Sunday, July 31, 2022

Bab 16 - Masih Saja Cemburu

 


“Ndre, minggu depan acara ulang tahun kami. Mau bikin syukuran kecil-kecilan. Kalian semua datang, ya!” pinta Yuna sambil menatap wajah Andre dan Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Pasti, dong. Kalian berdua enak banget, ya? Hari ulang tahunnya sama. Jadi, bisa rayakan bareng.”

Yuna tersenyum, ia menoleh sejenak ke arah suaminya. “Kalian bisa datang ‘kan?”

Nia mengangguk. “Kebetulan, kami juga nggak terlalu sibuk.”

“Nanda juga datang, ya! Bawa istri kamu supaya kami bisa kenal. Tante dengar, dia salah satu lulusan terbaik di Melbourne. Tante juga lulusan dari sana. Bukan lulusan terbaik seperti dia. Hanya mahasiswa biasa. Tante penasaran sama dia. Pengen kenal.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lebar. “Baik, Tante. Saya pasti bawa dia untuk berkenalan dengan Tante Yuna.”

Yuna tersenyum bangga menatap wajah Nanda. Meski cara yang dilakukan pria muda ini melanggar norma, tapi tetap saja bisa dianggap beruntung karena mendapatkan wanita yang memiliki prestasi baik. Ia harap, bisa mengenal Roro Ayu dan sifatnya berbanding lurus dengan prestasi yang dimilikinya.

“Mmh, saya pamit dulu, Tante, Oom ...! Masih ada pekerjaan lain yang harus saya urus,” pamit Nanda.

Yuna dan Yeriko mengangguk.

“Silakan lanjutkan kesibukanmu! Goodluck, ya!” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

Nanda mengangguk. Ia segera berpamitan dengan sipan dan melangkah keluar dari ruang kerja papanya. It’s first time, ia merasa bangga memiliki Roro Ayu dalam hidupnya. Ia pikir, tidak akan pernah bisa memiliki wanita sebaik Ayu. Sebab, semua wanita baik hanya diciptakan untuk pria yang baik dan dia ... tidak memiliki kebaikan apa pun dalam dirinya.

“Siang, Mas Nanda ...!” sapa salah seorang karyawan yang berpapasan dengan Nanda.

“Siang ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis seperti biasanya. Hampir semua orang di perusahaan papanya, selalu menyapanya dengan ramah. Begitu juga dengan Nanda, selalu membalasnya dengan sikap ramah pula.

Nanda melangkahkan kakinya perlahan menuju ke parkiran mobil. Matanya tiba-tiba tertuju pada pria tua yang sedang merapikan tanaman di taman kantor perusahaan papanya itu. Ia mengurungkan niatnya masuk ke mobil dan melangkah menghampiri pria tua itu.

“Siang, Pak ...!”

“Ya, Mas.” Pria tua itu langsung menghentikan pekerjaannya. Ia buru-buru meletakkan gunting rumput yang ia pegang dan menghampiri Nanda. “Ada apa, Mas?”

“Ini sudah jam makan siang. Bapak nggak istirahat?”

“Oh. Iya, Mas. Sebentar lagi. Kerjaannya nanggung,” jawab pria tua itu.

“Bapak sudah tua. Lain kali kalau bersihkan luar gedung, pagi atau sore saja! Jangan saat terik seperti ini!” pinta Nanda.

“Baik, Mas Nanda!” ucap pria tua itu sambil menganggukkan kepalanya.

Nanda tersenyum. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya dan memberikannya pada pria tua itu.

“Apa ini, Mas?” tanya pria tua itu begitu Nanda mengulurkan lembaran uang ke hadapannya.

“Buat beli es teh!” perintah Nanda sambil menarik telapak tangan pria itu dan memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam telapak tangannya. Kemudian pergi begitu saja.

“Makasih, Mas!” seru pria tua itu sambil menatap Nanda yang bergerak  perlahan menuju ke mobilnya. Ini bukan pertama kalinya Nanda memberinya uang, sudah beberapa kali dan bos muda itu selalu menyarankan untuk melakukan pekerjaan yang lebih ringan karena usianya yang memang sudah memasuki usia pensiun.

Di ruangan kerjanya, Andre hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nanda yang terlihat begitu santai dan banyak berdiam diri saat mereka semua membicarakan bisnis.

“Tidak terasa, kita usdah ngobrol sampai jam makan siang. Gimana kalau kalian makan siang bersama kami saja?” tanya Andre sambil tersenyum menatap Yuna.

Yuna tersenyum sambil menggenggam punggung tangan Yeriko. “Terima kasih, Ndre. Tapi kami tidak bisa karena sudah ada janji makan siang dengan anak kami. Si Okky bisa ngomel sampai besok kalau tiba-tiba kami membatalkan jadwal makan siang kami dengan dia.”

“Oh. I see.” Andre manggut-manggut. “Kalian semua sangat sibuk. Waktu makan siang bersama keluarga jadi hal yang paling berharga untuk kalian. Kalau gitu, kami tidak akan mengganggu.”

Yeriko mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. “Kami pulang dulu, Ndre! Jangan lupa tanda tangani perpanjangan kontrak perusahaan kita!”

“Gampang,” sahut Andre santai sambil ikut bangkit dari sofa untuk mengantarkan kepergian Yuna dan Yeriko.

“Kami pulang dulu, ya!” pamit Yuna sambil menyalami pipi Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Makasih ya, sudah menyempatkan waktu berkunjung ke sini!”

“Iya. Kamu juga sering-sering berkunjung ke tempat kami, ya!” sahut Yuna sambil tersenyum manis.

“Kalian sibuk terus, Yun. Susah ditemui,” ucap Andre sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tertawa kecil. “Kamu bisa aja. Kalau kami di kota ini, kalian bisa telepon asisten kami untuk atur waktu.” Ia merangkul Andre dan berniat menyalami kedua pipi pria itu.

Yeriko buru-buru menarik lengan Yuna agar tidak mendekati Andre.

Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko dan tertawa kecil. “Sudah tua begini, masih aja cemburuan!”

Andre dan Nia tertawa kecil melihat sikap Yeriko yang tidak pernah berubah sejak mereka masih muda.

“Kalau aku cium Nia, kamu nggak keberatan?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

Yuna menggeleng. “Kalau ciumnya di depan aku dan Andre, kami nggak keberatan. Kalau sembunyi-sembunyi di belakang kami, barulah perlu dipertanyakan.”

“Kamu ini ... bisa aja jawabnya kalau dikasih tahu suami,” sahut Yeriko kesal.

Nia dan Andre tertawa kecil. “Kalian ini sampai tua nggak pernah berubah ya?”

“Apa yang mau berubah?” tanya Yuna balik. “Dia cemburuannya nggak hilang-hilang juga. Padahal aku sudah nenek-nenek gini. Andre aja udah nggak naksir sama aku. Iya ‘kan, Ndre?”

Andre tertawa kecil sambil merangkul tubuh istrinya. “Mengagumimu nggak  akan ada habisnya, Yun. Tapi niat memilikimu udah nggak ada. Kamu buat Yeriko ajalah! Istriku juga nggak kalah cantik, kok.”

“Begitu memang kalau suka sama cantiknya doang. Kalau udah nenek-nenek, udah nggak minat lagi,” ucap Yuna sambil tertawa kecil.

“Hahaha.” Andre dan Yeriko tergelak mendengar ucapan Yuna.

“Ndre, kami pulang dulu! Istriku kalau udah ngobrol, nggak ada selesainya. Jangan terlalu banyak meladeni dia! Anakku bisa mecat aku jadi ayahnya kalau kami telat,” pamit Yeriko lagi.

“Hahaha. Salam untuk putermu, Yer!” ucap Andre sambil menepuk pundak Yeriko dan mengantarkannya keluar dari perusahaannya.

Nia tersenyum lebar sambil merangkul lengan Andre saat Yuna dan Yeriko sudah menghilang bersama mobil yang membawa mereka. “Mas, gimana kalau kita ajak Roro Ayu makan siang bareng kita juga, ya?”

“Mendadak seperti ini, apa dia siap? Ini sudah jam makan siang,” jawab Andre.

“Iya juga, ya? Kita aja yang ke rumah mereka dan makan siang di sana. Gimana?”

“Apa tidak merepotkan Roro kalau kita datang tiba-tiba? Dia lagi hamil muda. Jangan buat dia kelelahan!”

“Gampang. Kita beli makanan dari luar aja dan makan di sana,” ucap Nia sambil tersenyum manis.

“Bolehlah kalau begitu. Kita juga bisa lihat bagaimana anak kita itu berumah tangga. Sudah lama tidak main ke sana. Kalau anak Roro sudah lahir, kita bisa main sama cucu setiap hari.”

Nia mengangguk. “Gimana perusahaan kalau kita main sama cucu terus?”

“Ada Nanda dan Roro,” jawab Andre.

Nia tersenyum dan melangkah menuju mobil bersama Andre. “Kalau ada Roro Ayu, aku merasa lebih tenang menyerahkan perusahaan ke anak kita. Kalau cuma Nanda yang urus, aku masih belum percaya sepenuhnya sama dia.”

Andre mengangguk. “Untungnya Nanda dapet istri yang bener. Setidaknya, bisa membantu kita untuk mengembangkan bisnis. Kalau sampai dia menikahi wanita model itu, mending perusahaan kita jual dan uangnya kasih ke panti asuhan saja.”

Nia tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Andre. Ia sangat beruntung karena Tuhan menjawab doa-doa dia selama ini yang menginginkan Nanda memiliki pasangan yang baik dalam hidupnya. Memiliki istri yang bisa menjadikan puteranya menjadi pria yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarga. Asalkan istrinya baik, masa depan anak-cucunya akan baik pula. Semua ibu, menginginkan anaknya mendapatkan hal terbaik di dunia ini dan yang paling utama adalah pasangan yang baik untuk menjalani sisa-sisa hidup mereka.

“Terima kasih, Tuhan ...! Sudah memberikan menantu yang baik untuk kami. Semoga, Roro Ayu bisa menjadi istri yang baik untuk Nanda, bisa menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucu kami,” ucap Nia dalam hati. Ia merasa sangat bahagia setiap kali ingin bertemu dengan Roro dan calon cucu yang ada di dalam perut wanita itu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!


 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas