Wednesday, August 17, 2022

Bab 43 - Harapan Besar yang Sirna

 


Ayu mengerjapkan mata saat sinar matahari masuk lewat-lewat celah jendela dan menimpa wajahnya. Telapak tangannya menyentuh sofa yang ia tiduri yang terasa sangat nyaman, tak seperti biasanya.

Ayu meraba kain di bawahnya yang terasa berbeda dan terasa seperti tubuh seseorang. Ia melebarkan kelopak mata saat menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menengadahkan kepala. Ia menelan saliva dengan susah payah sambil bangkit perlahan dari pangkuan Nanda.

“Stupid!” umpat Ayu dalam hati sambil menepuk keningnya sendiri. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuan dia?”

Ayu terdiam saat melihat wajah Nanda yang tertidur pulas di hadapannya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya, memperhatikan guratan wajah pria yang sudah tidak pernah ia temui selama tiga tahun belakangan ini. Tapi bayangan wajahnya selalu menjadi kawan menikmati malam-malamnya yang sepi.

Ayu menitikan air mata sambil menyentuh lembut pipi Nanda. “Nan, ratusan hari aku mencoba mengusir bayanganmu dan aku selalu gagal. Aku benar-benar tidak tahu mengapa begitu sulit menepiskanmu. Hatiku yang terlalu benci atau aku yang terlalu takut mencintai lagi?” batinnya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia merasakan pipinya disentuh oleh seseorang.

Ayu buru-buru menarik tangannya dari wajah Nanda dan bergegas melangkah pergi.

Nanda mengucek mata sembari memijat lehernya yang terasa sangat pegal. Ia membuka mata dan menatap televisi di depannya yang sudah mati dan sinar matahari telah masuk melalui celah-celah jendela rumah itu.

Nanda menyunggingkan senyum sembari merentangkan kedua tangan dengan tubuh meliuk saat menyadari kalau masih berada di dalam flat milik Ayu. Meski wanita itu tak mengajaknya bicara sama sekali. Tapi juga tidak mengusirnya pergi.

Nanda melangkah perlahan menghampiri pintu kamar Ayu dan mengetuk pintu kamar tersebut. “Ay ...!”

Hening.

“Ayu ...!” panggil Nanda lagi.

Hening.

“Ay, kenapa diam aja?” tanya Nanda sambil menempelkan daun telinganya ke daun pintu kamar Ayu.

“Ada apa?” tanya Ayu sambil membuka pintu kamar tersebut.

“E-eh.” Nanda langsung terjerembab ke lantai saat pintu yang sedang ia sandari tiba-tiba terbuka. Ia membelalakkan matanya saat ia melihat tubuh Ayu yang berdiri menjulang di atasnya dan hanya mengenakan bathrobe.

“Nanda ...! Kamu lihat apa, hah!?” seru Ayu sambil menjepitkan kedua tangannya, menutup miss v miliknya yang berada tepat di atas kepala Nanda. Ia segera memundurkan langkahnya agar pria itu tak melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.

“Ay, aku tidak menceraikanmu. Kita  masih suami istri ‘kan?” tanya Nanda. Ia malah menyilangkan kedua tangan di belakang kepala dan berbaring terlentang di lantai kamar Ayu. Ia menoleh ke arah Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang tidurnya.

“Nggak! Pernikahan kita sudah dibatalkan,” sahut Ayu ketus.  “Kita bukan suami-istri!”

“Aku masih pegang buku pernikahan kita. Kartu ID aku juga statusnya nggak pernah ganti. Kita itu nggak bercerai, Ay. Keluargamu aja yang maksa buat pisahin kita,” ucap Nanda santai.

 “Mereka nggak maksa. Gugatan itu memang atas permintaanku sendiri,” tutur Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

Nanda terdiam sambil melipat satu kaki di atas lutua dan memainkannya dengan santai.

“Nan, bisa keluar? Aku mau ganti baju,” pinta Ayu.

“Biasanya kamu ganti baju tanpa aku harus keluar dari kamar.”

Ayu menghela napas sambil memutar bola matanya.

“Nan, kamu ini kenapa jadi muka tebal gini, sih?” tanya Ayu sambil menatap Nanda yang berbaring di lantai.

“Kamu boleh ngatain aku apa aja asal kamu izinkan aku tinggal di sini,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu memutar bola matanya. Ia memeluk beberapa lembar pakaian ganti miliknya dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ia terpaksa mengganti pakaiannya di sana dan bergegas kembali.

“Nan ...!” panggil Ayu saat melihat Nanda masih berbaring terlentang di dekat pintu kamarnya. Pria itu malah memejamkan mata dan tidur di sana tanpa beban.

“Nanda ...!” Ayu meninggikan nada suaranya.

Nanda masih bergeming.

Ayu segera menghampiri pria itu. “Nan ...!” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan tubuh Nanda.

“Tidur lagi?” gumam Ayu sambil menatap wajah Nanda yang tertidur pulas. “Bisa-bisanya dia ini tidur di lantai. Untung ada karpetnya.” Ia menarik selimut dari atas kasurnya dan menutupkan ke tubuh Nanda.

Ayu  melangkah perlahan melewati tubuh Nanda dan bergegas keluar dari rumah tersebut.

Nanda membuka mata ketika Ayu sudah keluar dari rumah tersebut. Ia tersenyum menatap selimut yang menutupi tubuhnya. “Kamu ketus sama aku, tapi masih ingat untuk memperhatikanku, Ay.”

Nanda segera bangkit dari lantai dan bermaksud untuk kembali ke flat miliknya yang bersebelahan dengan flat milik Ayu. Belum sampai keluar, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. “Wait! Ayu ini ‘kan kelewat cerdas. Kalau aku balik ke flat aku untuk mandi dan ganti pakaian. Aku bakal ketahuan kalau aku bohongi dia. Bisa makin kacau dunia persilatan. Lebih baik, aku tetep di sini. Pura-pura jadi gelandangan di sini,” ucapnya.

Nanda segera berbalik dan melangkah masuk kembali ke dalam kamar Ayu. Ia memperhatikan detail kamar wanita itu. Tidak ada yang aneh dari kamar itu. Meja dan rak di sana dipenuhi dengan buku.

Mata Nanda tertuju pada buku diary yang ada di atas meja. Ia meraih buku itu dan membukanya.

Halaman pertama buku itu dibuka dengan potret USG yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bawahnya, tertulis jelas kalimat “The New World” yang membuat Nanda menitikan air mata.

Halaman berikutnya, ada sebuah ilustrasi foto wajahnya, wajah Ayu dan seorang anak kecil dengan tulisan “Lovely Family”. Di baliknya, ada banyak kata-kata harapan yang ditulis Roro Ayu tiga tahun silam saat ia masih mengandung anaknya.

Jika Tuhan beriku kesempatan ... aku ingin menjadi seorang istri yang dicintai ... menjadi seorang ibu yang dicintai ... menjadi seorang wanita yang dicintai dan berharga.

 Nanda terdiam saat membaca kalimat terakhir yang tertulis di buku itu. Ia menutup buku diary tersebut dan tersenyum penuh harapan. Meski terus menolak kehadirannya, tapi Ayu masih memiliki sebuah harapan untuk menjadi wanita yang dicintai. Dan kalimat-kalimat itu membuatnya mengerti bahwa wanita itu ingin dicintai oleh dirinya yang dulu tidak pernah melihat keberadaan wanita itu, apalagi menganggapnya berharga.

“Ay, selama kamu tidak mengusirku pergi. Aku masih memiliki harapan untuk membawamu kembali ke sisiku. Kamu boleh ucapkan semua kata kebencian yang ada di dunia ini dan aku akan tetap mencintaimu,” tutur Nanda sambil tersenyum menatap potret Ayu yang tersenyum lebar dengan pakaian toga dan latar Melbourne University.

Beberapa menit kemudian, pintu rumah Ayu terdengar terbuka. Nanda buru-buru keluar dari kamar milik Ayu dan duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi. “Dari mana?” tanya Nanda sambil menoleh ke arah pintu. “Ini weekend. Kamu nggak sekolah ‘kan?”

Ayu tersenyum sambil membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal. “Dari pasar,” jawab Ayu sambil tersenyum manis. Tangannya memeluk kantong kertas berisi sayur-sayuran.

Nanda tersenyum lebar. Ia bangkit dari sofa dan berniat meraih kantong belanjaan dari tangan Ayu. Namun, gerakan tangannya terhenti saat melihat seorang pria berada di belakang wanita itu. Ia melongo menatap pria tampan berdarah Eropa dengan tubuh menjulang tinggi. Mungkin, tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter dengan rambut cokelat dan bola mata warna biru keabu-abuan.

Ayu langsung tersenyum lebar melihat reaksi Nanda. “Nan, kenalin ... ini Blaize. Kakak Senior aku di kampus sekaligus pacarku.”

“Eh!? Pa-pa-ca-car?” Mata Nanda terus tertuju pada pria tampan yang ada di hadapannya itu.

Blaize langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Hello ...! I’m Blaize. I’m Roro boyfriend. How do you do?”

Nanda tersenyum kecut sambil menyambut uluran tangan Blaize.

“Masuk, yuk!” ajak Roro sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Blaize mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah tersebut. Melewati tubuh Nanda begitu saja yang masih tertegun di sana.

Nanda mengerjapkan mata dan membuyarkan lamunannya. “Ay, dia beneran pacarmu?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis dan masuk ke pantry bersama Blaize. “Ini hari Minggu. Kami biasa menghabiskan waktu bersama saat hari libur.”

Nanda terdiam sambil berdiri menatap Ayu dan Blaize yang ada di sana. Blaize terus bergerak di dapur itu, seolah pria itu memang sudah hafal dengan letak barang-barang yang ada di dapur rumah Ayu.  

“Hari ini kita masak apa?” tanya Blaize dengan aksen British yang kental.

“Rendang.”

“Rendang? Oh, yeah. Rendang sangat terkenal. How to make it?”

Ayu tersenyum menatap Blaize sambil mengulurkan apron ke hadapan pria itu. “Masak rendang akan sangat lama. Tidak secepat masak nasi goreng.”

“Oh ya? Are you hungry? Bagaimana kalau ... aku potongkan buah untukmu. Supaya kamu tidak kelarapan,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.

“Kelaparan, Blaize. Bukan kelarapan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil membenahi kalimat Blaize.

“Ke-la-pa-ran?” Blaize berusaha meralat ucapannya sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia membantu Blaize mengenakan apron sambil melirik Nanda yang masih berdiri terdiam di sana.

Nanda terus menatap Ayu dan Blaize yang terlihat sangat akrab dan begitu mesra. Ia langsung membalikkan tubuhnya, menundukkan kepala sambil melangkah tak bersemangat. Ia segera keluar dari dalam flat milik Ayu dengan perasaan putus asa. Ia benar-benar tak menyangka kalau Ayu sudah memiliki seorang kekasih dan membuat harapannya yang tadi sangat besar, tiba-tiba sirna begitu saja.

 

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf, karena ada problem ... kemarin nggak sempat nulis cerita ini!

Stay with me and together fall in love!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas