Wednesday, August 17, 2022

Bab 63 - Jarak dan Waktu yang Merenggang

 



Nanda menghela napas lega sembari menutup laptop begitu ia menyelesaikan proposal bisnisnya.

“Akhirnya, kelar juga!” seru Karina sembari meliukkan tubuhnya.

“Thank’s, Rin ...! Kamu udah bersedia bantu aku. Malam ini aku traktir kamu makan sebagai rasa terima kasihku. Mau atau nggak?”

Karina terkekeh mendengar tawaran dari Nanda. “Kamu belum dapet apa-apa, Nan. Kamu mau traktir aku makan dengan uang hasil utangmu ke aku?”

“Hehehe.” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu.

“Kamu traktir aku setelah proposal bisnis kamu ini goal. Gimana? Sementara, biar aku yang traktir kamu dulu dan aku masukin ke daftar utang,” ucap Karina sambil mengusap layar ponselnya.

Nanda tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Eh, mau reservasi tempat atau order makanannya ke sini?” tanya Karina.

“Order aja, Rin. Aku sembari ngecek ulang MBC yang dikerjain sama tim,” jawab Nanda.

Karina menghela napas. “Kamu udah tutup laptop. Mau buka laptop lagi? Mending istirahat, deh! Besok pagi kamu udah harus persentasi. Kalau kamu bangun kesiangan atau sakit, bisa kacau persentasimu, Nan.”

“Nggak. Aku nggak akan begadang, kok. Aku tahu cara mengatur tubuhku sendiri. Mmh ... setelah presentasi selesai, aku bisa minta tolong sama kamu?”

“Bisa,” jawab Karina sembari melakukan checkout beberapa makanan favorite-nya. “Apa?”

“Antar aku ke Solo!” pinta Nanda.

“Mau ketemu sama mantan istri kamu?” tanya Karina.

“Dia bukan mantan, Rin. Dia masih istriku. Aku nggak pernah ceraikan dia,” sahut Nanda.

“Au, ah. Aku pusing mikirin hubungan kalian yang aneh. Kalau kamu sama dia nggak cerai, berarti aku bakal jadi istri kedua dong kalau perjodohan kita lanjut?”

Nanda mengangguk sambil menatap wajah Karina.

“Serius, Nanda! Kamu sama dia itu sebenarnya cerai atau nggak!?” seru Karina kesal. “Kamu tuh susah banget dipercaya!”

“Enggak,” sahut Nanda.

Karina mengerutkan wajahnya. “Kenapa ortu kamu bilang kalau kamu udah cerai sama istrimu?”

“Aku bukan cerai, Rin. Tapi pernikahan kami dibatalkan sama orang tuanya Roro Ayu,” sahut Nanda.

Karina menahan tawa mendengar ucapan Nanda. “Bukan kamu yang ceraikan istrimu?”

Nanda menggelengkan kepala. “Bukan. Pernikahanku dibatalin sama mertua.”

“HAHAHA.” Karina tertawa keras mendengar ucapan Nanda.

Nanda langsung menyumpal mulut Karina menggunakan gulungan tisu yang ada di tangannya.

“Bweh ... uweek ...!” Karina langsung menyebrulkan tisu tersebut. “Jahat banget, sih!?”

“Ketawamu ngolok, Rin!”

“Hahaha.” Karina tertawa sambil menutup mulutnya. “Abisnya ... kamu selalu bilang kalau kamu adalah playboy paling keren se-Indonesia yang punya banyak cewek dan nggak pernah diputusin sama cewek mana pun. Sekali punya istri, hubungannya diputus sama mertua. Hahaha.”

Nanda menatap kesal ke arah Karina yang terus tertawa di hadapannya.

“Serius. Aku pikir, kamu cerai karena kamu yang ceraikan istrimu ... terus kamu nyesel. Ternyata, kamu bisa juga diputusin. Hahaha.”

“Heh!? Kamu jangan ngomong sembarangan, ya! Kalau nggak terhalang mertua, Roro Ayu itu cinta mati sama aku!” tutur Nanda.

“Oh ya? Kalau cinta mati, kenapa dia bisa pergi dari kamu dan kamu yang ngejar-ngejar dia?” sahut Karina.

“Enak aja! Dia yang ngejar-ngejar aku. Bukan aku yang ngejar dia!” ucap Nanda.

“Oh ya? Kalau sampai besok kamu yang ngejar dia? Taruhan apa?” tanya Karina sambil mendelik serius ke arah Nanda.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Karina. Pikirannya melayang ke tempat yang semuanya kosong karena saat ini ia tidak memiliki apa pun untuk menjadi bahan taruhan.

“Hei ...! Berani taruhan, nggak?” tanya Karina sambil memukul meja di hadapannya.

“Ck. Makanannya udah kamu pesen atau belum?”

“Heleh, ngeles!”

“Serius! Aku laper banget, Rin.”

“Jawab dulu! Berani taruhan atau nggak?” seru Karina.

“Ck. Kamu ini ... masa Nanda nggak berani taruhan?” sahut Nanda sambil menatap wajah Karina. Detik berikutnya, ia mengubah raut wajahnya menjadi masam. “Emang nggak berani, sih.”

“HAHAHA.” Karina kembali tergelak. Sekali ia memegang kartu as Nanda, ia terus menjadikannya sebagai bahan ejekan yang bisa ia layangkan kapan saja kepada pria itu. Bisa berteman seperti ini dengan Nanda, itu jauh lebih baik dan nyaman daripada harus terlibat hubungan bisni yang sekedar formalitas.

 

 

...

 

-Keraton Kesultanan Surakarta-

Hampir seminggu pelayan di istana dibuat ketar-ketir karena Roro Ayu tiba-tiba mengurung diri di dalam ruang perpustakaan selama dua puluh empat jam. Mereka tidak berani melapor pada orang tua Ayu atau pun pada Sri Sultan karena takut dianggap tidak becus melayani puteri mahkota mereka. Tidak tahu apa yang terjadi dengan Roro Ayu hingga membuat para pelayannya kewalahan.

“Ndoro Puteri ...! Sudah waktunya makan malam,” ucap salah satu pelayan sambil mengetuk pintu perpustakaan yang tertutup rapat.

Ayu menghela napas sembari menatap pintu perpustakaan yang tiba-tiba diketuk. Ia menoleh ke arah jam dinding ruangan tersebut yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Setiap berada di depan buku, ia merasa waktunya terasa sangat singkat.

Ayu bangkit dari tempat duduk dan melangkah perlahan menuju pintu. Ia segera membuka pintu tersebut dan menatap Sri yang sudah berdiri di depannya. “Aku nggak mau makan yang lain. Bawakan air mineral dan dua buah pir saja!” perintahnya.

“Ndoro Puteri, sudah tujuh hari ini Ndoro Puteri tidak makan siang sama sekali dan hanya mengambil dua buah pir setiap malam. Kami semua khawatir.”

“Aku puasa,” sahut Roro Ayu.

“Eh!? Bukannya hukuman Ndoro Puteri sudah selesai? Jangan membuat kami khawatir dan menyulitkan kami, Ndoro!” pinta pelayan bernama Sri itu.

“Aku hanya masih ingin berpuasa. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku!” pinta Ayu sambil melangkah masuk kembali ke dalam perpustakaan tersebut.

Sri langsung meraih nampan yang disiapkan pelayan lain dan membawakannya masuk ke dalam perpustakaan tersebut. “Ndoro ...!”

“Nggak usah panggil aku seformal itu kalau hanya ada kita berdua!” pinta Ayu.

“Mbak Ayu ... apakah ...?” Sri mengurungkan niatnya untuk melayangkan pertanyaan ke arah Ayu saat wanita itu sudah terlihat serius meneliti buku yang ada di hadapannya.

“Taruh aja buah dan minumannya di meja! Kalau udah nggak ada yang mau dikerjain, keluar dari sini dan jangan ganggu konsentrasiku!” pinta Ayu tanpa mengalihkan pandangan dari buku-buku yang ada di hadapannya.

Sri mengangguk. Ia segera melangkahkan kakinya perlahan keluar dari dalam perpustakaan tersebut. Matanya terus mengarah ke tubuh Ayu yang masih terus menundukkan kepala menatap buku-buku yang ada di hadapannya. Ia tahu kebiasaan majikannya itu. Ketika ada masalah besar dengan hatinya, ia akan pergi ke ruang buku untuk menghibur diri. Hal ini, selalu membuat semua orang khawatir dan tidak tahu bagaimana cara membuat tuan puteri mereka itu kembali ceria seperti biasanya.

Ayu menghela napas sambil memejamkan mata begitu Sri keluar dari perpustakaan dan menutup rapat pintu tersebut. Air matanya menetes perlahan, pelan dan pasti jatuh ke atas buku kuno yang ada di tangannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Biasanya, ia selalu membaca dan menulis banyak hal tentang bisnis. Tapi kali ini, ia malah menulis tentang sejarah kuno dan setiap ada kisah cinta di dalamnya, makin menambah kesedihannya.

“Kapan aku bisa selesaikan nulis buku kalau perasaanku kayak gini terus!?” seru Ayu dalam hati sambil mengacak isi meja hingga membuat semua barang-barangnya berjatuhan ke lantai.

“Iih ... Nanda brengsek! Kenapa nggak pernah berubah? Emang bener kata orang, sekali playboy, selamanya tetep playboy! Cowok setia itu cuma ada dalam cerita dongeng doang!” serunya sambil menahan amarah.

“Ayu, kamu bego banget, sih!? Kenapa begitu mudah percaya dan maafin dia? Akhirnya, tetep sakit lagi ‘kan?” tutur Ayu sembari menjatuhkan kepalanya di atas meja dan menangis sesenggukan.

Sudah tujuh hari berlalu sejak hukumannya selesai dan Nanda masih belum memenuhi janji untuk menjemputnya. Hal ini, membuat Ayu semakin berpikir negatif dan menganggap kalau Nanda sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana.

“ASYIK-ASYIK AJA TERUS SAMA PEREMPUAN LAIN DI LUAR SANA DAN JANGAN PERNAH TEMUI AKU LAGI!” seru Ayu kesal. Ia terus meracau tak jelas karena Nanda benar-benar tidak mempedulikan kehadirannya lagi dan memilih untuk bersama dengan wanita lain.

“COWOK BRENGSEK! SEKALI BRENGSEK, SELAMANYA TETAP BRENGSEK!”

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas