Wednesday, August 17, 2022

Bab 52 - Hukuman Pertama untuk Ayu

 


Ayu melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arena terbuka, tempat di mana dia akan menjalani hukuman pertamanya. Di sebelah kirinya, ada seorang pelayan yang biasa mendampinginya. Di sebelah kanan, ada Nanda yang menjadi pelayan baru di kediaman tersebut.

Ayu langsung duduk bersimpuh di tengah lapangan. Tepat di tribun yang ada di hadapannya, Sri Sultan dan seluruh keluarga keraton sudah berkumpul untuk menyaksikan penebusan dosa yang telah dilakukan oleh Roro Ayu.

Nanda terus berdiri di belakang Ayu. Sementara, pelayan yang satunya lagi sudah melangkah mundur.

“Mas, Ayo pergi!” pinta pelayan itu berbisik di telinga Nanda. “Nanti kamu ketahuan kalau terlalu lama di dekat Tuan Puteri!”

Nanda mengikuti pelayan yang menariknya. Kedua matanya tetap mengawasi Ayu yang masih duduk bersimpuh di sana sambil memberi hormat kepada seluruh keluarganya, juga pada semua keluarga bangsawan yang diundang ke acara tersebut.

Nanda langsung diajak bergabung dengan pelayan-pelayan yang ada di sana.

“Saya belum pernah melihatmu. Pelayan baru?” tanya seorang pelayan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Nama kamu siapa?” tanya pelayan lainnya.

“Nindi,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

“Nindi? Nama yang cantik. Kamu beruntung sekali bisa langsung mendampingi Tuan Puteri meski baru bekerja,” sahut pelayan lainnya.

Nanda hanya tersenyum saja mendengar pembicaraan semua pelayan yang ada di sana.

“Tidak semua pelayan diizinkan melayani Tuan Puteri. Hanya pelayan-pelayan tertentu saja.”

“Oh ya?” sahut Nanda sambil tersenyum bangga.

“He-em. Katanya, Tuan Puteri itu anak yang baik. Sejak kecil, dia selalu berprestasi. Bahkan, saat diasingkan dan tidak boleh masuk istana, Tuan Puteri menulis banyak buku,” tutur pelayan lain.

“Tuan Puteri itu tidak benar-benar diasingkan. Kalau diasingkan, mana mungkin dia bisa lanjut sekolah sampai ke Inggris. Dia hanya tidak dibolehkan masuk ke Istana. Kata diasingkan itu hanya untuk menutupi martabat keluarga ini dari keluarga bangsawan lain,” tutur pelayan yang ada di sana.

“Iya. Benar, benar.”

Semua pelayan yang ada di sana sibuk membicarakan kebaikan Roro Ayu dan terus memojokkan Nanda. Mereka semua menganggap kalau pria yang telah menodai Roro Ayu adalah pria yang sangat kejam karena membuat Roro Ayu harus menjalani hukuman leluhur yang sangat berat.

Karena sibuk bergosip dengan para pelayan, Nanda sampai tak menyadari jika hakim pengadilan keraton tersebut sudah mulai membacakan pasal-pasal aturan yang dilanggar oleh Ayu dan bersiap melakukan eksekusi yang disaksikan oleh semua keluarga bangsawan di negeri tersebut.

Satu orang algojo, sudah berdiri tegak di belakang Ayu dengan cambuk besar di tangannya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari ...! Apakah Ananda siap menjalani hukuman?” Suara Edi Baskoro terdengar menggelegar.

“Siap, Romo!” sahut Ayu sambil menangkup telapak tangan di depan wajah dan membungkuk hormat. Ia melirik ke algojo yang ada di belakangnya dan bernapas lega saat tahu kalau tali pecut itu terlihat lebih besar dari biasanya. Hal ini, bisa mengurangi rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak menyangka kalau keluarganya juga memikirkan untuk memberi tali pecut yang lebih besar.

Edi Baskoro menghela napas. Ia duduk kembali di kursinya dan memerintahkan algojo memulai hukuman untuk puterinya.

TAR ...!!!

Ayu menahan napas saat pecut itu menyambar punggungnya. Nanda yang memiliki ilmu beladiri, sudah mengajarinya cara bertahan agar tubuhnya tidak mudah tumbang saat mendapatkan hantaman. Menahan napas adalah bagian dari cara mempertahankan tubuhnya dari rasa sakit.

Nanda ikut menahan napas ketika di dalam dua manik matanya terlukis tubuh Ayu yang sedang dihukum begitu kejam oleh pengadilan keluarga besarnya. Tangannya mengepal erat-erat sembari menghitung jumlah cambukan yang menyambar tubuh Ayu.

“Tiga puluh ...”

“Empat puluh ...”

“Empat puluh delapan ...”

“Empat puluh sembilan ...”

Nanda langsung melangkahkan kakinya, ia berlari menuju ke tengah area dan langsung menangkap tubuh Ayu yang sudah terkulai lemas menahan rasa sakit di tubuhnya.

“Ay, bertahanlah! Kamu akan baik-baik aja,” bisik Nanda sambil menitikan air mata.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Terima kasih ...! Sudah mengajariku cara untuk bertahan,” ucapnya lirih sambil berusaha menyentuh pipi Nanda perlahan.

Nanda tertegun saat telapak tangan Ayu begitu susah payah mencapai pipinya. Ia berusaha mendekatkan pipinya ke telapak tangan wanita itu, tapi tangan itu malah jatuh terkulai begitu saja ke tanah.

“Tuan Puteri ...!” Pelayan-pelayan yang lain ikut menghampiri tubuh Roro Ayu. “Bawa ke kamar! Dia harus segera diobati,” seru mereka.

Nanda langsung mengangkat tubuh Ayu, ia segera menggendong wanita itu dan berlari secepatnya menuju ke kamar milik Ayu agar wanita itu bisa segera mendapatkan pengobatan.

Di atas tribun, Bunda Rindu hanya bisa menyaksikan puterinya dihukum dengan berderai air mata. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ayu ingin masuk kembali ke keluarga itu dan menjalani hukuman berat dari keluarganya. Ia sendiri, tidak bisa menyelamatkan puterinya karena nama baik keluarga besarnya juga sedang dipertaruhkan.

“Nggak perlu menangisi Ayu! Hukuman ini adalah pilihan dia sendiri,” tutur Edi sambil menggenggam tangan Bunda Rindu.

Bunda Rindu mengusap air mata dan berusaha bangkit dari tempat duduknya.

“Jangan pergi sebelum tamu-tamu kita pulang!” perintah Edi Baskoro.

Bunda Rindu terdiam dan mengurungkan niatnya untuk pergi melihat Ayu. Ia harap, semua pelayan di keraton tersebut bisa mengurus puterinya dengan baik.

Di sudut lain, sepasang mata milik seorang pria terus mengawasi jalannya acara tersebut. Ia adalah tamu bangsawan yang diundang hadir bersama keluarganya dan tidak menyangka jika puteri yang menjadi pembicaraan di seluruh negeri adalah wanita yang ia kenal.

Begitu sampai di kamar Ayu, Nanda langsung mengunci rapat kamar tersebut. Ia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke dalam kamar Ayu kecuali dokter yang sudah ia siapkan satu jam sebelum prosesi hukuman itu terjadi.

“Dokter, gimana keadaan istri saya?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa denyut jantung Ayu.

“Dia akan baik-baik saja. Hanya butuh istirahat karena harus menahan rasa sakit yang begitu banyak. Ini ... saya berikan obat anti nyeri dan obat luar untuk lukanya,” jawab dokter itu.

Nanda mengangguk. “Terima kasih, Dokter!”

Dokter itu mengangguk. “Saya akan pasangkan infus untuk dia untuk menstabilkan keadaannya.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lega. “Dokter, di keraton ini tidak ada yang boleh menggunakan ponsel. Bisakah dokter bantu saya?”

“Saya pasti akan membantu semampu saya,” tutur Nanda. “Istrimu adalah sahabat baik Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Saya pasti akan menghormati pertemanan kalian.”

Nanda tersenyum lega. “Mmh ... Ayu masih harus menjalani rangkaian hukuman lain. Dia masih harus berendam di danau selama tujuh hari tujuh malam. Bisakah dokter bantu saya mencarikan obat atau apa pun yang bisa menjaga tubuhnya tetap hangat dan bertahan di dalam air?” tanya Nanda.

Dokter itu berpikir sejenak. “Kemungkinan obat itu ada. Biasanya digunakan oleh tim penyelam agar tubuhnya tetap bisa bertahan di suhu yang dingin selama berjam-jam. Tapi, obat itu susah dicari dan harganya sangat mahal.”

“Soal harga, dokter tidak perlu khawatir! Berapa pun itu akan saya bayar,” ucap Nanda sambil menatap wajah dokter tersebut.

“Baiklah. Akan segera saya carikan obatnya. Dua hari lagi, saya akan ke sini untuk mengecek keadaan istri Anda.”

Nanda mengangguk. “Dokter bisa jaga rahasia kami ‘kan? Jangan sampai ada yang tahu kalau aku adalah suami Ayu. Mereka semua hanya tahu kalau aku pelayan.”

Dokter itu mengangguk sambil tertawa tanpa suara.

“Panggil saya Nindi, Dokter! Jangan sampai keceplosan panggil Nanda!” pinta Nanda.

Dokter itu mengangguk sambil tersenyum manis. “Baik, Mbak Nindi!”

Nanda tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya. “Terima kasih, Dokter! Salam untuk Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Sampaikan rasa terima kasih saya kepada mereka.”

Dokter itu mengangguk. Ia langsung berpamitan dan segera keluar dari dalam kamar Ayu setelah selesai melakukan tindakan pengobatan.

Nanda langsung duduk di tepi ranjang Ayu. Ia meraih tangan wanita itu dan menciumi punggung tangannya. “Ay, kamu harus bertahan, ya! Aku tidak akan membiarkan kamu menjalaninya sendirian. Maafkan aku yang dulu! Maafkan aku yang sudah membuatmu harus menderita seperti ini!” ucapnya sambil menitikan air mata.

Tok ... tok ... tok ...!

Nanda mengusap air mata dan menoleh ke arah pintu. Ia langsung menatap pelayan yang membuka pintu kamar Ayu dan masuk ke dalam.

“Ada Raden Mas dari keraton lain yang ingin mengunjungi Tuan Puteri,” ucap pelayan itu sambil menatap wajah Nanda dan Ayu yang terbaring di ranjangnya.

“Raden Mas?” Nanda mengernyitkan dahi. “Siapa?”

“Dari keraton Yogyakarta. Katanya, ingin menjenguk Tuan Puteri,” jawab pelayan itu.

“Apa dia pangeran di keraton itu?” tanya Nanda dengan suara wanita dan gaya centilnya yang dibuat-buat.

“Iya.”

Nanda terdiam sejenak. Ia langsung mengintip ke luar pintu. “Apa aku masih punya saingan cinta lagi? Gawat kalau sainganku pangeran keraton,” gumamnya dalam hati.

“Kita hanya pelayan. Tidak boleh membatasi Tuan Puteri. Apalagi menyinggung pangeran dari keraton lain,” tutur pelayan itu sambil menarik lengan Nanda dan mengajaknya duduk di lantai yang ada di sisi ranjang Ayu saat seorang pria muda dan tampan dengan pakaian mewah memasuki ruangan itu.

“Ayu, kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya pria itu sambil duduk di tepi ranjang Ayu dan mengusap lembut pipi wanita itu.

Nanda mengernyitkan dahi melihat sikap pria itu. Ia menahan rasa kesal di dalam dadanya sambil berusaha memperhatikan wajah pria yang terlihat sangat familier itu. Ia sibuk mengumpat di dalam hati saat melihat pria dari keraton lain tiba-tiba menghampiri Ayu dan mendapatkan akses khusus untuk masuk ke dalam keraton tersebut. Ia yang memiliki status sebagai suami Ayu saja, tidak pernah diizinkan masuk ke dalam keraton ini hingga membuatnya harus menyamar. Ia harus memikirkan cara untuk membuat pria-pria bangsawan lain tidak mendekati Ayu lagi.

“Minta pihak keraton untuk menyiapkan tempat tinggal untuk saya. Saya akan menginap di sini sampai hukuman Roro Ayu selesai,” perintah pria itu sambil menatap salah satu pengawalnya.

“Maaf, Raden Mas! Tuan Puteri dilarang untuk bertemu dengan pria yang bukan mahrom dia selama masa hukuman. Tolong, jangan menyulitkan puteri kami!” pinta pelayan yang ada di sana sambil membungkuk hormat.

“Aku tahu aturan keraton. Kamu tidak perlu mengajariku!” sahut pria itu. “Setidaknya, aku bisa melihat dia baik-baik saja meski dari kejauhan.”

Pelayan itu langsung menundukkan kepala tanda mengerti. Tidak ada satu pun yang berani bersuara hingga pria itu keluar dari dalam kamar Ayu.

Nanda menghela napas lega saat pria itu sudah keluar dari dalam kamar Ayu. “Bukankah Tuan Puteri tidak boleh bertemu dengan pria? Kenapa dia diizinkan masuk ke kamar Tuan Puteri?”

“Peraturan itu tidak akan berlaku untuk keluarga bangsawan. Mereka juga masih memiliki ikatan keluarga,” jawab pelayan lain.

“Maksudnya? Mereka bersaudara?”

“Saudara, meski sangat jauh,” jawab pelayan yang ditanya.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaannya semakin terganggu mendengar ucapan pelayan yang bersamanya. “Saudara sepupu saja masih boleh menikah, gimana dengan hubungan saudara yang lebih jauh?” gumamnya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Menikahi Lelaki Brengsek karya Vella Nine]

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas