Sunday, December 24, 2017

Thursday, November 30, 2017

Pameran Karya "Kolektif Membentuk Pasar" Balikpapan

https://www.youtube.com/edit?o=U&video_id=Or7YcatCBmM
Kegiatan dari Fokus ( Forum Kreatif Usaha Sama-Sama) tanggal 25 Oktober 2017 ini di selenggarakan pertama kali di dalam Hotel Royal Suite Balikpapan. Banyak pengkarya yang ikut hadir dalam acara ini. Bagaimana memadukan antara seni musik, seni kriya dan seni rupa.

Friday, November 10, 2017

JURUS JITU MENCEGAH LUKA BAKAR

Hai... readers! Terutama buat para ibu-ibu yang doyan masak dan berkutat di dapur nih. Pernah nggak sih ngerasain kena minyak panas waktu goreng makanan? Atau kena air panas waktu ngerebus sesuatu? Atau kadang nggak sengaja tangan kita kena panci panas yang masih di atas kompor menyala? Apa sih yang pertama kali kalian lakukan kalau misalnya itu terjadi? Ambil odol ( pasta gigi ) atau ambil es batu supaya nggak panas? Kebanyakan orang sih biasanya pake odol atau pasta gigi supaya nggak panas ya? Bahkan sejak aku sekolah, terkenalnya sih pakai odol kalau kena air panas atau minyak panas. Emang sih bikin nggak panas. Tapi, bekas kena minyak atau air panas itu tetap melepuh juga walaupun sudah dikasih odol. Kalian juga ngerasain hal yang sama nggak sih? Udah dilumuri odol banyak tapi setelah 1 atau 2 jam masih melepuh juga? Ada juga beberapa tips yang menggunakan masker timun atau kentang untuk mengobati luka bakar. Mengobati ya? Bukan mencegah luka bakar itu terjadi.
Pernah nggak sih kalian ngerasain kena minyak panas yang cukup besar dan nggak ada bekas luka sama sekali? Apalagi ngerasain luka itu sudah melepuh dan berair. Nunggu pembengkakan itu pecah bisa sampai 2 atau 3 hari loh. Saat udah pecah dan kering, kulit akan mengelupas dan meninggalkan bekas berwarna putih atau berbeda dengan kulit asli kita.


Ini pengalaman aku dan tips dari nenek aku. Dulunya aku lebih percaya sama tips beberapa orang kalau kena panas diobatin aja pakai odol. Dan hasilnya masih sama, selalu melepuh setelahnya. Akhirnya aku cobain deh tips dari nenek aku ini. Tipsnya sangat sederhana sekali dan nggak perlu repot. Sudah pasti ada di dapur kita setiap harinya. Tipsnya saat terkena percikan minyak panas atau air panas yaitu dengan melumuri kulit yang terkena dengan menggunakan GARAM atau MINYAK TANAH. Kalau pakai minyak tanah, zaman sekarang mungkin nggak semua orang punya ya? Soalnya masaknya kan udah pakai gas elpiji. Nah, kalau yang satunya? Si Garam yang ajaib? Pasti semua orang punya garam dong di rumahnya setiap hari. Coba deh lumuri pakai garam pada kulit yang terkena air panas atau minyak panas.  Nggak akan ada luka bakar yang berbekas apalagi melepuh. Ini bener pengalaman aku. Awalnya sih aku pikir karena cipratannya sedikit makanya nggak ada bekasnya. Tapi, lama-lama aku ngerasain kejadian yang lebih banyak lagi. Saat aku lagi goreng jeroan ayam, si minyak panas tiba-tiba meletup dan tepat membanjiri pipi kiri sampai daguku. Yang kerasa panas banget sih di dagu. Cepat-cepat deh aku ambil garam dan kugosokkan perlahan di area yang terkena minyak panas. Alhasil, beneran nggak ada bekas luka, nggak melepuh dan kulitku seperti kecipratan air saja. Saat itu aku masih ragu juga loh. Aku berpikir mungkin yang diwajahku itu sedikit saja makanya tidak meninggalkan bekas? Sampai kejadian 2 hari yang lalu bikin aku yakin kalau emang Si Garam ini beneran ajaib loh. Saat aku goreng tahu isi, minyaknya kan rada banyak tuh. Aku rada keras membalikkan tahu isi yang di goreng dan alhasil minyak panas itu membanjiri kaki kiriku. Yah, nggak banyak sih. Hanya terkena tiga jari kakiku dan diatas jari kira-kira 3 cm. Buat aku sih lumayan besar ya? Soalnya dulu sering kena percikan sedikit aja udah melepuh saat aku kasih odol. Cepet-cepet deh aku ambil garam dan kugosokkan ke kakiku. Rada pesimis sih? berhasil nggak ya? Karena ini pertama kalinya ngerasain dan lihat area kulit yang terkena minyak panas cukup lebar. Rasanya perih campur panas dan seperti dikerumuti sama ribuan semut. Masih terus kuperhatikan kakiku? Melepuh nggak ya? Sampai keesokan harinya area yang terkena percikan nggak melepuh sama sekali. Terlihat baik-baik saja sampai sekarang. Nggak perlu dikasih krim luka bakar atau apalah. Cukup dikasih garam aja dan semua baik-baik saja. Itu untuk luka dalam skala kecil, kalau luka bakar yang kulitnya sudah terkelupas sepertinya tidak akan berhasil? Aku juga belum pernah nyobain sih, hehehe. Kita tidak perlu mengobati luka bakar, karena bisa mencegah luka bakar itu terjadi. Kamu boleh coba deh tips dari aku saat terkena minyak panas atau air panas. Selamat mencoba tips dari aku ya! Semoga berhasil juga.  

Thursday, November 9, 2017

Cerpen "Casual Love"


Aku duduk di salah satu meja restoran. Restoran yang terletak di pusat perbelanjaan ini sangat ramai dikunjungi orang. Bahkan aku bisa dengan jelas melihat orang yang berlalu-lalang untuk berbelanja atau hanya sekedar jalan-jalan saja. Aku perhatikan gadis-gadis yang lewat atau bahkan yang duduk di restoran itu juga. Zaman sekarang ini, banyak perempuan yang mengumbar auratnya, bahkan terkadang membuat bulu kudukku berdiri ketika melihat seorang wanita berpakaian super seksi. Hal yang normal untuk seorang laki-laki. Namun perasaan itu segera kutepiskan. Ada juga wanita yang berhijab tapi makeupnya menor banget, dengan alis cetar membahana seperti menggunakan spidol dan bibir merah merona. Dan masih banyak lagi kulihat wanita-wanita yang sedang ngikuti tren masa kini. Tren yang semakin gila kurasa. Kemudian, pandanganku tertuju pada salah satu meja panjang. Beberapa wanita baru saja duduk memesan makanan. Di saat semua sibuk dengan smartphone-nya. Salah satu wanita kulihat tidak memegang handphone. Dia hanya memperhatikan ke enam temannya yang sibuk sendiri dengan handphone. Sambil sesekali melihat ke arah meja resepsionis atau melihat ke sekeliling restoran. Bahkan pandangan mata kami sempat bertemu dalam sepersekian detik. 

Aku heran, ternyata masih ada gadis sesederhana dia? Bahkan ketika semua sibuk dengan gadget, dia asyik menikmati sekitarnya tanpa memegang gadget. Penampilannya juga sederhana, hanya dengan celana jeans warna biru dan kaos oblong putih yang sedikit longgar alias tidak ketat di badannya. Rambutnya lurus terurai hingga bahunya. Wajahnya terlihat alami tanpa make up. Memang dia tidak secantik teman-temannya yang menggunakan make up. Tapi, kesederhanaannya lah yang membuat hatiku terenyuh dan bahkan aku tidak mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Ku perhatikan setiap gerakannya, bahkan senyumnya yang sangat manis ketika menanggapi candaan teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak begitu mendengarnya karena jarak kami lumayan jauh. Ku lihat matanya memperhatikan sekeliling dan kali ini tepat bertatapan dengan mataku. Aku yang duduk sendirian di meja paling pojok. Tiba-tiba jantungku seolah berhenti berdetak, apa benar dia melihatku juga? Cukup lama dia tidak mengalihkan pandangannya. Dan itu membuatku jadi salting. Kemudian aku berpura-pura menyerutup minuman yang tersaji di atas meja untuk mengalihkan rasa saltingku. Tak berapa lama aku meliriknya kembali dan dia sedang menempelkan sebuah smartphone iphone 6s di telinganya. Sepertinya dia menerima telepon dari seseorang. Kemudian dia letakkan kembali smartphone itu ke dalam tasnya. Aku pikir dia sendiri yang tidak main handphone karena tidak punya. Ternyata dia punya lebih mahal dari teman-temannya yang hanya menggunakan smartphone android merk biasa. Wanita itu membuatku kagum dengan kesederhanaannya. Ah, entah kenapa aku jadi penasaran ingin mengenalnya atau sekedar menyapanya. Tapi, jantungku justru berdegup kencang. Telapak tanganku berkeringat, padahal aku masih duduk diam dan baru berniat untuk menyapanya. Perasaan apa ini? Aku belum pernah merasakannya. Aku yang biasanya begitu mudah menaklukan para gadis. Sekarang jadi tak berdaya. Apa aku jatuh cinta? Oh tidak! Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan seorang gadis yang biasa saja. Bahkan menyapanya saja aku belum pernah. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jemariku untuk menghilangkan rasa grogiku. Tak lama kemudian gadis itu bergegas pergi seorang diri dan meninggalkan teman-temannya. Aku pun segera menuju kasir untuk membayar makananku dan mengikuti langkahnya dengan santai agar tidak ada yang curiga kalau aku membuntutinya. Kulihat dia berjalan kaki keluar dari tempat parkir. Artinya dia pasti tidak naik kendaraan pribadi. Aku bergegas menstarter motorku dan mengejar langkahnya.
"Mba mau ke mana?" tanyaku setelah berada tepat di sisinya yang sedang menunggu kendaraan umum melintas.
"Mau pulang Mas." jawabnya.
"Mau saya antarkan?" tanyaku kemudian.
"Nggak usah Mas. Saya naik angkot aja." jawabnya sambil memberhentikan salah satu angkot yang kebetulan sedang melintas.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dan membiarkannya pergi begitu saja. Entahlah, aku tak bisa mengendalikan jantungku yang berdegup sangat kencang ketika berbicara dengannya. Tak seperti biasanya yang dengan mudahnya merayu perempuan dan bikin mereka klepek-klepek. Kali ini dia sangat cuek, sepertinya dia sama sekali tidak tertarik dengan ketampananku ataupun dengan kendaraan yang kubawa. Biasanya nih, kalau cewek lihat cowok ganteng pake motor Ninja udah histeris duluan minta diboncengin. Tapi, kali ini perempuan yang aku temui cuek-cuek aja. Sepertinya dia tidak begitu tertarik denganku. Apa karena dia sudah punya pacar ya? Ah, pikiranku semakin kacau balau. Aku memacu motorku dan bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku merebahkan diri ke atas tempat tidur. Sambil menatap langit-langit kamar, kubayangkan wajah dan senyumannya dari kejauhan. Pemandangan di restoran siang tadi terus terbayang di wajahku. Ah, tidak mungkin aku suka pada gadis yang biasa saja, gadis yang sangat casual. Semua perempuan yang aku kenal memiliki selera tinggi dan penampilan yang sangat menarik. Kenapa aku justru tertarik pada gadis yang biasa saja? Aku berjalan menuju balkon. Melihat beberapa orang lalu lalang membeli sate yang sedang ngetem tepat si seberang rumahku. Mataku kemudian tertuju pada seorang gadis yang baru keluar dari pintu rumah seberangku dengan mengenakan jaket warna hijau lumut. Itukan gadis yang aku temui tadi siang? Dia tetanggaku? Ternyata sangat dekat sekali.
“Emang kalau jodoh nggak kemana.” Celetukku sambil bergegas turun dari kamar dan langsung keluar rumah.
“Paklek, kenal nggak sama cewek yang barusan pake jaket hijau lumut?” tanyaku pada Paklek Sate langganan komplek.
“Oh,,, yang barusan beli sate?” tanya Paklek.
“Iya Paklek.”
“Lah kok tumben nanyain? Biasanya makan sate bareng di sini nggak pernah nanya.” Tanya Paklek heran.
Hah? Aku makin melongo. Apa iya gadis itu sering makan di sini juga? Apa aku yang nggak begitu perhatikan ya?
“Duduk aja dulu Mas, saya bikinkan satenya. Sebentar lagi gadis itu pasti ke sini lagi. Soalnya dia kalo beli di bawa pulang itu buat ibunya. Kalo dia pasti makannya langsung di sini.” Tutur Paklek.

Belum lima menit gadis itu benar-benar keluar dari rumahnya dan duduk tepat di sampingku, memesan satu porsi sate ayam. Kuperhatikan wajahnya dari dekat, aku seperti pernah melihatnya. Wajahnya familiar di ingatanku tapi aku tetap tidak tahu dia ini siapa. Atau memang aku yang sudah terlalu silau dengan penampilan wah seorang perempuan sehingga aku tidak pernah memperhatikannya.
“Mas, kok lihatin saya seperti itu?” tanya gadis itu.
“Eh,,, Nggak papa. Kamu tinggalnya di sini? Kok baru lihat ya?” tanyaku gugup.
Gadis itu tertawa. “Mas Aryo... Sering banget saya lihat Mas Aryo makan di sini. Bahkan di tempat makan yang lain juga. Ya nggak lihat lah orang Mas Aryo kalau makan kan sudah ada yang nemenin, cantik-cantik pula.”
“Ah masa sih? Kamu juga cantik kok.”
“Iya, karena aku kan perempuan. Kalau laki-laki pasti ganteng.” Sahutnya sambil meraih seporsi sate yang ia pesan.
“Serius. Kamu itu cantiknya alami.”
Gadis itu hanya tersenyum.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Tetangga bertahun-tahun masa nggak ingat sama aku. Aku Sonya.” Jawab gadis itu.
“Hah!? Kamu beneran Sonya?” tanyaku kaget. Yang aku tahu Sonya itu tomboi, pake kacamata dan rambutnya selalu pendek seperti laki-laki. “Aku pikir kamu sepupu atau sodaranya Sonya, soalnya Sonya yang aku kenal nggak kayak gini.” Tuturku sambil memperhatikan setiap detil perubahan yang terjadi padanya. Dan kami pun asyik bercerita tentang banyak hal.
Hari-hari berikutnya aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sonya. Dia perempuan yang sederhana, kami punya waktu bersama untuk jogging, makan siang bareng ataupun sekedar menemaninya pergi latihan. Sekali saja dia tidak pernah mengajakku ke mall. Belanja apa yang dia inginkan seperti perempuan-perempuan lain yang pernah kudekati. Beberapa panggilan telepon, sms, whatsapp dan sejenisnya dari wanita-wanita yang pernah kudekati tak lagi kuhiraukan. Ada yang marah-marah tanpa sebab karena sekian banyak chat hanya kubaca. Aku mulai malas meladeni mereka. Bukan pacar, hanya dekat saja. Tapi sering kali mengajakku jalan ke mall atau ke salon. Benar-benar dunia perempuan yang membosankan.

Aku lebih nyaman jalan dengan Sonya. Penampilannya simpel, sangat casual. Tidak pernah merengek dan bermanja-manja. Selalu ceria setiap bersamanya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendapat telepon atau sms dari dia saat kami sedang tidak bersama. Justru tanganku yang gatal ingin terus meneleponnya. Terkadang dia marah saat menjelang tidur dan aku masih mengganggunya. Atau saat dia sedang jam belajar dan aku sibuk menelepon atau sms. Aku sering senyum-senyum sendiri mengingat wajah manyunnya saat ketemu sambil mengomel ‘Jangan telepon aku di jam belajar!’ atau ‘Jangan ganggu aku malam-malam!’. Sederhana sekali, tapi aku tidak pernah bisa melupakannya walau hanya sedetik.
“Son, kamu mau nggak temenin aku nonton? Ada film baru.” Ajakku memberanikan diri. Ini bukan pertama kalinya aku mengajaknya nonton. Selama 6 bulan kedekatan kami, dia selalu menolak jika ku ajak nonton atau sekedar makan malam di luar.
“Nggak ah, aku nggak suka nonton di bioskop.” Jawab Sonya.
“Jadi sukanya nonton di mana?” tanyaku.
“Nggak di mana-mana. Aku nggak tertarik nonton film, menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk duduk manis mantengin layar film. Buat aku itu membosankan banget.” Celetuknya.
Aku terdiam sejenak. Berpikir. Apa yang disukai Sonya? Apa cuma makan malam di kedai sate keliling di depan rumah? Kan nggak keren banget kalau aku nyatain perasaanku di sini. Nggak romantis. Kira-kira ke mana ya Sonya mau kuajak jalan? Tempat yang tidak membosankan? Tempat yang selalu bikin ceria.
“Kamu pengen banget ya nonton film itu?” tanya Sonya yang menyadari lamunanku.
“Eh,,, nggak juga sih.” Jawabku sambil melahap sate yang sudah lama terhidang di depanku.
“Trus?”
“Aku pengen aja sekali-kali jalan bareng sama kamu. Nonton film, makan malam atau jalan-jalan ke tempat yang romantis.” Jawabku.
“Seperti cewek-cewek yang selalu kamu dekati? Aku bukan mereka Mas. Aku nggak suka pergi nonton, aku nggak suka makan malam berdua, aku nggak suka menghabiskan waktu jalan-jalan berdua aja. Sementara kita cuma diam. Cuma saling pandang kayak drama sinetron. Aku tipe orang yang suka keramaian. Ngumpul sama keluarga besar, sama teman-teman. Sekedar barbeque atau seru-seruan yang lain. Aku lebih senang jalan ke pasar malam, ke pantai, ke tempat outbond atau ....” ucapan Sonya terhenti saat aku dengan cepat meraih tangannya.
“Kenapa?”
“Kamu suka pasar malam kan? Ayo kita ke sana!” ajakku bergegas.
“Nggak sekarang juga, ini udah malam.”
“Baru juga jam tujuh.” Seretku sambil berlalu pergi. Tak lupa aku tinggalkan uang untuk bayar 2 porsi sate yang sudah kami makan.
“Kembaliannya Mas!” teriak Paklek.
“Ambil aja.”
Aku bergegas masuk ke halaman rumah untuk mengambil mobil.
“Nggak usah pake mobil Mas. Kan pasar malam dekat aja di lapangan komplek. Kita jalan kaki aja lebih seru.” Ucap Sonya saat aku memintanya naik ke mobil.
Aku melongo mendengar ucapan Sonya. Bergegas aku kembalikan mobil ke garasi dan berlari masuk rumah untuk mengambil kunci. Mama dan Papa sempat bertanya karena aku terlihat terburu-buru.
“Pa, aku pinjem jaket Papa.” Aku langsung meraih jaket Papa yang ia letakkan di atas kursi ruang keluarga.
“Kamu kenapa kok terburu-buru begitu?” tanya Papa.
“Mau jalan Pa sama Sonya.”
“Tapi kenapa harus lari-lari gitu. Badan kamu kan bisa berkeringat. Masa jalan sama cewek badannya keringatan kan bau.” Celetuk Mama.
Aku mencium kedua ketiakku bergantian untuk memastikan badanku tidak bau. “Masalahnya Sonya ngajak jalan kaki aja. Nggak mau pake mobil atau motor. Tadi sudah ambil mobil dan harus Aryo balikin lagi ke garasi.” Aku langsung bergegas pergi setelah jaket papa terpasang di tubuhku.
“Lama ya?” tanyaku pada Sonya yang masih menunggu di pekarangan rumah.
Sonya menggeleng. Kami segera bergegas menuju lapangan komplek perumahan yang sedang ada pasar malam. Pasar malam ini selalu berpindah. Terkadang beberapa bulan lagi baru ada di komplek kami. Dan lamanya hanya seminggu. Aku lihat dia sangat asyik mencoba beberapa kuliner sambil terus minta di foto. Juga mencoba semua permainan yang ada. Ini kali pertama aku ke pasar malam lagi setelah 15 tahun tidak pernah menginjakkan kaki di pasar tradisional penuh keceriaan ini. Ini juga pertama kalinya aku merasa sangat bahagia. Tertawa dan berteriak sepuasnya. Bahkan tanpa sadar kami saling berangkulan dan bergandengan tangan dengan asyiknya. Mungkin Sonya tidak sadar karena saking senangnya. Biasanya ia paling tak mau aku menyentuh tangannya, apalagi sampai bergandengan dan berangkulan seperti ini.
“Capek banget.” Tutur Sonya saat kami berjalan pulang. Ia duduk di trotoar sambil meminum es cendol.
“Masih kuat jalan?” tanyaku yang melihat napasnya tersengal.
“Masih lah. Bentar aku habisin amunisiku dulu.” Tuturnya sambil menyerot es cendol sampai habis dan segera berdiri kembali.
“Aku bahagia banget malam ini. Makasih ya!” ucap Sonya memegang pundakku sambil berjalan beriringan.
“Iya sama-sama. Aku juga bahagia bisa ngabisin waktu malam ini sama kamu dan lihat kamu bahagia banget.”
Sonya tertawa kecil. “Aouw...!” aku terkejut mendengar teriakan Sonya yang terjerembab di selokan. Selokan ini sudah ditutupi dengan besi sehingga bisa dipakai untuk berjalan. Tapi, ada beberapa besi yang sudah patah dan membuat berlubang. Kaki kiri Sonya tepat masuk ke dalam sela-sela besi yang rusak. Aku bergegas menarik kakinya keluar dari selokan. “Sakit.” Ucapnya kemudian setelah ku lihat beberapa goresan di kakinya. Sepertinya besi-besi selokan yang rusak melukai kakinya.
“Bisa berdiri?” tanyaku sambil memapahnya untuk berdiri.
“Bisa kayaknya, cuma lecet-lecet aja kok.” Jawab Sonya sambil berusaha berdiri. “Aduh, sepertinya kaki kanan aku yang keseleo saat nahan tadi.” Tuturnya kemudian.
“Ya udah sini aku gendong.” Tuturku sambil berjongkok menawarkan punggungku.
“Nggak usah. Kaki kiri aku masih bisa dipakai jalan kok, cuma lecet-lecet aja.”
“Udah, cepet naik! Kalau jalan sendiri nanti lama sampe rumahnya. Ini udah jam setengah 12 loh. Nanti Mama sama Papa kamu marah pulangnya kemalaman.”
Tanpa protes lagi Sonya langsung naik ke punggungku. Aku berjalan perlahan, tubuh Sonya semakin lama semakin berat.
“Kamu berat banget sih.” Celetukku. Tidak ada respon dari Sonya. Ternyata dia tertidur, mungkin karena kelelahan.
“Kalian darimana?” orang tua Sonya sudah menunggu dan panik karena sudah malam mereka belum pulang juga.
“Tadi Sonya pengen ke pasar malam tante. Jadi saya ajak ke sana jalan kaki.” Jawabku sambil menidurkan Sonya di sofa ruang tamu.
“Itu kenapa kaki Sonya berdarahan?” tanya Papa Sonya.
“Tadi dia terjerembab di selokan Om. Kakinya lecet kena besi selokan yang rusak.” Jawabku.
“Kok bisa? Kamu ngajak jalan anak saya nggak bisa jaga dia.” Sentak Papa Sonya.
“Sudah Pa, jangan di marahin!” pinta Mama Sonya.
“Yo, tolong pindahin Sonya ke kamarnya ya di lantai dua. Soalnya tante sama Om pasti nggak kuat gendong dia lagi.” Pinta Mama Sonya. “Bi, bawakan air hangat sama handuk ke kamar Sonya ya!” pintanya kemudian pada asisten rumah tangga mereka.
Aku bergegas membawa Sonya yang masih tertidur ke kamarnya diikuti dengan langkah Bibi Sarti.
“Ini Mas air sama handuknya.” Bibi Sarti menyodorkan ember kecil berisi air hangat setelah aku selesai meletakkan tubuh Sonya di atas kasur.
“Ada obat bi?” tanyaku sambil membersihkan luka di kaki kiri Sonya.
Bibi Sarti mengangguk dan bergegas pergi mengambil obat.
“Aouw..!” teriak Sonya terbangun. “Perih.” Katanya saat aku menempelkan handuk hangat untuk membersihkan lukanya.
“Aku kok sudah di sini?” tanyanya sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk.
“Kamu tadi ketiduran. Capek banget ya? Tidurnya sampai ngorok loh.” Ucapku bercanda.
Sonya hanya tersenyum menganggapi candaanku. Aku masih terus membersihkan kaki Sonya dengan teliti. Bibi Sarti sudah kembali dengan membawa kotak obat dan berlalu pergi lagi. Sonya meringis menahan sakit saat aku memberikan cairan iodine pada lukanya.
“Aku nggak bisa urut kaki kanan kamu. Nggak ngerti caranya. Besok aku panggilkan tukang urut buat urut kaki kamu yang keseleo ya.” Tuturku kemudian.
“Makasih ya Mas.”
“Aku yang makasih sama kamu. Karena malam ini adalah malam paling bahagia yang aku punya seumur hidupku.”
“Gombal.”
“Kok Gombal sih?”
“Iya, bukannya bahagia itu kalau makan malam romantis sama cewek-cewek cantik di kota ini? Setiap jalan sama cewek selalu bilang hal yang sama.”
“Suer deh, baru sekali ngomong gini sama kamu doang.”
“Kenapa cuma sama aku doang? Bukannya Mas Aryo sudah...” ucapan Sonya terhenti ketika dengan spontan aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
“Karena kamu beda. Gayamu yang casual, hari-harimu yang casual, hidupmu yang casual dan selera casual kamu bikin aku bener-bener jatuh cinta sama kamu. Bisa saja aku jatuh cinta sama Shinta, cewek yang super cantik bak model dengan dandanan yang supermodis. Tapi itu tidak terjadi. Tuhan menjatuhkan cintaku sama kamu. Cewek casual yang bikin aku gelisah dan uring-uringan setiap hari. Aku tau ini bukan tempat yang tepat untuk nyatain perasaan aku. Aku nggak pernah berhasil ngajak kamu makan di restoran yang romantis. Tapi ini saat yang tepat untuk aku tau gimana perasaan kamu sama aku. Kamu mau kan jadi ...” ucapanku terhenti. Aku bingung harus bilang apa. Jadi pacar? Jadi istri? Jadi pendamping hidup? Jadi teman hidup? Atau apa ya yang keren dan mengesankan.
“Jadi apa Mas?” tanya Sonya sambil memandangi wajahku.
Aku gugup untuk mengatakannya. “Aku bingung jadi apa ya?” kataku nervous. “Kalau jadi istri nggak mungkin, kamu kan masih kuliah. Kalau jadi pacar, rasanya aneh karena aku sudah dewasa. Kata pacar kan cocoknya buat anak remaja. Kalau jadi pendamping hidup, nggak keren. Bibi Sarti pun bisa dampingin hidup aku dari kecil sampai sekarang. ...” Kataku terus nyerocos.
Sonya tertawa mendengar pernyataanku.
“Kok malah tertawa?”
“Lucu aja. Mas Aryo yang terkenal playboy dan don juan nggak ngerti nyatain cinta kayak gimana?” katanya sambil tertawa.
“Lah, kamu cinta nggak sama aku?” tanyaku kemudian.
“Nggak tau.”
“Kok, nggak tau?”
“Yah, kan tadi Mas Aryo belum selesaikan pertanyaan yang pertama? Aku mau dijadikan apa? Dijadikan pembantu kayak Bi Sarti?” tanyanya.
Aku menggeleng. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kali ini aku benar-benar keki. Sonya memang tidak suka basa-basi. Selalu to the point dan bikin aku salting nggak karuan. Aku masih berpikir sampai dapat kata-kata yang tepat untuk kukatakan.
“Jadi?” tanya Sonya lagi.
Aku menggenggam kedua tangan Sonya sambil menarik napas sebelum aku akhirnya mengatakan “Kamu mau kan jadi satu-satunya wanita yang aku cintai seumur hidupku?”
Sonya tersenyum “Kalau itu aku mau.” Jawabnya kemudian.
“Beneran?” tanyaku kegiarangan sampai-sampai tak sengaja aku menyenggol kaki Sonya dan membuatnya mengaduh kesakitan.
“Sampai ketemu besok ya. Tidur yang nyenyak! Aku pulang dulu,” ucapku sambil bergegas pergi meninggalkan rumah Sonya dengan senyum sumringah yang tidak dapat kusembunyikan dari siapapun.


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.




Thursday, November 2, 2017

Cerpen "Surya Kemerdekaan"


www.pixabay.com
www.pixabay.com/StockSnap




CERPEN 
SURYA KEMERDEKAAN
Karya : Rin Muna

Surya berlari kecil menuju rumahnya, dia sudah berteriak-teriak memanggil Mamaknya sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mak, kata Bapak kepala sekolah. Dua minggu lagi Tujuh belas agustus, Surya akan jadi pasukan pengibar bendera di kantor kecamatan.” Teriak Surya penuh semangat.
“Oh ya?”
Mamak Widuri tersenyum bangga sambil mengelus rambut Surya. Walau dalam hatinya masih digelayuti perasaan yang tak menentu. Dia teringat akan mendiang suaminya yang selalu menanamkan jiwa patriotisme kepada Surya. Mengajarkan kepada Surya bagaimana mencintai tanah airnya. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau bangga sekali anaknya bisa menjadi seorang pengibar bendera pusaka yang selalu ia agung-agungkan itu. 
Menjadi seorang pengibar bendera di kota kecamatan bukan perkara mudah bagi Mak Widuri. Mengingat perjalanan ke sana sangat jauh dan sulit, harus melewati tiga desa yang jalannya masih tanah. Kalau hujan, sudah pasti ojek tidak dapat menembus sulitnya medan yang berlumpur. Andai saja suaminya masih hidup, mungkin tidak seberat ini dia memikirkannya. Belum lagi memikirkan bekal yang harus dibawa anaknya, tidak mungkin ia membiarkan Surya pergi jauh tanpa membawa uang sepeserpun. 
Dengan penghasilan Mak Widuri yang tak menentu. Jangankan untuk ongkos ke kota, untuk membeli beras saja masih senin kamis. Ia lebih sering mengkonsumsi singkong rebus yang ia tanam sendiri di pekarangan rumahnya.
“Tapi Mamak ragu kamu bisa ikut Nak.” Tutur Mak Widuri lirih.
“Kenapa Mak?”
“Kamu tidak punya seragam Paskibraka.” Jawab Mak Widuri lesu. Melihat seragam merah putih milik surya saja wajah Mak Widuri sudah merasa iba. Seragam surya tak lagi putih bersih, banyak hiasan benang benang jahitan. Andai saja punya uang, seharusnya seragam Surya diganti dengan seragam baru.
Surya terduduk lemas memandangi lantai rumah yang masih beralas tanah. “Andai saja Bapak masih hidup. Pasti Surya dibelikan seragam paskibraka sama Bapak ya Mak.” Celetuk Surya.
Mak Widuri merengkuh tubuh Surya sambil menahan air matanya jatuh. Ia tak tega melihat impian putra kecilnya itu kandas begitu saja. “Kamu tidak perlu bersedih, Mamak akan tetap berusaha membelikan kamu seragam. Yang penting kamu benar-benar giat berlatih, supaya saat upacara nanti kamu tidak salah-salah. Jangan bikin malu Mamak dan sekolah kamu!” kata Mak Widuri mencoba memperbaiki suasana.
“Iya Mak, nanti Surya juga akan bantu Mamak cari uang,” tutur Surya.
“Tidak usah Nak! Lebih baik kamu banyak berlatih saja, daripada waktumu terbuang sia-sia. Kamu juga harus banyak beristirahat, supaya saat upacara nanti fisik kamu tetap sehat dan kuat. Jangan sampai saat puncak upacara kamu justru kelelahan dan pingsan,” tutur Mak Widuri.
Surya manggut-manggut saja menuruti perintah Mamaknya. Dengan penuh semangat Surya berlatih paskibraka setiap pulang sekolah. Tak peduli terik matahari menyengat kulitnya atau gerimis hujan yang membasahi tubuhnya, Ia sangat senang bisa menjadi pasukan pengibar bendera pusaka saat upacara di kota kecamatan nanti. 
Pak Jarwo sebagai kepala sekolah juga sangat bangga dengan semangat Surya. Andai saja semua murid-muridnya seperti Surya, tidak hanya pandai tapi juga memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan berlatih apapun. Bahkan mempelajari hal yang sederhana saja, semangat Surya tetap menggebu-gebu.
Mak Widuri juga terus berjuang sekuat tenaga agar dapat membelikan seragam paskibraka untuk Surya. Mak Widuri hanya seorang buruh tani, ia tidak mendapatkan hasil apapun bila tak ada petani yang menyuruhnya membantu mengolah sawah. Sudah beberapa hari tidak ada yang memburuhkan keringatnya. 
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Widuri berjualan tapai singkong keliling. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi mampu membuatnya bertahan hidup. Mak Widuri berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk menawarkan tapai singkong buatannya sendiri. Lelah sudah tak dirasanya lagi. Bahkan Mak Widuri sampai menjajakan tapainya ke kampung sebelah. Sudah jelas jaraknya tidak dekat, sehingga Mak Widuri baru sampai di rumah selepas sholat isya’. Seringkali ia pulang dan mendapati Surya sudah tertidur pulas karena lelah berlatih seharian. 
Surya anak yang pandai dan rajin membantu orangtuanya sejak kecil. Sepulang berlatih paskibra, ia membereskan rumahnya. Mengambil air ke sungai untuk kebutuhan memasak tanpa harus diperintah oleh Mamaknya. Seringkali ia sudah menyiapkan singkong rebus dan kopi hangat untuk Mamaknya. Walau terkadang sudah dingin saat Mamaknya sudah sampai rumah. Karena lelah menunggu Mamaknya pulang, ia sering ketiduran di dipan. 
Sebenarnya Mak Widuri tak pernah memerintahkan dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Surya sendirilah yang merasa kasihan melihat Mamaknya berjuang seorang diri agar bisa membelikan seragam untuknya. Mak Widuri segera mandi ke sumur walau hari sudah petang. Setelahnya ia bergegas makan singkong rebus dan kopi yang sudah disiapkan Surya di meja dapur. Mak Widuri mengeluarkan kantong kecil dari keranjang dagangannya. Hanya dengan penerangan dari ublik saja, Mak Widuri menghitung hasil jualan hari ini. 
“Alhamdulillah… Hasilnya lumayan, semoga besok bisa lebih lagi dan aku bisa membelikannya seragam baru,” tuturnya sambil menghela nafas lega. 
Tanpa berlama-lama lagi Mak Widuri langsung bergegas ke dapur, mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak singkong yang akan dibuat tapai. Setiap sebelum tidur ia terlebih dahulu sibuk menyiapkan semuanya. Ditinggalnya tidur sejenak dan melanjutkannya kembali seusai sholat subuh. Sebelum menjajakan tapainya dari rumah ke rumah, Mak Widuri terlebih dahulu mengambil singkong dari kebun dan membersihkannya. Sehingga saat pulang jualan, hanya tinggal mengukus dan mengolahnya.
Beberapa hari kemudian, uang yang terkumpul dirasa cukup untuk membeli seragam paskibraka. Mak Widuri mengajak Surya ke pasar untuk membeli seragam paskibraka. Jarak dari rumah ke pasar sekitar 4 kilometer dan mereka harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Karena mereka tak punya cukup uang untuk naik ojek. 
Sesampainya di pasar, Surya dan Mak Widuri berkeliling kios satu persatu menanyakan seragam paskibraka. Tapi tak ada satupun yang menjualnya di pasar. Katanya harus ke kota kecamatan untuk membeli seragam tersebut. Atau dengan memesan pada tukang jahit, tapi tidak bisa juga langsung jadi dalam waktu dekat. 
Karena di kampung itu hanya ada satu orang tukang jahit yang alat jahitnya pun sudah sering ngadat termakan usia. Wajah Surya sudah terlihat sangat sedih. Ia meneteskan air mata sambil berjalan pulang. Ia takut tak bisa ikut upacara nanti hanya karena dia tak punya seragam.
“Bagaimana ini Nak?” tanya Mak Widuri kebingungan.
“Kalau ke kota kan lama Mak. Masih sangat jauh dari sini. Kalau berjalan kaki 3 hari baru bisa sampai di sana. Berarti Surya tidak akan bisa ikut upacara nanti.” Jawab Surya sambil menangis.
“Sudahlah, tidak usah bersedih seperti itu. Besok saja kita ke kota kecamatan. Mamak cari uang ongkos dulu untuk ke sana, kita bisa ikut menumpang menuju ke sana, jadi kita tidak perlu berjalan kaki.” Tutur Mak Widuri.
“Bener Mak?” tanya Surya mengusap air matanya.
Mak Widuri mengangguk dan dengan berat hati mereka kembali ke rumah dengan tangan kosong. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan,hanya mendapat lelah berjalan kaki berkilo-kilo meter.
“Mak… dari mana saja? Saya tadi pagi ke sini tidak ada orang.” sapa Pak Jarwo ketika Mak Widuri dan Surya baru sampai di halaman rumah.
“Kami dari pasar Pak. Ada keperluan apa ya Pak? Mari masuk dulu!” Kata Mak Widuri mempersilahkan.
 “Tidak usah lah Mak. Saya juga masih banyak keperluan yang lain. Saya hanya ingin memberikan ini.” Tutur Pak Jarwo sambil menyerahkan 1 kantong kresek hitam kepada Mak Widuri. Surya hanya memandang dengan rasa penasaran.
“Apa ini Pak?” tanya Mak Widuri.
“Ini seragam paskibraka untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
Mak Widuri dan Surya saling bertatapan dan tersenyum girang. “Ini benar untuk Surya Pak?” tanya Mak Widuri masih tak percaya.
“Iya benar. Itu untuk Surya. Kan Surya mau jadi pengibar bendera di kota kecamatan, jadi saya belikan ini untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
“Alhamdulillah…!” teriak Mak Widuri dan Surya bersamaan.
“Kami baru saja dari pasar untuk mencari seragam paskibraka Pak, tapi kami tidak mendapatkannya. Kata orang-orang harus ke kota kecamatan. Di sana tidak ada yang menjual seragam paskibraka, kalau mau pesan di tukang jahit sudah tidak sempat lagi Pak.” Tutur Mak Widuri.
“Astagfirullah…!” kata Pak Jarwo sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa Pak?” tanya Mak Widuri bingung.
“Saya lupa kasih informasi ke Surya dan Mak Widuri, kalau seragam paskibraka sudah disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi, Mak Widuri tidak perlu repot membelikan seragam baru untuk Surya. Mak juga tak perlu khawatir, selama lima hari di sana akan ada uang saku untuk Surya.” Tutur Pak Jarwo kemudian.
“Alhamdulillah…” kata Mak Widuri lega. “Apa Pak? Lima hari!?” Mak Widuri sedikit tersentak ketika menyadari ucapan Pak Jarwo.
“Iya, karena Surya juga harus ikut berlatih dahulu dengan tim paskibraka dari sekolah lain di sana.” Jawab Pak Jarwo.
“Surya tidak bilang begitu. Katanya hanya upacara saja.”
“Maafin Surya Mak. Kalau surya bilang sama Mamak lebih dulu, pasti Mamak tidak akan mengijinkan Surya pergi ke sana.” Tutur Surya lirih.
“Kata siapa Mamak tidak izinkan? Pasti Mamak beri izin. Menjadi paskibraka bukan hanya impian kamu, tapi juga impian almarhum ayah kamu.” Sentak Mak Widuri.
Pak Jarwo dan Surya saling memandang dengan senyum sumringah.
“Kalau begitu, besok pagi Surya sudah harus siap-siap! Kita akan berangkat besok.” Tutur Pak Jarwo.
“Apa? Besok Pak!? Cepat sekali.” tutur Mak Widuri terkejut.
“Iya Benar. Persiapkan diri ya Surya!” pinta Pak Jarwo.
“Siap Pak!” jawab Surya dengan sikap hormat dan suara lantangnya.
Pak Jarwo membalas hormat Surya dan segera berpamitan.
Keesokan harinya, Surya sudah siap untuk berangkat pagi-pagi sekali. Semua perlengkapan sudah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Bahkan semalaman Surya tidak dapat tidur nyenyak karena membayangkan ingin ke kota kecamatan. Mobil Jeep yang dikendarai oleh wakepsek sudah terparkir di depan rumah Mak Widuri tepat saat jam tujuh pagi. Pihak sekolah sudah siap mengantarkan Surya menuju ke kota kecamatan.
“Kamu baik-baik di sana. Tidak boleh nakal, tidak boleh berkelahi dengan teman di sana. Latihan yang giat supaya jadi pasukan yang gagah.” Tutur Mak Widuri. “Ini untuk bekal kamu di sana, gunakan dengan baik dan jangan boros!” pinta Mak Widuri sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Surya.
Surya mengangguk, mencium tangan dan kedua pipi Mamaknya. Kemudian bergegas menaiki mobil Jeep yang dikendarai oleh Pak Wakepsek. Ada Pak Jarwo juga yang sudah duduk manis di samping Wakepsek. Surya melambaikan tangan kepada Mak Widuri. Begitu pula dengan Mak Widuri, terus melambaikan tangan sampai mobil yang dinaiki Surya tak terlihat lagi. Tanpa disadari Mak Widuri meneteskan air mata melepas keberangkatan Surya ke kota kecamatan. Ingin sekali ia ikut ke sana dan melihat langsung putranya menjadi seorang pengibar bendera pusaka.
Sesampainya di kota kecamatan, Surya langsung berbaur dan berkenalan dengan peserta paskibraka dari sekolah lain. Mereka semua berlatih dengan baik dan penuh semangat. Anak-anak seperti mereka memang semangatnya masih tinggi. Surya terpilih menjadi penarik bendera dan Ia memanfaatkan waktu latihan dengan baik.
Tibalah saatnya upacara bendera yang tepat pada tanggal 17 Agustus. Surya memandangi tubuhnya di cermin yang sudah terbalut rapi dengan seragam paskibraka.
Upacara berjalan dengan penuh khidmat. 
        Surya menitikan air matanya ketika sangsaka merah putih tepat berada di ujung tiang bendera. Ini adalah hari kemerdekaan baginya, hari kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Impian Surya sederhana, hanya ingin mengibarkan merah putih. Tanpa harus memikirkan bagaimana ia berjuang untuk bertahan hidup bersama Mamaknya. 
        Seperti pesan almarhum ayahnya, merah putih harus terus berkibar. Sekalipun keringat dan darah jadi penghiasnya. Surya tahu, ayahnya akan lihat apa yang sekarang dia lakukan. Surya melihat bayangan Sang Ayah yang sedang hormat dan tersenyum bangga padanya ketika ia menatap Sangsaka Merah Putih yang sudah ada di ujung tiang bendera. Baginya, ayahnya tetap hidup dalam hatinya, dalam jiwa dan pikirannya. Kemerdekaan Surya adalah ketika ia bisa menghantarkan Sangsaka merah putih ke tempat tertinggi.



Cerpen ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam antologi cerpen berjudul "Syair Tujuh Belas Agustus"


_______________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
🅒 Copyright.
Karya dilindungi undang-undang. 
Dilarang copy paste atau menyebarluaskan cerita ini tanpa mencantumkan nama penulisnya.



Cerpen "Ikhtiar Cinta"

pixabay.com/sasint




CERPEN “IKHTIAR CINTA”
 Karya : Rin Muna

Sudah 6 bulan ini perasaan hatiku tak karuan. Entah apa yang ada di dalam hatiku sehingga selalu bergetar ketika aku melihat Lisa, bahkan memandangnya dari kejauhan. Dia satu-satunya wanita yang tak pernah bergeming saat yang lain asyik bersorak memberi semangat ketika sedang bermain basket di lapangan sekolah ataupun saat aku menunjukkan aksiku bernyanyi di atas panggung. 
Dia adalah satu-satunya wanita yang aku kagumi keindahan dan kesederhanaannya. Tubuhnya yang tinggi semampai, kulitnya yang putih dan wajahnya yang cantik alami, semakin cantik dalam balutan hijab. Sangat sederhana dibanding perempuan-perempuan lain di sekolah ini, tapi dia terlihat istimewa. 
Saat semua cewek sekolah sibuk berteriak histeris memanggil namaku dalam pertandingan basket, dia hanya lewat tanpa menoleh sedikitpun, bahkan sepertinya dia tidak tertarik dengan keramaian. Sejak ia muncul dari ujung koridor utara hingga hilang di koridor selatan, ia sama sekali tak menoleh sedikitpun. Justu aku yang tidak fokus saat latihan atau pertandingan jika dia melintas di sisi lapangan. 
Beberapa teman selalu menepuk bahuku, mungkin mereka tersadar dengan lamunan atau pandanganku yang tak ingin lepas dari gerak-gerik Lisa. Sudah lama sekali aku memperhatikannya, dia gadis yang sangat berbeda. Pakaiannya santun, tidak seperti anak-anak lain yang terlihat heboh dan berlebihan.
 Setiap jam istirahat makan siang, aku selalu mendapatinya berjalan menuju musholla, melaksanakan sholat dzuhur dan kemudian menghampiri teman sekelasnya di kantin untuk makan siang. 
Terkadang ia terlihat duduk manis di antara rak-rak buku perpustakaan. Aku ingin sekali bisa menyapanya, berkenalan dengannya, dan bisa mendengar suaranya dari dekat. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu, jangankan untuk menyapa, mendekatinya saja aku tak punya kekuatan.
Seperti biasa, aku selalu ada di kursi kantin paling pojok agar aku bisa bebas memandang Lisa dari kejauhan. Beberapa temanku sudah mengetahui perubahan yang terjadi padaku dan kali ini mereka ada di meja bersamaku. 
Aku tak bisa menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatiku, bahkan aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Lisa. Walau kami asyik bercanda bersama, tapi sesekali mataku tertuju pada Lisa yang sedang asyik makan bakso. 
Terkadang Lisa terlihat lucu, bibirnya merah merona alami karena kepedasan dan dia terlihat semakin cantik. Alisnya yang rapi bak semut beriring, alami tanpa harus menggunakan pensil alis. Matanya bulat indah dengan bulu mata yang lentik dan tebal alami, seperti gadis di anime Jepang. Dia terlihat sempurna, bahkan mungkin satu sekolah akan memuji kecantikannya.
“Ardi...!” teriak Bayu tepat di telingaku.
“Woii,,, sakit kupingku, kayak Jakarta-Bandung aja pake teriak-teriak segala.” Spontan aku terkejut dengan kelakuan Bayu.
“Kamu kenapa dari tadi kita ajak ngomong gak dengerin?” tanya Bayu kemudian.
“Eh...oh...eh.... denger kok aku.” Jawabku gugup.
“Apa kalau dengar?” tanya Reno.
Aku berpikir dan keki, karena sebenarnya aku tidak mendengarkan apa yang mereka ceritakan. Aku sibuk mengagumi Lisa dari kejauhan.
“Sepertinya dia sedang jatuh cinta pada gadis manis berhijab pink rawis itu.” Celetuk Andra sok puitis.
Aku hanya diam dan tersipu malu, entah apa yang ingin kukatakan. Berbohongpun aku tak bisa, karena aku yakin mereka sudah memperhatikan apa yang selama ini kuperhatikan.
“Kenapa gak kamu samperin aja, Di?” tanya Bayu.
“Gak berani,” jawabku singkat sambil memainkan sedotan di dalam gelas minumku.
“Hahahaha...” Tiba-tiba tawa keras Bayu, Reno dan Andra membuat gaduh suasana kantin dan semua mata memandang ke arah kami.
“Ssst... jangan keras-keras ketawanya!” pintaku sambil melihat ke arah Lisa. Dan untuk pertama kalinya Lisa juga menengok ke arah kami. Dia teapt memandangku dan kedua mata kami bertemu. Hanya dalam hitungan detik saja dia kembali mengalihkan pandangannya, beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan kantin.
“Nah,,, pergi kan dia. Kalian sih ribut!” sentakku sebal.
Sementara Bayu masih terus tertawa kaku sambil memegangi perutnya. “Hahaha... akhirnya ketahuan juga kalau kamu beneran lagi perhatiin dia.” Ucap Bayu sambil menahan tawanya. “Sejak kapan seorang Ardi, seorang kapten basket, ketua osis yang don juan takut buat deketin cewek.” Celetuknya kemudian.
Aku langsung bergegas pergi meninggalkan kantin tanpa sepatah kata yang ku ucapkan pada teman-temanku. Bahkan aku tak peduli mereka masih bergumam dan menertawakanku. Mereka tidak mengerti bagaimana perasaaan hatiku, mungkin inilah perasaan yang sebenarnya. Alamiah dan datang begitu saja tanpa aku memintanya.
“Ardi....! Di panggil Kepsek ke ruangannya.” Sapa salah satu teman sekelas dan seketika membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak bertanya aku langsung bergegas menuju ruang Kepala Sekolah. Aku tahu Kepala Sekolah memanggilku hanya untuk hal-hal penting saja. Sebagai Ketua Osis yang masih aktif, aku punya tanggung jawab terhadap semua kegiatan murid di sekolah ini. Aku duduk di kursi tepat di hadapan meja kepala sekolah. Kemudian, dia mulai mengajakku berbincang-bincang basa-basi sebelum ke pokok permasalahan utama yang akan dia utarakan.
“Begini, sekolah kita diminta untuk mengirimkan putra-putri berprestasi diajang kompetisi siswa teladan antar sekolah dan antar provinsi. Saya ingin mengirim kamu dan salah satu adik kelasmu yang sangat berprestasi di sekolah ini sebagai kandidat untuk mewakili sekolah kita. Kamu bersedia?” tanya Pak Kepala Sekolah kemudian.
“Saya siap-siap saja Pak, kira-kira apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengikuti kompetisi itu?” tanyaku penasaran.
“Sebentar, kita tunggu dulu dia datang ke sini. Nanti akan saya jelaskan detilnya saat dia sudah di sini. Agar saya tidak perlu menjelaskan ulang. Kalian harus bekerjasama dengan baik, karena di sini bukan kompetisi individual. “ ujar Pak Kepala Sekolah.
Tak lama kemudian terdengar pintu kepala sekolah yang diketuk. Kepala sekolah mempersilahkan masuk dan aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Akhirnya datang juga, kenapa lama sekali Lisa?” tanya Kepala Sekolah.
“Maaf Pak, tadi saya masih sholat dzuhur terlebih dahulu.” jawabnya dengan suara yang lembut.
“Oh... oke.” kata Pak Kepala Sekolah sambil memperbaiki posisi kacamatanya. “Silahkan duduk!” perintahnya pada Lisa.
Lisa duduk tepat di kursi sebelahku. Untuk pertama kalinya aku berada dekat dengan dia, wanita yang selama ini begitu ku kagumi. Perasaanku semakin tak karuan, tubuhku keringat dingin dan aku merasa gugup. 
Bapak Kepala Sekolah menjelaskan panjang lebar tentang kompetisi yang akan kami hadapi berdua. Sejak saat itu, aku dan Lisa lebih sering bertemu untuk belajar bersama. Bukan hanya teori yang kami pelajari, tapi juga ada beberapa praktikum yang akan jadi kompetisi. 
Aku bahkan tidak pernah menyangka kalau aku bisa sedekat ini dengan Lisa. Dia gadis yang ceria, cerdas dan bijaksana. Tak jarang kami berdebat mempertahankan pendapat masing-masing. Saling bercanda dan tertawa bersama. Dan kami bisa lebih sering menikmati makan siang bersama. 
Aku juga mulai belajar untuk dapat beribadah dan menjadi imam di musholla sekolah. Banyak teman-teman yang heran dengan perubahanku, tapi aku tidak malu karena aku berubah menjadi lebih baik. Seperti apa yang pernah diucapkan Lisa padaku “Jangan pernah malu bila kita melakukan hal yang baik!”.
Sampai kompetisi berakhir dan kami berhasil menjadi juara kebanggan sekolah. Aku masih belum punya keberanian untuk menyatakan perasaanku. Hingga aku naik ke kelas 3 dan dinyatakan lulus. 
Aku masih memendam perasaanku, sampai ucapan salah satu teman menyadarkanku apa arti kejujuran hati. Diterima atau tidak, setidaknya aku bisa tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Di penghujung acara perpisahan sekolah, aku mencoba menyatakan perasaanku pada Lisa. Aku menghampirinya dengan perasaan gugup, tubuh yang keringat dingin.
“Lisa...!” sapaku ketika sudah berada di sisinya.
“Ya Kak.” Jawabnya dengan nada lembut.
“Kakak mau bilang sesuatu sebelum Kakak pergi dari sekolah ini. Ini adalah hari terakhir Kakak ada di sekolah ini. Kakak akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan kita tidak akan bisa bertemu setiap hari lagi.” Ucapku lirih.
“Iya, aku tahu kok Kak. Semoga saja di kampus nanti Kakak tetap jadi mahasiswa yang berprestasi. Dan jangan lupakan sholat ya!” tutur Lisa sambil memandang ke arah panggung pensi.
“Aku cinta kamu, Lisa,” celetukku tiba-tiba.
Lisa terdiam tak berkata sedikitpun, tidak juga menoleh ke arahku. Jantungku semakin tak karuan ketika aku tahu bahwa dia tak punya perasaan apa-apa. Bahkan setelah beberapa detik, dia tidak merespon ucapanku. 
Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, tiga puluh detik dan dia masih diam. 
Aku berharap dia menjawab perasaanku, tapi dia tidak bergeming dan seolah-olah tak menganggap aku ada di sisinya. 
Aku membalikkan tubuhku dan pergi meninggalkan Lisa penuh kekecewaan. Lisa memang tak seperti gadis lain, dia lebih sibuk dengan buku-bukunya. 
Dia tak mau disibukkan dengan perasaan cinta, baginya itu hanya akan mengganggu kegiatan belajarnya. Aku berjalan menghampiri teman-temanku yang sedang asyik membicarakan universitas yang akan mereka masuki setelah lulus SMA. 
Tiga puluh menit kemudian aku berpamitan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan pulang ke rumah. Ini terkahir kalinya aku pandangi kelasku beberapa menit, banyak hal yang akan kurindukan dari kelas dan sekolah ini, terutama Lisa.
“Ah, aku harus segera melupakannya. Dia tak menyukaiku sama sekali, apalagi berharap membalas cintaku”. Batinku sambil menuju ke meja mengambil tas yang aku sandarkan di kursi tempat dudukku. Aku terkejut mendapati ada amplop merah jambu yang ada di mejaku bertuliskan ‘Untuk Kak Ardi’, aku segera membuka dan membacanya.
“Maaf bila aku belum bisa membalas perasaan cintamu. Bahkan aku sendiri belum tahu apa itu cinta, aku sendiri belum yakin apakah aku mencintaimu atau tidak. Bila tiba waktunya, kita akan dipertemukan kembali." 
"Tuhan menciptakan dua hati yang berbeda untuk saling mencintai, perasaan itu datang tanpa aku memintanya. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih punya banyak hal yang harus kuperbaiki, aku belum jadi wanitamu yang baik, belum pantas hadir dalam kehidupanmu." 
"Aku tahu kamu sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik, bahkan saat aku tidak pernah memintanya. Maka, jadilah yang terbaik untukku. Tuhan pasti akan mempersatukan bila hati kita berjanji untuk tidak menghianati. Aku akan menunggu kamu mengucapkannya lagi ketika kita sudah sama-sama dewasa dan siap berikrar di hadapan Tuhan. Aku hargai ikhtiar cintamu dan aku akan menunggumu menikahiku.” –Lisa-.

            Aku melompat kegirangan membaca sepucuk surat itu. Setidaknya aku tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Aku akan terus berusaha mempertahankan perasaan cintaku. Bahkan sampai saat ini, saat aku sudah mendapat gelar S1, perasaanku terhadap Lisa tak pernah berubah. Masih terus mencintainya walau kami berjauhan. Sampai akhirnya waktu itu tiba.




-Selesai-

Cerita ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku Antologi Cerpen berjudul "Puppy Love"

______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas