Wednesday, August 17, 2022

Bab 66 - Pertemuan yang Menyesakkan

 



Nanda tersenyum penuh percaya diri saat ia dan Karina berhasil masuk ke dalam Keraton Surakarta dengan alasan untuk melakukan ekspansi bisnis.

“Rin, kenapa nggak dari dulu aja aku masuk ke keraton ini dengan alasan bisnis?” tanya Nanda lirih sambil mengikuti dua pengawal keraton yang sudah berjalan lebih dulu di hadapan mereka.

“Kamu aja yang bego. Otak tuh dipake! Bukan buat pajangan doang!” sahut Karina.

“Sialan kamu, Rin!” celetuk Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, mungkin karena terlalu banyak mikirin Ayu. Sampe nggak kepikiran yang lain.”

“Gayamu, Nan!” sahut Karina sambil menoyor pundak Nanda.

“Eh!? Sst ...!” Nanda meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kita di keraton, Rin. Harus jaga sikap dan elegan!”

“Oh, iya.” Karina menarik napas dan menegakkan tubuhnya. Ia memasang sikap elegan dan melangkah mengikuti pengawal keraton memasuki aula pertemuan yang ada di halaman muka keraton tersebut.

“Selamat pagi, Tuan ...!” sapa Karina begitu ia memasuki aula tersebut dan disambut oleh seorang pria paruh baya yang tak asing lagi di mata Nanda. Pria itu adalah Edi Baskoro, mantan mertuanya.

“Pagi ...! Dengan Mbak Karina dari PT. Dua Permata?” balas Edi Baskoro sembari mengulurkan tangannya ke arah Karina.

Karina mengangguk dan membalas uluran tangan Edi Baskoro. “Karina Permata, Tuan. Ini rekan saya, Ananda Putera,” ucapnya sembari menoleh ke arah Nanda.

Edi Baskoro langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Salam kenal ...!”

“Salam kenal, Tuan ...!” balas Nanda. Ia tersenyum manis sembari membalas uluran tangan Edi Baskoro. Ia hanya bisa meringis ketika mantan papa mertuanya itu mencengkeram tangannya begitu kuat.

“Silakan duduk!” pinta Edi Baskoro dengan sopan sembari menunjuk kursi tamu yang sudah tersedia di sana.

Karina dan Nanda mengangguk bersamaan. Mereka segera duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka. Beberapa orang pegawai istana juga sudah berkumpul di aula pertemuan tersebut.

“Selamat pagi semuanya ...!” sapa Edi Baskoro membuka pembicaraan di aula tersebut. “Hari ini kita kedatangan tamu istimewa untuk membicarakan hubungan bisnis dari PT. Dua Permata milik Ibu Karina. Sebelum kita membicarakan bisnis lebih lanjut, mari kita sambut kedua tamu istimewa ini dengan tarian pembuka yang akan dibawakan oleh sepasang penari legendaris di kalangan bangsawan kami. Yakni, Raden Mas Enggar Perkasa Dierjaningrat dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

Nanda langsung memutar kepalanya begitu mendengar nama dua orang itu disebut. Ia langsung bangkit dari tempat duduk dan berusaha mencari keberadaan istrinya itu.

“Nan ...!” Karina langsung menarik lengan Nanda agar kembali duduk di sisinya.

Nanda menoleh sekilas ke arah Karina dan duduk kembali di kursinya. Dua manik matanya langsung tertuju pada tubuh Roro Ayu yang muncul dari balik pintu besar di belakang singgasana yang diduduki oleh Edi Baskoro.

Kedua tangan Nanda mengepal erat saat melihat Ayu dan Enggar menarikan tarian Selamat Datang dengan pakaian tradisional yang sangat terbuka baginya. Enggar hanya mengenakan celana dan jarik motif parang yang khas dengan aksesoris tradisional yang terbuat dari emas asli. Sedangkan Ayu, menggunakan kemben warna hijau ala Nyi Ratu Kidul dan jarik bermotif sama dengan yang digunakan oleh Enggar.

Ayu terdiam sejenak saat manik matanya menangkap tubuh Nanda yang sedang duduk berpegangan tangan dengan Karina. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Enggar sembari mengikuti irama musik yang menguasai ruangan tersebut. Ia benar-benar kesal karena Nanda masih punya keberanian untuk masuk ke dalam keraton itu menggunakan hubungan bisnis bersama dengan wanita simpanannya.

Lima belas menit kemudian, Ayu mengerjapkan mata saat ia dan Enggar hampir menyelesaikan tariannya. Pandangannya tiba-tiba memburam dan kepalanya sedikit pening. Ia langsung memutar tubuhnya menuju pintu belakang dan berusaha mempercepat langkahnya. Tapi, pandangan matanya semakin buruk dan membuatnya tidak bisa melihat apa pun.

BRUG ...!

Tubuh Ayu tiba-tiba merosot ke lantai dan tak sadarkan diri.

“AYU ...!” seru Enggar sambil berusaha menangkap tubuh Ayu.

“Ay ...!” Nanda langsung bangkit dari kursi begitu melihat Ayu tiba-tiba terjatuh saat ingin kembali ke belakang panggung. Baru saja ingin mengejar Ayu, ia langsung mengurungkan niatnya ketika Enggar sudah menggendong tubuh Ayu lebih dulu dan membawanya masuk ke dalam pintu belakang singgasana itu.

“Kenapa, Nan?” tanya Karina sambil menarik kembali lengan Nanda.

“Istriku, Rin.”

“Dia istrimu?” bisik Karina.

Nanda mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Perasaannya tiba-tiba gelisah saat melihat Ayu terjatuh di sana. Ingin sekali ia menerobos pintu besar yang membawa tubuh Ayu menghilang dari hadapannya. Tapi urusan bisnis, tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.

“Cantik banget istrimu,” bisik Karina. “Udah, nggak usah panik! Kita urus setelah urusan bisnis kita selesai,” lanjutnya seolah memahami kegundahan yang sedang melanda dada Nanda.

Nanda menganggukkan kepala. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Karina. “Kamu cari cara untuk bisa menginap di keraton ini! Penari laki-laki itu juga tamu bisnis di keraton ini dan dia bisa tinggal di sini,” pintanya.

“Eh!? Serius!?” tanya Karina sambil melebarkan kelopak matanya.

Nanda menganggukkan tegas.

Karina mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Ia mencoba bernegosiasi dengan pihak keraton agar diizinkan untuk tinggal sementara di kediaman tersebut.

 

...

“Den, Ndoro Puteri kenapa?” tanya salah satu pelayan saat melihat Enggar menggendong tubuh Ayu masuk ke dalam kamarnya.

“Pingsan. Ada minyak angin?” tanya Enggar.

Pelayan itu buru-buru mengambil minyak angin dan memberikannya ke tangan Enggar.

“Ayu ...!” panggil Enggar sembari mengenduskan minyak angin ke hidung Ayu.

Ayu mengerjapkan mata perlahan sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pening. Ia berusaha mengangkat kepalanya, tapi terasa sangat berat dan membuatnya tak bisa bergerak.

“Ayu, kamu sakit?” tanya Enggar sambil memeriksa kening dan leher Ayu yang menghangat.

Ayu menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas.”

Enggar menghela napas sambil menatap wajah Ayu.

“Den, Ndoro Puteri nggak pernah makan nasi selama satu minggu ini. Hanya minum air dan dua buah pir setiap harinya. Sepertinya, tubuhnya sudah tidak bisa menahan lagi,” bisik pelayan itu di telinga Enggar.

Enggar menghela napas dan bangkit dari tepi ranjang Ayu. “Panggilkan dokter keluarga! Biar aku siapkan sup hangat untuk Ayu,” perintahnya pada pelayan yang ada di sana.

“Siap, Den!” Pelayan itu bergegas keluar dari dalam kamar Ayu.

Enggar menatap wajah Ayu yang terlihat sangat pucat. “Apa yang terjadi denganmu sampai kamu menyiksa dirimu sendiri seperti ini? Sudah bosan hidup?”

Ayu mengangguk kecil.

“Ay, jangan seperti ini! Menyerah pada hidup, itu bukan kamu. Ayu yang aku kenal selalu energik, positif dan kuat. Kamu hidup tidak sendiri. Apa pun kesulitanmu, berbagilah! Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri.”

Ayu menggigit bibir bawahnya sembari menatap wajah Enggar.

“Aku akan buatkan sup untuk kamu. Kamu harus makan banyak! Oke? Setelah sehat, aku akan menemanimu bercerita,” ucap Enggar. Ia tersenyum manis dan segera melangkah keluar dari dalam kamar tersebut.

Enggar langsung melepaskan sumping emas di telinganya, juga beberapa aksesoris dan mahkota yang terbuat dari emas asli dan memberikan pada pengawal pribadi yang terus mengikutinya dari kejauhan. “Aku akan ke dapur keraton ini. Bawa barang-barang berhargaku ke kamar!” perintahnya.

“Siap, Tuan!”

Enggar segera melangkahkan kakinya perlahan menuju dapur keraton tersebut. Matanya terus menatap ke depan hingga ia tidak menyadari jika ada sepasang mata indah yang mengawasinya dengan penuh kekaguman. Ia hanya ingin segera memberikan asupan makanan untuk Ayu. Baginya, Ayu sudah seperti saudara perempuannya sendiri. Sebab, hubungan mereka sudah terjalin begitu lama sejak mereka masih kecil dan belajar di sanggar tari yang sama.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah setia menanti update cerita dari author yang receh ini ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas