Showing posts with label My Experience. Show all posts
Showing posts with label My Experience. Show all posts

Thursday, October 23, 2025

Berjalan di Taman Ismail Marzuki: Catatan Kecil dari Festival Literasi Nasional 2024

 


Jakarta, 10 Desember 2025

Berjalan di Taman Ismail Marzuki: Catatan Kecil dari Festival Literasi Nasional 2024

Tanggal 10 Desember 2024 menjadi salah satu hari yang tidak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah menyusuri area Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan perasaan campur aduk — antara takjub, gugup, dan bahagia. Bayangan tentang tempat legendaris yang selama ini hanya kulihat lewat layar ponsel, kini benar-benar ada di depan mata. Gedung-gedung seni berdiri megah, udara Jakarta terasa berbeda — padat, tapi penuh energi. Di sanalah, aku bersama teman-teman dari Kalimantan Timur hadir sebagai perwakilan komunitas literasi dalam Festival Literasi Nasional 2024.

Kami datang berempat mewakili komunitas: Komunitas Ladang, Yayasan Pena dan Buku, Gerobooks, dan aku sendiri dari Rumah Literasi Kreatif. Di antara lautan pegiat literasi dari seluruh penjuru Indonesia, aku merasa kecil sekaligus bangga. Kecil karena sadar masih banyak yang harus kupelajari, tapi bangga karena langkah kecil kami di tanah Borneo ternyata cukup berarti hingga membawa kami ke pusat literasi negeri.

Yang membuat perjalanan ini semakin berkesan adalah kehadiran Bapak Amien Wangsitalaja, pembina kami dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur. Sosoknya tenang, hangat, dan penuh semangat memandu kami sejak awal keberangkatan. Ia bukan sekadar pembina, tapi juga seperti ayah yang memastikan anak-anaknya tetap berani tampil, meski di tengah panggung besar yang terasa asing. Setiap kali beliau tersenyum dan berkata, “Nikmati saja prosesnya,” aku merasa tenang dan percaya diri kembali.

Berjalan di sekitar Taman Ismail Marzuki saat festival itu serasa menjelajahi ruang ide. Setiap sudut dipenuhi warna-warna buku, tawa anak-anak, dan percakapan serius para pegiat literasi yang membahas masa depan membaca di Indonesia. Di antara mereka, aku melihat bagaimana literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis — tetapi juga pergerakan sosial, kebudayaan, bahkan kemanusiaan.

Aku dan teman-teman Kalimantan berkeliling ke setiap stan, menyapa peserta dari berbagai provinsi. Ada yang memperkenalkan perpustakaan keliling di pelosok Nusa Tenggara, ada pula yang bercerita tentang upaya mereka mendirikan taman baca di pesisir Papua. Semua kisah itu seperti untaian benang yang menghubungkan kami — para penjaga cahaya pengetahuan di tempat masing-masing.

Saat sore mulai turun, kami sempat duduk di tepi taman, menatap langit Jakarta yang mulai berubah warna. Di tengah riuhnya festival, aku merenung dalam hati. Betapa jauh perjalanan ini dimulai — dari desa kecil di Kutai Kartanegara, dari perpustakaan sederhana bernama Rumah Literasi Kreatif, yang lahir dengan 50 buku pribadi dan semangat yang tak pernah padam. Kini, langkah kecil itu membawaku sampai ke panggung nasional, menyuarakan bahwa literasi di daerah juga hidup, tumbuh, dan berdaya.

Festival Literasi Nasional di Taman Ismail Marzuki bukan sekadar acara bagiku. Ia adalah pengingat tentang arti perjuangan yang sunyi — bahwa di balik setiap buku yang dibaca anak desa, ada kerja keras banyak orang yang percaya bahwa pengetahuan bisa mengubah nasib. Dan aku salah satu di antaranya, yang memilih untuk tetap berjalan, meski jalan literasi sering kali sepi.

Malam itu, sebelum kembali ke penginapan, aku sempat berbisik pada diriku sendiri:
“Teruslah menulis, teruslah bergerak. Karena dari langkah-langkah kecil inilah, Indonesia belajar untuk mencintai membaca.”





Wednesday, October 15, 2025

Audiensi Forum TBM Kukar ke Kantor Wakil Bupati Kukar

 


Dunia tak selalu membuatmu diam. 

Terkadang, kita merasa sangat sedih karena kehilangan sesuatu. Tapi kemudian Allah menggantinya dengan rencana yang lebih indah. 

Aku bahkan masih belum bisa benar-benar melupakan konflik internal di dalam komunitasku sendiri. Hikmahnya, aku jadi punya waktu untuk mengembangkan program lain dan tidak terkungkung dalam satu wadah saja. Salah satunya adalah Forum TBM  yang telah membawaku berjalan begitu jauh. Hingga aku tidak menyangka jika aku akan bertemu dengan orang-orang hebat lewat jalan literasi. 


Memasuki Bulan Bahasa, Ketua Forum TBM Kukar mencoba untuk membuat kegiatan literasi. Entah apa bentuk kegiatannya, saya juga belum terpikirkan. Selain sibuk dengan kegiatan Relima, aku juga sibuk membagi waktu antara pekerjan dan kegitan sosial. 

Banyak hal yang harus dihadapi oleh Forum TBM Kukar yang baru terbentuk ini. Salah satunya ialah pendanaan karena semua kegiatan membutuhkan dana. 

Setelah berdiskusi dengan salah satu anggota dewan,  kami diarahkan untuk audiensi ke Wakil Bupati Kutai Kartanegara, H. Rendi Solihin. 

Ajudan Wakil Bupati Kukar mengaturkan kami untuk audiensi di tanggal 13 Oktober pukul 15.30 WITA di ruang kerja Pendopo Wakil Bupati Kukar. 
Kukar memiliki letak geografis yang luas. Jadi, tidak bisa ditempuh dalam waktu cepat. Untungnya kami dijadwalkan sore hari, jadi masih bisa berangkat siang hari. 
Pukul 11.30 WITA, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat. Aku masih belum pasti mau menginap setelahnya atau langsung pulang ke Samboja. Tapi aku sudah menyiapkan pakaian ganti dan peralatan mandi, siapa tahu audiensi sampai malam hari dan aku  bisa menginap di Tenggarong. 
"Mak, belikan Sosis Kenjel!" anakku yang paling kecil merengek sebelum aku benar-benar berangkat. 
Aku mengiyakan meski waktu sudah semakin mepet dan aku khawatir terlambat sampai di Tenggarong. 
Belum sampai membelikan si kecil jajanan yang dia mau, tiba-tiba ia terjerungup di depan rumah. Kedua lututnya lecet dan membuatnya menangis hebat. Akhirnya, aku harus menenangkan dia lebih dahulu sebelum aku pergi. 

Aku tiba di Tenggarong pukul 14.00 WITA. Masih sempat bersantai terlebih dahulu. Jadi, aku menyusul Bunda Rawin dan Mbak Yanti yang sedang menunggu di Perpustakaan Daerah. 

Audiensi ini bertujuan untuk memperkenalkan keberadaan dan peran Forum TBM Kukar sebagai wadah komunikasi, kolaborasi, serta penguatan kapasitas pengelola taman bacaan di seluruh wilayah Kutai Kartanegara. Selain itu, forum juga menyampaikan berbagai program kerja dan rencana kegiatan tahun 2025–2026, termasuk rencana Bimbingan Teknis Pengelolaan TBM se-Kukar, Kemah Literasi Pegiat TBM, serta upaya membangun jejaring dengan lembaga pemerintah dan swasta dalam pengembangan literasi daerah

Sesuai jadwal yang telah ditentukan, aku dan teman-teman bergerak menuju Pendopo Wakil Bupati pada pukul 15.30 WITA. Kami tidak langsung bertemu Pak Wakil Bupati, karena ada beberapa organisasi yang audiensi juga. 
Kami bersantai di teras sambil membicarakan banyak hal tentang literasi. 
Pak Suparno Ghofar, pembimbing kami yang sangat humble langsung menyapa beberapa orang yang ada di sana. Kebetulan beliau adalah tokoh yang banyak dikenal dan juga banyak kenal tokoh-tokoh di sana. 
Kami tidak tahu, suasana di sana sangat riuh. Ternyata sedang ada perayaan hari ulang tahun ke-34 Pak Wakil Bupati dan beberapa OPD hadir di sana. 
Ibu Indah Guzel, mengarahkan kami untuk ikut menyantap hidangan yang tersedia. Ada dua buah tumpeng besar dan beberapa kue ulang tahun. 
Dengan malu-malu, kami masuk ke dalam ruangan untuk mengambil makanan. Tumpeng yang belum dipotong, membuat kami tidak memiliki keberanian untuk menyentuhnya. Walau bagaimanapun, kami pasti menunggu si pemilik tumpeng atau yang sedang berulang tahun-lah yang memotongnya. Akhirnya, kami hanya berani mengambil potongan-potongan buah. Menimbulkan gelak tawa ketika ajudan Pak Wakil Bupati mengetahui hal itu dan memotongkan tumpeng untuk kami semua.
Setelah menunggu giliran beberapa lama, akhirnya kami masuk ke dalam ruang kerja dan bertemu langsung dengan Bapak Wakil Bupati Kutai Kartanegara, kebetulan beliau adalah orang Samboja. Jadi, aku tidak bercerita banyak tentang Samboja karena beliau sudah pasti tahu keadaannya. 
Ketua Pengurus Wilayah Provinsi kami, Rahmad Azazi sudah berpesan bahwa audiensi tidak perlu lama-lama, mungkin sepuluh menit saja cukup. 
Tapi, rasanya kami berbicara cukup lama karena Bapak Wakil Bupati sangat terbuka untuk berdiskusi dengan Forum TBM. Kami juga didampingi oleh Plt. Kepala Perpustakaan Daerah, Ibu Rinda. 

Dalam pertemuan tersebut, Wakil Bupati Kukar menyampaikan apresiasi atas kiprah dan semangat para pegiat literasi yang telah berperan aktif dalam meningkatkan minat baca masyarakat hingga ke pelosok desa. Beliau juga memberikan sejumlah arahan dan dukungan terhadap kegiatan literasi yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, terutama yang melibatkan anak-anak, remaja, dan komunitas lokal.

Pertemuan berlangsung dalam suasana akrab dan penuh semangat kolaboratif. Forum TBM Kukar berharap hasil audiensi ini menjadi awal dari sinergi yang lebih kuat antara pemerintah daerah dan komunitas literasi, demi terwujudnya Kutai Kartanegara sebagai Kabupaten Literasi yang berdaya dan berbudaya baca.

Kami menyelesaikan pembicaraan sebelum waktu sholat magrib habis. Jadi, kami masih sempat untuk sholat magrib lebih dahulu sebelum pulang. 
Aku, Bunda Rawin, Mbak Yanti, dan Bapak Suparno Ghofar melaksanakan sholat magrib di musholla pendopo tersebut. Sedang Rahmat Azazi langsung pulang ke kota Samarinda. 
Usai sholat, kami langsung bergerak pulang ke rumah masing-masing. Awalnya, aku ingin menginap di kota Tenggarong. Tapi aku mengurungkan niatku dan langsung pulang ke Samboja. Aku sampai di Samboja pukul 23.30 WITA. Teman-teman Forum TBM terus memantau perjalananku. Mungkin, mereka khawatir karena aku harus PP Samboja-Tenggarong menggunakan sepeda motor seorang diri. 
Kami berharap, kami bisa membuat gerakan literasi di Kutai Kartanegara lebih luas lagi. Literasi bisa bergerak bersama untuk memajukan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. 


Monday, October 6, 2025

Kenangan Bersama Ketua Yayasan Sebelum Lanjut Studi Ke Jogja

 


Samboja, 19 Juli 2025



Sore itu cuaca cerah dan ceria, langit teduh dan sejuk di tepian danau Lakeview. Memberi kehangatan pada kami untuk mengantarkan perpisahan kecil bersama Rifkal Artha Yuda, ketua Yayasan Rumah Literasi Kreatif.
Acara Book Party baru saja usai, tawa anak-anak literasi masih bersisa di udara, bercampur dengan aroma senja dan kopi hitam yang menghangatkan lengan. Kami duduk melingkar, menatap air danau yang tenang, seolah menyimpan semua kisah yang baru saja kami lalui bersama.

Hari itu adalah momen terakhir kami bersama ketua yayasan Rumah Literasi Kreatif, sebelum ia berangkat melanjutkan studi S2 Keperawatan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebuah langkah besar yang kami sambut dengan bangga, tapi diam-diam juga dengan hati yang berat.

Kami tahu, perjalanan ini bukan sekadar tentang menimba ilmu, tapi juga tentang melanjutkan misi kemanusiaan dan literasi yang ia tanam di Kutai Kartanegara. Ia sering berkata, “Ilmu itu harus pulang membawa manfaat. Kalau aku belajar lebih tinggi, artinya aku sedang menyiapkan ladang manfaat yang lebih luas.”

“Rulika tetap hidup, ya,” katanya lembut.
“Literasi jangan padam hanya karena aku pergi. Kalian adalah calon ketua selanjutnya."

Kami hanya tersenyum. Kami tahu, kami belum bisa melakukan hal sebesar yang dilakukan oleh Rifkal. Kami tak memiliki keberanian menjadi seorang pemimpin yang tanggung jawabnya sangat besar. 

Kami berdiri lama di tepi Lakeview, menatap langit malam yang mulai menyingkap bintang-bintangnya. Ada rasa kehilangan, tapi juga kebanggaan yang hangat. Karena kami tahu, ketua kami bukan sekadar pergi, melainkan sedang menjemput masa depan yang lebih luas untuk kami semua.

Kini, setiap kali kami berkegiatan di Rumah Literasi Kreatif, bayangan sore di Lakeview itu selalu kembali. Tawa, obrolan, dan pesan-pesannya masih terasa hidup di antara rak buku dan langkah-langkah kecil anak-anak pembaca.

Ia mungkin sedang menulis bab baru di Yogyakarta, tapi halaman Rulika akan selalu menyebut namanya sebagai sosok yang menanam cinta pada buku, ilmu, dan kemanusiaan, jauh sebelum berangkat menjemput cita-cita.

Selamat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Kembalilah untuk sesuatu yang lebih besar lagi. Bermanfaat lebih luas lagi lewat Rulika. Rumah sederhana yang akan selalu menjadi sumber cahay literasi untuk negeri ini. 



Dari Samboja ke Tenggarong, Menjemput Ilmu di Bimtek Perpustakaan Khusus


 Tenggarong, 22 September 2025


Dari Samboja ke Tenggarong, Menjemput Ilmu di Bimtek Perpustakaan Khusus

Perjalanan kali ini terasa sedikit berbeda. Biasanya, aku dan suami hanya menempuh rute Samboja–Balikpapan atau ke Samarinda untuk urusan literasi dan kegiatan komunitas. Tapi kali ini, arah kami menuju Tenggarong, kota yang menjadi jantung budaya dan administrasi Kutai Kartanegara. Tujuannya? Menghadiri Bimbingan Teknis Penyelenggaraan Perpustakaan Khusus yang diadakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kutai Kartanegara pada 22–23 September 2025.

Dari Samboja ke Tenggarong, jaraknya memang tidak bisa dibilang dekat. Sekitar tiga jam perjalanan darat, melewati jalanan yang sebagian berliku dan berbukit. Karena acara dimulai pagi sekali, aku dan suami memutuskan menginap dulu di Rapak Lambur, sebuah keputusan bijak agar perjalanan tidak terlalu melelahkan dan kami bisa sampai di lokasi acara dengan segar.

Malam itu di Rapak Lambur terasa tenang. Angin malam menyusup lembut dari sela jendela, sementara aroma kopi buatan kakak sepupuku menenangkan pikiran. Kami sempat berbincang ringan tentang pentingnya kegiatan seperti ini, tentang bagaimana perpustakaan, tak hanya milik sekolah atau instansi besar, kini juga bisa tumbuh di tempat-tempat khusus seperti musholla, komunitas, hingga lembaga kecil yang punya semangat berbagi ilmu. Aku tersenyum, pikiranku melayang pada Taman Baca Bunga Kertas yang menjadi awal langkahku menapaki dunia literasi.

Pagi di Aula Perpustakaan Daerah Tenggarong

Pagi itu, udara Tenggarong terasa segar dan bersahabat. Seperti biasa, gedung perpustakaan daerah yang penuh warna selalu menarik perhatian. Aku langsung melangkah masuk ke dalam gedung perpustakaan begitu suami berhasil memarkirkan sepeda motor. Sedang ia menungguku di taman yang berada di area perpustakaan tersebut. Taman yang asri, nyaman dan penuh pengetahuan. 

Aula Perpustakaan Daerah berada di lantai dua. Meski aku datang terlambat, tapi acara masih belum dimulai. Aku bisa tersenyum lega. Di lantai atas, ada senyum sumringah dari Ibu Yuni yang menyambutku. Senyumannya selalu hangat kepada siapa saja.

Acara ini dihadiri oleh peserta  dari berbagai lembaga dan komunitas. Ada yang dari sekolah, dari instansi, bahkan ada beberapa pustakawan komunitas seperti aku.

Acara dibuka dengan lagu Indonesia Raya yang selalu membuat dada bergetar setiap kali dinyanyikan bersama-sama. Setelah doa dan sambutan dari oerwakilan Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kukar, kegiatan resmi pun dimulai.

Materi pertama disampaikan oleh Plt. Kepala Dinas, membahas tentang penyelenggaraan perpustakaan khusus. Rasanya seperti membuka jendela baru. Ternyata ada begitu banyak regulasi, sistem, dan inovasi yang bisa diterapkan agar perpustakaan kecil di komunitas juga bisa diakui secara formal.

Sesi kedua tak kalah menarik, narasumber dari Perpustakaan Khusus Musholla Al-Fattaah berbagi kisah inspiratif tentang bagaimana rumah ibadah bisa menjadi pusat belajar dan membaca bagi masyarakat sekitar. Aku mencatat banyak hal hari itu. Tentang promosi, inovasi, dan cara membangun program yang berkelanjutan. Terlebih perpustakaan khusus ini adalah satu-satunya perpustakaan khusus yang telah ter-Akreditasi A di wilayah Kalimantan Timur.

Hari Kedua: Menemukan Irama Baru dalam Dunia Perpustakaan

Hari kedua diisi dengan materi dari Pandu Perdana Adhi Putra, S.Sos, seorang pustakawan ahli dari Provinsi Kalimantan Timur. Topiknya tentang pengelolaan perpustakaan khusus yang lebih teknis, tapi sangat membuka wawasan. Aku jadi sadar, mengelola taman baca tak cukup hanya dengan niat baik dan rak buku seadanya. Dibutuhkan sistem, dokumentasi, bahkan promosi yang konsisten agar perpustakaan bisa terus hidup dan berkembang.

Suasana di aula terasa hangat. Para peserta saling bertukar cerita, pengalaman, bahkan menukar nomor WhatsApp untuk kolaborasi di masa depan. Aku merasa berada di tengah orang-orang yang satu frekuensi, yakni para pejuang literasi yang mungkin jarang disorot, tapi terus bekerja dengan cinta.


Pulang dengan Hati Penuh Semangat

Selesai acara penutupan, aku dan suami duduk sejenak di gazebo baca perpustakaan. Matahari sore jatuh perlahan di langit Tenggarong, sementara angin membawa aroma khas kota yang dikelilingi sungai Mahakam.

Aku menatap jauh ke depan, membayangkan bagaimana ilmu yang kudapat akan kubawa pulang ke Rumah Literasi Kreatif yang dahulu bernama Taman Baca Bunga Kertas. Bukan sekadar pengetahuan baru, tapi semangat untuk memperkuat ekosistem literasi di akar rumput.

Perjalanan tiga jam terasa ringan ketika yang kita bawa pulang bukan hanya lelah, tapi juga inspirasi.
Dan seperti biasa, suamiku tersenyum kecil di belakang kemudi, berkata pelan, “Capek ya? Tapi kamu kelihatan bahagia.”
Aku tertawa kecil sambil menatap ke luar jendela kamarku,
“Bahagia, karena setiap perjalanan selalu membawaku pulang ke mimpi yang sama, yakni rumah yang menumbuhkan cinta pada membaca.”



Salam literasi dari hati untuk masa depan bangsa.


Monday, September 8, 2025

Hasil Panitia Nekat Adakan Senam dan Jalan Santai 2025 di Desa Beringin Agung


TIING ...! 
Aku terbelalak saat melihat grup "Panitia Jalan Santai" yang sudah mati suri selama setahun, tiba-tiba muncul notifikasi. 

"Tes ... tes ...," Ibu Setyana Wardhani tiba-tiba mengirimkan pesan ke dalam grup pada tanggal 20 Agustus 2025.
"Aduh, kegiatan lagi ini?" batinku. Aku sedikit resah karena jadwalku sebagai Relima Perpusnas RI begitu padat. Aku harus pergi ke beberapa desa/kelurahan yang jauh dari tempat tinggalku. 
Meski aku khawatir, tapi aku juga senang karena ada warga yang begitu bersemangat seperti Ibu Setyana. Jadi, semuanya bisa bergerak aktif jika ada yang memulai. Terlebih, beliau adalah sosok yang lebih tua dari kami dan mampu ngemong dengan baik. 
"Apa info?" tanyaku merespon. Aku memang termasuk orang yang selalu berusaha merespon, meski hanya sederhana. Karena dicuekin itu nggak enak. Jadi, aku juga nggak mau cuekin orang meski itu cuma lewat grup chat. Aku bukan tipe orang yang sekedar membaca tanpa merespon. Karena merespon adalah salah satu cara yang paling mudah untuk menghargai seseorang. 
"Ayo cari donatur lagi buat jalan santai seperti tahun lalu!" ajak Bu Setyana. 
Aku merespon sederhana saja. Tidak berani begitu menggebu-gebu karena statusku sebagai ketua RT juga harus mengikuti maunya banyak orang. Khawatir, yang lain tidak setuju dengan keinginan kita. 
Tak berapa lama, anggota grup yang lain merespon. Mereka juga sangat bersemangat untuk menggelar kembali acara Jalan Santai seperti yang telah kita lakukan pada tahun sebelumnya. 
Bu Setyana yang mengawali rencana ini, beliau juga yang jadi donatur pertama.
Awalnya, kami pesimis karena dana yang terkumpul hanya sedikit. Tapi lama-kelamaan, dana mulai banyak dan kami bisa membeli barang untuk dijadikan doorprize. Tak hanya dalam bentuk uang, warga juga banyak yang menyumbang dalam bentuk barang. Bahkan, ada yang menyumbang hasil pertaniannya seperti cabai, sawi, bibit alpukat, dan ayam betina. 
Alhamdulillah ... doorprize yang terkumpul sangat melimpah. Ini di luar prediksi kami sebelumnya. 

Setelah dipersiapkan dengan baik, Senam dan Jalan Santai warga RT 3 dan RT 4 dilaksanakan pada hari Minggu, 07 September 2025.
Senam dan Jalam Santai dijadwalkan dimulai pada jam 07.00 WITA. Tapi, belum ada warga yang datang ke lokasi acara saat jam tujuh pagi. 
"Orang-orang pada datang atau nggak, ya? Kok, sepi?" gumam salah seorang panitia. 
Baru saja digumamkan, warga mulai berdatangan satu per satu. 
Alhamdulillah, perempatan RT 3 dan RT 4 tiba-tiba dipenuhi dengan warga, dari anak-anak sampai tua. 
Begitu Pak Kades dan Pak Babinsa sudah datang, kami langsung bersiap-siap untuk senam terlebih dahulu. 
Usai senam, kami langsung memulai kegiatan jalan santai seperti biasa dengan rute RT 3 dan RT 4 Desa Beringin Agung. Kami tidak memilih rute yang panjang, mengingat ada banyak orang tua dan anak-anak yang ikut meramaikan acara ini. 

Selain memberikan doorprize pada warga RT 3 dan RT 4 Desa Beringin Agung, panitia juga memberikan apresiasi pada warga yang mengenakan kostum unik dan heboh. 
Alhamdulillah, ada 4 orang anak yang mengenakan pakaian unik yang mendapatkan hadiah dari panitia, ditambah hadiah dari Kepala Desa yang masing-masing mendapatkan uang tunai Rp 50.000.


Kemudian, kostum terunik jatuh kepada Ibu Siti Mardiyah. Panitia memberikan hadiah khusus di luar doorprize untuk peserta dengan kostum terbaik. Terlebih, kostumnya dibuat sendiri dan sangat kreatif. 
Ada 2 hadiah khusus untuk satu orang warga perempuan dan satu orang warga laki-laki. 
Karena laki-laki tidak ada yang mengenakan kostum unik, maka hadiah diberikan kepada laki-laki yang paling bersemangat dan paling kompak gerakannya dengan instruktur senam. Oleh karenanya, hadiah untuk warga terheboh diberikan kepada Bapak Mariyanto. 


Suasana jalan santai dan pembagian doorprize berlangsung dengan meriah. Semua warga antusias dan bersabar untuk mendapatkan doorprize. Meski hadiahnya tidak besar, tapi semua warga bisa mendapatkannya. Tidak ada warga yang tidak kebagian doorprize adalah tujuan utama dari kami sebagai panitia. 

Pembagian doorprize berlangsung sampai pukul 10.30 WITA. Lebih cepat dari tahun sebelumnya yang dilaksanakan sampai adzan dzuhur. 

Usai pembagian doorprize, panitia tidak bisa langsung pulang seperti warga yang lain. Kami masih harus membereskan tempat kegiatan agar kembali bersih dan rapi seperti sebelumnya. Kami juga membagikan sisa doorprize kepada para lansia yang tidak dapat hadir ke acara ini. 
Terima kasih banyak untuk semua donatur yang sudah membantu meramaikan acara ini. Semoga semakin lancar rezekinya dan kita semua bisa bertemu lagi tahun depan. 




Catatan Digital di Hari Literasi Internasional 2025


08 September 2025 menjadi Hari Literasi Internasional yang dirayakan oleh seluruh dunia.  Sebagai Relima Perpusnas RI, tentunya sudah ada agenda yang harus dilakukan. Sehingga, aku tidak bisa membuat agenda khusus di taman bacaku sendiri.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia telah mengagendakan kegiatan webinar Hari Literasi Internasional secara daring pada pukul 07.30 WITA s.d selesai. 
Beruntungnya, aku tinggal di wilayah Indonesia Tengah. Jadi, aku tidak harus kelabakan pagi-pagi mempersiapkan semuanya. Rutinitas mempersiapkan sarapan dan keperluan sekolah sudah selesai. Aku bisa mengikuti kegiatan dengan baik. Karena jadwal audiensi Relima juga belum dilaksanakan kembali.     


Saat aku masuk, pembukaan sudah berlangsung. Tak lama kemudian, wajah familier Kang Maman muncul di layar laptopku. Memberikan sambutan pembuka, kemudian menjadi moderator untuk acara ini.
Tema tahun ini adalah “Mempromosikan Literasi di Era Digital”. Terasa sekali bahwa literasi kini bukan hanya berbicara soal membaca atau menulis, melainkan juga soal bagaimana kita memahami, mengevaluasi, bahkan menciptakan konten digital secara cerdas dan bertanggung jawab.


Dalam webinar tersebut, Kepala Perpusnas RI, E. Aminudin Aziz, mengajak kita semua pengelola perpustakaan, guru, pegiat literasi, hingga saya yang kecil ini untuk melakukan transformasi total. Perpustakaan tidak lagi boleh menjadi ruang usang penuh tumpukan buku. Kini, transformasi adalah kata kunci agar Perpusnas tetap relevan di era kecerdasan buatan.
Saya rasanya seperti mendapat sambutan hangat dari keluarga besar Perpusnas. Meskipun saya berdiri di sudut hulu Kalimantan, tapi semangat itu memancar, menembus layar dan menerangi ruang baca sederhana di rumah saya.
Salah satu pembicara berharap kita bisa membekali masyarakat, terutama anak-anak, dengan literasi kritis yang mampu mendampingi interaksi dengan teknologi seperti AI generatif. Dia mengingatkan kita bahwa AI mungkin cepat dan canggih, tetapi tidak punya kedalaman pemahaman seperti manusia. Maka dari itu, kemampuan berpikir kritis harus terus diasah, dan membaca menjadi fondasinya.
Saat melihat pemaparan tentang masa depan AI, saya langsung membayangkan betapa mengerikannya teknologi masa depan, terlebih ketika anak-anak kita tidak dibekali ilmu pengetahuan. Hampir semua pekerjaan manusia bisa digantikan oleh robot, bahkan untuk sekedar menulis cerita.
Akan lebih mengerikan lagi jika tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Bagaimana manusia bisa mengendalikan teknologi jika teknologi sudah bisa dilatih seperti manusia. Bahkan, robot AI tidak pernah merasa lelah untuk belajar banyak hal, termasuk mempelajari kebudayaan atau kebiasaan penggunanya.
Skor PISA Indonesia tahun 2022 yang dipaparkan pemateri dari UNESCO, memperlihatkan bahwa tingkat kemampuan literasi di Indonesia masih rendah. Minat baca masyarakat sudah lebih baik, tetapi kemampuan memahami bahan bacaan masih sangat rendah. Hal ini tentunya akan berdampak pada kemajuan teknologi dan perekonomian di Indonesia. Karena Indonesia tidak akan bisa bersaing dengan negara lain jika tingkat literasi masyarakatnya tidak semakin membaik. Bisa jadi, hidup masyarakat akan semakin sulit karena lapangan pekerjaan mulai digantikan dengan kehadiran robot AI. Hanya sedikit masyarakat yang memiliki kemampuan literasi dan siap menjadi bagian pencipta robot AI  masa depan.



Selain materi tentang AI dan minat baca masyarakat Indonesia. Ada juga pemateri dari Kemendukbangga/BKKBN yang memberikan materi tentang Read Aloud. Bagaimana Read Aloud memberikan dampak yang begitu besar bagi minat baca anak-anak dan menjadi salah satu program literasi yang sedang dijalankan. Read Aloud tidak hanya sekedar membaca buku, tetapi mampu mengajak anak-anak untuk memahami bahan bacaan, berpikir aktif dan kreatif, serta memberikan pengajaran moral yang baik.

Aku bersyukur bisa mengikuti kegiatan webinar kali ini karena aku bisa mendapatkan banyak ilmu dari para pemateri yang keren dan berpengalaman. Semoga, ada banyak ilmu yang bisa aku terapkan di kampungku sehingga aku bisa menjadi bagian kecil dari peningkatan literasi untuk kesejahteraan.

Terima kasih untuk keluarga besar Perpusnas RI yang telah menjadikan kami bagian istimewa karena kami bisa meninggalkan jejak-jejak kecil kami dalam upaya peningkatan minat baca.



Salam hangat,


Rin Muna
Relima Perpusnas RI Lokus Kutai Kartanegara

Tuesday, July 22, 2025

Audiensi Relima Ke Perpustakaan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara

 


Suasana Desa Rapak Lambur pagi ini lumayan syahdu. Sinar matahari tak lagi menyelinap lewat sela-sela jendela karena tertutup awan tebal. Membuatku begitu nyaman terlelap di peraduan hingga tak sadar kalau sudah pukul 06.15 WITA. 

Begitu aku membuka mata, yang terlintas di pikiranku adalah janji pertemuan dengan Sekretaris Perpustakaan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelumnya kami sudah membuat janji, sayangnya masih belum bisa bertemu. Kebetulan aku mengikuti pelatihan dari Balai Bahasa yang diselenggarakan di SMA Negeri 2 Tenggarong dan sudah menginap selama tiga malam di rumah kakakku.

Jadi, aku kembali mencoba menghubungi pihak Perpustakaan Daerah untuk bisa bertemu terkait rencana kegiatan Relima (Relawan Literasi Masyarakat) yang dibentuk oleh Perpusnas RI. 

Jadwal pertemuan sudah terkonfirmasi sejak semalam. Kami bisa bertemu pada jam sembilan pagi. 

Aku yang baru terbangun di jam enam pagi, tentunya cukup kelabakan. Sebab, aku masih harus menyiapkan sarapan pagi. Ditambah perjalanan dari Rapak Lambur ke pusat kota Tenggarong memakan waktu sekitar 45 menit. 

Usai sarapan pagi, aku langsung berpamitan dengan kakakku karena aku tidak akan pulang ke Rapak Lambur lagi. Aku langsung pulang ke Samboja. Mengingat kami sudah menginap selama 3 malam dan anak-anak di rumah sudah merindukan kami. 

Seperti biasa, aku selalu telat dari jadwal yang tengah ditentukan. Tapi aku beruntung karena pihak Perpustakaan Daerah juga masih dalam perjalanan dan kami sampai berbarengan. 

Begitu sampai di halaman Kantor Sekretariat Perpustakaan Daerah, aku langsung disambut oleh senyuman merekah dari Pak Fatoni. Beliau memang murah senyum. Bahkan sepertinya saat marah pun, wajahnya akan selalu tersenyum. Dia menyambutku dengan ramah dan mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah ditentukan. 

"WAAAH ...! DI SINI RUANGANNYA?" 
Kalimat itu spontan keluar dari bibirku saat melihat ruang diskusi atau ruang podcast yang design-nya sangat khas. Aku sering melihatnya di media sosial dan beberapa kegiatan pameran OPD. 

Beberapa menit kemudian, Ibu Yuli masuk ke ruangan. Menyambutku dengan senyum merekah dan pelukan hangat. Alhamdulillah, kami bisa bertemu kembali setelah beberaa lama. Terakhir kami bertemu saat aku mengantarkan produk olahan nanas ke Himba Karakah, rumah makan milik beliau. 

Kami duduk bertiga. Karena sudah saling mengenal sebelumnya, kami tidak perlu lagi memperkenalkan diri. Hanya aku yang perlu memperkenalkan diri dengan status baruku sebagai Relima (Relawan Literasi Masyarakat) dari Perpusnas RI. 

Aku juga memaparkan tentang apa itu Relima, peran dan fungsinya dan bagaimana aku bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah terkait pergerakan Relima ini. 

Bersilaturahmi dan berdiskusi dengan pihak Perpustakaan Daerah adalah bagian dari advokasi Relima agar pergerakan Relima bisa lebih mudah saat terjun ke daerah. Perpusnas RI menginginkan kami bisa berkoordinasi dan bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah dengan baik. Apapun yang diberikan oleh pemerintah daerah pada Relima adalah bentuk dukungan yang akan menjadi catatan bagi Relima dan Perpusnas RI. 

Kami semua berharap pergerakan Relima dapat bersinergi dengan seluruh pengelola tbm dan perpustakaan desa/kelurahan. Kami juga berharap pemerintah daerah dapat mendukung sepenuhnya pergerakan Relima (Relawan Literasi Masyarakat). Dukungan dari pemerintah, tentunya menjadi support penting bagi Relima agar pergerakan kami dapat berjalan dengan baik dan bisa selesai sesuai target. 

Harapan terbesar dariku adalah peran serta dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan minat baca dan menghidupkan aktivitas di taman bacaan atau perpustakaan desa/kelurahan. Tugas Relima tidaklah mudah, tapi semuanya akan jadi mudah ketika kita bergerak bersama, saling berangkulan dan saling menguatkan agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dengan baik melalui literasi. 










Saturday, July 19, 2025

Bersilaturahmi dan Bersinergi Bersama Komunitas Penggerak Literasi Kabupaten Kutai Kartanegara

 


Tak seperti hari kemarin, pagi ini langit di Rapak Lambur cukup cerah. Sinar matahari yang hangat masuk lewat celah-celah jendela, tapi aku masih enggan membuka mata. Kondisi tubuhku yang kurang sehat sejak kemarin, membuatku terpaksa mengonsumsi obat dan tertidur dalam waktu yang cukup panjang.

Pukul 07.30 WITA, aku masih memasak di dapur. Padahal, setengah jam lagi jadwal kegiatan sudah harus dimulai. Aku tidak bisa membeli sarapan karena rumah kakakku jauh dari kota dan tidak ada yang berjualan nasi saat pagi hari. Jadi, aku pilih untuk memasak atau sekedar menghangatkan sayur kemarin lebih dahulu.

Aku baru bisa berangkat dari Rapak Lambur pada jam 08.00 WITA menuju ke Aula SMA Negeri 2 Tenggarong. Meski datang terlambat, acara baru saja dibuka dan aku segera duduk di kursi yang aku tempati pada hari sebelumnya.

Kondisi tubuhku hari ini cukup fit dan bersahabat, tidak seperti hari kemarin. Entah kenapa, aku tiba-tiba berubah menjadi manusia tropis yang tidak bisa terkena hawa dingin. Hawa dingin benar-benar menyiksa hidung dan tubuhku.

Materi pertama kali ini disampaikan kembali oleh M. Arsyad dari GLK (Gerakan Literasi Kutai) yang melanjutkan materi tentang pembuatan proposal komunitas. Kemudian, materi selanjutnya diisi oleh Ibu Mimi Nuryanti dari Yayasan Lanjong Indonesia yang memberikan materi tentang penyusunan RAB (Rancangan Anggaran Biaya) dan Laporan Keuangan Komunitas.

Materi-materi yang diberikan kali ini tentunya sangat penting dan sangat bermanfaat, terutama bagi komunitas literasi. Sebab, masih banyak komunitas literasi yang belum memiliki pelaporan administrasi yang lengkap dan belum memiliki legalitas. Dengan adanya kegiatan ini, aku berharap kalau semua komunitas literasi di Kutai Kartanegara bisa saling menguatkan demi terwujudnya literasi untuk kesejahteraan masyarakat.

Tidak seperti hari kemarin, kegiatan bimtek hari ini selesai lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan. Seharusnya selesai jam lima sore, tapi jam setengah empat sore sudah selesai.

Aku cukup terkejut karena jadwal berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Sementara, aku belum mengabari suamiku yang posisinya masih berada wilayah PLTGU Tanjung Batu yang jaraknya sekitar 15km dari SMA Negeri 2 Tenggarong. Alhasil, aku harus menunggu jemputan terlebih dahulu.

Peserta dari beberapa kecamatan mulai beranjak satu per satu. Aku masih bersantai di tempat dudukku. Kebetulan, ada Asih (Anggota FLP Kukar) yang juga sedang menunggu jemputan.

Beberapa menit kemudian, ruang pertemuan ini mulai kosong. Aku juga ikut berkemas. Mengemas laptop dan segala pernak-perniknya ke dalam tas ranselku, kemudian melangkah keluar. Menunggu di luar ruangan lebih mengasyikkan dan lebih menghangatkan tubuhku.

Baru duduk beberapa menit, tiba-tiba ada pemberitahuan di dalam grup bimtek kalau ada tas yang tertinggal dan itu adalah tas milikku. Aku segera berlari masuk kembali ke dalam aula dan mengambil tasku yang disimpankan oleh panitia. Beruntungnya, aku belum keluar dari tempat tersebut dan tidak menyadari kalau tas tanganku ternyata berada di luar ransel dan berada di meja peserta lain. Jika aku membawa sepeda motor sendiri, mungkin ceritanya akan menjadi berbeda.

Aku menunggu sekitar 30 menit di teras aula SMA Negeri 2 Tenggarong. Cuaca sore cukup bersahabat dan hangat. Rasanya sangat nyaman untuk kondisi tubuhku yang sedang flu.

Pria bertubuh besar itu datang dengan senyuman yang mengembang. Ia tidak berkata banyak dan langsung menghampiriku. Menemaniku duduk bersantai di teras aula SMA Negeri 2 Tenggarong. Menemaniku mengobrol sembari menyesap sebatang rokok favorite-nya.

”Mau ke mana lagi?”

Pertanyaan itu keluar dari bibir suamiku yang sudah sangat memahami bagaimana kehidupanku. Ia tahu, aku tidak mungkin hanya bertemu dengan satu orang di kabupaten ini. Ya, aku sudah janjian bertemu dengan Ibu Listy (Dinas Pendidikan) dan Habib (Ketua Himasja & Komunitas Pixelarasi). Tapi, aku masih menunggu konfirmasi dari mereka, apakah mereka bisa bertemu atau tidak.

Setelah bersantai beberapa menit, kami segera keluar dari tempat tersebut. Aku merasa sangat senang kali ini karena bisa bertemu dengan beberapa pengelola perpustakaan desa/kelurahan dan tbm yang ada di wilayah Kutai Kartanegara. Sejauh ini bergerak di dunia literasi, aku belum pernah bertemu dan berkumpul dengan mereka.

Aku berharap, semua pengelola perpustakaan dan tbm di wilayah Kutai Kartanegara bisa saling bersinergi dan saling menguatkan untuk terus menggerakkan literasi. Mengingat lokasi geografis Kabupaten Kutai Kartanegara yang sangat luas dan jarak tempuh ke ibukota kabupaten juga sangat jauh. Momen ini menjadi momen berharga untuk bisa saling bersilaturahmi, saling sharing, dan saling menguatkan satu sama lain agar literasi di Kutai Kartanegara benar-benar bisa bergaung demi kebermanfaatan dan kesejahteraan masyarakatnya.

 

 

Kutai Kartanegara, 16 Juli 2025

 

 

 

 

 

 

Wednesday, July 16, 2025

Berjuang Demi Literasi Bersama Rintik Hujan di Tenggarong

 


Pagi hari, langit di Rapak Lambur tampak redup. Gumpalan awan mendekap dan menyelimuti desa ini, seolah enggan untuk pergi. Rintik hujan seolah sedang menarik-narik diri untuk tetap bercengkerama dalam selimut. Dingin angin yang masuk lewat sela-sela jendela, membuat enggan untuk bangkit dari peraduan.

Keadaan berbanding terbalik dengan tanggung jawab. Rasa malas harus dikalahkan dengan tanggung jawab dan komitmen yang telah aku buat sendiri. Dengan enggan, aku mengangkat kepalaku dari atas bantal agar tidak terlena dengan nikmatnya rintik hujan di pagi hari.

Aku mengecek jam di ponsel. Waktu masih sangat pagi. Rasanya masih ingin malas-malasan di tempat tidur. Tapi kakak sepupuku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi. Aku ingin membantu, tapi sepertinya dia tidak membutuhkan bantuan. Ia tidak membuat menu baru, hanya memanaskan makanan yang aku beli semalam, juga menu yang ia buat kemarin.

Ya, aku memang sudah sampai di rumah kakakku sejak semalam. Perjalanan dari Samboja ke Tenggarong bukanlah perjalanan yang pendek.  Sementara, aku harus mengikuti kegiatan ”Bimbingan Teknis Komunitas Penggerak Literasi di Kabupaten Kutai Kartanegara” yang dimulai sejak pukul 08.00 WITA. Tentunya tidak bisa bersantai di perjalanan ketika harus berangkat di pagi hari. Jadi, aku memilih untuk berangkat di malam hari dan menginap di rumah kakak sepupuku.

Satu-satunya tempat peraduan ketika aku ke pusat kabupaten ialah rumah ini. Aku tidak punya tempat lain lagi untuk beristirahat. Karena di sinilah rumah keluarga yang paling nyaman.

”Hatchiiim ...!”

Aku menggosok hidungku yang tiba-tiba gatal. Tenggorokanku juga terasa sangat kering dan kepala pening. Sepertinya tubuhku tidak terlalu bersahabat karena semalam terhempas oleh suhu dingin angin malam. Meski sudah mengenakan jaket tebal, perjalanan panjang dan cuaca dingin setelah hujan, membuat tubuhku yang tropis ini mulai protes.

Aku mencari obat di kotak obat milik kakakku. Aku harap bisa menemukan salah satu obat yang biasa aku konsumsi dan cocok di tubuhku. Sayang, aku tidak menemukannya.

Pukul 07.00 WITA, aku mulai resah karena rintik hujan semakin rapat. Aku segera mengunduh aplikasi transportasi online agar bisa sampai ke lokasi pelatihan menggunakan mobil, tidak menggunakan motor. Mengingat cuaca hujan dan tubuhku sedang kurang sehat.

Hampir setengah jam aku mencoba mencari taksi online. Beberapa aplikasi yang aku unduh tidak menemukan driver yang bersedia menuju ke tempat tinggal kakakku. Mungkin karena lokasinya cukup jauh dari pusat kota.

Akhirnya, aku terpaksa menggunakan sepeda motor untuk bisa sampai ke SMA Negeri 2 Tenggarong, tempat di mana aku akan menimba ilmu dan pengalaman baru.

Derasnya hujan, tak mengurungkan niatku. Usai sarapan pagi, aku segera bersiap dan keluar dari rumah. Meski tubuh menggigil kedinginan, tanganku tetap mantap mengenakan mantel dan helm. Usai berpamitan dengan kakak dan suamiku, aku perlahan mengendarai sepeda motor menuju SMA Negeri 2 Tenggarong.

Rinai hujan membuat jalanan licin. Membuatku tidak bisa melaju kencang seperti biasanya. Aku memilih mengendarai motor dengan hati-hati sembari menahan gemeletuk gigi karena kedinginan. Semakin lama di perjalanan, semakin lama juga tubuhku harus menahan dingin.

Di perjalanan aku terus berpikir ... di mana letak SMA Negeri 2 Tenggarong ini. Sebab, aku belum pernah ke sana. Meski sudah diarahkan berkali-kali, aku tetap tidak percaya diri karena aku adalah manusia yang buta arah dan kesulitan membaca peta. Meski pakai Google Maps, aku masih saja sering kesasar.

   Pukul 08.20 WITA, aku masih berada di perjalanan. Sementara kegiatan akan dimulai pada pukul 08.00 WITA apabila sesuai jadwal. Aku sangat khawatir jika terlambat terlalu lama. Rasanya pasti akan sangat canggung ketika aku datang terlambat seorang diri.

Beruntungnya, masih banyak peserta yang belum datang ketika aku sampai di aula SMA Negeri 2 Tenggarong. Jadi, kegiatannya belum dimulai.

Di depan aula, sudah ada beberapa orang. Aku langsung menyapa salah seorang di sana. Dia juga langsung mengenaliku, padahal kami belum pernah bertemu sama sekali. Biasanya hanya berkomunikasi lewat Whatsapp karena jarak tempat tinggal kami yang sangat jauh meski masih berada dalam lingkup satu kabupaten.

Beberapa menit kemudian, kami memasuki aula karena Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur juga sudah tiba di lokasi. Acara ini dibuka langsung oleh Bapak Asep Juanda, S.Ag., Hum. Bukan sekedar memberikan sambutan, Bapak Asep Juanda juga memaparkan banyak materi tentang Balai Bahasa kalimantan Timur.

Materi selanjutnya diisi oleh Ahmad Kosasih, Ketua Yayasan Lanjong Indonesia yang memiliki banyak karya dan prestasi dalam bidang seni pertunjukkan. Tentunya senang sekali bisa mendapatkan ilmu baru dari pengelola Yayasan Lanjong Indonesia. Terutama tentang bagaimana membuat portofolio yang baik bagi komunitas literasi.

Materi selanjutnya diisi oleh Muhammad Arsyad dari Yayasan Gerakan Literasi Kutai. GLK merupakan salah satu komunitas literasi yang sudah lama bergerak dan menjadi panutan bagiku. Tentunya sangat senang bisa bertemu dengan orang-orang hebat di dalam forum ini. Kami mendapatkan bimbingan langsung tentang bagaimana menyusun proposal komunitas yang baik dan benar.

Acara hari ini berjalan dengan baik. Sayangnya, tubuhku yang kurang baik. Tubuh yang diterpa dinginnya angin malam, diguyur hujan selama perjalanan, dan suhu ruang AC yang dingin, membuat tubuhku semakin protes. Sepertinya ia tidak lagi menyukai kondisi dingin. Membuat tubuhku terasa tidak nyaman karena flu menyerang untuk pertama kalinya.

Meski kondisi tubuh tak bersahabat, aku tetap mengikuti kegiatan sampai selesai. Ini adalah komitmen yang telah aku buat dengan diriku sendiri agar aku selalu bertangggung jawab atas apa yang telah aku kerjakan hingga usai.

Bukan sekedar mendengarkan, aku juga masih memiliki kekuatan untuk aktif berdiskusi di tengah kelemahan ini. Aku juga masih menyempatkan diri untuk membuat tulisan ini. Aku harus terus bergerak agar rasa sakit tak punya kesempatan untuk menggerogoti tubuhku yang mungil ini.

Tentunya aku sangat bahagia bisa berada di tempat ini karena aku bisa bertemu dengan orang-orang berhati mulia yang terus bergerak memajukan literasi hingga pelosok negeri secara swadaya. Aku merasa mendapatkan kekuatan dan semangat baru ketika bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi dan senang berbagi pengalaman. Aku senang sekali mendengarkan banyak cerita tentang suka-duka komunitas literasi yang ada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Seperti yang dimandatkan oleh pengurus pusat, literasi itu gerakan, bukan bersaing program. Oleh karenanya, kita harus terus bergerak bersama memajukan literasi di negeri ini agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang berdaya saing dan mampu memajukan daerahnya. Kita tidak bisa memulai dengan hal besar, tapi kita bisa memulainya dengan hal kecil. Hal kecil yang selalu bersinergi dan berkelanjutan, akan melahirkan gerakan yang besar. Dengan menjadi besar bersama, maka kita akan menjadi bangsa yang kuat dan siap bersaing.

 

 Kutai Kartanegara, 15 Juli 2025

 

 

 

 

 

Saturday, July 12, 2025

Hari-Hari Berat dalam Hidupku







Aku masih ingat pagi itu—langit tampak mendung, seakan ikut merasakan apa yang hatiku simpan. Di ruang tamu yang terasa asing walau sudah kutinggali bertahun-tahun, aku dan suamiku duduk saling diam. Kata-kata akhirnya meluncur dari bibirnya, seperti pisau yang tak terlihat tapi menghujam dalam.

"Kita cukup sampai di sini."

Tidak ada teriakan. Tidak ada drama. Hanya kesunyian yang menelan segalanya. Aku tahu hubungan ini sudah lama retak, tapi tetap saja, mendengar kata-kata itu seperti dipaksa menelan kenyataan paling pahit. Kami bercerai seminggu kemudian. Saat tanda tangan terakhir kububuhkan, rasanya seperti melepas bagian dari diriku sendiri.

Tapi aku tak punya waktu lama untuk meratapi. Dua pasang mata kecil menatapku dengan harap, mereka adalah anak-anakku. Belum cukup umur untuk benar-benar mengerti, tapi cukup peka untuk merasakan bahwa rumah mereka tak lagi utuh. Mereka adalah alasanku bangun setiap pagi, bahkan ketika tubuh ini rasanya ingin menyerah.

Hari-hariku tak lagi tentang mencari kebahagiaan, tapi bertahan. Menghidupi dua anak bukan perkara mudah, apalagi ditambah nenek yang sudah renta dan orang tua yang mulai sakit-sakitan. Aku menjadi tumpuan untuk lima jiwa. Setiap lembar uang yang kudapat harus diatur sebijak mungkin. Pernah suatu malam, aku hanya makan nasi dan garam karena lauk terakhir kuberikan pada anak-anak.

Ada hari-hari ketika aku pulang larut, tubuh lelah setelah bekerja sambilan, lalu dapur bocor dan tagihan listrik datang bersamaan. Aku menangis diam-diam di kamar mandi, agar anak-anakku tak melihat air mata itu. Tapi dari situ aku belajar, bahwa air mata bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa aku masih berjuang.

Terkadang aku iri melihat keluarga utuh di taman atau mendengar tawa pasangan yang saling berbagi tugas mengasuh anak. Tapi hidupku sudah berbeda. Aku tak bisa mengubah masa lalu, hanya bisa menata masa depan dengan apa yang ada.

Sekarang, meski belum sepenuhnya lepas dari perjuangan, aku bangga pada diriku sendiri. Aku bukan hanya seorang ibu tunggal. Aku adalah anak yang merawat orang tuanya, cucu yang menjaga nenek-kakeknya, dan seorang perempuan yang masih berdiri kokoh meski berkali-kali ingin roboh.

Hari-hari berat itu akan tetap ada. Tapi aku pun sudah menjadi lebih kuat dari hari kemarin. 

Friday, July 4, 2025

Menyulam Mimpi Bersama Relima 2025 Perpusnas RI





Saat pertama kali membaca pengumuman seleksi Relawan Literasi Masyarakat (Relima) 2025 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hatiku langsung bergemuruh. Ini bukan sekadar program nasional, ini adalah panggilan dari Tuhan dan jawaban dari semua mimpi-mimpiku.
Menjadi bagian dari Perpusnas RI adalah bagian dari impianku sejak kecil. Tapi dengan kondisi ekonomi yang sulit, ketidakmampuan sosial, dan minimnya ilmu pendidikan yang aku miliki, membuatku memendam begitu dalam impianku. Tidak menyangka jika keinginanku itu Allah wujudkan saat aku menginjak usia 34 tahun. 

Setelah bersusah payah merawat taman bacaan Rumah Literasi Kreatif selama 7 tahun terakhir, Allah berikan hadiah dari impian yang telah terkubur dalam-dalam.

Di saat aku sudah ingin menyerah karena semua operasional masih menggunakan kantong pribadi selama 7 tahun dan merasa sangat lelah. Rasanya, aku sudah ingin beristirahat dan menjadi penonton saja. Tapi Allah malah panggil aku kembali untuk mengabdi pada masyarakat, bahkan dalam lingkup yang lebih besar lagi. 

Penggilan Tuhan memang tidak main-main dan tidak bisa aku tolak. 
Aku hanya berkata dalam hati, "Jika Allah masih mempercayakan aku berada di jalan ini, pasti Allah mudahkan."

Setiap hal yang tiba-tiba muncul di depan mata, pastilah jalan yang sedang Allah tunjukkan. Oleh karenanya, aku tidak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. "Ini adalah panggilan Tuhan dan aku harus mengabdi untuk-Nya, juga untuk makhluk-makhluk ciptaannya (masyarakat). 

Bagiku, ini adalah sebuah ajakan. Ajakan untuk kembali meneguhkan langkah di jalan yang sudah lama kutempuh bersama komunitas kecil kami di Kabupaten Kutai Kartanegara: Rumah Literasi Kreatif, atau yang akrab kami sebut Rulika.

Di tengah kesibukan sehari-hari, antara aktivitas menjahit dan menulis, aku menyempatkan diri untuk mendaftar. Tak banyak yang kubawa dalam formulir itu selain keyakinan bahwa literasi adalah kerja panjang yang mesti terus dinyalakan, walau dengan api kecil. Rulika sendiri telah lama menjadi rumah bagi beragam kegiatan literasi—mulai dari kelas baca, diskusi buku, pementasan seni, hingga pelatihan kepenulisan yang kami selenggarakan dari dan untuk masyarakat.

Ketika akhirnya namaku diumumkan sebagai salah satu yang lolos seleksi Relima 2025, aku terdiam beberapa saat. Ada rasa syukur yang menyesap pelan. Ini bukan hanya pengakuan atas kerja-kerja Rulika, tapi juga pengingat bahwa gerakan literasi dari daerah seperti Kutai Kartanegara pun punya ruang untuk tumbuh di tingkat nasional.

Bersama Relima, aku membawa semangat Rulika. Memberikan pengertian bahwa literasi tidak boleh elitis, ia harus membumi dan bisa dirasakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang selama ini terpinggirkan dari akses informasi dan pendidikan. Kami di Rulika percaya bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, melainkan tentang membentuk cara berpikir kritis, memperkuat identitas budaya, dan merawat empati.

Kegiatan kami yang terdokumentasi di berbagai platform, termasuk media sosial @rumahliterasikreatif, adalah bukti nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Kami menciptakan ruang baca di kampung, mengajak anak-anak bermain sambil mengenal aksara, dan memanfaatkan seni tradisional sebagai jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang literasi.

Kini, melalui Relima, aku merasa lebih siap untuk memperluas dampak. Menjadi bagian dari jaringan relawan literasi nasional memberiku harapan baru. Memberikan tantangan baru yang membuatku harus lebih banyak  bersinergi dengan berbagai komunitas literasi agar gerakan ini menuju sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Aku harus bisa menghidupkan kembali giat literasi di pelosok-pelosok negeri dan menghidupkan kembali semangat membaca yang mungkin telah lama redup.

Terima kasih Perpusnas RI atas kepercayaan ini. Semoga melalui Relima 2025, kita bisa melangkah bersama dalam satu barisan, membentuk sebuah gerakan, menyebar cahaya literasi, menyulam mimpi-mimpi anak bangsa, dan menjaga nyala pengetahuan tetap hidup di manapun kita berpijak.


"Percayalah, jika kita selalu berbuat baik untuk Allah, Allah akan selalu ada bersama langkah kita dan selalu menunjukkan jalan kebaikan yang banyak."


Tuesday, July 1, 2025

Cerita Panitia Arena 5 Cabang Khattil Qur'an, MTQ Ke-46 Kecamatan Samboja

 



Awal Juli 2025 menjadi awal yang penuh dengan kegiatan, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Pagi-pagi sekali sudah disibukkan dengan persiapan perlombaan MTQ ke-46 Kecamatan Samboja yang digelar di Desa Beringin Agung.







Biasanya, aku mendampingi anak-anak desa untuk lomba kaligrafi di desa/keluarahan lain. Kali ini mendapatkan pengalaman untuk menjadi panitia perlombaan kaligrafi (khattil Qur'an). Sama seperti tahu-tahun sebelumnya, lomba kaligrafi selalu dimulai sejak pagi hingga sore hari. Biasanya berbarengan dengan lomba KTIQ dan KTIH karena waktunya sama-sama panjang. Tapi kali ini dijadwalkan berbeda dan berganti ruangan karena keterbatasan ruang lomba.



Pagi-pagi sekali aku sudah disibukkan dengan drama pekerjaan rumah yang harus selesai lebih pagi dari biasanya. Kemudian, pukul 07.00 WITA aku sudah harus berpindah ke lokasi lomba, yakni di SDN 038 Samboja. 

Pukul 08.00 WITA, perlombaan sudah harus dimulai. Bagi para peserta, waktu 1 menit sangatlah berharga. Oleh karenanya, kami selaku panitia harus melakukan briefing peserta sebelum jam delapan agar para peserta bisa masuk ke dalam ruangan tepat waktu.

Setelah semua peserta masuk ruangan dan fokus untuk berkompetisi, kami para panitia hanya menunggu. Duduk bersantai di luar ruangan sembari berbincang dan bercanda hal-hal kecil yang membuat kami tertawa. 

Waktu perlombaan bukan waktu yang sebentar. Sesekali aku pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan rumah atau memastikan nenekku sedang tidak kesulitan menjalani harinya. Sebagai koordinator panitia lomba kaligrafi, tentunya tidak bisa pergi dalam waktu yang lama. Meski tidak ada yang dikerjakan, tetap harus standby agar siap selalu ketika dibutuhkan sewaktu-waktu.

Alhamdulillah, perlombaan selesai dengan baik dan kami bisa beristirahat dengan baik pula. Tidak banyak yang dikerjakan oleh seksi musabaqoh karena seluruh keperluan sudah disiapkan dan dibereskan oleh panitia perlengkapan yang kerjanya super rajin. Usai lomba, semua hasil lomba pun, kami serahkan ke panitera. Sehingga tidak banyak kesibukan yang harus kami lakukan. Aku juga bisa segera kembali ke rumah, mengurus rumah yang kerap terbengkalai karena terlalu banyak kegiatan di luar rumah.


Harapan terbesarku, semua kafilah dari Desa Beringin Agung bisa mendapatkan piala, terlebih tahun ini kami menjadi tuan rumah. Semua sudah bekerja keras untuk berjuang dan berharap bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Jika belum mendapatkan juara, setidaknya bisa mendapatkan pengalaman berharga yang tidak akan didapatkan ketika tidak mengikuti lomba sama sekali. Menjadi bagian dari kafilah MTQ sudahlah menjadi pemenang atas kemalasan diri sendiri.



Tuesday, June 24, 2025

Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2 | Ketika Data Bukan Sekedar Angka



Hari Kedua di Ruang Eselon 1: Ketika Data Bukan Sekadar Angka


24 Juni 2025. 

Pagi itu, langit Ibu Kota Nusantara seperti biasa, mendung dihiasi dengan riuhnya rintik gerimis. Tepat jam enam pagi, aku sudah duduk di dalam bus. Di tanganku, ada sebuah buku catatan berwarna pink yang aku dapat dari panitia di hari sebelumnya. Setelan jas berwarna hitam dan kerudung berwarna krem, membalut tubuhku yang menggigil kedinginan.
Ya, cuaca di IKN sangat dingin pagi ini. Ditambah lagi dengan bus kota yang full AC. Tapi semua orang terlihat biasa saja. Mungkin tubuhku yang terlalu sensitif dengan suhu dingin, sehingga cuaca masih sangat dingin meski aku menggunakan jas. 



Hari kedua pelatihan Pendataan Penduduk IKN menunggu. Aku melangkah masuk ke Tower 2 Gedung Kemenko IKN, menuju Ruang Eselon 1 lantai 6, tempat kelompok D berkumpul.

Ruang itu ber-AC sejuk, rapi, dan terang, namun yang paling terasa adalah atmosfernya yang cukup serius, fokus, dan mengalir dengan aura tanggung jawab. Dinding ruang rapat lima puluh persennya terbuat dari kaca. Aku bisa melihat dengan jelas deretan gedung-gedung megah yang masih dalam proses pembangunan. Inilah wilayah baru yang sedang dibangun dengan data dan kerja nyata, bukan retorika belaka.
    


Pelatihan hari kedua ini membahas hal yang lebih teknis—tentang formulir digital, protokol verifikasi, dan penggunaan aplikasi pendataan. Materi demi materi disampaikan para narasumber yang tak hanya ahli, tapi juga sabar dan bersahabat. Kami, peserta dari berbagai latar belakang, larut dalam diskusi tentang metode wawancara, akurasi data, hingga etika ketika harus berhadapan langsung dengan masyarakat.

Yang membuatku terkesan bukan hanya teknologi atau sistem yang mereka perkenalkan, tapi pendekatan manusianya. Bahwa dalam setiap data, ada cerita. Dalam setiap isian nama, tanggal lahir, dan status pekerjaan, terselip harapan-harapan kecil dari warga negara yang ingin diakui keberadaannya.


Hari ini aku belajar banyak. Tentang kesabaran mendengar, tentang ketelitian membaca situasi, dan tentang pentingnya menjadi jembatan antara negara dan rakyat melalui data yang akurat.

Istirahat siang menjadi jeda untuk meneguk air dan berbagi tawa dengan teman-teman satu kelompok. Tak disangka, ruang eselon yang semula terasa formal berubah menjadi ruang pertemanan. Obrolan ringan tentang kampung halaman, makanan favorit, hingga impian masa depan mengalir begitu saja. Tiba-tiba aku merasa, IKN bukan sekadar proyek fisik, ia adalah rumah baru yang sedang tumbuh dari kolaborasi dan kebersamaan.

Menjelang sore, saat sesi penutup dimulai, kami diminta merefleksikan nilai yang kami dapat hari itu. Dalam hatiku, aku mencatat satu hal, menjadi petugas pendataan bukan hanya tentang bekerja, tapi tentang menjaga amanah dari akar bangsa. Data yang kita kumpulkan hari ini bisa menjadi dasar kebijakan esok hari, menentukan ke mana arah pembangunan, dan siapa yang tidak boleh lagi dilupakan.



Hari kedua pelatihan ditutup dengan hangat. Meski tubuh lelah, pikiranku justru terasa lebih hidup. Di ruang Eselon 1 itu ... aku tak hanya belajar soal teknis dan sistem, tapi juga tentang nilai. Nilai menjadi warga negara yang hadir, aktif, dan ikut menulis sejarah baru Nusantara.


Pengalaman ini adalah bagian dari Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2, sebagai bagian dari proses pemindahan dan pembangunan sistem pemerintahan baru yang berorientasi data dan pelayanan publik. Ruang Eselon 1 Kemenko IKN menjadi saksi bagaimana anak-anak muda, warga biasa, dan pelayan data berkolaborasi dalam semangat gotong royong modern.



Monday, June 23, 2025

Cerita dari Ruang Eselon 1 dan Tidur Bersama 11 Orang







Ada banyak hal yang tak bisa dibeli, bahkan oleh gaji tertinggi di negeri ini. Salah satunya adalah pengalaman. Dan dalam hidupku yang sederhana ini, pengalaman mengikuti Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN Batch 2 adalah salah satu momen yang akan kusimpan dalam rak kenangan paling atas.

Aku tergabung dalam Kelompok D, dengan kelas yang ditempatkan di Ruang Eselon 1 Lantai 6, Tower 2 Gedung Kemenko IKN. Ya, Eselon 1. Entah kenapa kata itu membuatku merasa seperti tokoh penting di tengah megaproyek negara. Mungkin karena saat masuk ke ruang itu, aku merasa seperti sedang diberi amanah besar, yakni menjadi bagian yang akan mencatat dan menyimpan jejak manusia yang akan menjadi penghuni awal ibu kota masa depan.

Namun, jangan bayangkan pelatihan ini semewah judul gedungnya. Di balik nama mentereng “Kemenko” dan siluet arsitektur modern KIPP IKN, ada sejumput realita yang membumi, bahkan membentur kenyataan.

Aku akan mengikuti pelatihan selama 3 hari dan aku diberi penginapan di HPK oleh panitia. 
HPK itu apa, sih? 
HPK adalah hotel bintang 0 dengan kisah bintang 5. Tempat kami tinggal selama pelatihan disebut HPK (Hunian Pekerja Konstruksi). Tapi jangan bayangkan hotel dengan kasur empuk dan air hangat. Kami tinggal di kamar yang dihuni 12 orang peserta. Satu ruangan tanpa AC, tiga kipas angin, dan kamar mandi di luar untuk berbagi semua, termasuk cerita hidup.



Awalnya aku mengira akan merasa sesak, sulit tidur, atau malah berkonflik. Tapi anehnya, malam demi malam kami lewati dengan gelak tawa. Kami berbagi bantal dan juga harapan. Dari yang suka bangun subuh demi rebutan kamar mandi, sampai yang rela gantian charger karena colokan terbatas, semua jadi bahan tawa dan kenangan.

Di situlah aku belajar bahwa sempitnya ruang tidak selalu menyempitkan hati. Kadang, justru dalam keterbatasan itulah kita bisa saling mengenal lebih dalam.

Pagi harinya, kami sudah harus berangkat ke KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan). Tepat jam 6 pagi, bus sudah menjemput kami untuk meluncur ke Rest Area terlebih dahulu sebelum kami menuju ke KIPP. Perjalananya tidak lama, antre bus-nya yang lumayan lama karena peserta yang hadir juga ratusan. 

Pernah antre selama hampir satu jam hanya untuk dapat giliran naik bus? Kami pernah. Dengan jumlah peserta yang mencapai 488 orang, perjuangan kami bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di halte bus.

Saat-saat menunggu itu kadang bikin emosi naik turun. Tapi saat kubiarkan diriku diam sejenak, kudengar suara-suara yang lucu seperti curhatan tentang makanan, cerita konyol di kamar, sampai prediksi siapa yang bakal ngantuk duluan di kelas. Rupanya, bus yang lambat membawa pelajaran cepat, bahwa sabar itu bukan diam tanpa keluh, tapi memilih tetap bahagia walau harus menunggu.

Setelah bercerita tentang bus, Mari kita bicara soal makanan.
Ah, menu yang menguji keikhlasan.



Kadang kami dapat nasi yang keras seperti baru keluar dari freezer, atau ayam yang kerasnya bisa bikin gigi goyah. Pernah juga, kotak makanannya kosong tanpa nasi, hanya lauk melompong sendirian. Apakah kami marah? Tentu, tapi sebentar. Tapi habis itu, kami ketawa bareng.

Aneh ya, ternyata kelaparan bisa juga mempererat persahabatan. Ada yang berbagi roti, ada yang sembunyi-sembunyi simpan mi instan. Semua berkontribusi pada telenovela realita berjudul “Hidupku Tiga Hari di IKN”. Makanan di sini menjadi pelengkap cerita, bukan menjadi makanan yang mengenyangkan. 

Tapi di balik itu semua, aku tetap bersyukur. Karena tidak semua orang bisa bilang, “Aku pernah tinggal di IKN saat masih dalam tahap pembangunan.”
Kami adalah saksi hidup, bahwa sebelum gedung-gedung megah itu penuh aktivitas, ada kami yang mengisi catatan, memetakan penduduk, dan menghuni HPK.

Langit IKN di pagi hari begitu jernih, seperti masa depan yang belum ternoda. Jalanan yang masih setengah jadi, hiruk-pikuk pekerja konstruksi, dan suara alat berat jadi harmoni yang aneh, tapi nyata. Kami mungkin hanya sebutir pasir di gurun pembangunan, tapi kami adalah pasir yang ikut membentuk fondasi.

Pelatihan ini bukan tentang kenyamanan. Ini tentang belajar dalam keadaan seadanya, menerima kekurangan, dan merayakan momen sekecil apa pun. Dari mulai rebutan kamar mandi, nasi kotak tanpa nasi, hingga duduk di ruang Eselon 1 sambil mencatat data dengan tangan lelah. Semua adalah potongan cerita yang layak ditulis.

Karena pada akhirnya, hidup bukan soal enaknya tinggal di tempat baru. Tapi tentang bagaimana kita bertumbuh saat berada di sana.

Dan jika suatu hari aku kembali ke IKN sebagai warga, aku akan tersenyum melihat gedung Kemenko dari kejauhan dan berkata dalam hati, “Aku pernah jadi bagian kecil dari mimpi besar ini.”


Salam dari hunian sempit, tapi hati kami lapang.
IKN, kami pernah menjadi saksi.


Rin Muna
Peramu kata dan perajut asa


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas