Wednesday, August 17, 2022

Bab 35 - Pukulan Terbesar

 



Nanda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, dokter terpaksa harus mengambil tindakan operasi untuk menyelamatkan ibu dan bayinya.

Di kursi tunggu yang ada di sebelahnya, kedua orang tua dan mertuanya juga ikut menunggu dengan cemas.

“Nan, kenapa kamu tidak pernah memperlakukan Ayu dengan baik? Padahal, dia sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Kenapa kamu nyakitin Ayu terus sampai kayak gini? Berapa kali kamu hutang nyawa ke dia? Nggak punya hati!” ucap Sonny sambil menunjuk dada Nanda.

“Aku tahu aku salah, Son. Semua orang sudah menghakimi aku. Tuhan juga sedang menghakimiku. Cukup, Son!” pinta Nanda lirih sambil menatap pilu ke arah Sonny.

Sonny menatap manik mata Nanda. Bayangan persahabatan mereka selama dua puluh lima tahun, terlintas di pelupuk mata dan membuat perasaannya sangat terluka. Satu-satunya teman yang tumbuh bersamanya sejak kecil, menjalani banyak hal bersama seperti saudara kandung, malah merenggut semua hal yang sangat ia cintai. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Ia ingin marah, tapi juga tidak tahan melihat sahabatnya sendiri terluka. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.

Andai Nanda bisa membahagiakan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya, mungkin ia lebih mudah menerima kenyataan kalau Roro Ayu bukanlah miliknya lagi. Tapi melihat sahabatnya itu memperlakukan Roro Ayu begitu buruk, membuatnya tidak tahan dan tidak rela melepaskan wanita yang paling ia cintai untuk sahabatnya itu.

“Roro Ayu sedang berjuang di dalam sana. Bisakah kalian berdamai dan mendoakan keselamatan dia? Kalau ada waktu untuk berdebat, tentunya kalian punya waktu untuk mendoakan dia,”  tutur Andre sambil menarik lengan Sonny perlahan dan membawa pria muda itu duduk bersamanya.

Sonny terdiam. Ia terus mengawasi Nanda dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak bisa bersikap bijak dalam keadaan seperti ini.

“Dokter, gimana keadaan puteri dan cucu saya?” Edi langsung menghampiri pintu ruang operasi yang baru saja terbuka.

“Gimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?” Nanda tak mau kalah menghampiri dokter yang ada di sana.

Edi menyeringai kesal ke arah Nanda yang berdiri di sampingnya.

Dokter yang ada di sana, menghela napas sambil melepas masker yang ia kenakan. “Kami sudah berusaha keras. Tuhan belum mengizinkan dia melihat dunia,” ucapnya lirih.

DEG!

Ucapan dokter itu bagaikan petir ribuan voltase yang sedang menghujam jantung Nanda. Membuatnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Membuat pikirannya tiba-tiba kosong hingga telinganya tak mampu mendengar teriakan histeris dari keluarga besarnya.

“Cucu kami nggak bisa diselamatkan, Dok?” tanya Nia sambil menitikan air mata. Ia langsung terisak di pelukan Andre. Mereka tidak menyangka jika impiannya melihat cucu pertama mereka, sirna begitu saja.

Dokter itu menggeleng. “Dia tidak bisa bertahan dan ...” Ia mengedarkan pandangannya menatap semua orang yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan keluarga yang dicintai. Namun, sebagai seorang dokter, ia harus menyampaikan berita tentang pasiennya, dalam keadaan apa pun itu.

“Ada apa, Dokter? Puteri saya baik-baik aja ‘kan?” tanya Bunda Rindu yang menyadari wajah dokter itu terlihat tak biasa.

“Sel darah merahnya pecah dan trombositnya sangat rendah. Pembuluh darah ke otaknya mengalami masalah yang menyebabkan kelumpuhan. Saat ini ... dia koma,” jawab dokter tersebut.

“APA!?”

Semua orang terkejut mendengar penuturan dokter tersebut. Begitu juga dengan Nanda. Pukulan-pukulan ini bertubi-tubi menghujam dirinya dan membuat ia tidak sanggup berkata-kata.

“Semua ini gara-gara kamu, Nan ...!” seru Sonny sambil berlari  ke arah Nanda dan bersiap menghujani pukulan ke arah pria itu.

“Son, sabar! Ini rumah sakit!” seru Andre sambil menghalau tubuh Sonny agar tidak memukuli puteranya lagi.

Sonny menatap wajah Nanda dengan rahang mengeras. Kedua tangannya mengepal erat dan urat-urat di wajahnya terlihat jelas.  

“Kalau kamu mau marah, pukul Oom saja! Jangan pukul Nanda lagi!” seru Andre sambil menatap wajah Sonny.

Sonny langsung melonggarkan kepalan tangannya.

“Oom Andre yang salah karena tidak bisa mendidik Nanda dengan baik. Pukul Oom saja!” pinta Andre sambil menarik lengan Sonny agar memukulnya.

“Ndre, aku tidak akan mengotori tanganku untuk menghukum kalian. Kalian sudah menyerang mental puteriku dan menghancurkannya masa depannya. Apa yang terjadi pada puteriku, keluarga Perdanakusuma harus mempertanggungjawabkannya. Aku tidak peduli pada orang-orang besar yang melindungi keluarga kalian. Demi puteriku, aku akan mencari keadilan untuk dia!” tegas Edi sambil menatap Andre penuh kebencian.

Andre terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa melawan jika Edi sudah bicara. Bukan karena takut, tapi karena ia merasa ikut bertanggung jawab atas kelakuan puteranya. Apa yang dilakukan seorang anak, orang tua akan ikut menanggungnya. Ia tidak akan berlari karena ia terlalu memanjakan Nanda hingga puteranya itu tidak pernah mengerti arti tanggung jawab pada keluarganya. Kesalahan Nanda adalah kesalahannya mendidik seorang anak.

Bunda Rindu terus menitikan air mata saat mengetahui keadaan puterinya. Di saat bersamaan, Bunda Yuna dan Yeriko juga datang menghampiri keluarga tersebut. Mereka terkejut mendengar hal buruk yang terjadi pada Roro Ayu dan bayinya.

“Nan, anak Bunda salah apa sama Nanda? Kenapa Nanda tidak mau memperlakukan dia dengan baik. Kalau dia salah, kamu bilang ke bunda supaya bunda yang menegur dia dan memperbaiki dirinya. Kenapa kamu lakuin ini ke Ayu. Dia puteriku satu-satunya, Nan. Kenapa harus Ayu? Dia anak baik. Tidak bisakah kamu bersikap baik dan mencintai puteri Bunda? Kekurangan dia, katakan ke Bunda saja!” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah Nanda yang masih mematung di hadapannya.

“Nan ...!” panggil Bunda Rindu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nanda. Ia langsung merosot ke  lantai dan berlutut di bawah kaki Nanda. “Maafin Ayu kalau dia tidak menjadi istri yang patuh dan berbakti padamu! Maafin Ayu kalau dia punya banyak kesalahan selama menjadi istrimu. Kalau kamu tidak mencintai Ayu, tolong jangan sakiti dia!” pintanya sambil berlinang air mata.

“Dik, kamu nggak pantas berlutut di depan pria bajingan ini!” ucap Edi sambil merengkuh pundak Bunda Rindu dan menarik tubuhnya untuk bangkit dari lantai.

“Mas, Roro gimana? Dia dosa apa sampai harus menanggung beban seperti ini? Kenapa nggak aku aja yang gantiin dia, Mas?” seru Bunda Rindu sambil menangis histeris dalam pelukan suaminya.

Yuna menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia ikut menitikan air mata melihat Bunda Rindu yang sangat terluka melihat keadaan puterinya. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan perasaan yang begitu sakit ketika puterinya dipermainkan seperti ini oleh seorang pria. Roro Ayu yang terlihat baik-baik saja di luar, tidak tahu bagaimana keadaan mental yang sesungguhnya. Suami adalah tempat paling dekat dan harusnya bisa menjadi sandaran, tapi Nanda justru menjadi tekanan bagi Roro Ayu tanpa diketahui oleh semua orang.

Di dinding koridor, Nanda menyandarkan punggungnya. Tubuhnya merosot perlahan dan pikirannya terus hampa. Ia benar-benar tidak menyangka jika perkelahian beberapa jam lalu menyebabkan istri dan anaknya terluka seperti ini.

“Nan, kamu laki-laki. Harus kuat!” pinta Yeriko sambil mengulurkan tangannya ke hadapan pria muda itu agar segera bangkit dari sana. “Kamu harus bangkit! Antarkan anakmu ke peristirahatan terakhirnya! Rawat istrimu dengan baik sampai dia bangun dari komanya. Roro Ayu akan kuat jika kamu juga bisa dengan gigih menjaganya.”

Nanda menengadahkan kepalanya menatap wajah Yeriko. Ia menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya  dan menyambut uluran tangan Yeriko. Ia mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari lantai.

“Dia tidak perlu mengurus anak dan cucuku! Aku masih bisa melakukannya!” tegas Edi dengan nada penuh emosi.

Yeriko langsung memutar kepalanya menatap wajah Edi. “Anak itu darah daging Nanda dan dia punya hak penuh atas anaknya. Bijaklah menjadi orang tua! Anak kalian sama-sama tertekan karena kalian tidak pernah peduli dengan hubungan mereka!” Suara bariton pria itu menguasai lorong koridor meski terdengar tidak begitu keras.

Edi terdiam sambil menatap tajam mata Yeriko. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak lagi peduli dengan bisnis yang ia bangun bertahun-tahun. Tak peduli dengan Yeriko yang memiliki kekuatan besar untuk melindungi keluarga Nanda. Ia hanya ingin keadilan untuk puterinya yang telah dirampas dengan paksa kesuciannya, mental dan masa depannya.

 

 

((Bersambung...))

Semua orang tua sudah merasa benar dalam mendidik anak dengan caranya masing-masing. Tapi terkadang, kesalahan tetaplah hinggap dan membuat kita merasa gagal menjadi orang tua.

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bisa membuat anak-anak mengerti akan tanggung jawab dan cara mencintai keluarga.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas