?” Anjani
langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang
tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu
adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal
di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak
untuk menetap.
Halimah
mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan
mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah
tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu
agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah
pria yang terlahir di keluarga biasa.
“Oh ya? Kamu liburan
ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang.
Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.
Anjani tertawa kecil
mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal
ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada
ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan
Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika
keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik
orang tua Ustadz Zuhri.
“Iya juga, ya?” Halimah
manggut-manggut tanda mengerti.
“Aku mau ajak kamu
liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke
arah Halimah.
“Eh!? Aku mana punya
uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.
“Gampang. Aku yang
traktir semuanya.”
“Beneran!?”
Anjani mengangguk. “Beneran,
dong. Masa Anjani bohong, sih.”
“Mmh, aku izin ke
Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”
“Pasti boleh dong
kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu
Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”
Halimah menggeleng. “Terakhir
hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang
tuanya.”
“Oh.” Anjani
manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga
jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri
pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”
Halimah mengangguk
sambil tersenyum.
“Kok, dia belum
datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.
“Mmh ... aku sudah
bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku
lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil
tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa
menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz
Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.
“Masih lama, dong?
Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.
Halimah mengangguk. “Satu
tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”
“Iya juga, sih.”
Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa
menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri
pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria
lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”
Halimah mengangguk. “Aku
tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”
“Cinta sama Ustadz
Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.
“Pertama karena dia
pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu
bonus,” jawab Halimah.
Anjani langsung
mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama
pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin
pula.”
“Hush! Anjani nggak
boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”
“Kalau salah satu
dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.
“Kalau sudah jalan
jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”
Anjani menghela
napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”
“Astagfirullah ...
itu fitnah, Anjani.”
“Hehehe. Bercanda,”
sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita
berangkat ke kota. OK?”
Halimah mengangguk. “Kamu
bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”
“Siap, Juragan!”
sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.
“Juragan apaan? Yang
asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap
Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.
“Ucapan itu doa.
Amiinin, dong!” pinta Anjani.
“Aamiin Ya Rabb.”
Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia
dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta
izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.
[[Bersambung ...]]
Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!
Teirma kasih sudah dukung author terus...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi