Wednesday, August 17, 2022

Bab 42 - Sama-Sama Menderita

 


Nanda tersenyum sambil mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia yang terbiasa tinggal di negara tropis.

“Nan, kamu buat dua porsi?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan. Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik.

“Kamu bilang, cuma mau masakin aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda.

“Ay, aku juga laper. Aku seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?” tutur Nanda sambil memasang wajah memelas.

“Nggak percaya! Kamu masih kuat masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu.

“Serius, Ay. Aku belum makan. Suer!” tutur Nanda lagi sambil mengacungkan dua jarinya.

“Kamu banyak duit. Beli makan di luar sana!” sahut Ayu ketus.

“Jam segini masih ada yang jualan?” tanya Nanda.

“Banyak restoran dua puluh empat jam,” sahut Ayu.

“Aku nggak punya uang Pound Sterling. Nggak bisa jajan di sini, Ay. Boleh pinjam uang kamu?” tanya Nanda sambil memainkan matanya.

Ayu memutar bola matanya. “Sejak kapan kamu jadi kayak gini?”

“Sejak kamu pergi ninggalin aku tanpa pesan,” jawab Nanda.

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Pergi dari sini!” pintanya sambil bangkit dari kursi dan mendorong tubuh Nanda agar pergi dari sana.

“Ayu, apa nggak ada kesempatan lagi buat aku?” tanya Nanda. Ia berusaha keras agar tidak keluar dari flat milik Ayu meski hanya sejengkal saja.

“Nggak ada!” tegas Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dengan susah payah.

“Ay, jangan usir aku! Aku bisa jadi gelandangan di kota ini. Aku nggak punya uang. Pinjamkan aku uang!” pinta Nanda berdalih. Ia ingin mengatakan semua kalimat yang ada di dunia ini selama Ayu masih mau mendengarkannya dan membuatnya tetap tinggal di sisi wanita itu.

“Oke. Aku kasih kamu uang. Tapi setelahnya, kamu pergi dari sini!” pinta Ayu. Ia bergegas masuk ke kamar.

Nanda bergegas mengikuti langkah Ayu ke dalam kamar.

“Kamu!? Ngapain ikut masuk ke dalam sini? Kamu ini mesumnya nggak hilang-hilang, ya!?” seru Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

“Keluar dari sini! KEL—” Ucapan Ayu terhenti saat telapak tangan Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan teriak-teriak, Ay! Ini sudah tengah malam dan ganggu tetangga. Flat di sini cuma dibatasi dinding ‘kan?” pinta Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

“Kamu ...!?” dengus Ayu dalam hati sambil berusaha melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Ia berusaha memberontak agar Nanda segera melepaskannya. Namun, kekuatan yang ia miliki tak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pria itu.

Nanda terus menekan tangannya agar Ayu tidak berteriak di tengah malam seperti ini hingga membuat kedua kaki Ayu terbentur oleh ranjang tidurnya dan membuat wanita itu terjatuh ke atas kasur. Tubuh Nanda pun ikut jatuh tepat di atas tubuh wanita itu.

Ayu menahan napas ketika wajah Nanda berada tepat di atasnya. Mata pria itu seolah mengunci tubuhnya hingga ia tidak bisa bergerak dan kesulitan untuk bernapas.

Jemari tangan Ayu mencengkeram selimut yang ada di bawahnya dan napasnya begitu memburu.

Nanda tersenyum dalam hati sambil melirik tangan Ayu yang mencengkeram selimutnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung membenamkan bibirnya di bibir wanita itu.

Ayu melebarkan kelopak mata saat Nanda tiba-tiba menciumnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Nanda agar menyingkir dari tubuhnya. Tapi pria itu malah mengecupnya semakin dalam hingga membuat aliran darahnya berjalan tak karuan. Otaknya tiba-tiba kacau dan ia malah menikmati bibir Nanda yang begitu hangat mengulumnya.

“Ergh!” Ayu langsung mendorong dada Nanda dengan kedua telapak tangannya dan membuang pandangannya ke samping. Dadanya terlihat tegas bergerak naik turun seiring dengan perasaannya yang tak karuan ketika Nanda menyentuhnya.

“You still love me?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ia mengusap lembut rambut wanita itu dengan siku bertumpu pada kasur yang ada di sebelah pundak Ayu.

Ayu bergeming. Kelopak matanya memanas dan semua rasa sakit tiga tahun lalu, membayangi pelupuk matanya.

“I’m sorry ...! Maafin aku yang dulu! Bisakah kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya.

Ayu masih bergeming dan enggan menatap wajah Nanda yang ada di atasnya. Tapi ia bisa merasakan embusan napas Nanda yang jatuh tepat di telinganya.

“Ay ... meski pengadilan telah menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku. Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi.

Ayu memejamkan matanya sambil berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun lalu?

“Ay, give me one word! Aku masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari tubuh Ayu.

Ayu menghela napas lega saat Nanda sudah beranjak dari tubuhnya.

Nanda tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku nikahnya.

Ayu langsung menatap buku nikah yang dipegang oleh Nanda. Begitu kuatnya pria  brengsek ini mengikat hatinya hingga ia tidak sanggup melepaskan diri dan berlari selamanya.

Nanda menatap Ayu dengan mata berkaca-kaca. “Ay, pernikahan kita dibatalkan oleh keluargamu saat kamu dalam keadaan koma. Kamu dibawa berobat ke luar negeri tanpa sepengetahuanku. Saat hal itu terjadi, aku sedang melaksanakan upacara pemakaman anak kita. Aku berhari-hari berlutut di depan keluargamu, memohon agar mereka memaafkan aku dan memberi aku kesempatan menjaga dan merawatmu. Tapi mereka malah masukin aku ke penjara dan mengambil alih saham keluargaku,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia langsung bangkit dari kasur dan duduk menatap wajah Nanda. Perasaannya semakin tak karuan saat melihat air mata pria itu. Ia tidak ingin percaya pada ucapan Nanda. Tapi mata pria itu seolah menyiratkan sebuah kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui.

“Di sini yang kejam itu aku atau kamu, Ay? Aku tahu semuanya salahku. Aku mengakui semua itu dan aku berusaha bertanggung jawab. Aku berusaha menebus semua kesalahanku. Tapi kamu dan keluargamu ... begitu kejam dan sama sekali tidak peduli bagaimana penderitaanku selama tiga tahun ini,” tutur Nanda sambil menatap Ayu penuh luka.

Ayu tertegun sambil menatap wajah Nanda. Ia tidak tahu bagaimana penderitaan Nanda saat ini. Nanda juga tidak tahu bagaimana penderitaan yang ia alami saat ini. Mereka berdua sama-sama menderita karena keegoisan masing-masing. Karena keegoisan keluarga Ayu. Karena martabatnya yang begitu tinggi sebagai keturunan keraton kesultanan. Karena ia tidak bisa berbesar hati memaafkan kesalahan Nanda.

Andai ia bisa seperti wanita-wanita lain, mungkin ia tidak akan membuat lebih banyak orang menderita karenanya. Ia tidak akan membuat keluarganya dan keluarga Nanda ikut menjadi korban ketidakberdayaannya.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!”

Ayu menutup wajah dengan telapak tangannya seiring dengan tangisnya yang pecah seketika. Ia benar-benar menyesal. Mengapa ia tidak bisa menanggung rasa sakit dan penderitaannya seorang diri? Andai ia bisa, tentu hanya dia yang akan menderita, tidak ada orang lain lagi.

Nanda langsung merengkuh kepala Ayu ke dalam pelukannya. “Ay, kita sama-sama menderita. Bisakah kita saling memaafkan dan membuka pintu baru untuk masa depan kita? Apa pun syaratnya, akan aku penuhi asal kamu bisa memaafkan dan kembali ke sisiku lagi,” pintanya lirih.

Ayu tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar tidak mengetahui kalau ayahnya begitu kejam. Bahkan tidak memberitahukan perihal ia yang dibawa ke luar negeri bertepatan dengan pemakaman puteri mereka. Ayu terlalu mempercayai ayahnya hingga ia memilih untuk pergi jauh dari sisi pria yang ternyata sedang memperjuangkannya hingga saat ini.

Nanda menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Jangan sedih lagi, ya! Kamu laper ‘kan? Makan dulu mie-nya. Kalau udah dingin, nggak enak,” pintanya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia melangkah menuju meja makan yang ada di dapurnya dan mulai menikmati semangkuk mie buatan Nanda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat ini, ia tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri. Ia tidak bisa menerima kehadiran Nanda yang begitu tiba-tiba, tapi juga tak bisa menolaknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan selalu menghargai karya-karya author ...!

Semoga, tulisan-tulisanku bisa bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran hidup yang berarti.

Tidak ada manusia yang tidak pernah menyesal dalam hidupnya. Yang harus kita perhatikan bukanlah penyesalannya, tapi apa yang akan kita lakukan setelah kata penyesalan itu.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas