Wednesday, August 17, 2022

Bab 37 - Hukuman untuk Nanda

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediaman depan keraton. Ia baru bisa memasuki keraton setelah mempelajari rentetan syarat dan aturan yang harus ia terapkan ketika ingin memasuki tempat tersebut. Ia hanya boleh memasuki area yang sudah ditunjukkan oleh abdi dalem di istana tersebut dan diawasi oleh dua pengawal di kanan dan kirinya.

“Selamat sore, Raden Mas ...! Saudara Ananda Putera Perkasa ingin menghadap,” sapa seorang abdi dalem sambil menangkup kedua tangannya dan membungkuk sopan.

Edi langsung mengangguk kecil dan menatap tubuh Nanda yang sudah membungkuk sopan di belakang abdi dalem keraton tersebut. Ia memberi isyarat pada semua orang-orangnya untuk meninggalkan ia dan Nanda berdua saja.

“Ada perlu apa cari saya?” tanya Edi sambil duduk santai di pendopo yang ada di sana. Ia masih membiarkan Nanda berdiri di bawah teriknya matahari sore.

Nanda menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah Edi Baskoro. “Ayah ... tolong maafkan aku! Di mana aku bisa menemukan istriku?”

Edi langsung melemparkan dokumen ke hadapan Nanda begitu saja.

Nanda menatap kop dokumen yang menunjukkan logo dan tulisan nama pengadilan agama setempat. Tangannya bergetar ketika ia ingin meraih dokumen yang tergeletak di lantai di bawahnya.

“Itu surat pembatalan pernikahan dari pengadilan agama. Dia bukan istrimu lagi. Tidak perlu tahu di mana keberadaan Roro Ayu!” tegas Edi sambil menyesap teh hangat yang disiapkan untuknya.

Nanda menjatuhkan lututnya yang melemas. Surat pembatalan pernikahan begitu cepat keluar dari pengadilan. Ia tidak menyangka jika ayah mertuanya tetap bersikeras memisahkan mereka.

“Kamu tidak perlu takut soal harta keluargamu. Sebelum Roro Ayu masuk rumah sakit, dia sudah mengirim surat permohonan untuk meringankan tuntutan terhadapmu. Berterima kasihlah karena puteriku masih mengasihanimu. Sekarang, kamu bukan suaminya lagi dan tidak perlu mencari keberadaan dia,” tutur Edi sambil melirik tubuh Nanda.

Nanda menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi ayah mertuanya itu. “Ayah ... Roro Ayu masih koma. Aku ingin menjaga dia.”

“Tidak perlu! Kami bisa menjaga dan merawat dia!” tegas Edi.

“Tapi ...”

“Pulanglah! Meski kamu berlutut di halaman ini selama tujuh hari tujuh malam, aku tidak akan memberitahukan di mana keberadaan puteriku. Urus saja perempuan-perempuan gilamu itu dan tidak perlu muncul di hadapan puteriku lagi!” perintah Edi.

“Ayah ... kasih aku kesempatan sekali lagi! Aku mohon ...!” pinta Nanda.

“Kamu minta setengah kesempatan saja, aku tidak akan memberikannya. Apalagi sekali. Tidak ada orang lain yang bisa mencintai puteriku melebihi aku. Aku tidak akan percaya kata-katamu. Sekali kamu menyakiti puteriku, aku akan menghancurkanmu berkali-kali. Kalau kamu tidak segera pergi dari keluarga kami, aku akan mengajukan tuntutan yang lebih berat pada keluargamu!” sahut Edi.

“Aku akan berikan apa pun yang Anda mau asalkan aku bisa bertemu dengan Ayu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum miring. “Kalau kamu mencintai puteriku, kamu akan menemukan dia dengan caramu sendiri.”

Nanda terdiam sambil berusaha mencerna kalimat terakhir dari mulut Edi.

Suasana tiba-tiba hening untuk beberapa saat hingga Edi bangkit dari duduknya. “Pergilah! Seluruh hidup dan harta keluargamu, tidak akan cukup untuk menggantikan penderitaan puteriku. Kalau bukan karena kebaikan Roro Ayu, aku sudah membunuhmu!” tegasnya sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda seorang diri.

Nanda terduduk lemas di pelataran pendopo keraton tersebut. Ia sudah menunggu selama dua hari untuk bertemu dengan Ayah Edi dan ia masih tidak bisa mendapatkan informasi keberadaan Roro Ayu.

Nanda berusaha bangkit dari tanah dan melangkah perlahan meninggalkan keraton tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana ia pergi mencari Roro Ayu. Ia benar-benar tidak menyangka jika keluarga keraton itu menyembunyikan istrinya yang sedang dalam keadaan koma. Lebih sulitnya lagi, aturan sakral keraton kesultanan, membuatnya tidak berdaya.

Nanda masuk ke dalam mobil. Tapi enggan menyalakan mesin mobil tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya sembari terus berpikir. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan data ke mana jet pribadi yang membawa tubuh istrinya itu. Jika keluarganya tidak membuka akses untuknya, maka ia harus mencari jalan sendiri.

“Jet pribadi dikuasai sama keluarga Hadikusuma. Aku harus ke sana!” ucap Nanda setelah ia berpikir selama beberapa saat. Ia segera menyalakan mesin mobil dan bermanuver dengan cepat untuk kembali ke kota Surabaya.

Beberapa jam kemudian, Nanda sudah sampai di kota Surabaya. Ia langsung menuju kediaman besar keluarga Hadikusuma yang ada di wilayah Virginia.

“Nan, tumben ke sini?” tanya Rocky yang kebetulan sedang melangkah keluar dari rumahnya.

“Orang tuamu ada?” tanya Nanda.

“Baru aja berangkat ke Washington,” jawab Rocky. “Ada perlu?”

“Aku mau tanya soal ... jet pribadi keluargamu. Apa ada yang sewa dua hari terakhir ini?” tanya Nanda.

“Setiap hari ada yang sewa. Kecuali jet yang dipakai Ayah Ye. Ada masalah?” tanya Rocky.

Nanda langsung menceritakan kesulitannya dan meminta bantuan pada Rocky untuk menemukan di mana keberadaan Roro Ayu.

“Bentar, aku tanya orang yang urus di airport,” ucap Rocky sambil membuka ponselnya. “Aku kirim dalam lima menit. Aku buru-buru, ada masalah di bengkel,” ucapnya sambil membuka pintu mobilnya.

Nanda mengangguk. “Thank’s, Ky!”

Rocky mengangguk. “Kalau perlu bantuan, calling aja! Aku urus bengkel aku dulu!”

Nanda mengangguk. Ia melambaikan tangan ke arah mobil Rocky yang mulai meninggalkan halaman rumah tersebut.

Nanda tersenyum lega saat Rocky mengirimkan file ke ponselnya. “Britania Raya?” Ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi ke rumah untuk menyiapkan semua keperluannya.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda mengernyitkan dahi saat ada panggilan telepon dari papanya. Ia tahu, sang papa hanya akan meneleponnya jika ada masalah penting saja. Nanda segera mengunci pintu rumah, menarik koper miliknya menuju mobil sembari menjawab panggilan telepon dari papanya.

“Ada apa, Pa?”

“Kamu di mana?” tanya Andre.

“Di rumah.”

“Roro Ayu sudah ketemu?”

“Dibawa ke Inggris. Aku mau nyusul ke sana.”

“Tahu rumah sakitnya?” tanya Andre.

“Belum, Pa. Aku akan cari setelah sampai di sana,” jawab Nanda sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobilnya.

“Sepertinya kamu nggak bisa keluar dari Indonesia.”

“Kenapa?” tanya Nanda.

“Ada surat panggilan dari kepolisian. Ini panggilan kedua, Nan. Datanglah! Jangan menyulitkan papa lagi!” pinta Andre.

“Panggilan apa?”

“Roro Ayu masih belum menarik tuntutannya.”

“Pa, ada pengacara ‘kan? Kenapa mereka nggak bisa atasi?” sahut Nanda. Ia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri karena masalah bertubi-tubi menimpanya dan tidak bisa ia hentikan.

“Sudah, Nan. Jalani dulu tanggung jawabmu! Roro Ayu dibawa ke luar negeri untuk berobat. Kalau hari ini kamu tidak kooperatif dan datang ke kantor polisi, kamu akan dijemput paksa dengan cara tidak terhormat,” tutur Andre.

“Pa, Papa tega biarin aku masuk penjara di saat kayak gini?” tanya Nanda dengan perasaan tak karuan.

“Bertanggungjawablah! Semua media sudah mengangkat beritamu, Nan. Saham perusahaan kita sedang dalam bahaya. Jalani hukumanmu! Belajarlah bertanggung jawab. Maafkan Papa karena tidak bisa melindungimu.”

Tubuh Nanda merosot ke lantai begitu saja. Ia benar-benar tidak menyangka kalau hidupnya akan seberantakan ini. Dalam diamnya, Roro Ayu telah mengumpulkan banyak bukti untuk menuntutnya dengan pasal berlapis. Pasal pelecehan seksual, pernikahan paksa dan perselingkuhan. Membuatnya harus menghadapi tuntutan pidana dan perdata, harus berhadapan dengan komnas perlindungan anak dan perempuan. Juga masih harus menjalani tuntutan hukum adat dari keluarga keraton.

Bermasalah dengan keluarga bangsawan, benar-benar menghancurkan hidupnya dan membuatnya harus mendekam di penjara. Tidak ada yang bisa mencabut tuntutan itu selain Roro Ayu sendiri, sayangnya wanita itu sedang dalam keadaan koma dan Nanda tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memohon. Dia ... harus menebus kesalahan yang ia lakukan pada Ayu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Semua perbuatan, harus dipertanggungjawabkan. Itulah yang harus dilakukan Nanda saat ini. Menebus semua kesalahannya pada Roro Ayu. Wanita yang sudah ia lukai mental dan masa depannya]

Baca terus kisah seru selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas