Wednesday, August 17, 2022

Bab 59 - Terlunta-Lunta

 



“Hiks … hiks … hiks …!” Nia terus menangis sesenggukan di dalam kamar karena putera kesayangannya pergi dari rumah tanpa membawa apa pun.

“Nia, kamu jangan nangis terus! Pusing dengernya,” pinta Andre sambil memegangi rahangnya yang terasa ngilu akibat pukulan dari puteranya.

“Kalau nggak mau aku nangis terus, balikin Nanda ke rumah ini. Dia anak kita satu-satunya, kamu tega banget sama anak sendiri. Huuaaa ...!” seru Nia sambil membuang ingusnya dengan kasar menggunakan tisu.

“Aku tahu. Aku juga nggak mau kayak gini. Tapi anak itu ... kalau terlalu dimanja, malah makin ngelunjak. Kita lihat aja! Palingan besok pagi dia sudah balik ke rumah ini dan nuruti kemauan kita. Dia pikir, bisa hidup tanpa orang tua? Siapa yang kasih makan selama ini sampai dia besar? Yang ngasih dia pendidikan dan semuanya? Cuma disuruh nurut sama orang tua aja susah!” sahut Andre sambil menahan kesal.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” tangis Nia semakin keras begitu mendengar ucapan kekesalan dari suaminya itu. Demi apa pun, ia tidak rela melihat puteranya diusir dari rumah dan hidup terlunta-lunta di jalanan.

Andre langsung melangkah keluar dari dalam kamar. Ia enggan mendengarkan tangisan istrinya yang terus merengek meminta Nanda kembali ke rumah mereka. “Anak itu harus dapet hukuman serius supaya nurut,” gerutunya.

Sementara itu, Nanda melangkahkan kaki menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Ia tidak membawa apa pun saat keluar dari rumah, termasuk ponselnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Nanda menghela napas sembari menyandarkan tubuhnya di batang pohon yang ada di tepi jalanan. Ia memerosotkan tubuhnya dan terduduk di atas semen trotoar itu. Saat mengedarkan pandangannya, bibirnya tersungging miring. Kemudian, ia sibuk menertawakan dirinya sendiri.

Nanda menyandarkan kepala sambil menengadah dengan mata terpejam. Delapan tahun silam, ia kerap tertidur di pinggir jalan karena mabuk bersama teman-teman sepergaulannya.

Saat itu, ia tidak tahu apa itu kehidupan. Tidak tahu apa itu tanggung jawab. Tidak pernah memikirkan masa depan dan membayangkan keluarga yang rumit. Yang ia tahu hanyalah bersenang-senang. Dan saat ini, kawan bersenang-senangnya menghilang satu per satu, kemudian sirna. Semuanya sibuk mengurus keluarganya sendiri. Semua sudah memiliki kehidupan dan tanggung jawab masing-masing.

“Nan, kamu ngapain di sini?”

Nanda langsung membuka mata dan menoleh ke arah pria berseragam SMA yang tidak pernah pergi dari sisinya. Ya, pria itu adalah Sonny Pratama. Satu-satunya sahabat terbaik yang ia miliki, tapi semua itu ia hancurkan karena cinta.

Nanda mengerjap tak percaya saat melihat Sonny mengulurkan tangan ke arahnya.

“Bangunlah!” pinta Sonny sambil mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Nanda.

Nanda mengucek matanya dan menatap Sonny yang sudah berubah pakaian. Pria remaja itu sudah terlihat dewasa dengan kemeja putih, celana bahan dan kacamatanya yang khas. Ia memukul-mukul kepalanya beberapa kali. “Kenapa aku halusinasi? Apa karena laper?” gumamnya.

Sonny tertawa kecil sambil membungkukkan tubuhnya di hadapan Nanda. “Kamu laper? Aku traktir makan baso, gimana?”

Nanda memicingkan mata dan menatap serius ke arah Sonny. Ia langsung mengulurkan tangannya, meraih tubuh sahabatnya itu. “Kamu beneran Sonny!?”

Sonny mengangguk. “Mama kamu yang telepon aku dan minta tolong buat nyari kamu,” jawabnya.

Nanda tersenyum kecil dan menyambut uluran tangan Sonny. Ia langsung bangkit dan memeluk sahabat kecilnya itu. “Hidupku nggak henti-hentinya dihancurkan oleh takdir. Aku tahu, ini karma yang harus aku jalani.”

Sonny tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Nanda. “Apa yang kita tanam di dunia ini, akan selalu ada hasilnya. Sekarang, bukan saatnya menyesali masa lalumu. Nanda yang aku kenal, tidak pernah rapuh. Tidak pernah menyerah sekalipun sisa nyawa hanya tinggal sedetik saja.”

Nanda tersenyum sambil dan mengangguk setuju. “Aku nggak pernah bilang mau menyerah, Son. Aku hanya ... huft, banyak hal yang sulit untuk ungkapkan.”

“Mungkin kamu lagi lapar. Jadi, susah ngomong! Makan, yuk! Aku traktir.” Sonny langsung merangkul tubuh Nanda dan mengajaknya pergi ke salah satu warung baso yang ada di tepi jalan.

“Nan, kenapa kamu nggak datang ke acara nikahanku? Sibuk banget atau nggak berhasil bawa Ayu balik ke Indonesia?” tanya Sonny saat ia dan Nanda sudah duduk di meja kosong yang ada di warung tersebut.

“Ck. Aku udah berhasil bawa dia ke Indonesia. Tapi aku nyesel, Son.”

“Nyesel kenapa?”

“Dia harus menjalani upacara suci yang ... argh! Nggak manusiawi banget. Sayangnya, hukum adat di beberapa daerah tertentu masih nggak berubah. Kalau aku tahu aturan keraton kayak gitu, aku nggak akan biarkan dia balik ke Indonesia. Mending aku aja yang pindah ke London,” jawab Nanda sambil mengacak rambutnya yang sudah kotor dan berantakan.

“Ayu pernah cerita ke aku. Hukuman itu memang ada?” tanya Sonny.

Nanda mengangguk. Ia menceritakan semua hal yang harus dialami oleh Ayu untuk menebus dosa masa lalunya dan membuatnya kembali diterima di keluarga keraton.

“Setelah ini, kamu mau ke mana? Aku antar, Nan,” tanya Sonny setelah ia mendengar semua cerita dan keluh-kesah Nanda.

“Nggak tahu, Son. Aku nggak punya tempat tinggal lagi.”

“Mau aku booking hotel buatmu, Nan?” tanya Sonny.

“Nggak punya duit, Son. Aku tidur di pinggir jalan aja,” sahut Nanda tak bersemangat.

“Nan, dulu kamu banyak bantu aku. Mana mungkin aku biarkan kamu tidur di pinggir jalan. Kalau ada yang tahu, aku bisa malu. Masa temennya Dokter Sonny, tidur di jalanan?” sahut Sonny dengan gaya santai yang biasa dilakukan Nanda.

Nanda menghela napas. “Okelah. Aku pasrah. Aku pinjam uangmu dulu! Kalo udah ada uang, aku bakal balikin ke kamu.”

“Nggak perlu, Nan! Kamu nggak perlu kembalikan apa pun. Kalau mau ... kembalikan hatinya Ayu ke aku!” pinta Sonny sambil menepuk-nepuk bahu Nanda.

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Sonny. “Kamu udah nikah, Son. Masih mau ngembat istri orang juga?”

“HAHAHA.” Sonny tergelak. “Aku guyon, Nan!”

“Aku lagi nggak bisa diajak bercanda, Son. Spaneng banget!”

Sonny tertawa kecil. “Kamu mau apa biar nggak spaneng? Klub malam? Cewek cantik? Aku akan bawa kamu ke tempat yang kamu mau.”

“Ck. Bikin masalah baru lagi kalau begitu, mah. Ayu baru aja baikan sama aku. Nggak usah nyalain kompor yang udah lama mati!” sahut Nanda.

Sonny tergelak. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?”

“Belum tahu,” jawab Nanda lirih. Ia sendiri, tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena saat ini ia tidak punya apa-apa dan tidak punya muka untuk meminta bantuan dari orang lain.

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas