Wednesday, August 17, 2022

Bab 36 - Dipisahkan

 

 


Nanda tertunduk lesu sambil memeluk pusara bertuliskan  Axel Noah Perdanakusuma, sang putera yang tidak sempat ia dengar tangis dan tawanya ketika terlahir ke dunia.

“Nan, kita pulang! Udah sore,” bisik Nia di telinga Nanda yang masih enggan pergi dari sana.

“Aku masih mau temenin dia, Ma. Dia masih kecil,” ucap Nanda.

“Nan, anakmu sudah nggak ada. Sadarlah! Hidupmu masih harus berjalan. Ada Roro Ayu yang membutuhkanmu. Jangan sampai kamu menyesal lagi,” bisik Nia.

Nanda terdiam. Ia langsung menoleh ke arah Nia begitu ia mendengar nama Roro Ayu disebut oleh wanita itu. Ia langsung bangkit dari tanah. “Roro Ayu?” Ia bergegas melangkah pergi dari tempat tersebut dan memacukan mobilnya menuju ke rumah sakit, tempat istrinya itu mendapatkan perawatan.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai ke rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruang VVIP, tempat Roro Ayu mendapatkan perawatan.

Nanda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kosong. Ranjang tidur yang tadinya terisi oleh tubuh Roro yang dilengkapi peralatan medis, kini sudah terlihat rapi. Bahkan, tak ada barang satu pun yang tertinggal di sana.

“Ayu, kamu di mana?” gumam Nanda. Ia langsung berlari keluar ruangan dan menghampiri petugas yang berjaga.

“Suster, istri saya di mana?” tanya Nanda sambil menghampiri perawat yang ada di sana.

“Istri Anda atas nama siapa?” Perawat itu balas bertanya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari,” jawab Nanda lengkap.

“Oh. Puteri keraton itu, ya? Sudah dipindahkan, Mas.”

“Dipindahkan? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Saya kurang tahu, Mas. Katanya mau dipindahkan ke rumah sakit lain. Kalau mau lebih jelasnya, bisa tanyakan ke bagian administrasi saja,” jawab perawat tersebut.

“Makasih, Sus!” ucap  Nanda. Ia segera berlari menuju ke bagian administrasi yang tidak jauh dari lobi.

“Suster!” panggil Nanda sambil menghampiri petugas yang sedang berjaga.

“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau tahu ke mana istri saya dipindahkan dan siapa yang memindahkan dia!” pinta Nanda.

“Atas nama siapa?”

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

“Keluarganya yang memindahkan dia, Mas.”

“Oh ya? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Ke salah satu rumah sakit yang ada di luar negeri,” jawab perawat itu.

“Rumah sakit apa, Suster?”

“Maaf, Mas. Kami nggak tahu kalau soal itu,” jawab suster tersebut.

Nanda terdiam selama beberapa saat. Beberapa jam lalu, ayah mertuanya masih mengikuti acara pemakaman puteranya. Jika mereka membawa Roro Ayu pergi, tentunya belum pergi jauh. Hanya saja, waktu untuk mencapai bandara hanya tiga puluh menit saja. Artinya, Roro Ayu bisa saja sudah berada di perjalanan yang entah ke mana.

Nanda segera berlari keluar dari rumah sakit sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia berusaha menghubungi nomor Bunda Rindu dan Ayah Edi, tapi nomor keduanya tidak bisa dihubungi.

Dengan cepar, Nanda masuk ke dalam mobil dan menekan nomor ponsel mamanya.

“Ma, angkat dong!” pintanya lirih setelah beberapa kali men-dial nomor ponsel mamanya, tapi tak mendapatkan jawaban.

Nanda menghela napas sejenak sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menatap nomor ponsel papanya. Ia sudah mengecewakan papanya berkali-kali. Kali ini, apa yang dia lakukan tidak akan pernah bisa termaafkan. Tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada papanya tentang hal ini. Mungkinkah papanya masih sudi membantunya saat ia sudah membuat kondisi keluarganya berantakan?

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menekan panggilan ke nomor papanya. Ia harap, papanya bisa membantunya menemukan Roro Ayu.

“Halo ...!” sapa Andre dari seberang sana.

“Pa, Nanda boleh minta bantuan?” tanya Nanda pelan. Meski masa remajanya sangat nakal, pembuat onar, suka tawuran dan beberapa kali ditahan polisi karena terlibat balapan liar, ia tidak pernah sekalipun meminta bantuan dari papanya. Ia lebih sering menanggungnya seorang diri dan tetap terlihat santai menjalaninya. Ia harap, sang papa mau memberikan bantuan untuknya.

“Apa?”

Satu kata yang keluar dari bibir Andre, membuat Nanda bisa bernapas lega. Artinya, papanya bersedia membantunya meski suaranya terdengar sangat dingin.

“Roro Ayu dibawa pergi ke luar negeri. Ayah Edi dan Bunda Rindu juga tidak bisa dihubungi,” ucap Nanda dengan bibir gemetar.

“APA!? Sekarang, kamu di mana?” Suara Andre terdengar sangat terkejut.

“Masih di parkiran rumah sakit, Pa.”

“Kamu pergi ke bandara! Papa akan minta bantuan temen papa untuk mendapatkan data penumpang penerbangan hari ini,” perintah Andre.

“He-em.” Nanda mengangguk. “Makasih, Pa!”

“Ya.” Andre segera mematikan panggilan telepon dari Nanda.

Nanda menghela napas lega. Ia segera menjalankan mobilnya perlahan menuju bandara yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tersebut. Ia langsung berlari melangkahkan kakinya perlahan memasuki bandara tersebut.

TING!

Nanda langsung membuka pesan yang masuk dari papanya.

[Daftar penumpang penerbangan Internasional]

[Nan, Roro Ayu pergi bersama tim dokter. Kedua orang tuanya tidak ada dalam daftar penerbangan mana pun. Mereka sewa jet pribadi. Lokasi tujuannya, papa tidak mendapatkan informasi. Datangi mertuamu dan memohonlah! ]

Nanda terdiam selama beberapa saat ketika membaca pesan dari papanya. Ia berusaha menelan salivanya yang tercekat. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh papa mertuanya hingga membawa Roro Ayu pergi jauh dengan cara seperti ini.

“Aku harus temukan Ayu!” ucap Nanda sambil melangkahkan kakinya keluar dari bandara tersebut. Ia segera mengendari mobilnya menuju rumah mertuanya.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai di kediaman Edi Baskoro. Ia langsung menekan bel karena pagar rumah tersebut tertutup rapat, tak seperti biasanya.

“Mas Nanda?” Seorang pria yang bekerja di rumah tersebut, langsung membukakan pintu untuk Nanda. “Nyari siapa?”

“Bunda dan ayah ada di rumah?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Mas. Lagi ke Solo.”

“Solo?”

“Iya. Lagi ke keraton, Mas. Katanya ada urusan.”

“Keraton yang ...?”

“Keraton Surakarta cuma satu, Mas,” sahut pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar.

Nanda segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh mertuanya itu. Menjauhkan Ayu darinya?

Nanda terus melajukan mobilnya menuju ke kota Solo sambil menekan nomor ponsel Sonny. Beberapa kali menelepon, ia masih belum mendapatkan jawaban. “Aargh ...! Shit! Anak ini pasti tahu ke mana perginya Ayu,” ucapnya kesal.

Empat jam kemudian, Nanda sudah memarkirkan mobilnya di pelataran keraton kesultanan Surakarta. Ia menatap bangunan keraton yang sering ia lihat, tapi ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke sana meski menjadi bagian dari keluarga besan keraton tersebut.

Nanda langsung melangkah menuju pintu keraton dan disambut oleh empat orang penjaga yang berdiri di sana.

“Orang luar dilarang masuk keraton!” tegas penjaga pintu itu sambil menyilangkan pedang di tangannya, menghalau tubuh Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya menatap dua pedang yang menyilang tepat di hadapannya. “Ini asli?” gumamnya sambil memperhatikan mata pedang yang berkilauan. Ia langsung memundurkan langkahnya menjauhi pedang tersebut.

“Kalian kenal sama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari?” tanya Nanda sambil menatap empat penjaga pintu yang ada di sana.

Empat penjaga pintu itu saling pandang.

“Sampeyan siapanya Ndoro Puteri?” tanya salah satu penjaga yang ada di sana.

“Aku ... eh, saya suaminya,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

Empat penjaga itu kembali saling pandang.

“Tunggu di sini!”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum lega sambil menegakkan tubuhnya. Menunggu dengan cemas dan berharap ia mendapatkan akses ke dalam keraton tersebut.

Beberapa menit kemudian, seorang abdi dalem datang bersama penjaga pintu yang tadi.

“Selamat malam, Mas! Mohon maaf, keraton inti tidak menerima tamu saat malam hari. Silakan berkunjung lagi besok pagi!”

“Tapi ... saya suaminya Roro Ayu,” ucap Nanda.

“Ndoro Puteri sedang menjalani hukuman dan dilarang menginjakkan kaki ke keraton, termasuk suaminya. Setelah menjalani upacara kesucen, barulah Ndoro Puteri bisa masuk kembali ke keraton.”

“Apakah Pak Edi Baskoro ada di dalam?” tanya Nanda.

“Ada, Mas. Raden Mas ada di kediamannya.”

“Gimana caranya saya bisa ketemu beliau? Beliau tidak bisa saya telepon.”

“Raden Mas sedang melakukan rapat tertutup dengan keluarga. Tidak bisa menggunakan handphone. Sampeyan bisa kembali lagi besok pagi, saya akan sampaikan ke beliau agar menemui Mas ... siapa namanya?”

“Ananda Putera.”

“Oh. Iya. Besok pagi datang lagi ke sini!”

“Besok pagi ... apa sudah pasti bisa ketemu dengan Ayah Edi?”

“Saya belum tahu, Mas. Akan saya tanyakan ke beliau.”

Pikiran Nanda semakin tidak karuan karena ia tidak mendapatkan akses masuk ke dalam keraton tersebut. Apakah ia harus melompat pagar atau memanjat atap keraton ini supaya dia bisa bertemu dengan Ayah Edi? Melihat empat penjaga di pintu utama saja, ia tidak bisa mengatasinya. Kalau dia memaksa diri menerobos masuk di sana, mungkin saja kepalanya akan terpisah dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.

“Oh, God! Help me! Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak adakah kesempatan untukku ... sekali lagi?” batin Nanda dengan perasaan tak karuan.

 

((Bersambung...))

 

Mohon maaf kalau lambat update karena sekeluarga sedang sakit dan papaku harus diisolasi (positif covid-19). Mohon doanya semoga author dan keluarga cepet sehat, bisa berkarya lagi dengan tenang dan bahagia.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas