Thursday, October 20, 2022

Kunjungan Dewan Komisaris Pertamina Hulu Indonesia ke Rumah Literasi Kreatif





Rabu, 19 Oktober 2022


Pada hari ini, Rumah Literasi Kreatif Bunga Kertas yang ada di Desa Beringin Agung mendapatkan kunjungan dari WMT Pertamina.
Bahagia sekali bisa bertemu langsung dengan Bapak Taufan Huneman (Komisaris Utama Pertamina Hulu Indonesia), Bapak Rahmat Utomo (Komite Komisaris Pertamina Hulu Indonesia), Bapak Sandy Zahaf (Manager Performance Regional 3), Bapak Darmapala (Senior Manager Production & Project Zona 9), Bapak Ade Diar Suhendar (Field Manager Pertamina Hulu Sanga-Sanga) dan seluruh rombongannya.
Hadir juga Bpk. Rendy Wiryawan (Ketua Yayasan Teman Kita), Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat Desa Beringin Agung.
Sebagai penerima manfaat, saya diberi waktu untuk memaparkan beberapa program unggulan yang ada di Rumah Literasi Kreatif yang selama ini disupport oleh Pertamina Hulu Sanga-Sanga dalam proses pengembangan program kreatifitas dan proyek Social Incubator yang ada di desa kami.
Penyerahan Donasi Buku Bacaan dari Komisaris Pertamina Hulu Indonesia untuk Rumah Literasi Kreatif Bunga Kertas.

Penyerahan bingkisan dari Mamuja (Divisi Literasi Finansial) untuk Komisaris Pertamina Hulu Indonesia dan jajarannya.

Penyerahan hasil karya lukisan dari Adik Yoga (Tim Kaligrafi & Seni Lukis) untuk Komisaris Pertamina Hulu Indonesia.

Penyerahan bingkisan untuk Bapak Ade Diar Suhendar (Field Manager PHSS).

Foto bersama ibu-ibu Mamuja (Literasi Finansial) di Workshop Mamuja.





Sukses Dimulai Dari Hobby Membaca Buku


Terima kasih kepada Bapak Taufan Huneman ( Komisaris Utama Pertamina Hulu Indonesia)  yang telah mengajarkan sukses dari sebuah buku atau hobby membaca.

Kebanyakan orang sukses adalah orang yang suka membaca buku. Karena buku adalah sumber pengetahuan dan bisa memberikan wawasan yang luas.

Buku telah mengantarkan aku ke banyak dunia meski aku hanya berada di dalam satu ruangan.
Buku juga yang telah membuatku bertemu dengan orang-orang sukses seperti beliau yang terus mengajarkan aku untuk mencintai buku dan memberikan investasi buku untuk anak-anakku di masa depan.

"Membaca banyak buku membuat kita menjadi orang yang berpikiran terbuka dan memiliki rasa empati yang tinggi," ucap beliau dalam kunjungan ke Rumah Literasi Kreatif Bunga Kertas, Desa Beringin Agung, Samboja.

Orang yang banyak membaca buku akan merasa semakin bodoh. Karena ternyata, ilmu yang sudah kita dapatkan di dalam buku yang kita baca itu tidak ada apa-apanya dengan semua ilmu yang ada di dunia ini.

Sunday, October 16, 2022

Lesty Kejora Wanita yang Hebat



Maaf, kalau kali ini aku agak ke-trigger sama berita yang lagi viral soal artis terkenal yang menjadi korban KDRT. 
Karena setelah lihat cuplikan video yang beredar di dunia maya, aku ngerasa kayak flashback ke masa lalu.
Apa yang dialami Lesty, aku juga pernah mengalaminya. Nggak kebayang gimana ketakutannya melihat suami yang temperamental, yang tega memukul kita meski kita sedang dalam keadaan menggendong bayi yang itu adalah anak dia.
Aku inget banget, aku juga pernah hampir ditonjok dalam keadaan lagi gendong Arga yang baru umur tiga bulan. Tapi saat itu mantan suamiku masih bisa mengalihkan emosinya dengan nonjok dinding di  dekatku sampai jebol. Tapi nggak sampai di situ, dia masih punya kesempatan buat nyekik aku. Dan tatapan mata penuh emosi itu, nggak pernah bisa aku lupain. 
Meski dia sudah minta maaf berkali-kali dan aku juga sudah memaafkan, tapi kejadian itu nggak pernah bisa aku lupain. Bener-bener bikin aku trauma. Meski aku berusaha untuk bertahan dan memperbaiki semuanya, tetap saja gagal karena trauma disakiti secara fisik itu masih sangat membekas. Membuat aku kesulitan untuk menumbuhkan rasa sayang yang sudah hancur saat orang yang paling dekat denganku, malah menyakitiku tanpa beban.

Saat kekerasan itu terjadi, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku juga nggak berani lapor polisi. Dua orang saksi yang melihat aku dicekik sama suamiku sendiri (Mbah Lanang & Mbah Wedok) juga memilih untuk diam dan bungkam. tidak membelaku sama sekali. Jadi, aku juga memilih untuk bungkam dan berusaha menyelesaikan permasalahanku sendiri. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sudah terlanjur toxic.

Jujur, saat itu aku memang berada diselimuti keresahan karena aku sangat takut berada di sisi orang terdekatku, juga tidak berani mengakhiri hubungan dengan alasan anak.

Lesty Kejora adalah wanita yang hebat karena dia bisa dengan begitu cepat memutuskan memenjarakan pria yang sangat ia cintai. Untuk mengambil keputusan seperti itu, tentunya tidak akan mudah. 
Aku sendiri, meski aku tidak bisa lagi mencintai pria yang sudah menyakitiku secara verbal dan fisik, aku tetap tidak tega melaporkan dia ke polisi. Bahkan, melihat ayah dari anak-anakku hidup susah saja, sesungguhnya aku nggak tega. 
Lesty adalah wanita yang hebat karena bisa membuat suaminya sendiri kelimpungan dan memakai baju orange. Dia adalah wanita yang bisa memberikan shock therapy untuk suaminya yang telah melakukan perbuatan KDRT. Aku rasa, nggak banyak wanita yang memiliki keberanian seperti itu. Karena terkadang ada banyak pertimbangan sebelum mengambil keputusan untuk mengambil langkah hukum.

Ada banyak hal yang dipertaruhkan oleh Lesty Kejora ketika ia memutuskan untuk melaporkan suaminya sendiri. Mungkin apa yang dia pertaruhkan itu sepadan untuk membuat suaminya benar-benar jera. 

Lesty adalah wanita yang hebat karena dia sangat sabar dan mau menerima suaminya kembali di sisinya. Bagiku, itu hal yang sangat sulit. Berada satu ranjang lagi dengan pria yang pernah memukul kita ... itu sulit. Karena trauma itu akan selalu terbayang di pelupuk mata setiap kali melihat wajahnya.
Benar kata Dewi Persik. Sekeras apa pun menumbuhkan rasa sayang itu kembali, tetap tidak akan bisa. Karena bayangan dilukai secara fisik, membuat aku juga tidak bisa nafsu saat diranjang. Memaksakan diri melayani suami yang menjadi sumber ketakutan, memanglah sangat sulit.
Jika Lesty bisa melewati ini semua dan menghapus rasa traumanya. Dia adalah wanita yang hebat. Karena aku sudah berusaha begitu keras, aku tetap tidak bisa menjadi seperti dia.


Semoga wanita-wanita di luar sana dijauhkan dari pria yang ringan tangan dan selalu mendapatkan banyak kasih sayang dari pria yang dia cintai.



Salam,


Rin Muna





Friday, October 14, 2022

Extra Part 04 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 



Pagi-pagi sekali, Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya, teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.

Anjani langsung berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita yang lainnya. “Halimah ...!”

“Anjani ...!” Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.

“Anjani, aku kangen sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.

“Asyik, dong. Aku bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.

“Wah ...! Makasih, Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.

“Uch, dasar tukang makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.

“Manusia hidup butuh makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.

Anjani tersenyum sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian, ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka itu.”

Halimah tersenyum lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku tersayang!”

Anjani mengangguk sambil tersenyum.

Halimah dan teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil bercengkerama.

Anjani tersenyum kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis yang ada di sana.

“Eh, Anjani ...? Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di dekatnya.

“Gampanglah kalau cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian, asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah teman-temannya.

Ibrahim, Agus dan Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”

“Aku mau ajak kalian dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana. Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.

“Wah! Serius? Kamu mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”

Anjani menggeleng. “Nggak, dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”

“Mau ... mau ... mau ...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.

Anjani langsung tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”

“Siap, Bu Bos!” sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.

Anjani segera melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan lainnya.

Setelah menghabiskan cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai aktivitas keseharian mereka masing-masing.

“Halimah, liburan kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.

Halimah menggeleng. “Aku mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.

“Oh ya? Seminggu ini kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.

Halimah menggeleng. “Ustadz Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”

“Oh ya?” Anjani langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak untuk menetap.

Halimah mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah pria yang terlahir di keluarga biasa.

“Oh ya? Kamu liburan ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang. Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.

Anjani tertawa kecil mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik orang tua Ustadz Zuhri.

“Iya juga, ya?” Halimah manggut-manggut tanda mengerti.

“Aku mau ajak kamu liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke arah Halimah.

“Eh!? Aku mana punya uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.

“Gampang. Aku yang traktir semuanya.”

“Beneran!?”

Anjani mengangguk. “Beneran, dong. Masa Anjani bohong, sih.”

“Mmh, aku izin ke Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”

“Pasti boleh dong kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”

Halimah menggeleng. “Terakhir hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang tuanya.”

“Oh.” Anjani manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”

Halimah mengangguk sambil tersenyum.

“Kok, dia belum datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.

“Mmh ... aku sudah bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.

“Masih lama, dong? Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.

Halimah mengangguk. “Satu tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”

“Iya juga, sih.” Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”

Halimah mengangguk. “Aku tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”

“Cinta sama Ustadz Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.

“Pertama karena dia pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu bonus,” jawab Halimah.

Anjani langsung mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin pula.”

“Hush! Anjani nggak boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”

“Kalau salah satu dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.

“Kalau sudah jalan jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”

Anjani menghela napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”

“Astagfirullah ... itu fitnah, Anjani.”

“Hehehe. Bercanda,” sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita berangkat ke kota. OK?”

Halimah mengangguk. “Kamu bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”

“Siap, Juragan!” sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.

“Juragan apaan? Yang asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.

“Ucapan itu doa. Amiinin, dong!” pinta Anjani.

“Aamiin Ya Rabb.” Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.

 

 

[[Bersambung ...]]


Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!



Teirma kasih sudah dukung author terus...



Much Love,

@vellanine.tjahjadi

Saturday, October 1, 2022

Extra Part 03 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]

 BAB 3

OBSESI ANJANI



Anjani mondar-mandir di dalam kamar berkali-kali sambil sesekali menggigit jemari kukunya. Kalimat Ustadz Zuhri yang berniat untuk mengkhitbah Halimah, terus terngiang-ngiang di telinganya.

“Kalau Ustadz Zuhri beneran mau khotbah Halimah, itu artinya Halimah bakal jadi calon istrinya di masa depan? Kok bisa Ustadz Zuhri mau lamar dia? Kita masih sekolah. Emang Halimah mau nikah muda?” gumam Anjani.

“Halimah nggak mungkin menolak Ustadz Zuhri. Apalagi dia udah mau tujuh belas tahun. Sudah boleh untuk menikah. Apa Ustadz Zuhri bakal langsung menikahi Halimah atau menunggu dia lulus sekolah dulu, ya?”

“Aargh ...! Nggak peduli bakal nunggu atau langsung menikah. Intinya, kalau Ustadz Zuhri beneran ngelamar Halimah, mereka bakal tetap jadi suami istri,” ucap Anjani.

“Nggak boleh! Ini nggak boleh terjadi. Yang kenal sama Ustadz Zuhri itu aku duluan. Harusnya Ustadz Zuhri sukanya sama aku! Kenapa malah sama Halimah. Kesel banget sama Halimah. Caper banget di depan Ustadz Zuhri,” cerocos Anjani. Ia sibuk berdialog dengan dirinya sendiri.

Anjani menatap wajahnya di cermin. “Aku sama Halimah masih cantikan mana? Cantik aku ‘kan?” tanyanya pada bayangannya sendiri. “Abi aku juga guru Agama dan Ummi guru ngaji. Keluargaku juga keluarga yang agamanya baik. Kenapa Ustadz Zuhri malah pilih Halimah yang nggak punya orang tua dan kakaknya juga nggak alim. Kak Annisa, ke mana-mana nggak pernah pake hijab.”

“Anjani ... kamu nggak boleh kalah dari Halimah. Kamu harus bisa dapetin Ustadz Zuhri sebelum dia kembali ke kampungnya karena masa pengabdiannya selesai. Ayahnya Ustadz Zuhri itu Kiai dan punya pesantren. Kalau aku menikah dengan dia, masa depanku akan cerah,” ucapnya. Ia menegakkan tubuhnya dan tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat Ustadz Zuhri menjadi suaminya.

Anjani melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia langsung menghampiri ayahnya yang sedang bersantai sambil menonton televisi. “Abi ...!” panggilnya manja.

“Ada apa?”

“Anjani boleh minta sesuatu?” tanyanya sambil bergelayut manja di pundak ayahnya.

“Apa?”

“Anjani pengen menikah.”

“APA!? Kamu masih sekolah, sudah pengen nikah?” tanya Ayah Anjani sambil memperhatikan wajah puterinya. Matanya langsung berpindah ke bagian perut puterinya. “Kamu hamil?”

“Astagfirullah, Abi! Kenapa Abi berprasangka seburuk itu? Anjani masih suci, Bi. Mana mungkin Anjani hamil.”

“Terus, kenapa minta nikah?”

“Sebentar lagi lulus sekolah, Abi. Anjani pengen nikah aja. Soalnya, Anjani suka sama seseorang dan ingin menghindari zina dengan menikah. Boleh ya, Bi!”

Ayah Anjani menghela napas. “Kamu mau menikah dengan siapa? Anak-anak di kampung ini tidak ada yang masa depannya bagus. Mereka Cuma lulusan SMA. Paling-paling kerja di kebun setiap hari. Kamu mau punya suami begitu?”

Anjani menggeleng. “Nggak mau, Abi. Makanya aku mau dinikahkan dengan Ustadz Zuhri. Dia masih muda, tampan dan pandai agama.”

“Astagfirullah, Anjani! Kamu ini jangan sembarangan bicara! Ustadz Zuhri yang di kampung sebelah itu? Apa dia mau punya istri sepertimu? Dia hanya bertugas sementara saja di desa itu. Tidak akan lama tinggal di sana.”

“Anjani akan ikut ke manapun Ustadz Zuhri pergi jika Abi mau melamar kan Ustadz Zuhri jadi suamiku.”

“Astagfirullah ...! Harusnya kamu yang dilamar. Bukan melamar, Anjani!”

“Buat Ustadz Zuhri melamarku, Abi!”

“Gimana caranya? Kamu ingin menurunkan martabat Abi di depan semua orang?”

“Abi kenal dengan orang tua Ustadz Zuhri ‘kan?”

“Iya, kenal. Tapi tidak begitu dekat.”

“Minta orang tuanya untuk menjodohkan aku dan Ustadz Zuhri, Abi.”

Ayah Anjani terdiam sambil berpikir selama beberapa saat.

“Abi ... Anjani cuma mau menikah sama Ustadz Zuhri seumur hidup. Kalau tidak menikah dengan dia, Anjani tidak akan menikah seumur hidup!” ancamnya sambil bangkit dari sofa saat ayahnya tak kunjung memberikan keputusan. Ia langsung melangkah kasar menuju kamar.

“Kamu jangan marah-marah dulu! Abi akan usahakan. Tapi tidak janji. Semoga Ustadz Zuhri juga bersedia menikahimu.”

Anjani langsung tersenyum lebar mendengar ucapan ayahnya. “Terima kasih, Abi ...!” Ia berlari ke arah ayahnya dan memeluk tubuh pria itu sambil tersenyum ceria. Ia sudah mendapatkan akses untuk membuat ikatan dengan Ustadz Zuhri. Ia hanya butuh usaha lagi untuk membuat Ustadz Zuhri menyukainya. Ia harus bisa menggagalkan Ustadz Zuhri untuk mengkhitbah Halimah agar ia menjadi pemilik satu-satunya pria tampan nan sholeh tersebut.

 

[[Bersambung ...]]

 

Terima kasih buat kalian yang udah mau nunggu cerita ini!

Cerita ini adalah Prequel “Assalamualikum, Ya Habib!” yang ada di aplikasi Fizzo.

Jadi, kalau mau tahu kenapa ada cerita ini, baca dulu novel sebelumnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas