Tuesday, November 5, 2019

Race in Love


www.rinmuna.com


Hari ini, aku kembali duduk di bangku penonton untuk menyaksikan balapan sepeda motor. Sebenarnya, aku tidak suka berada di tempat ini karena aku harus menyaksikan kalau pacarku sedang dalam bahaya. Bahaya? Ya, bahaya yang bisa saja terjadi di sirkuit. Aku tidak ingin melihatnya terluka sedikit saja.

Setiap kali Rendra cedera, aku selalu menangis semalaman. Aku tidak bisa melihatnya terluka. Tapi, dia selalu bilang kalau dia baik-baik saja. Ia sangat mencintai dunia balap. Sekalipun aku terus memohon padanya untuk berhenti, ia tidak akan melakukannya. 
 
"Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Aku mencintai dunia balap. Aku tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah memberikan kepercayaan kepadaku," tutur Rendra tiga tahun silam saat ia lolos seleksi tingkat nasional. 

Aku ingin mengakhiri semuanya. Beberapa kali hubungan harus putus karena aku egois. Aku terus menginginkannya berhenti balapan. Sementara Rendra, selalu kembali ke pelukanku setiap kali ia mengakhiri musim balapannya. Kami saling mencintai, itulah alasan kenapa aku tidak bisa melihatnya di arena balap.

Waktu terus bergulir, Rendra tak menyerah memberikan aku pengertian sampai akhirnya aku terus berada di sisinya dalam keadaan apa pun. Kini, Rendra berhasil menjuarai beberapa kejuaraan internasional di beberapa negara Asia. Walau banyak prestasi yang sudah ia raih. Aku tetap saja mengkhawatirkan dirinya.

Aku langsung menghampiri Rendra begitu ia selesai balapan. Aku selalu berlari ke arahnya dan memeluknya begitu erat. Aku berharap, Rendra akan terus memelukku sampai kami menua bersama.

"Kenapa masih nangis?" tanya Rendra sambil mengusap air mataku.

Aku tersenyum. "Karena aku takut kehilangan kamu."
"Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Aku ada di sini," tutur Rendra sambil menunjuk dadaku.

Ya, dia tahu kalau aku selalu menyimpan hatinya di dalam hatiku. Dia tahu kalau aku sangat mencintainya.

Rendra memelukku dengan erat. "Kamu jangan pernah pergi lagi! Jangan pernah bilang kata putus lagi. Aku sayang sama kamu. Sama seperti aku mencintai dunia balap. Jangan minta aku memilih antara kamu dan dunia balap. Aku mencintai keduanya."

Rendra selalu menenangkan perasaanku. Ia mengerti kekhawatiran yang menghantuiku. Itulah sebabnya, ia selalu mengajakku makan malam romantis setiap kali ia usai balapan.

Waktu begitu cepat bergulir. Rendra akan kembali ke sirkuit seminggu lagi. Entah kenapa, perasaanku begitu gelisah. Tak seperti biasanya. Rendra selalu menginginkan aku ada di kursi penonton setiap kali ia balapan. Tapi, kali ini Rendra justru memintaku untuk berdiam di dalam rumah. Dia bilang, "tidak perlu menyusul aku ke sini. Aku bakal baik-baik aja. Aku pasti pulang. Jangan lupa bikinin aku cream soup! Aku rindu cream soup buatan kamu."

Sikap Rendra benar-benar tak biasa. Hal ini justru membuat aku gelisah dan khawatir. Kami sudah tidak bertemu selama beberapa bulan karena Rendra sibuk latihan dan aku sibuk dengan tugas kuliahku.

Tak ingin terus dihantui rasa khawatir. Aku langsung mengemasi pakaianku ke dalam koper dan memesan tiket menuju Malaysia. Di sana, Rendra akan mengikuti balapan yang ke sekian kalinya. Aku tetap ingin melihatnya sebab aku sangat merindukannya.

Aku baru memberi kabar pada Rendra ketika aku sudah sampai di Malaysia. Rendra sangat terkejut karena aku selalu rela terbang ke negara tempat ia mengikuti kompetisi balap.
 
Malam hari sebelum balapan, Rendra memaksakan diri menemuiku di apartemen tempat aku menginap. Ia langsung memeluk erat tubuhku begitu aku membukakan pintu untuknya.

"Kamu boleh keluar?" tanyaku heran.

"Sebentar saja, mereka nggak akan tahu. Aku kangen sama kamu," jawab Rendra sambil memelukku begitu erat. Ia bahkan menciumku berkali-kali. 

"Oh ya, aku bikinin cream soup buat kamu. Mau makan?" tanyaku sambil menatap wajah Rendra.

"Serius?" Rendra terlihat senang dan langsung menghampiri meja makan. Ia tersenyum senang dan langsung menikmati cream soup buatanku dengan lahap.

"Mmh ... aku kangen banget sama cream soup buatan kamu. Nggak nyangka kalo kamu bikinin sekarang. Padahal, aku kan minta bikinin kalo udah pulang ke Indonesia."

Aku tertawa bahagia melihat wajahnya. "Kamu sudah telepon Mama kamu?" tanyaku.

"Sudah. Besok pagi aku telepon lagi sebelum mulai balapan," jawab Rendra.

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Besok kamu nggak usah ke sirkuit ya!" pinta Rendra.

"Hah!? Kenapa?"

"Nggak papa. Aku janji bakal langsung nemuin kamu begitu selesai balapan. Kita pulang ke Indonesia bareng," tutur Rendra sambil tersenyum. 

"Tumben buru-buru pulang?"

Rendra tersenyum. "Nggak boleh?"

"Boleh banget," sahutku.

Kami terdiam selama beberapa saat.

"Ren, aku khawatir sama kamu. Aku takut kehilangan kamu," tuturku perlahan sambil bergelayut di pundak Rendra.

"Anggi sayang ... kamu nggak perlu khawatir! Kamu cukup doain aku biar aku menang," pinta Rendra.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Buat seorang pembalap, mati di sirkuit itu sebuah kehormatan," tutur Rendra sambil tersenyum.

"Iih ... apaan sih!? Nggak usah ngomong soal mati, deh!" Aku menepuk bahu Rendra.

Rendra tertawa kecil. "Semua orang bakal mati dan aku bakal bahagia banget kalau aku mati dalam kompetisi. Itu kehormatan buat aku."

Hatiku nyeri mendengar ucapan Rendra. Aku tidak bisa menahan kesedihan dan air mataku menetes begitu saja. Aku paling benci ketika Rendra membahas soal kematian. Apa dia tidak tahu kalau perkerjaannya penuh dengan resiko dan dia justru menakut-nakuti dengan kematian.

Rendra tertawa kecil dan langsung merengkuh tubuhku. "Jangan pernah nangisin aku, karena aku bahagia sama dunia ini. Kamu harus tersenyum!" pinta Rendra sambil mengusap air mataku.

"Gimana aku bisa senyum kalo kamu ngomongnya kayak gitu? Kamu tahu nggak sih kalo aku khawatir banget sama kamu. Rasanya, aku pengen iket kamu sekarang di sini biar kamu nggak pergi ke sirkuit!" tuturku kesal.

Rendra tertawa kecil. "Jangan marah, dong! Jelek tahu."

Aku bergeming. Rendra benar-benar tak mengerti perasaanku. Apa dia tidak bisa merasakan kalau aku begitu mengkhawatirkannya?

Rendra tertawa kecil. Ia mengangkat tubuhku dan menarik ke pangkuannya. "Aku cuma bercanda. Makasih ya udah peduli dan selalu khawatir sama aku," tutur Rendra sambil tersenyum menatapku. Ia menyentuh pipiku dengan lembut, menyibakkan anak rambut yang berantakan menutupi wajahku. Kemudian ia menciumku penuh cinta.

"Aku sayang sama kamu," tutur Rendra terus menciumiku. 

Mungkin ia sangat merindukanku sehingga ia sampai menciumku berkali-kali. Tak seperti biasanya.

"Kita menikah setelah kamu wisuda ya!" pinta Rendra.

Aku menganggukkan kepala. Aku masih harus menyelesaikan empat semester lagi untuk bisa mendapatkan gelar sarjana. Kami sudah bertunangan sejak setahun yang lalu. Rendra tidak ingin aku terus mengajaknya putus hanya karena balapan dan dia benar-benar membuktika keseriusannya untuk menjadikan aku satu-satunya wanita yang ada dalam hatinya.

"Aku balik dulu!" pamit Rendra. "Besok nggak usah dateng ke sirkuit. Aku yang bakal datengin kamu. Kita sama-sama pulang ke Indonesia." Rendra mencium keningku dan bergegas pergi.

Keesokan harinya, aku menuruti permintaan Rendra untuk tidak hadir di sirkuit. Aku hanya menontonnya lewat siaran live di televisi. Aku menonton sambil sibuk membuatkan cream soup untuk Rendra. Dia akan senang sekali jika aku menyiapkan makanan kesukaaannya saat ia datang.

Aku langsung menatap layar televisi begitu mendengar nama Rendra disebut oleh komentator. Aku melangkah perlahan mendekat ke televisi sambil membawa mangkuk berisi cream soup hangat yang baru saja aku masak.

PRANG!

Aku membiarkan mangkuk itu terjatuh di lantai. Tangan dan tubuhku tiba-tiba lemas saat melihat Rendra terjatuh dari motornya saat balapan hampir usai. Ini bukan pertama kalinya Rendra terjatuh dari motor. Ia pernah cedera beberapa kali dan aku berharap Rendra hanya mengalami luka ringan. Aku langsung melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Aku tidak ingin menunggu kabar dari televisi tentang keadaan Rendra. Aku langsung memesan taksi dan berangkat menuju lokasi sirkuit.

"Rendra mana?" tanyaku pada salah satu tim Rendra. Hampir semuat tim Rendra mengenaliku karena Rendra sering mengajakku pergi bersama mereka.

"Udah di bawa ke rumah sakit," jawab tim yang aku tanya.

"Rumah sakit? Emangnya petugas medis di sini nggak bisa nanganin?" tanyaku.

Cowok itu menggelengkan kepala dengan wajah murung.

"Rendra baik-baik aja, kan?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Kami nggak tahu."

"Dia di bawa ke rumah sakit mana?" tanyaku.

Cowok itu menyebutkan nama rumah sakit yang ada di Kuala Lumpur. Aku langsung bergegas kembali menaiki taksi menuju rumah sakit. Perasaanku makin tak karuan saat tahu kalau Rendra dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa menahan tangis selama perjalanan. 

Saat Rendra mengalami cedera ringan saja, aku menangis semalaman di sampingnya. Bagaimana aku harus menghadapi kenyataan yang lebih dari itu? Rasanya, hatiku begitu sakit.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari mencari Rendra. Tidak begitu sulit untuk mendapatkan informasi. Aku langsung menuju ke ruang Emergency. Di luar ruangan, ada beberapa tim yang sedang duduk sambil menangis. Manager Rendra langsung berdiri menatapku begitu aku datang. Dari raut wajahnya, aku bisa mengerti kalau Rendra tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kakiku terasa begitu berat untuk melangkah. Aku menyeret kakiku untuk mendekati Manager Rendra. Aku tidak bisa mengatakan apa pun, aku hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Manager itu menatapku penuh kesedihan, ia menahan tangisnya dan tidak bisa berkata apa pun.

"Mister, dia baik-baik aja kan?" tanyaku perlahan saat melihat matanya berlinang. Aku berusaha untuk tersenyum walau hatiku begitu sakit.

"He's died." Tangis Manager itu akhirnya pecah.

DUAR!!

Aku merasa seperti tersambar petir ribuan voltase. Dunia dan isinya serasa runtuh. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Aku menatap pintu ruang emergency. Di dalam sana ada Rendra yang ingin ia peluk erat. Aku ingin menagih janjinya untuk pulang sama-sama ke Indonesia. Aku tidak ingin pulang bersama dalam keadaan seperti ini. Tidak adakah hal yang bisa lebih membahagiakan, Rendra?

Kakiku terasa lemas, aku menjatuhkan lututku ke lantai dan membiarkan derai air mataku membasahi lantai. Hari ini, Rendra melarangku pergi ke sirkuit karena tidak ingin melihatnya merasakan sakit seorang diri. Ini jelas lebih menyakitkan dari apa pun. Aku tidak ada di saat dia berjuang sendirian. Kenapa dia biarkan aku seperti orang bodoh? Kenapa aku tidak pergi saja ke sirkuit dan memberikan semangat untuknya? Bukankah dia berjanji kalau dia tidak akan pernah membiarkan aku merasa kehilangan?

"Nggak mungkin. Nggak mungkin kamu ninggalin aku," ucapku sambil menggelengkan kepala. "Baru semalam kamu bilang kalo kamu nggak akan ninggalin aku. Kamu janji bakal datang dan kita sama-sama pulang ke Indonesia. Kamu bakal menuhin janji kamu kan?" tanyaku sambil terisak.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang emergency terbuka. Aku langsung berlari dan menerobos masuk. Beberapa teman Rendra mencoba menahanku dan aku tetap tidak bisa mengendalikan diriku untuk menemui Rendra yang sudah terbaring kaku di atas ranjang pasien. Aku langsung memeluk erat tubuhnya.

"RENDRA, BANGUN!" teriakku sejadi-jadinya. "BANGUN, REN! BANGUN!" Aku memeluk tubuh Rendra dengan erat. Membiarkan air mataku jatuh ke pipinya. Aku terpaku menatap Rendra yang tersenyum dalam beku. 

Aku langsung menciumi bibirnya yang dingin. "Please ... balik buat aku, Ren!" bisikku bersama derai air mata. Aku terus menangis sambil memeluk erat tubuh Rendra sampai aku tidak bisa merasakan apa pun selain tubuh Rendra yang dingin seperti es. Aku harap ini cuma mimpi. Aku memejamkan mata dan berharap, Rendra masih tersenyum sambil memelukku erat saat aku membuka mata.

Aku berharap semuanya hanyalah mimpi. Tapi, Tuhan tidak berpihak padaku. Ia benar-benar mengambil Rendra untuk selamanya. Aku begitu terluka saat pulang ke Indonesia bersama Rendra yang tak lagi bisa kuajak bicara. Rendra selalu membuatku tertawa dengan candaan-candaan yang keluar dari mulutnya. Kini, ia hanya diam dan tak bicara apa pun.

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku harus berpisah untuk selama-lamanya. Saat melihat tubuh Rendra dimasukkan ke dalam liang lahat. Aku benar-benar yakin kalau Rendra tidak akan pernah kembali lagi untukku. Aku terjatuh beberapa kali, aku merasa tubuhku benar-benar lemas dan tak bertenaga. Aku belum bisa menerima kenyataan kalau Rendra benar-benar meninggalkanku.

"Ikhlaskan ... Biarkan Rendra bahagia di surga!" Sebuah bisikan terdengar di telingaku. Entah bisikan dari siapa di saat kesadaranku tidak begitu baik.  Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ya, Rendra pasti bahagia di sana dan aku tidak bisa menahannya seperti ini. Aku harus belajar mengikhlaskan kepergiannya walau rasanya begitu sulit.

"Mati di sirkuit itu sebuah kehormatan." Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Aku melihat wajah Rendra tersenyum bahagia saat mengatakan kalimat itu.

"Ren, apa kamu bahagia ninggalin aku dan dunia balap yang sama-sama kamu cintai?" bisikku dalam hati.

Aku sama sekali tidak menyangka kalau Rendra begitu cepat pergi meninggalkanku. Setiap hari dalam doaku, aku berharap Tuhan akan mempersatukan kembali aku bersama Rendra dengan cara-Nya. Sebab, tak ada hal lain yang lebih membahagiakan selain menjalani hari bersamanya.

"Ren, terima kasih karena kamu telah memberikan kenangan indah dalam hidupku. Sungguh, aku tidak ingin menjadikannya kenangan. Tapi takdir Tuhan membawa kisah kita menjadi sebuah kenangan, bukan harapan masa depan. Kamu cintai aku sampai menutup mata, aku janji akan selalu tersenyum seperti yang kamu inginkan. Kamu juga harus bahagia di sana, di tempat yang abadi... "

"Tunggu aku, sampai surga menjadi milik kita!"





Ditulis oleh Rin Muna dalam isak tangis.


Samboja, 05 November 2019.
_______________________________________________________________

Cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Aku persembahkan cerita ini untuk Alm. Afridza Syach Munandar. Salah satu anak muda yang berprestasi dan berhasil mengharumkan nama Indonesia. Semoga tenang dan bahagia di Surga Allah. Prestasi-prestasimu akan dikenang selalu ...

_______________________________________________________________





























Friday, November 1, 2019

Yang Bikin Aku Makin Sayang sama Kompasiana


Source: pixabay.com




Hai ... hai ... temen-temen!
Apa kabar semuanya?
Masih rajin nulis? Pasti nggak bakal baca tulisanku karena sibuk nulis ya...
Yang masih rajin baca, baca terus postingan aku karena ada banyak cerita menarik yang bakal aku bagiin buat kalian.

Kali ini, aku mau cerita tentang salah satu platform menulis aku yakni Kompasiana.
Kenapa Kompasiana dan sejak kapan sih aku nulis di Kompasiana?
Mmh ... kalo ditanya kenapa, jelas aja aku bakal jawab karena Kompasiana itu nyaman banget. Aku belum pernah berdebat sama penulis lain dan belum pernah dapet kripik pedas dari senior. Mmh ... sebenarnya aku kangen sih sama kripik pedasnya. Karena itu salah satu alasan yang bikin aku terus semangat belajar menulis.

Aku bergabung di Kompasiana tanggal 29 Mei 2018, tapi aku baru mulai nulis pada bulan September 2018. Ada waktu empat bulan yang bikin aku terus berpikir dan belajar supaya tulisanku layak bertengger di Kompasiana.

Pertama kali, aku nulis artikel Melestarikan Budaya Jawa di Pulau Kalimantan dan langsung kegirangan karena jadi artikel Pilihan Editor. Kebayang nggak sih gimana senengnya aku waktu pertama kali nulis dan langsung dapet sambutan baik dari tim editor Kompasiana. Aku langsung semangat nulis dan ngajak temen-temen penulis di platform sebelah buat nulis juga di Kompasiana. Alhamdulullah, sampai saat ini mereka aktif nulis di Kompasiana. Walau akunya sekarang yang jarang nulis. Soalnya aku lagi ngerjain kontrak nulis yang cukup menyita waktuku.

Satu bulan setelah aku nulis di Kompasiana. Aku dihubungi sama Mimin buat hadir di acara Kopiwriting yang diadakan oleh JNE dan Kompasiana. Saat itu, aku seneng banget dan langsung pergi ke kota Balikpapan buat dateng ke acara itu. Tentunya, sebagai blogger kami punya tanggung jawab untuk menyampaikan pesan yang baik. Kamu bisa baca Kisah Perjalananku ke Event Kopiwriting JNE Balikpapan dan Menyikapi Konsumen Era Milenial, JNE Terus Berinovasi.
Dari kegiatan Kopiwriting itu, aku mulai tahu bagaimana menghasilkan uang dari menulis. Biasanya, aku nulis cuma hobi aja. Dapet royalti dari buku dan di platform lain juga sempat mencairkan uangku yang buat dapetinnya aja susah banget. Bisa berbulan-bulan buat dapetin 200rb rupiah.
Nah, di Kompasiana aku ngerasa benar-benar dihargai sebagai penulis. Satu artikelku bisa dapet honor antara 100-300 ribu rupiah.

Siapa sih yang nggak seneng kalo bisa dapet duit dari rumah. Nggak pernah ke mana-mana tapi uang jajannya ada terus. Mmh ... bener juga kata Mimin Kompasiana. Makanya, aku seneng banget sama Platform #BeyondBlogging yang satu ini. Karena di sini, bukan cuma menghasilkan uang. Tapi juga meningkatkan kualitas tulisan yang digemari oleh banyak orang.
Yah, mungkin yang sulit buat aku adalah menulis dengan kalimat baku. Mmh ... dibilang sulit juga nggak sih. Mungkin karena aku emang orangnya santai dan suka sama tulisan yang berbau santai. Jadi, aku selalu pengen ngajak pembaca ngobrol aja kayak biasanya. Biar nggak ada rasa canggung.

Di #11TahunKompasiana ini, aku berharap bisa terus berkontribusi buat ngisi tulisan di sana. Walau saat ini aku mulai sibuk ngerjain kontrak nulis webnovel adaptasi dari luar negeri. Aku selalu nyempatin waktu buat nulis di Kompasiana. Rasanya, selalu rindu sama platform yang udah membawa aku sampai sejauh ini. Mulai dari penulis yang tulisannya sama sekali nggak ada harganya, sampai saat ini bisa dapet kontrak nulis dengan nilai puluhan juta. Itu semua karena Kompasiana yang bikin aku semangat buat belajar menulis dan menulis.

Buat aku, Kompasiana satu-satunya platform yang nggak pernah bikin aku down karena aku ngerasa tulisanku nggak layak. Di Kompasiana juga ada banyak tulisan-tulisan yang berkualitas dan beragam sehingga aku bisa belajar banyak hal. Belajar membuat artikel yang baik, belajar menulis puisi yang bagus, belajar menulis cerpen yang menarik sampai akhirnya aku bisa menulis webnovel yang memiliki ratusan episode.

Aku berharap, Kompasiana makin bergembang dan makin ramah dengan penulis. Ada banyak kompetisi yang diselenggarakan oleh Kompasiana dan tentunya menjadi salah satu sumber semangat untuk menulis.

Selamat Ulang Tahun yang ke-11 Kompasiana ...!
Selamat menuju kedewasaan. Semoga bisa terus melahirkan penulis-penulis berkualitas dan menjadi rumah paling nyaman untuk banyak penulis di Indonesia.


Salam manis,



Rin Muna

01 November 2019




Baca:

1 Lomba Terakhir yang Bisa Kamu Ikuti dalam Rangka #11TahunKompasiana

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas