Wednesday, August 17, 2022

Bab 70 - Tak Lagi Berjarak

 


“Selamat siang, Kakek ...!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kediaman pribadi Sri Sultan yang berada di pusat keraton tersebut.

“Siang ...!” balas Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum dan pandangannya malah tertuju pada Nanda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam bersama kakeknya dan ada papan catur di tengah-tengah mereka.

“Duduklah!” pinta Sri Sultan sambil menatap Ayu.

Ayu mengangguk. Ia segera duduk di kursi yang ada di sebelah kiri kakeknya itu, ia berada tepat di tengah dua pria berbeda zaman itu.

“Kamu kenal dengan pria ini?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk dan menunduk sopan. “Mantan suami saya, Kakek.”

“Masih mencintai dia?” tanya Sri Sultan.

Ayu bergeming sambil menundukkan kepalanya.

“Ay ...!” panggil Nanda lembut sambil meraih jemari tangan Ayu. “Will you marry me?”

Ayu langsung mengangkat kepalanya menatap Nanda. Ia tidak menyangka jika pria ini akan melamarnya di depan sang kakek. Sesepuh sekaligus orang yang paling disegani di keraton ini.

“Ay, kali ini aku memintamu dengan cara baik-baik. Aku ingin menikahimu dengan cara yang baik pula. Bukan karena aku merenggut kesucianmu dan kebahagiaanmu seperti dulu. Banyak hal sulit yang sudah kita lalui bersama. Aku yang terlalu bodoh karena tidak pernah menyadari jika Tuhan menjadikanmu takdirku,” tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pria ini benar-benar membuat perasaannya kacau setiap hari. Dia yang brengsek saja tetap ia cintai, apalagi berubah menjadi selembut dan sebijaksana ini. Terlebih, Nanda mengatakan banyak kalimat indah di hadapan kakeknya.

“Ay, boleh ‘kan kalau aku menjadi suamimu lagi?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah kakeknya, meminta persetujuan darinya. Karena pernikahan sebelumnya, dilangsungkan tanpa persetujuan dan restu keluarganya. Ia ingin pernikahannya kali ini mendapat restu dari semua keluarga hingga membuatnya bisa menjalani rumah tangga dengan tenang dan bahagia.

“Kamu mencintai pria ini atau tidak?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Ayu mencintai Nanda, Kek,” jawab Ayu sambil menatap wajah Sri Sultan.

“Kalau begitu ... ulang tahun kakek yang ke sembilan puluh kali ini, berikan hadiah pernikahan kalian!” pinta Sri Sultan.

“Sungguh?” Ayu menatap wajah Sri Sultan dengan mata berbinar. “Kakek akan merestui pernikahan kami?”

Sri Sultan mengangguk. “Kamu sudah banyak menderita beberapa tahun ini. Dosamu sudah kamu tebus. Jika bersama pria ini bisa membuatmu bahagia, Kakek tidak akan menghalangimu.”

Ayu tersenyum dan memerosotkan tubuhnya. Ia bersimpuh di hadapan Sri Sultan dan bersujud di bawah kaki kakeknya itu. “Kakek, maafkan Roro Ayu karena pernah menjadi aib dan mempermalukan seluruh keluarga keraton. Maafkan Ayu karena tidak menjadi anak yang berbakti, tidak bisa menjaga nama baik keluarga dan melukai semuanya.”

Sri Sultan mengangguk sambil menyentuh lembut pundak Ayu. “Hal yang sudah berlalu, sesalilah untuk membuatmu lebih baik di masa depan! Hari ini ... pria yang dahulu mengambilmu dari keluarga tanpa permisi, datang baik-baik ke hadapan kakek dan memintamu dengan tulus. Maka, jangan sia-siakan pria yang kamu cintai agar kamu tidak akan menyesal di masa depan.”

Ayu menganggukkan kepala sambil menitikan air mata.

“Saat kamu sudah berumah tangga, jadilah istri yang berbakti. Baik-buruknya suami, kamulah yang akan menjaga namanya. Rumah tangga itu bukan tentang keindahan, Nak. Bukan tentang kebahagiaan. Tapi tentang rasa sakit dan bertahan hidup. Kamu tidak lagi bisa memikirkan dirimu sendiri, tapi harus merelakan jiwa ragamu untuk memikirkan suami, anak-anak kalian dan keluarga,” ucap Sri Sultan sambil menatap Ayu yang masih sungkem di hadapannya.

Nanda tersenyum. Ia ikut berlutut di hadapan Sri Sultan dan melakukan sungkem bersamaan dengan Ayu. Memohon restu agar ia dan Ayu bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus bersembunyi dari semua orang.

 

...

Nanda melangkahkan kakinya perlahan sembari menggandeng tangan Ayu. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan malam di sekitar keraton. Sebelah kanan-kiri mereka penuh dengan penjual jajanan dan souvenir oleh-oleh khas kota itu.

“Hei, udah pada baikan!?” seru Nadine sambil menepuk pundak Ayu.

Ayu langsung mengelus dada sambil menoleh ke arah Nadine. “Kamu ini ngagetin aja, sih!?”

Nadine langsung meringis sambil merangkul Rocky yang ada di sebelahnya. “Ikut pacaran, dong!”

“Emang kalian berdua pacaran?” tanya Nanda sambil menunjuk wajah Rocky.

“Kami bukan pacar, tapi pacaran setiap hari!” sahut Rocky sambil menepis tangan Nanda.

“Hahaha.”

“Kapan merit? Kayaknya, kalian ini pacarannya udah lama, ya?”

“Kami udah merit, Nan. Tapi belum resepsi aja,” sahut Rocky.

“Oh.” Nanda manggut-manggut. “Enak juga sih kalau udah sah. Terus, kapan rencana resepsinya?” tanya Nanda.

“Masih lama. Banyak yang harus diurus, Nan. Dikira nyiapin pernikahan itu gampang apa?”

“Gampang. Tinggal telepon vendor aja!” sahut Nanda sambil tertawa kecil.

“Kamu duluan kalau gitu!” pinta Rocky.

“Sebentar lagi,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya. Ia langsung merangkul tubuh Ayu dan mengecup kening wanita itu.

“Hei, pacaran tuh kayak gini!” tutur Rocky sambil mengecup bibir Nadine. “Kayak anak SMP aja pacaran kecup kening.”

“Apaan, sih!? Tempat umum ini banyak anak kecil,” dengus Nadine sambil menoyor wajah Rocky.

Rocky tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di leher Nadine dan menarik ke ketiaknya. “Mau makan apa?”

“Apa aja, yang penting sama kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum menatap wajah Rocky.

“Kita makan sate aja, yuk!” ajak Rocky.

“Sate di Surabaya banyak,” sahut Nadine.

“Jadi, mau makan apa? Laper, nih.” Rocky mengedarkan pandangannya sambil mengelus perut dengan satu tangannya.

“Nasi goreng aja, Ky,” sahut Nanda.

“Nasi goreng di rumah juga bisa bikin,” sambar Ayu.

Rocky dan Nanda menghela napas menatap dua wanita milik mereka itu. “Kalian ini mau ngajak gelud, ya?”

Ayu dan Nadine terkekeh bersamaan.

“Kita makan orang aja, Nan!” ajak Nanda. “Di Surabaya belum ada warung makan yang sediain menu manusia goreng. Di sini ada, nggak?”

“Ada. Kalau kamu yang digoreng,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.

Nanda tertawa mendengar ucapan Rocky. Ia merangkul Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu kedai Gudeg Ceker yang terkenal dan sangat legendaris di kota Solo.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda yang masih terus memeluknya. “Kamu tahu tempat ini?”

Nanda mengangguk. “Waktu itu nyari-nyari makan di sekitar sini sama Karina. Lumayan viral di internet dan rasanya emang enak.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pandangannya langsung teralih pada sepasang muda-mudi yang duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di sana. “Itu ... Mbak Karina sama Mas Enggar ‘kan?” tanya Ayu.

Nanda langsung memutar kepalanya. “Iya. Sejak kapan mereka deket?” Ia mengernyitkan dahi ke arah Karina dan Enggar yang sedang asyik berbincang hingga tak menyadari kehadiran mereka.

Ayu menggelengkan kepala. “Kenapa? Cemburu?”

Nanda menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku cemburu kalau kamu sama si cowok bangsawan itu.”

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda. “Kenapa kamu jadi cemburuan gini?”

“Aku nggak cemburu, cuma takut kehilangan kamu,” bisik Nanda.

Ayu tersenyum sambil menyubit kecil perut Nanda. “Gombal terus!”

“Kalian ini ... mau pesen makan atau mau mesra-mesraan? Kalau mau mesra-mesraan, ke hotel aja!” tanya Rocky yang sudah berdiri di belakang Nanda bersama Nadine.

Nanda tertawa kecil dan menatap penjual makanan yang sedang menghidangkan makanan untuk pelanggan mereka. “Bude, pesen gudeng cekernya empat porsi. Antar ke meja sana, ya!” pintanya sambil menunjuk meja dan kursi panjang yang diduduki oleh Enggar dan Karina. Ia langsung mengajak Rocky dan dua wanita mereka untuk bergabung di sana.

“Ciyee ... pacaran?” goda Nanda sambil menghampiri Karina.

Karina tersenyum malu sambil menyikut tubuh Nanda yang sudah duduk di sampingnya. “Apaan, sih!?”

“Malu-malu gitu?” Nanda menunjuk wajah Karina yang memerah dan semakin bersemangat untuk menggoda wanita itu.

Karina mengerutkan hidung ke arah Nanda. “Nggak usah ngecengin! Aku sama Mas Enggar cuma ngomongin rencana bisnis.”

“Ngomongin rencana bisnis apa? Bikin anak?” tanya Nanda.

“Hahaha.” Rocky langsung tergelak mendengar pertanyaan Nanda. “Bener-bener. Bikin anak juga bagian dari produksi. Masuk kategori bisnis, tuh.”

“Rocky seneng banget kalau disuruh bisnis anak!” sahut Nanda sambil tertawa.

“Hahaha. Anak-anakku udah banyak, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya. “Kita kapan punya anak lagi?”

“Setelah kita sah, ya! Jangan buat masalah lagi! Oke?” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

Rocky menahan tawa sambil menatap wajah Nanda yang ada di depannya. “Kenapa? Barangmu udah karatan karena tiga tahun lebih nggak pernah diasah?”

“Ck. Kamu jangan gitu, dong! Sekali diasah, keluarnya anak!” sahut Nanda.

“HAHAHA.”

Semua orang tergelak dan menikmati makan malam mereka penuh suka cita sembari membicarakan banyak hal.

Ayu tersenyum sambil menatap semua orang yang sedang bersamanya satu per satu. Baru kali ini, ia merasa hidupnya begitu ramai. Biasanya, Nanda tidak pernah mengajaknya pergi makan bersama seperti ini selain acara perjamuan keluarga atau rekan bisnisnya. Bisa bercanda tanpa jeda seperti ini, barulah ia merasa hubungannya dengan Nanda tak lagi berjarak.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas