Wednesday, August 17, 2022

Bab 32 - Dihantui Kenangan Masa Lalu

 


Nanda menghela napas sambil membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur. Sudah jam sebelas malam dan ia masih belum bisa tidur. Ia bahkan belum mandi sejak sore karena takut kalau luka di alat vitalnya akan basah dan ia malas mengganti perban seorang diri.

Sesekali, Nanda memeriksa alat vitalnya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dan sarung saja setiap harinya. “Anjirr ...! Sunat dua kali,” gumamnya kesal. “Awas kamu, Son! Kalau sampai lukaku sembuh dan barangku nggak bisa bangun lagi. Aku bakal bikin kamu kayak gini juga!”

Nanda menghela napas. Ia meraih ponsel di atas nakas dan menatap layar tersebut. Ia sudah beberapa kali melakukan itu. Berharap kalau Ayu mengirim pesan kepadanya. Tapi hingga saat ini, wanita itu tak kunjung mengirim pesan.

“Heh, aku ini masih suamimu. Nggak kangen sama aku?” tanya Nanda kesal sambil menatap layar ponselnya.

Nanda membuka aplikasi whatsapp yang ada di ponselnya. Ia membuka chat dari Ayu dan membaca semua chat yang ada di sana sejak awal. Tidak banyak pesan yang bisa ia baca karena mereka memang jarang sekali berkomunikasi lewat pesan singkat. Hanya beberapa pesan dari Ayu yang terkadang enggan untuk ia balas. Hanya ia baca sekilas dan dibiarkan berlalu begitu saja.

[Nan, malam ini aku tampil menari di acara ulang tahun kota. Datang, ya!]

DEG!

Nanda terkejut membaca pesan teratas yang masuk ke ponselnya. “Ayu pernah ngirim pesan kayak gini?” gumamnya. Ia langsung memeriksa pesan lainnya dengan teliti.

[Nan, hari ini Sonny dan Nadine akan ke Surabaya. Aku akan ketemu mereka di kafe. Kalau ada waktu, datang, ya!]

[Nan, aku ke rumah Mama Rindu sampai malam. Makanan udah aku siapin. Kalau mau makan, panasin dulu, ya!]

[Nan, kalau ada waktu, temani aku USG, ya!]

[Makasih untuk kamar bayinya. Aku suka]

Nanda terdiam sambil menatap kosong ke arah kakinya. Di bawah sana, tepat di sisi kasur ... setiap harinya Ayu selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Menyiapkan air hangat dan memastikan semua kebutuhannya tersedia.

Nanda menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Ia memperbaiki ikatan sarung  yang ia selipkan asal-asalan dan melangkah keluar dari kamar.

“Nan, belum tidur? Mau kubuatkan susu hangat?” tanya Ayu sambil tersenyum manis dari arah dapur.

Nanda tersenyum sembari melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga dan masuk ke area pantry yang ada di bawah tangga. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari tubuh Ayu di sana. “Ayu ...!” panggilnya.

Detik berikutnya, ia menyadari kalau Ayu tidak ada di rumah itu. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya yang terlihat sangat kacau. Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan beringsut duduk ke sofa yang ada di ruang keluarga. Ia menyalakan televisi dan duduk santai di sana.

“Kamu nggak usah sok-sokan menghantuiku, Ay! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, hah!?” ucapnya kesal sambil terus mengganti channel televisi tersebut tanpa berniat ingin menontonnya. Semuanya, terasa tidak menarik sama sekali baginya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia melihat wajah Ayu berada di dalam televisi tersebut. Ia menekan remote kembali untuk mengganti siaran dan wajah Ayu tetap ada di setiap adegan yang tergambar di televisi tersebut.

“Shit! Apa aku udah gila? Kenapa muka Ayu di mana-mana?” umpat Nanda sambil mematikan televisinya. Ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata.

Bayangan semasa SMA saat ia dan Ayu sering terluka bersama, tiba-tiba terlintas di kepalanya.

[...]

Ay meringis kesakitan sambil menatap pria gondrong dengan kumis dan jenggot lebat di wajahnya. Ia memegangi perutnya yang tertusuk pisau. Perlahan, ia merasakan keram pada perutnya, diikuti dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.

“AYU!!!” teriak Nanda saat menyadari kalau gadis yang menghalaunya adalah Roro Ayu, pacar sahabatnya.

Pria berambut gondrong itu membelalakkan mata begitu menyadari kalau pisaunya menembus perut seorang gadis yang tidak bersalah. Ia langsung menyabut pisau itu dari perut Ay.

Ay merasakan sakit yang luar biasa saat pisau yang tertancap di perutnya ditarik. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Namun tubuhnya terhuyung. Dengan cepat, Nanda menangkap tubuh Ay yang terjatuh.

“Ay, bertahan!” pinta Nanda sambil menepuk pelan pipi Ay.

Nanda menatap pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian!” teriak Nanda penuh kebencian.

Pria berkepala gundul hanya tersenyum sinis menanggapi ancaman dari Nanda. “Lebih baik kamu urus perempuan yang lagi sekarat ini. Dia rela mati cuma buat ngelindungi bajingan kayak kamu. Kalau sampe dia mati, kamulah pembunuhnya.”

“Bangsat kalian!” seru Nanda. “Aku bakal laporin kalian ke polisi!” ancam Nanda.

“Silakan! Kami nggak takut dengan penjara. Hahaha.” Mereka tertawa bersama sembari meninggalkan Nanda yang sedang memeluk tubuh Ay.

Nanda menatap wajah Ay yang masih setengah sadar. Ia langsung melepas jaketnya dan membelitkannya ke perut Ay untuk mengurangi pendarahan. “Bertahan, Ay!” pinta Nanda. Ia langsung menggendong tubuh Ay dan membawanya berlari menuju mobilnya yang berjarak sekitar lima ratus meter darinya.

Nanda segera memasukkan Ay ke dalam mobilnya. Memasangkan safety belt ke tubuh Ay dan bergegas melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

“Bunda …!” panggil Ay lirih. Ia merasakan jiwanya seperti melayang. Yang ada dalam benaknya hanya Bunda Rindu dan semua orang yang ia sayangi. Tubuhnya semakin lemas dan denyut nadinya terus melemah.

“Jangan tidur Ay!” teriak Nanda. “Tetap buka mata kamu!” pintanya makin panik. “Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Bertahanlah!” pinta Nanda.

Ay mengangguk pelan. Ia masih bisa mendengar semua suara yang ada di sekelilingnya. Namun pandangannya tak lagi baik. Ia melihat semua cahaya lampu yang ada di jalanan semakin meredup. Lalu, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara yang terus memanggil namanya.

“Ay …!”

“Ayu …!”

“Roro …!”

“Roro Ayu!”

[Flashback “After Savage” teenlit version]

 

“AYU ...!” teriak Nanda sambil membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Bayangan masa SMA itu tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Ia menoleh ke arah jam dinging yang ada di ruang keluarga tersebut. Tidak terasa, ia sudah tertidur selama lima jam di sana dan terus dihantui oleh bayangan masa remajanya bersama Roro Ayu.

“Kenapa mimpi ini tiba-tiba menghantuiku?” tanya Nanda pada dirinya sendiri. Semua yang diucapkan Nyonya Ye sore ini, benar-benar membuatnya dihantui oleh bayangan masa lalu yang sudah lama ia singkirkan dari hidupnya.

“Ayu, kapan sih kamu itu nggak mengacaukan hidupku? Tiap ketemu kamu, hidupku kacau mulu. Nggak ada senang-senangnya sedikit pun. Masa iya seleraku turun, sih? Apa enaknya punya pasangan alim? Nggak bisa diajak main ke klub malam,” gerutu Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa ia sadari, hati dan pikirannya terus berlawanan. Ia ingin memikirkan yang lain, tapi hatinya terus tertuju pada Roro Ayu. Satu-satunya wanita yang telah berhasil membuat hari-harinya tak karuan.

 

***

Pagi-pagi sekali, Roro Ayu sudah berada di dapurnya bersama Bunda Rindu. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Saat ini, hatinya benar-benar tak karuan. Rasanya, ia ingin kembali pada Sonny. Tapi ada banyak hal lain yang membuatnya ingin tetap bertahan bersama Nanda.

“Roro, kenapa ngelamun di dapur? Khawatir sama Nanda?” tanya Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu menggeleng pelan dan membasuh sayuran yang ada di tangannya.

“Nggak usah bohong! Bunda mengerti perasaanmu. Bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari anakmu ini. Kalian pasti punya ikatan. Baru semalam kamu meninggalkan dia, kamu sudah merasa rindu ‘kan?” goda Bunda Rindu.

Ayu menggeleng. “Buat apa aku rindu sama laki-laki seperti itu, Bunda?”

“Beneran nggak rindu? Nggak kepikiran? Jujur ke bunda! Sekarang kamu lebih banyak memikirkan Nanda atau Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu menggeleng kecil. “Nggak tahu, Bunda.”

“Your feeling?”

Ayu menghela napas dan memutar tubuhnya menatap wajah Bunda Rindu. “Apa aku sudah jatuh cinta ke Nanda, Bunda? Aku lebih mengkhawatirkan dia daripada Sonny. Aku selalu berusaha memikirkan Sonny, tapi tidak sekhawatir ini. Sonny ... dia pria yang baik, mandiri dan bijaksana. Sedangkan Nanda, kalau nggak disiapin air panas, dia belum tentu mau mandi. Kalau nggak dibuatkan minum, belum tentu dia bisa bikin minum sendiri. Apalagi aku pergi saat dia belum benar-benar pulih. Apa aku sudah keterlaluan, Bunda?”

Bunda Rindu tersenyum dan mengusap lembut rambut Ayu. “Kamu nggak keterlaluan. Ini pelajaran buat dia, Ro. Roro sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dia tidak menghargaimu. Kalau kamu pergi dan dia tidak mencarimu, itu artinya kamu bukan prioritas di hidup dan masa depan dia. Lebih baik, menyingkir daripada memaksakan diri menjalani hari-hari yang sakit. Bunda janji, bunda yang akan merawat anak kamu dan kamu bisa memulai kehidupan yang baru.”

Ayu menatap wajah Bunda Rindu dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung merangkul tubuh wanita itu dan menyandarkan kepala ke dadanya. “Bunda, maafin Ayu ...! Ayu sudah mengecewakan bunda. Ayu sudah jadi aib untuk keluarga ini. Ayu sudah menghancurkan mimpi-mimpi dan harapan bunda. Ayu nggak bisa jadi puteri yang baik untuk bunda,” ucapnya lirih dengan berlinang air mata.

Bunda Rindu tersenyum sembari mengusap lembut air mata puterinya. “Ayu sudah jadi puteri yang baik untuk bunda. Ayu sudah jadi anak yang berprestasi, mandiri, baik hati dan tetap sabar meski disakiti. Tidak perlu menjadi hebat untuk tetap menjadi kebanggaan bunda. Asalkan kamu tetap memilih jalan kebaikan di ujian hidup yang paling berat, itu adalah kebanggan untuk bunda.”

Ayu mengeratkan pelukannya. Ada banyak mimpi-mimpi yang pernah ia ucapkan sejak ia masih kecil di hadapan bundanya. Tapi mimpi itu sirna dalam sekejap ketika Nanda merenggut kesuciannya. Ingin sekali ia membalas perlakuan pria itu dan membuat seluruh hidupnya menderita. Tapi setiap kali memikirkannya, ia lebih banyak tidak tega. Mungkin, bayi dalam perutnya yang membuatnya tidak mengizinkan ia menyakiti ayahnya sendiri.

“Sonny, I’m sorry ...! I can’t go back. Nanda, I’m sorry ...! I will attack your future,” bisiknya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Doain author sehat terus dan dijauhkan dari hal-hal yang mendistraksi saat nulis.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas