Wednesday, August 17, 2022

Bab 68 - Suka Cara Cemburumu

 


Ayu memalingkan wajahnya saat wajah Nanda semakin mendekatinya.

“Ay, kamu kenapa cuekin aku? Bahkan, pelayanmu juga ikut ketus sama aku,” tanya Nanda sambil menarik dagu Ayu agar menatapnya.

“Kamu pikir aja sendiri!” sahut Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dan duduk di kursi panjang yang ada di dalam kamarnya.

“Aku udah mikir berhari-hari dan aku masih nggak tahu kenapa kamu berubah. Apa karena ada pria bangsawan itu yang selalu ada di samping kamu. Kamu udah lupa sama aku, sama janji kita?” sahut Nanda.

Ayu mengernyitkan dahi menatap Nanda. “Kenapa jadi bawa-bawa Mas Enggar?”

“Karena kamu sama dia itu narinya mesra banget. Pegang-pegangan tangan. Dia nggak pake baju dan kamu cuma pake kemben doang gitu. Nggak mungkin nggak nafsu kalau sering bersentuhan kulit kayak gitu!” sahut Nanda kesal.

“Aku kayak gitu karena profesionalitas aku sebagai penari. Mana mungkin kami nari pasangan kayak orang musuh-musuhan. Sedangkan kamu, kamu bisa mesra-mesraan, rangkul-rangkulan dan ketawa-ketiwi sama cewek lain di tempat umum. Aku tuh capek sama kamu, Nan. Kamu bilang sayang ke aku, tapi bilang sayang juga ke cewek lain!” seru Ayu tak mau kalah.

Nanda terdiam menatap wajah Ayu. “Kamu lihat aku di mana?”

“Kenapa? Kaget? Mentang-mentang aku lagi dihukum nggak boleh keluar keraton, kamu bisa seenaknya aja jalan sama cewek yang kamu mau? Bagus, Nan. Kamu bikin aku menyesal bertubi-tubi karena udah percaya sama cowok brengsek kayak kamu!” sahut Ayu sambil menatap tajam ke arah Nanda.

“Aku nggak jalan sama siapa-siapa, Ay. Aku cuma ngurus bisnis dan nggak deket sama siapa pun. Kamu jangan salah paham dulu, dong!” pinta Nanda sambil meraih lengan Ayu dan berusaha membujuknya.

Ayu menepis kasar tangan Nanda. “Jelas-jelas kamu bawa perempuan itu masuk ke sini. Masih nggak mau ngaku!?”

“Eh!?” Nanda melongo mendengar ucapan Ayu. “Maksud kamu ... Karina?”

“Siapa lagi!?” dengus Ayu kesal.

Nanda tergelak sambil menatap wajah Ayu.

“Kenapa malah ketawa, sih!? Lucu?” seru Ayu makin kesal.

Nanda mengangguk sembari menahan tawa. “Kamu lucu banget kalau lagi cemburu kayak gini. Biasanya, nggak pernah kayak gini. Dulu aku punya banyak pacar, kamu nggak pernah ngambek kayak gini.”

Ayu menyeringai kesal ke arah Nanda. “Ya udah, kita balik aja kayak dulu lagi! Banyakin aja pacarmu, BANYAKIN!” sahutnya. “Dan aku bersumpah aku nggak akan pernah cin—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan, Ay! Aku lebih suka kamu yang sekarang,” sahut Nanda sambil merapatkan tubuhnya dan menatap lekat mata Ayu. “Aku lebih suka kamu yang bawel, kamu yang bisa ngata-ngatain aku, kamu yang bisa marah dan cemburu seperti ini.”

Ayu terdiam sembari membalas tatapan Nanda yang terasa begitu hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. “Oh, God! Otakku kenapa? Stupid banget!” batinnya sambil berusaha melepaskan diri dari Nanda yang sudah merangkul pinggangnya. Namun, ia malah mematung dan tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Otaknya benar-benar tidak bisa bekerja dengan baik dan tidak mengerti mengapa tatapan mata pria ini membuatnya lumpuh.

Nanda menatap lekat mata Ayu. Ia mengelus lembut pipi wanita itu dan mengecup lembut bibir mungilnya.

Ayu menelan saliva dan hanya mematung saat Nanda mengecup lembut bibirnya. Tangannya mengepal erat dan ingin memukul Nanda sepuasnya. Tapi semua itu tidak bisa ia lakukan. Ia lebih sibuk melawan dirinya sendiri yang ingin membenci Nanda, tapi tetap tidak bisa. Cinta ... benar-benar membuatnya sangat bodoh.

“Udah ya, marahnya!” pinta Nanda sambil merapikan anak rambut Ayu. “Kita udah terlalu lama berpisah, sudah terlalu banyak hal yang dikorbankan. Waktu, tenaga, pikiran dan semuanya. Aku nggak mau kalau hubungan kita berakhir hanya karena kesalahpahaman. Aku ingin ...cinta kita tidak pernah berakhir meski dunia ini sudah berakhir.”

Ayu menatap wajah Nanda dan bulir air matanya jatuh begitu saja.

“Ay, kalau kamu cinta sama aku ... kamu percaya sama aku! Aku berani bersumpah, nggak ada wanita lain selain kamu di hatiku saat ini dan sampai mati,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Terus, siapa cewek yang selalu sama kamu itu, Nan?” tanya Ayu. Hatinya benar-benar sulit untuk diyakinkan karena masa lalu Nanda yang begitu mengesalkan.

“Dia ... sudah seperti adikku sendiri. Sebenarnya, aku dan Karina dipaksa untuk melakukan pernikahan bisnis.”

“Tuh, kan?” Ayu langsung menepis kedua tangan Nanda dan melangkah pergi dengan mengentakkan kakinya. Sepertinya, tidak ada hal dalam diri Nanda yang tidak pernah membuatnya kesal.

“Ay, dengerin aku dulu!” Nanda langsung menahan tubuh Ayu dan memeluknya dari belakang. “Aku janji, akan melawan semua orang untuk mempertahankan hubungan kita. Meski harus mempertaruhkan nyawaku, aku akan melakukannya. Please, kasih aku kesempatan untuk memperjuangkanmu ... sekali lagi!” pintanya lirih.

Ayu terdiam sejenak dan membalikkan tubuhnya menatap Nanda. “Gimana cara kamu meyakinkan aku kalau kamu nggak akan selingkuh lagi?”

“Kamu mau aku ngelakuin apa supaya kamu percaya sama aku?” tanya Nanda.

“Mmh ...” Ayu berpikir sejenak sambil melangkahkan kaki, mondar-mandir di hadapan Nanda.

Wajah Nanda seketika menegang saat Ayu terlihat begitu serius meminta pembuktian darinya. Ia harap, permintaan Ayu masih wajar dan bisa untuk ia penuhi.

“Mmh ... di belakang kamarku ini ada kolam. Aku mau ... kamu berendam selama tiga hari tiga malam di sana!” ucap Ayu sambil menatap jahil ke arah Nanda.

“Oke. Aku akan lakuin itu. Sekarang?” tanya Nanda lagi.

Ayu mengedikkan bahunya. “Tahun depan juga nggak papa.”

“Nggak kawin-kawin kita kalau masih harus nunggu tahun depan,” celetuk Nanda.

“Emangnya aku mau kawin sama kamu?” dengus Ayu sambil mengerutkan hidungnya.

“Heleh ... sok gengsi! Dicium aja keenakan, masa dikawinin nggak mau?” goda Nanda.

“Iih  ... kamu!?” Ayu mendengus kesal sambil memukul pundak Nanda.

Nanda terkekeh geli. Ia terus menggoda Ayu dan menikmati wajah wanita itu yang merona merah dan terlihat sangat menggemaskan di matanya.

 

...

 

Di tempat lain ...

Enggar mengajak Karina untuk duduk di salah satu pendopo yang ada di bagian kanan sayap keraton tersebut. Pendopo itu tepat berada di atas kolam air yang dipenuhi ikan-ikan hias berukuran besar dan daun teratai yang tumbuh indah.

“Mmh, kamu bilang ... kamu punya tawaran bisnis untuk aku. Kamu bisnis apa?” tanya Karina sambil menatap wajah Enggar.

Enggar tersenyum sembari mengangkat teko berisi teh hangat dan menuangkannya ke dalam gelas. Kemudian, mengulurkannya ke arah Karina. “Saya dengar, Dua Permata adalah perusahaan yang memiliki banyak pabrik di beberapa kota di Jawa Timur. Saya biasa menjual bahan-bahan mentah untuk kebutuhan pabrikmu. Akan saya kasih harga yang lebih murah dari supplier lain dengan kualitas lebih baik.”

Karina mengernyitkan dahi menatap Enggar. “Aku sudah lama berkecimpung dalam dunia bisnis. Barang berkualitas, tidak mungkin dijual dengan harga murah. Cara mendapatkannya saja susah. Aku tidak bisa ditipu dengan iming-iming harga murah karena aku lebih mementingkan kualitas.”

“Kalau mau yang kualitas lebih baik dan lebih mahal lagi, juga ada,” tutur Enggar sambil tersenyum menatap wajah Karina.

“Yang benar yang mana?” tanya Karina lagi.

Enggar menghela napas sambil menatap wajah Karina. Entah mengapa, membicarakan bisnis dengan wanita ini tiba-tiba menjadi hal sulit. Wajah cantik Karina, benar-benar membuat pikirannya teralihkan begitu saja dan tidak fokus saat diajak bicara.

Karina tersenyum sambil menatap wajah Enggar. “Kalau kamu ingin mengajakku berbisnis. Kamu harus bisa menyampaikannya dengan harga dan kualitas yang masuk akal!” pintanya.

“Mmh ... aku tidak begitu suka menyia-nyiakan niat baik orang lain. Karena kamu sudah memberiku secangkir teh, aku akan memberimu kesempatan untuk menjalin bisnis denganku. Aku mau lihat sampel bahan-bahan baku milikmu lebih dulu. Barulah aku akan menentukan, kita bisa menjalin kerjasama bisnis atau tidak,” ucap Karina sambil tersenyum menatap Enggar.

Enggar balas tersenyum. Ia mengajak Karina untuk membicarakan rencana bisnis masa depan dan membuat pembicaraan mereka masuk ke dalam kehidupan pribadi masing-masing.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau author update-nya tengah malam. Udah kayak hantu aja, yak? Hihihi.

 

 

Stay with love and me ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas