Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Thursday, June 19, 2025

Malam Pertama Jadi Indah dan Berkesan Karena Ini.

 


Malam Pertama Jadi Indah dan Berkesan Karena Ini 


Tidak hanya soal “yang pertama,” malam pertama romantis adalah kisah dua hati yang menemukan iramanya—lewat detail kecil dan kesiapan dari tubuh serta pikiran. Semua orang menginginkan malam pertama bisa menjadi momen yang romantis dan berkesan. Tentunya, tidak sekedar tidur bersama. Malam pertama bisa dimulai dengan indah karena persiapan  yang matang dan pengetahuan tentang keindahan seksual yang baik dan benar.

Buat kamu yang belum menikah dan ingin menikah, tema yang satu ini sangat cocok  untuk dijadikan referensi supaya malam pertama bersama pasanganmu bisa menjadi indah dan berkesan. Kalau belum menikah, jangan dipraktikan dulu, ya! Karena pasangan yang sangat kamu cintai hari ini, belum tentu memiliki keberanian untuk menjadikanmu sebagai suami/istri, atau belum tentu menjadi jodohmu meski kamu sudah menggenggamnya dengan sangat erat.

Yuk, simak tips di bawah ini supaya kamu bisa menciptakan suasana malam pertama yang mengesankan!

1. Rilekskan Pikiran & Tubuh

Rasa cemas adalah musuh utama. HelloSehat mencatat, stres dan kekhawatiran dapat membuat otot Miss V kaku dan mengganggu proses penetrasi pertama hellosehat . Sesi meditasi ringan sebelum tidur, mandi hangat, atau sekadar obrolan menenangkan sangat membantu menghilangkan gugup.

2. Rahasia Foreplay: Lebih dari Sekadar Pemanasan

Foreplay bukan sekadar aksesoris, tapi fondasi agar tubuh siap menerima. HelloSehat merekomendasikan 10–15 menit foreplay lewat ciuman, belaian, atau kata-kata manis agar pelumasan alami terjadi. Secara ilmiah, foreplay meningkatkan aliran darah ke organ genital dan membangkitkan gairah secara fisik dan emosional .

3. Pelumas: Sang Penyelamat Kenyamanan

Karena lubrikasi alami bisa kurang, pakai pelumas berbasis air. Ini membantu mengurangi gesekan dan rasa sakit saat penetrasi. HelloSehat menekankan bahan dasar air agar minim risiko iritasi, terutama untuk pengguna yang rentan infeksi.

4. Stimulasi Klitoral: Tingkatkan Kesempatan Orgasme

Penetrasi saja tidak cukup untuk banyak wanita mencapai klimaks—klitoris adalah pusat kenikmatan utama. Penelitian menunjukkan hanya 25–30 % wanita yang orgasme hanya dari penetrasi, sementara stimulasi klitoral meningkatkan kemungkinan orgasme psychologytoday.com. Pendekatan foreplay yang inklusif dan menjajal zona sensitif penting sekali.

5. Komunikasi: Kunci Keintiman & Kenyamanan

Diskusi ringan seperti “sakit di sini ya?” atau “pelan sedikit dong” membantu menciptakan rasa aman dan diterima. HelloSehat menambahkan, komunikasi membantu memperkuat ikatan emosional. Hal ini sejalan dengan penelitian pillow talk—percakapan hangat setelah intim meningkatkan ikatan dan kepuasan hubungan.

6. Menjaga Mood dan Setting

Suasana malam pertama bisa makin mengesankan dengan suasana yang mendukung—lampu redup, aroma lembut, musik tenang. Sumber seperti Bonobology menyarankan untuk menyesuaikan ekspektasi, memupuk fantasi yang realistis, dan menjaga mood agar tidak hambar bonobology.com.

7. Perhatian Setelahnya: Pelengkap Keintiman

Setelah inti, jangan lupa membangun momen pelukan, cuddling, bahkan ngobrol sambil santai. Ini memunculkan hormon oksitosin yang memperkuat koneksi emosionalHelloSehat juga menyarankan untuk minum air, buang air kecil, dan bersihkan diri supaya kesehatan tetap terjaga.


Malam pertama jadi istimewa bukan karena ritualnya, tapi karena kehadiran penuh (mental, emosional, dan fisik). Ketika dua orang saling mendukung lewat ketenangan, stimulasi lembut, komunikasi, suasana, dan perawatan, maka malam itu bukan hanya “pertama”, tapi juga momen yang terkenang abadi.



Referensi:

  • HelloSehat: tips malam pertama, pelumas, foreplay & kebersihan 

  • Psychology Today: stimulasi klitoral & orgasme 

  • Bonobology: membangun ekspektasi & mood 

  • Wikipedia Pillow talk & Foreplay 


Wednesday, June 18, 2025

Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran



Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran

Oleh: Rin Muna

Kita hidup di zaman di mana suara bisa dibeli dan popularitas bisa dipesan seperti fast food. Dunia penulisan pun tak luput dari arus besar ini. Di jagat novel digital—entah itu di platform seperti Fizzo, KBM App, Dreame, atau Wattpad—muncul satu fenomena baru yang membuat saya ingin angkat pena (atau tepatnya, keyboard): penulis yang menggunakan buzzer untuk mengangkat pamor karyanya.

Sebab, aku pernah menerima tawaran dari seorang admin untuk bergabung dengan buzzer penulis berinisial "E" yang juga aku kenal. Tapi aku menolaknya karena aku juga seorang penulis yang ingin mendapatkan komentar murni, tanpa embel-embel uang. 
Sudah seharusnya sastra itu membayar penulis, bukan pembaca. 

Sebelum kita menghakimi, mari kita duduk sejenak dan menyesap realitas.

 Menulis di Era Platform: Bukan Lagi Sekadar Tulisan

Dunia menulis kini sudah bukan hanya soal kualitas cerita, tapi juga soal siapa yang lebih terdengar. Semakin ramai komentar, like, dan share, maka semakin besar peluang karyamu direkomendasikan algoritma. Di sinilah buzzer masuk bermain—akun-akun (kadang palsu, kadang “teman”) yang disewa untuk membanjiri cerita dengan komentar positif, membela di forum, bahkan menyerang saingan diam-diam.

Buzzer dalam dunia politik sudah kita kenal: pembentuk opini, pengalihan isu, bahkan penyerang karakter. Tapi ketika para penulis digital mulai menyewa "pemain sorak" ini, kita harus bertanya: Apakah karya itu benar-benar disukai, atau hanya kelihatan seperti disukai?

Narasi vs Noise: Antara Karya dan Keriuhan

Menggunakan buzzer bisa jadi semacam “cetak instan” popularitas. Tapi seperti kata filsuf Jean Baudrillard, kita hidup dalam simulacra, di mana tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada realitas yang diciptakan. Popularitas palsu adalah simulakrum dari karya besar.

Sosiolog Jürgen Habermas pernah bilang bahwa ruang publik seharusnya menjadi arena dialog rasional. Tapi dengan masuknya buzzer ke dunia literasi, ruang diskusi itu jadi penuh bisik-bisik pesanan.

Kalau dulu karya diukur dari pengaruhnya secara substansial, sekarang kita terlalu sering membandingkan angka: berapa views, berapa bintang, berapa komentar. Padahal, “resonansi” yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari pembaca yang benar-benar merasa tersentuh, yang karyamu tinggal dalam kepalanya jauh setelah selesai dibaca.

Popularitas yang Bisa Dibeli, Tapi Tidak Selalu Bertahan

Banyak penulis digital merasa tertindih oleh sistem yang kompetitif. Untuk muncul di beranda pembaca, karya mereka harus bersaing dengan ratusan tulisan setiap hari. Lalu muncullah jalan pintas: menyewa jasa buzzer, menaikkan rating, bahkan memesan “review positif.”

Saya tidak menghakimi siapa pun. Semua penulis tentu ingin dibaca. Tapi sebagai seseorang yang percaya bahwa tulisan adalah suara hati yang diurai dalam bahasa, saya selalu bertanya: Apa yang kau kejar—pujian atau pengaruh?

Jangan sampai kita membangun popularitas dari keriuhan palsu. Karena ketika pembaca sadar bahwa cerita itu naik hanya karena dibantu "sorakan", maka rasa percaya itu runtuh. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari kualitas kebenarannya.”

Ada Jalan Lain Selain Buzzer

Menulis adalah maraton, bukan sprint. Banyak penulis yang lambat naik, tapi punya pembaca setia karena tulisannya jujur. Mereka mungkin tak punya ribuan komentar dalam semalam, tapi punya satu pembaca yang rela menangis sepanjang malam karena satu bab.

Membangun komunitas organik, membuat diskusi terbuka, menanggapi komentar dengan tulus, dan menjalin koneksi emosional dengan pembaca adalah cara membangun reputasi jangka panjang.

Bahkan stoikisme mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan: kualitas karya kita, etika kita, dan ketulusan kita dalam berkarya. Seperti yang dikatakan Epictetus, “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu berhenti khawatir pada hal-hal di luar kendalimu.

Sebagai penulis, kita punya dua pilihan: membangun istana dari batu bata kejujuran atau membangun menara dari kardus komentar palsu. Yang satu mungkin lambat, yang lain tampak megah. Tapi hanya satu yang akan tetap berdiri saat badai kritik datang.
Buzzer mungkin bisa mengguncang angka, tapi tidak bisa menyentuh hati.

Salam pena,
Rin Muna
(Penjahit kata dan perajut makna) 



Referensi:

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.

Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962.

Epictetus. Enchiridion.

Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah.

Diskusi Penulis di Forum Fizzo dan Komunitas KBM App (2024–2025).

Alasan Orang Tidak Nyaman dengan Aplikasi Fizzo Novel

 



Sudah cukup lama aku bekecimpung di dunia platform baca-tulis online, meski aku tipe orang yang tidak suka memandang hal lain ketika aku sedang berhadapan dengan satu hal. Dari berbagai platform yang ada, tentunya kita bisa merasakan bagaimana suasana platform (sebagai penulis dan pembaca). 

Sebelumnya, aku kerap membahas tentang Novelme, platform tempat aku bernaung sebelumnya dan telah mendapatkan penghasilan ratusan juta. Sayangnya, Novelme saat ini mati suri dan tidak ada satu pun management yang bisa dihubungi. Nasib para penulisnya juga menjadi tidak jelas.

Bersamaan dengan collaps-nya aplikasi Novelme, hadir sebuah aplikasi baru bernama Fizzo Novel yang merupakan aplikasi milik Bytedance, perusahaan yang juga pemilik aplikasi Tiktok yang sangat populer.

Sebagai seorang penulis, aku mendapatkan panggilan khusus di aplikasi Fizzo untuk awal peluncuran produk ini. Tentunya dengan nilai kontrak yang jelas (Aku biasa dibayar per seribu kata untuk naskah novel). Sehingga tawaran itu aku terima sembari beradaptasi dengan platform tersebut. 

Awalnya, Fizzo terlihat sangat memperdulikan kesejahteraan penulisnya, juga memperdulikan kenyamanan pembacanya. Tetapi, lama-kelamaan, atmosfer di Fizzo membuat penulis dan pembacanya semakin tidak nyaman.

Aku sendiri mengalami kesulitan dan tekanan yang sangat besar dengan sistem keuntungan baru di Fizzo yang menggunakan sistem retensi dan persentase pembaca yang sulit untuk diterka. Aku pernah menulis panjang selama satu bulan penuh, tetapi tidak bisa mendapatkan gaji sepeserpun karena retensi tidak mencukupi dan gagal daily. Sistem keuntungan di Fizzo tidak seperti aplikasi berbayar, sehingga kita seperti sedang bermain judi dan banyak mempertaruhkan naskah kita untuk nilai yang belum jelas.

Aplikasi Fizzo Novel memang cukup populer di kalangan pembaca dan penulis digital, terutama karena menawarkan sistem monetisasi bagi penulis dan berbagai cerita gratis bagi pembaca. Namun, banyak pengguna mengaku tidak nyaman dengan aplikasi ini karena beberapa alasan berikut:


1. Terlalu Banyak Iklan

Pengguna sering mengeluhkan iklan yang terlalu sering muncul, bahkan ketika sedang membaca cerita. Pegguna yang tidak ingin ada iklan, harus membayar langganan setiap bulannya.

Iklan video yang tidak bisa di-skip sering kali mengganggu kenyamanan dan fokus pembaca. Terlebih durasi iklan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tentunya hal ini membuat pembaca kurang nyaman. Sebab, orang-orang yang suka membaca, lebih suka fokus dalam membaca dan tidak terganggu konsentrasinya dengan kehadiran iklan.

2. Clickbait dan Cerita yang Berkualitas Rendah

Judul dan sinopsis cerita sering dibuat bombastis (clickbait) demi menarik pembaca, tapi isinya kadang tidak sesuai ekspektasi. Banyak cerita yang belum diedit dengan baik, dengan tata bahasa, ejaan, dan alur cerita yang masih berantakan. Platform dengan kualitas bahan bacaan yang rendah, biasanya tidak disukai oleh pembaca, terutama bagi penulis karena bisa menurunkan kualitas tulisan mereka juga. Seperti kita tahu, hanya ada satu platform/penerbit buku yang benar-benar memiliki kualitas tinggi dan mampu bertahan karena kualitasnya. Platform yang memiliki kualitas rendah, perlahan akan ditinggalkan oleh penggunanya karena pembaca selalu menginginkan sajian yang lebih baik dari sebelumnya.

3. Sistem Monetisasi yang Tidak Transparan

Penulis mengeluhkan sistem pembayaran yang tidak jelas, baik dari segi algoritma pembagian pendapatan, durasi pembacaan yang dihitung, maupun pencairan dana. Beberapa penulis merasa pendapatan yang dijanjikan tidak sebanding dengan usaha menulis dan mempromosikan cerita mereka. Di sini, kerja keras penulis tidak dihargai sepenuhnya. Seperti yang aku bilang sebelumnya, menulis di platform ini seperti sedang bermain judi. Penulis lebih banyak mempertaruhkan karya dan ide-idenya untuk nilai yang belum pasti.

4. Privasi Data dan Akses Berlebihan

Saat menginstal, aplikasi meminta banyak izin akses, seperti lokasi, penyimpanan, bahkan kontak. Ini menimbulkan kecurigaan dan ketidaknyamanan pada pengguna. Ada pula laporan dari pengguna yang mendapat spam setelah mendaftar akun.

5. Fokus pada Viralisasi, Bukan Kualitas

Algoritma Fizzo cenderung mengutamakan cerita viral atau yang memiliki engagement tinggi, bukan yang memiliki kualitas sastra atau pesan yang mendalam. Hal ini membuat penulis yang serius merasa tidak dihargai karena cerita yang lebih “bermutu” kalah pamor dibanding cerita berbau sensasi. Pada akhirnya, aplikasi Fizzo terkenal sebagai aplikasi berkualitas rendah yang menghadirkan bacaan-bacaan tidak bermutu karena banyak mengandung pornografi.

6. Notifikasi yang Mengganggu

Aplikasi sering mengirim notifikasi promosi cerita yang tidak relevan, dan meskipun notifikasi dimatikan, terkadang tetap muncul.

7. Paksaan Undang Teman untuk Imbalan

Sistem reward atau monetisasi sering mensyaratkan pengguna untuk mengundang teman agar bisa mencairkan uang. Ini membuat banyak orang merasa aplikasi seperti “money game” atau sistem referral tidak sehat.


Kita bisa melihat beberapa keluhan pengguna Fizzo, bukan hanya aku yang mengeluhkannya, seperti:

1. Surat pembaca di Mediakonsumen.com

Seorang penulis lokal (Arjunandar dari Majalengka) mengeluhkan karya mereka yang dituduh plagiasi, kemudian tetap ditayangkan dan menghasilkan pendapatan untuk pihak Fizzo meskipun akun penulis telah ditolak bandingnya:

pada tanggal 17 Juli 2023, saya mendapat pemberitahuan … karya saya diduga melanggar panduan dengan dugaan plagiasi … banding saya dinyatakan gagal … karya saya tersebut masih tayang dan mengandung iklan. Artinya Fizzo masih mengambil keuntungan dari karya saya tersebut, sedangkan pendapatan saya dibatalkan.

Ini menyiratkan bahwa penulis merasa tidak diperlakukan adil karena karyanya tetap tampil walau pendapatannya dibatalkan.

2. Laporan Gadgetren dan Haloo.id tentang tuduhan kecurangan akun

Sejumlah pengguna melaporkan bahwa tiba-tiba mendapat notifikasi bahwa akun mereka diduga melakukan kecurangan, meskipun merasa tidak pernah melanggar:

Belakangan ini, banyak pengguna Fizzo Novel yang mengeluh karena akun mereka dituduh melakukan kecurangan, meskipun sebenarnya mereka tidak melakukannya … Pengguna yang mengalami hal ini menjadi bingung dan menghubungi tim pengembang Fizzo Novel melalui media sosial resmi mereka.”

Keluhan ini menunjukkan minimnya penjelasan atau transparansi dari pihak Fizzo.


3. Review di LuvOnline

Beberapa pengguna mengatakan aplikasi Fizzo menampilkan banyak konten yang “dewasa” atau vulgar—tidak nyaman jika diakses oleh anak-anak.

“ternyata ada cukup banyak cerita yang bertemakan cerita dewasa ‘cerita jorok’ … gambar‑gambar thumbnail yang cukup vulgar … Tak terbayangkan … anak‑anak SD dan SMP download Fizzo Novel APK ...” luvonline.web.id

Keluhan tersebut menegaskan isu konten eksplisit yang tidak sesuai untuk audiens usia muda.


4. Keluhan tentang iklan yang terlalu banyak

Beberapa artikel seperti dari Haloo.id dan HiPoin.com menyebutkan bahwa iklan di Fizzo sangat sering muncul, mengganggu kenyamanan membaca dan menguras kuota:

“Banyak pengguna Fizzo Novel mengeluhkan tentang iklan yang terus muncul … mengganggu konsentrasi saat membaca” 4 Cara Menghilangkan Iklan di fizzo Novel 100% Berhasil


Ketidaknyamanan terhadap Fizzo Novel berasal dari kombinasi antara pengalaman pengguna yang terganggu, konten yang kurang terkurasi, dan ketidakjelasan sistem internal. Meskipun ada sisi positifnya, seperti kesempatan bagi penulis baru untuk berkarya dan mendapat uang, aplikasi ini perlu lebih transparan dan berfokus pada kualitas serta kenyamanan pengguna. Semoga ke depannya Fizzo dapat berbenah dan menjadi rumah yang nyaman bagi penulis, juga pembacanya.


"Menjaga kualitas adalah bagian dari pertahanan diri"


Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu



Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu! 
Belajar Merdeka dari Dalam Diri

Oleh Rin Muna



Kamu pernah nggak, merasa hidup ini kayak ditarik-tarik dari segala arah? 
Mau milih jurusan kuliah, dibilang, "jangan aneh-aneh, nanti susah cari kerja!". 
Mau keluar dari pekerjaan yang bikin stres, langsung disodorin nasihat, "sabar, semua kerjaan memang berat." 
Lama-lama, kita bukan lagi hidup atas dasar pilihan sadar, tapi lebih mirip boneka tali—yang bergerak sesuai keinginan orang lain.

Aku pernah berada di fase itu. Dan rasanya… ngambang. Seolah hidup ini bukan milikku. Tapi suatu ketika aku membaca kutipan dari Epictetus, filsuf Stoik dari Yunani, yang berkata, “Jangan biarkan kekuatan luar mengganggumu! Gangguan hanya muncul jika kamu mengizinkannya masuk.


Boom ...!
Kepala langsung kayak disiram air es. Itu titik balik—bahwa kebebasan sesungguhnya bermula dari kemerdekaan memilih, tanpa dikendalikan ekspektasi orang lain.


Stoikisme mengajarkan bahwa dalam hidup ini, ada dua hal: yang dalam kendali kita, dan yang di luar kendali kita. Keputusan pribadi, cara berpikir, dan reaksi terhadap peristiwa—itu wilayah kita. Tapi opini orang, harapan mereka, bahkan pujian dan kritik—semuanya di luar kendali kita.
Lucunya, justru banyak dari kita menyerahkan kendali itu ke tangan orang lain.

Dalam filsafat Islam, hal ini senada dengan ajaran ikhlas dan tawakkal. Dalam QS. Az-Zumar ayat 17-18, Allah menyebutkan tentang "orang-orang yang mau mendengar perkataan orang lain, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya." Artinya, kita boleh mendengar, tapi tetap harus memilah dan memutuskan sendiri.

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut agar mereka tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka kabar gembira. Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
(QS Az-Zumar: 17-18)


Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada penilaian manusia adalah bentuk hijab—penghalang—dalam perjalanan spiritual. Karena pada akhirnya, pertanggungjawabanmu bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Tuhan dan dirimu sendiri.


Lantas, Haruskah Kita Egois?

Tentu tidak. Mendengar masukan itu penting. Tapi bedakan antara nasihat yang mencerahkan, dan opini yang mencekik. Ada perbedaan antara "ini mungkin bisa membantumu" dengan "kamu harus begini, titik!"

Menjadi merdeka dalam memilih bukan berarti menutup diri dari saran. Tapi kita perlu memproses saran itu secara sadar, bukan otomatis mengiyakan karena takut ditolak atau dianggap durhaka.

Di sinilah peran akal dan hati nurani yang dalam Islam disebut sebagai qalbun salim—hati yang bersih dan cerdas, yang mampu membedakan mana jalan yang penuh cahaya, dan mana jalan yang hanya penuh sorakan tapi hampa makna.



Cobalah sesekali bertanya dalam hati:

Apakah aku benar-benar menginginkan ini?

Atau aku hanya takut mengecewakan orang lain?

Apakah keputusan ini membuatku damai?

Atau justru semakin asing dengan diriku sendiri?


Karena sejatinya, hidup bukan soal menyenangkan semua orang. Hidup adalah tentang menjadi pribadi yang utuh, yang bisa berkata “ya” karena yakin, dan “tidak” karena sadar.

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik menulis dalam Meditations: “Jika kamu terhenti karena opini orang lain, berarti kamu memberikan kekuasaan atas dirimu pada mereka.”

Dalam kasus  yang sama, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata: “Orang yang paling kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah dan tetap kokoh di saat ragu.”


Kalau kamu sedang berada di persimpangan pilihan, tarik napas. Dengarkan hati. Tanyakan pada akal sehat, bukan pada ketakutan. Jangan biarkan suara di luar sana lebih keras dari suara di dalam dirimu.

Kamu bukan robot yang diprogram oleh ekspektasi orang lain. Kamu adalah manusia yang diberi kehormatan oleh Tuhan untuk memilih dan bertanggung jawab atas hidupmu sendiri.

Karena pada akhirnya, keputusan yang kamu buat hari ini, adalah pondasi bagi dirimu yang akan datang.

Dan ingat, hidupmu bukan panggung sandiwara. Jangan biarkan orang lain menulis naskahnya untukmu.


Referensi Singkat:

Epictetus – Discourses and Enchiridion

Marcus Aurelius – Meditations

Imam Al-Ghazali – Ihya Ulumuddin

QS. Az-Zumar: 17-18

Kutipan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Nahjul Balaghah)



Kalau kamu merasa tulisan ini menyentuh sesuatu dalam dirimu, bagikan ke temanmu. Siapa tahu, itu juga jadi titik balik untuk mereka.

Salam hangat,
Rin Muna
(Menulis agar tak kehilangan arah di dunia yang bising)


Sinopsis & Review Drama "Who Rules The World"




Hai ... Hai ...!

Buat kamu para pencinta Dracin (Drama Cina), pasti udah nonton banyak banget drama Cina yang seru-seru dan bagus banget.

Nah, aku adalah salah satu pencinta Dracin yang tertarik dengan alur ceritanya yang indah, banyak plot twist dan endingnya selalu berkesan. Sejak dulu, aku adalah pengagum sastra Cina. Mulai dari literatur tulisan sampai drama, semuanya digarap dengan baik dan tidak meninggalkan identitas meski dunia sudah sangat modern.

So, aku selalu tertarik untuk menonton drama versi Cina dibanding dengan drama-drama yang lain. Maybe, karena sudah ada puluhan bahkan ratusan drama yang aku tonton dan beberapa jalan cerita /alurnya memiliki kesamaan dengan drama di tahun-tahun sebelumnya.


Kalau udah nonton drama, rasanya nggak lengkap kalau kita belum mengulik drama dan mengabadikannya dalam tulisan. It's reminder buat diriku sendiri tentang bagaimana perspektifku memandang sebuah drama/film dan makna yang terkandung di dalamnya.

Kali ini aku mau review drama China yang berjudul "Who Rules The World" yang dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi "Penguasa Dunia". Salah satu yang menarik perhatianku adalah kehadiran Zhao Lusi sebagai pemeran utama dalam drama ini. Buatku, drama yang diperankan oleh Zhao Lusi memiliki cerita yang menarik, alur yang mengalir, plot twist tak terduga serta ending yang berkesan. Kalau menurutmu, bagaimana?


 Langsung aja kita review drama yang satu ini.


Judul: Who Rules The World (2022)/  (且试天下 / Qie Shi Tian Xia):

Jumlah Episode: 40
Genre: Wuxia, Romantis, Politik, Fantasi
Platform: Tencent Video / WeTV
Pemeran Utama:

  • Yang Yang sebagai Hei Feng Xi (Feng Lan Xi)

  • Zhao Lusi sebagai Bai Feng Xi (Feng Xi Yun)



Sutradara: Yin Tao

Adaptasi dari: Novel Qie Shi Tian Xia karya Qing Ling Yue


Sinopsis:

Dalam dunia yang terbagi dalam berbagai kerajaan dan faksi bela diri, dua pendekar legendaris—Hei Feng Xi yang cerdas dan penuh strategi, serta Bai Feng Xi yang bebas dan elegan—menjadi tokoh sentral perebutan kekuasaan dan pengendalian dunia persilatan.

Identitas asli keduanya adalah bangsawan dari kerajaan berbeda, dan hubungan mereka semakin rumit ketika konflik politik, pemberontakan, dan perebutan tahta menyeret mereka ke dalam pusaran kekacauan. Di tengah konspirasi dan perang kekuasaan, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Tapi... siapa yang benar-benar akan memerintah dunia?


"Who Rules The World" bukan sekadar drama wuxia. Ia adalah simfoni visual dan emosional—di mana angin, pedang, dan kata-kata beradu dalam tarian takdir.

Dengan sinematografi megah yang memanjakan mata, kita dibawa menelusuri lembah-lembah penuh kabut, istana yang menjulang, hingga arena pertarungan yang sarat estetika. Drama ini menjadi perwujudan puitik dari konflik antara kebebasan dan kekuasaan, serta cinta dan tanggung jawab.

Yang Yang tampil memikat sebagai Hei Feng Xi: dingin di luar, tapi dalam dirinya tersembunyi lautan emosi. Sedangkan Zhao Lusi sebagai Bai Feng Xi menunjukkan sisi perempuan kuat yang tak tunduk pada dunia patriarki. Chemistry mereka? Laksana badai yang menari di atas bunga plum—liar namun memesona.

Cerita yang kompleks dan penuh strategi politik membuat kita berpikir, sementara adegan romansa yang lembut menyentuh sisi melankolis penonton. Kadang kita lupa bahwa ini kisah fiksi, karena pesan-pesannya—tentang kekuasaan, harga diri, dan pengorbanan—terlalu nyata.


Nilai Akhir: 9/10

Kelebihan Drama ini:

  • Visual dan koreografi pertarungan luar biasa

  • Chemistry aktor utama sangat kuat

  • Cerita padat dengan konflik dan politik

Kekurangan Drama ini:

  • Beberapa subplot terasa lambat dan bisa dipadatkan

  • Akhir cerita bisa terasa bittersweet bagi sebagian penonton


"Bahkan dunia pun tak bisa dimiliki oleh satu orang. Tapi aku... hanya ingin memilikimu di antara ribuan badai."



Jika kamu suka cerita ala "Ten Miles of Peach Blossoms" atau "The Untamed" dengan sentuhan cinta yang tak lekang waktu, "Who Rules The World" adalah sajian sempurna untuk diselami.



Seni dan Sastra Adalah Dua Saudara Yang Tak Bisa Dipisahkan



Sastra dan Seni: Dua Saudara yang Tak Bisa Dipisahkan

Oleh: Rin Muna

Saat kita menyelami dunia sastra, kita sedang menjelajahi dunia batin manusia dengan segala kompleksitasnya. Saat kita menyentuh seni, kita sedang mendekap bentuk-bentuk visual, gerak, bunyi, hingga ekspresi yang tak selalu bisa diucapkan kata.
Tapi, tahukah kamu bahwa sastra dan seni bukan dua dunia yang berbeda? Mereka ibarat saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama: imajinasi, perasaan, dan pencarian makna.

Sebagai seorang penulis dan pengelola Rumah Literasi Kreatif, saya sering menemukan bahwa karya sastra tidak pernah benar-benar steril dari sentuhan seni lain. Saat saya menulis puisi, saya memikirkan ritme dan musikalitas kata seperti dalam musik. Saat saya menulis cerita anak, saya memvisualisasikan latar dan karakter seperti seorang pelukis membuat sketsa. Di sanalah saya yakin: sastra dan seni tidak dapat dipisahkan.


Sastra adalah Seni Berbahasa. Sastra, pada dasarnya, adalah cabang dari seni itu sendiri—tepatnya seni bahasa. Dalam Ensiklopedia Britannica, sastra didefinisikan sebagai “a body of written works that possess artistic or intellectual value”. Artinya, sastra bukan sekadar tulisan; ia adalah tulisan yang memiliki nilai seni dan pemikiran (Britannica, 2024).

Coba bayangkan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata—tanpa gaya bahasa yang puitis, apakah kita bisa ikut terhanyut dalam semangat Ikal dan Arai? Tanpa metafora, imaji, dan irama, apakah puisi Chairil Anwar akan tetap abadi?

Seni adalah wadah berekspresi dan sastra adalah isinya. Seni rupa, musik, tari, teater—semuanya bisa menjadi medium untuk sastra. Dan sastra sendiri bisa menjadi dasar penciptaan seni. Keduanya saling menghidupi. Dalam pementasan monolog, misalnya, naskah sastra menjadi jiwa yang dihidupkan oleh seni peran. Dalam puisi visual, kata-kata tidak hanya dibaca tapi juga dilihat.

Menurut Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author (1967), teks sastra membuka ruang bagi interpretasi bebas pembaca. Di sinilah seni masuk: pembaca bisa merespon teks dengan melukis, menggambar, atau bahkan membuat tarian dari puisi. Sastra tak hanya dibaca; ia bisa ditonton, didengar, dan dialami dengan seluruh pancaindra.


Seni dan sastra sama-sama menjadi objek penting yang membangun peradaban. 
Jika seni adalah cermin zaman, maka sastra adalah suaranya. Di Kalimantan, tempat saya menulis dan berkarya, saya melihat bagaimana hikayat dan pantun berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai media pendidikan, pelestarian budaya, dan penguat identitas. Ketika seni Dayak ditarikan, dan cerita rakyat dibacakan dengan iringan musik tradisional, kita melihat keutuhan antara seni dan sastra yang nyaris sakral.

UNESCO dalam dokumen Culture 2030 Indicators menegaskan bahwa kebudayaan yang hidup—baik dalam bentuk seni maupun sastra—merupakan pondasi pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2020). Sastra dan seni bukan hanya ekspresi individu, tapi juga instrumen sosial.

Sastra dan seni ibarat dua sisi mata uang yang sama. Mereka tumbuh bersama, saling memberi nyawa, dan menghadirkan pengalaman manusia dalam bentuk yang paling indah. Jika kita ingin memahami dunia, atau bahkan menyembuhkan luka kolektif masyarakat, kita tidak bisa memilih salah satu. Keduanya harus dirayakan bersama.

Sebagai bagian dari komunitas sastra Pena Kreatif, saya percaya bahwa membesarkan sastra adalah juga membesarkan seni. Maka jangan heran jika dalam setiap buku saya, selalu ada ilustrasi, irama, bahkan nuansa panggung. Karena menulis, bagi saya, bukan sekadar merangkai kata—tapi mencipta dunia, dengan segala warna dan nadanya.


Sumber referensi:

1. Britannica. (2024). Literature. Retrieved from https://www.britannica.com
2. Barthes, R. (1967). The Death of the Author. In Image-Music-Text.
3. UNESCO. (2020). Culture 2030 Indicators. Paris: UNESCO.
4. Hirata, A. (2006). Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang Pustaka.
5. Anwar, C. (1957). Aku. Jakarta: Balai Pustaka.


Ingin ikut mendiskusikan hubungan sastra dan seni lebih jauh? Yuk mampir ke blog saya: www.rinmuna.com. Di sana, kita bisa saling berbagi gagasan dan karya!



Tuesday, June 17, 2025

Teknik Menulis Bebas (Free Writing) || Materi Kepenulisan by Rin Muna

 Teknik Menulis Bebas (Free Writing)

Menulis tanpa takut salah, tanpa takut dihakimi, hanya untuk menjadi lebih jujur kepada diri sendiri.




Pernahkah kamu merasa ingin menulis, tapi tidak tahu harus mulai dari mana? Atau merasa tulisanmu “terlalu kacau” untuk dibaca orang lain?

Free writing adalah ruang kecil tempat kita boleh kacau. Tempat kita bisa menumpahkan isi kepala tanpa sensor. Karena kadang, tulisan yang paling jujur lahir dari keberanian untuk tidak sempurna.

“Menulis bebas bukan tentang keindahan bahasa, tapi keberanian menghadap cermin kita sendiri.” -Rin Muna-

Di dalam sebuah proses penulisan, kita mengenal istilah menulis bebas atau free writing. Kamu  tahu free writing itu apa?



 Apa Itu Free Writing?

Free writing adalah teknik menulis spontan tanpa henti selama waktu tertentu (biasanya 5–15 menit) tanpa mengedit, tanpa menghapus, tanpa menilai. Ini merupakan teknik yang sangat cocok bagi penulis pemula yang kerap merasa takut untuk menuliskan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya.

Jangan berhenti menulis, walau pikiran terasa kosong. Jika perlu, tulis: “Saya tidak tahu harus menulis apa”  .... hingga kalimat selanjutnya muncul dengan sendirinya.


Free writing digunakan untuk penulis pemula atau orang yang baru ingin belajar menulis dan tidak tahu ingin menulis apa. Kebanyakan orang bisa menuliskan keluh-kesahnya di media sosial setiap hari, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk menulis secara runut dan terstruktur. Penulisan yang baik dan terstruktur akan dipelajari pada teknik-teknik menulis selanjutnya sesuai dengan jam terbang dunia kepenulisannya. Untuk kita yang masih pemula, gaskeun aja untuk menulis bebas (free writing) biar ide di kepala dan uneg-uneg di hatimu juga bisa tersalurkan dengan baik.



 Tujuan Free Writing

  • Membuka keran pikiran dan emosi
  • Mengurangi hambatan mental (writer’s block)
  • Menemukan suara dan tema tersembunyi dalam diri
  • Menulis dengan lebih jujur dan reflektif

Saat kita membebaskan kata-kata, kita sedang membebaskan beban dalam hati.



Langkah-Langkah Menulis Bebas

1. Pilih Waktu

Tentukan durasi: 5, 10, atau 15 menit. Gunakan timer.

2. Pilih Pemicu (optional)

Gunakan kata kunci, gambar, atau kalimat pembuka. Misalnya:

“Hari ini aku merasa…”

“Yang tak pernah kuberitahu siapa pun adalah…”

“Aku rindu…”

Kamu juga bisa menulis tanpa pemicu — hanya mengikuti aliran hati.

3. Tulis Tanpa Henti

  • Tidak boleh menghapus
  • Tidak perlu bagus
  • Tidak ada struktur
  • Tidak ada sensor

Biarkan jari-jari lebih cepat dari pikiranmu. Biarkan apa pun keluar.



Kita bisa latihan Free Writing menggunakan kalimat-kalimat pemicu, seperti:

 "Aku lelah, tapi bukan karena dunia."

Kemudian, tulis terus selama 10 menit tanpa mengangkat pena/jari.

Pemicu lainnya:

  • "Aku ingin berkata jujur soal…"
  • "Kalau saja waktu bisa diulang, aku akan…"
  • "Namanya masih ada di pikiranku karena…"



Setelah menulis, jangan langsung mengedit tulisan kita. Baca kembali terlebih dahulu dan tanyakan:

  • Apa yang paling jujur dari tulisan ini?
  • Kalimat mana yang menyentuh perasaanmu sendiri?
  • Apakah ada ide yang bisa dikembangkan jadi puisi, esai, atau cerpen?

Free writing bukan akhir — ia pintu masuk menuju karya.



Kita tidak perlu takut menuliskan apa pun. Dengan sering berlatih, kita akan terbiasa menulis dan menemukan hal-hal baru yang tersimpan begitu sesak di hati dan pikiran kita.

Agar Free Writing lebih efektif, kita bisa mencoba beberapa tips berikut ini:

 Gunakan jurnal khusus untuk latihan ini

Lakukan secara rutin, misalnya setiap pagi

Tidak perlu dibagikan ke siapa pun — ini untukmu

Jangan mengejar estetika, kejar kelegaan



Kamu tidak harus menjadi sempurna untuk bisa menulis. Kamu hanya perlu berani menuliskan yang sesungguhnya. Kadang, tulisan terbaik lahir dari kesunyian, dari kebingungan, dari pertanyaan yang belum selesai.




“Jika kamu tidak tahu harus menulis apa, mulailah dengan jujur: ‘Aku tidak tahu harus menulis apa.’ Dan lihat ke mana jari-jarimu membawamu.”
— Rin Muna

 


Sebuah Renungan : Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial


Sebuah Renungan
Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial 




Halo, teman-teman.
Kita semua setuju, ya, kalau bullying itu nggak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Nggak lucu, nggak keren, dan jelas-jelas menyakitkan. Tapi, belakangan ini aku mulai resah dengan satu fenomena yang muncul diam-diam: gerakan anti-bullying yang terlalu ekstrem, sampai-sampai semua bentuk kritik dianggap kekerasan, dan kontrol sosial pun menjadi melemah.

Aku tahu ini topik sensitif. Tapi justru karena itu, kita perlu ngobrol.
Aku berharap bisa menemukan orang-orang yang masih memiliki welas asih dan kepedulian terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir.



Anti-Bullying: Dari Empati Menuju Kekebalan Sosial?

Dulu, kita kampanye anti-bullying dengan tujuan yang mulia: membela yang lemah. Tapi sekarang? Rasanya seperti semua orang berlomba-lomba jadi korban.

Anak ditegur karena malas? "Itu bullying!"
Teman dikritik karena bohong? "Jangan gaslighting!"
Guru memberi sanksi? "Toxic authority!"

Batas antara mendidik dan menghakimi jadi kabur. Kita kehilangan keberanian untuk mengatakan, "Kamu salah!" karena takut dituduh kasar.

Padahal, dalam kehidupan sosial yang sehat, teguran itu bagian dari kontrol sosial.
Kalau semua intervensi sosial dianggap bentuk penindasan, maka siapa lagi yang akan menjaga nilai?
Pada akhirnya, kita menjadi orang yang tidak peduli pada nilai-nilai sosial dan semua bentuk penyimpangan dianggap sebagai hal yang wajar (menormalisasi). 

Normalisasi pelanggaran sosial membuat orang-orang yang melakukan kesalahan tidak lagi ditegur. Dibiarkan saja dan membuat semakin menjamur ke mana-mana, bahkan menjadi sebuah trend.

Akhir-akhir ini kita mulai melihat banyak penyimpangan sosial di sekitar kita, seperti:

Anak-anak merokok di jalan, tapi kita takut menegur karena takut dibilang "sok suci".

Teman seenaknya membatalkan janji, tapi saat ditegur malah baper dan mem-posting di story, "Toxic people need to be left behind."
Pencurian kecil-kecilan dianggap wajar karena pelakunya mengalami "trauma masa lalu".

Banyak pelanggaran sosial yang dibiarkan karena kita terlalu takut menyakiti perasaan orang lain, hingga membuat penyimpangan sosial menjadi hal yang wajar, bahkan tindakan kriminalitas menjadi perbuatan yang dibenarkan.
Ironis, ya? Gerakan yang awalnya bertujuan melindungi justru membuat kita tak berani lagi menegakkan nilai di kehidupan ini.

Tidak adanya nilai-nilai sosial di masyarakat, sama dengan lunturnya hukum sosial. Hukum sosial yang luntur, membuat kriminalitas tumbuh dengan subur.

Aku pernah baca satu hasil riset sosiologi (iya, aku masih suka baca jurnal juga kok 😌), yang bilang:

"Ketika kontrol sosial informal melemah, maka hukum formal akan kewalahan. Dan akhirnya, pelanggaran menjadi budaya."

Kita bisa lihat sendiri kriminalitas remaja meningkat, kekerasan verbal di media sosial makin menggila, dan semua berlindung di balik klaim "aku sedang trauma". Bukan empati yang salah. Yang salah adalah jika empati dijadikan tameng untuk pembenaran.
 
Sebagai contoh, kita bisa menilik kasus anak yang membunuh ibu dan anak kandungnya sendiri di Cianjur, Jawa Barat. Berikut ini link video lengkapnya: Blak-blakan! Pelaku Mutilasi Beberkan Aksi Kejinya Habisi Ibu dan Anak | Fakta tvOne
Kabupaten Malang, juga punya cerita kriminal yang sama Anak Bunuh Ibu Kandung Karena Sering Dimarahi
Dan masih banyak kasus kriminalitas yang semakin merajalela dan dilakukan oleh remaja, bahkan ada anak di bawah umur yang sudah tersandung kasus kriminal berat. Seperti kasus anak yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Anak Bawah Umur Diduga Bunuh Ayah & Nenek di Lebak Bulus, Psikologi Tersangka Diperiksa padahal anak tersebut dikenal berprestasi dan kerap dibanggakan oleh orang tuanya.


Apakah Kita Kembali ke Zaman Tanpa Teguran?

Aku percaya kita butuh keseimbangan. Anti-bullying itu perlu, tapi harus ada ruang untuk kontrol sosial yang sehat. Teguran yang bijak, sanksi yang mendidik, dan keberanian untuk berkata jujur — walau tak nyaman.
Jangan sampai kita menciptakan generasi yang kebal kritik tapi rapuh dalam tantangan. Karena dunia ini keras, dan jika kita tak diajari tangguh sejak dini, maka luka yang lebih dalam bisa menunggu di luar sana.


Saatnya Introspeksi, Bukan Sensasi

Teman-teman, yuk kita bedakan mana bullying, mana didikan.
Mana kritik, mana kebencian.
Mana empati, mana manipulasi emosi.

Kalau kita terlalu sibuk merasa tersakiti atas setiap teguran, kita akan kehilangan kemampuan untuk bertumbuh. Dan jika semua hal dianggap penindasan, maka pada akhirnya tidak akan ada lagi nilai yang bisa ditegakkan.

Pelindung tidak boleh berubah menjadi pelindung keburukan. Sebab, tidak dibenarkan dengan alasan apa pun bahwa keburukan harus dilindungi, kecuali pelindungnya lebih buruk dari yang sedang dilindungi.
Mari tetap peka, tapi jangan buta.

With all love and care, 


Rin Muna

Sunday, June 15, 2025

Puisi & Lirik Musik "Selamatkan Aku" karya Rin Muna

Image Source: www.pixabay.com


Deru angin menyertai langkahku
Langkah kecil yang kurajut ribuan hari
Ribuan hari yang membawaku pada titik ini
Titik di mana kutemukan cinta yang sejati

Cinta yang tak pernah meminta walau banyak memberi
Cinta yang tak pernah melukai meski kerap disakiti
Cinta yang tak pernah ingkar janji meski sering dikhianati

Rindu ... aku rindu ... 
Aku rindu pada sebuah pemberhentian
Aku rindu pelukan manja yang begitu mesra dalam doa

Jiwa raga ini milikmu
Hati yang kecil ini milikmu
Pintalah apa pun yang kau mau
Kan kuberikan sgalanya

Ajari aku cara menyayangi-Mu lebih dari diriku
Ajari aku cara mencintai-Mu lebih dari diriku
Ajari aku cara merindukan-Mu dalam relung malamku

Duniaku ... tak akan indah tanpa-Mu
Duniaku ... bisa hancur seketika karena-Mu

Peluklah aku
Dekaplah aku
Selamatkan aku dengan cinta-Mu
Selamatkan akundengan cinta-Mu








Kutai Kartanegara, 15 Juni 2025


Rin Muna

Perfect Hero Bab 234 : Save Jheni || a Romance Novel by Vella Nine

 


Deretan mobil mewah terparkir di sekitar Kasinoa, pusat perjudian yang terkenal di kota tersebut.

 

“Chan, kamu yang paling deket sama Jheni. Gimana bisa dia berhubungan sama Ben?” tanya Yeriko.

 

“Aku nggak tahu, Yer. Yang aku tahu, dia nggak pernah main judi. Seharusnya, nggak ada hubungan apa pun sama Ben.”

 

“Aku curiga, ada yang manfaatin dia,” sahut Lutfi.

 

Mereka bertiga menatap gedung tinggi yang menjulang ada di hadapan mereka dan bergegas masuk ke dalamnya.

 

“Malam, Mbak!” sapa Lutfi sambil tersenyum manis pada pelayan berpakaian seksi.

 

“Iya, ada yang bisa dibantu?” sahutnya dengan suara manja sambil menatap Lutfi.

 

“Di mana acara lelang malam ini?” tanya Lutfi.

 

“Oh ... mau ikut lelang?”

 

Mereka bertiga menganggukkan kepala.

 

“Mari, saya antar!” Pelayan tersebut langsung membawa Chandra dan yang lainnya menuju lantai tempat diadakannya pelelangan.

 

Chandra mulai gelisah. Ia tidak bisa membiarkan Jheni berada di tangan preman-preman tersebut. Apalagi, mereka menjual Jheni pada orang-orang biadab yang ada dalam ruangan itu.

 

Mata Chandra berusaha mencari sosok Ben. Mereka pernah terlibat perseteruan di masa lalu. Dalam dunia perjudian, Ben menjadi musuh bebuyutan David. Keduanya sama-sama kuat dan memiliki banyak anak buah.

 

“Sabar, Chan! Jangan gegabah!” pinta Yeriko saat Chandra akan melangkah pergi.

 

“Aku nggak tahu di mana dan keadaan Jheni. Gimana aku bisa sabar?” sahut Chandra menahan amarah.

 

“Kalau kamu gegabah, Jheni justru dalam bahaya.”

 

“Iya, Chan. Kita pastikan dulu kalau Jheni bisa kita selamatkan dengan baik.”

 

Chandra menarik napas dalam-dalam. Ia melipat kedua tangan sambil menunggu acara lelang dimulai.

 

Tepat jam dua belas malam, acara lelang di mulai. Seorang wanita dengan pakaian yang seksi dan menggairahkan keluar dari belakang panggung.

 

“Selamat malam semuanya ...!” sapa wanita itu yang langsung mendapat sambutan meriah dari semua orang yang hadir.

 

“Malam ini ada barang lelang yang sangat berharga. Sangat indah dan menggairahkan. Kalian bisa langsung pakai sekarang juga. Gimana? Seru?” suara wanita itu menggelegar ke seluruh ruangan.

 

“Mari kita sambut barang antik dan cantik untuk malam ini!” seru wanita itu sambil menoleh ke belakang.

 

Jheni muncul dalam kurungan kotak transparan. Pakaiannya acak-acakan, tubuh yang menjulang tinggi itu membuat pemandangannya menjadi sangat sensasional.

 

“Aurel akan buka dengan harga lima juta!” seru wanita berpakaian seksi pemilik nama Aurel yang membawakan acara lelang tersebut.

 

“Tujuh juta!” seru salah seorang yang hadir.

 

“Delapan juta!”

 

Jheni terus memberontak dari dalam kotak tersebut. Membuat semua orang yang ada dalam ruangan tersebut semakin bergairah. Mereka mulai menawar secara gila-gilaan.

 

Chandra semakin gelisah. Ia tidak tahan melihat Jheni yang menjadi bahan rebutan pria-pria hidung belang.

 

Lutfi dan Yeriko menahan lengan Chandra agar tidak gegabah menghadapi situasi ini. Terlebih, ada banyak pengawal dan yang ada di dalam ruangan tersebut.

 

“Chan, kita harus temukan dulu dalang yang ada di balik ini semua,” bisik Yeriko. Ia terus mengedarkan pandangannya.

 

Jheni dikeluarkan dari dalam kotak. Kedua tangannya dipegang oleh pria yang mengawalnya. Jheni terus memberontak. Ia menatap semua orang yang hadir di sana. Pria-pria di dalam ruangan tersebut menatap dirinya seperti sedang menikmati kue yang sangat manis.

 

Chandra berusaha melepaskan diri dari tangan Yeriko dan Lutfi.

 

“Jangan gegabah, Chan!” sentak Yeriko.

 

“Dua puluh juta!” Pria-pria hidung belang itu masih terus menawar Jheni.

 

“Tiga puluh juta!” seru Yeriko. Cara satu-satunya menyelamatkan Jheni adalah memenangkan lelang.

 

“Lima puluh juta!” sahut salah seorang preman tak mau kalah.

 

“Yer, udahlah. Kita kelarin sekarang aja!” tutur Chandra semakin geram.

 

“Wait!” perintah Yeriko sambil menunjuk salah seorang preman dengan dagunya.

 

“Delapan puluh juta!” seru salah seorang preman bertubuh kekar dengan banyak tattoo di tubuhnya.

 

“Gila!” Chandra makin kesal dengan penawaran yang semakin tinggi.

 

“Ada yang mau menawar lebih tinggi lagi?” tanya Aurelia dari atas panggung. “Aurel akan hitung mundur dari angka lima.”

 

Lima.

 

Empat.

 

Tiga.

 

Dua.

 

Satu.

 

“Oke. Gadis cantik ini akan jatuh pada Mr. Eighty Million!” seru Aurelia.

 

Pria yang disebut sebagai Mr. Eighty Million itu tersenyum penuh kemenangan. Ia mulai melangkah naik ke atas panggung sambil melepas pakaiannya sendiri. Ia bersiap memperkosa Jheni saat itu juga di depan semua pria hidung belang.

 

Aurelia bersorak, disambut dengan tepuk tangan riuh dari peserta lelang yang lainnya. Mereka mulai keluar satu per satu karena tidak bisa memenangkan lelang. Yang lain, lebih ingin menikmati pertunjukkan seks di atas panggung.

 

Yeriko mulai berlari menuju panggung, diikuti Chandra dan Lutfi.

 

Yeriko langsung menjatuhkan tubuh preman tersebut dengan sekali tendangan.

 

Mr. Eighty Million tidak terima dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia bangkit dan melepaskan pukulan ke arah Yeriko.

 

Dengan cepat, Lutfi menahan genggaman tangan Mr. Eighty Million dan memutar kuat hingga tubuhnya terpelanting ke lantai.

 

Chandra dengan emosi yang tinggi langsung memukuli wajah preman tersebut bertubi-tubi tanpa ampun.

 

Semua pengawal yang ada di dalam ruangan tersebut langsung menyerang Yeriko dan dua orang yang bersamanya.

 

“Chan, bawa Jheni keluar!” seru Yeriko sambil menoleh ke arah Chandra.

 

Chandra langsung memukul dua orang yang memegangi tubuh Jheni. Ia menarik Jheni ke dalam pelukannya sambil menatap sengit ke arah Aurelia yang terpaku di tempatnya.

 

Aurelia tidak menyangka kalau acara pelelangan malam ini akan terjadi perkelahian besar. Ia hanya terpaku dan tidak bisa berbuat apa-apa.

 

“Chan, tolong aku!” pinta Jheni lirih, ia berusaha berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.

 

Chandra langsung menggendong tubuh Jheni dan membawanya keluar.

 

Yeriko dan Lutfi masih terus bergulat dengan beberapa preman yang ada di ruangan tersebut.

 

“Lut, kamu lindungi Chandra sampai ke luar. Yang di sini, biar aku yang tangani!” perintah Yeriko.

 

Lutfi mengedarkan pandangannya. Preman yang harus mereka hadapi lebih dari dua puluh orang. Ia tidak mungkin membiarkan Yeriko menanganinya seorang diri. “Nggak bisa! Kita keluar sama-sama.”

 

BUG!

 

BUG!

 

BUG!

 

Yeriko dan Lutfi terus berkelahi dengan preman-preman tersebut hingga menjatuhkan merek satu persatu.

 

BRAAK ...!

 

Yeriko membanting salah seorang preman ke atas meja hingga meja tersebut pecah.

 

“Kalian bener-bener nggak becus!” maki Mr. Eighty Million melihat semua anak buahnya terkapar tak berdaya.

 

Yeriko menoleh ke arah Mr. Eighty Million. Ia meraih lengan pria itu tersebut dan mematahkannya dengan mudah.

 

“Aargh ...!” teriakan Mr. Eighty Million melengking dan menggema di seluruh ruangan.

 

“Jangan sampai kita ketemu lagi! Aku pastikan semua tulang di badanmu ini remuk!” ancam Yeriko.

 

Yeriko menoleh ke arah Aurelia yang berdiri di sudut panggung. Ia dan Lutfi langsung menghampiri Aurelia dengan tatapan penuh kebencian.

 

Aurelia melangkah mundur perlahan hingga punggungnya tersudut pada dinding ruangan tersebut.

 

“Di mana Ben?” sentak Yeriko sambil memukul dinding yang ada di sebelah kepala Aurelia.

 

Aurelia menggeleng ketakutan. “Aku nggak tahu.”

 

“Aku tanya sekali lagi. DI MANA BEN!?” Yeriko berteriak lebih keras.

 

Aurelia menatap mata Yeriko yang berapi-api. Tangan dan kakinya tiba-tiba lemas. Tubuhnya langsung merosot ke lantai. Ia tidak memiliki kekuatan menghadapi tatapan Yeriko yang mengerikan.

 

Yeriko membungkukkan tubuhnya. Ia menekan rahang Aurelia. “Aku nggak pernah bedain laki-laki dan perempuan. Semuanya sama di mataku. Kamu mau aku pakai kekerasan supaya kamu jawab pertanyaanku?”

 

Aurelia menggelengkan kepala dengan tubuh gemetaran.

 

“Di mana dia?” tanya Yeriko lagi.

 

“Di lantai atas,” jawab Aurelia lirih.

 

Yeriko melepas rahang Aurelia. Ia dan Lutfi bergegas mencari Ben untuk membuat perhitungan dengan pria itu dan menemukan dalang utama di balik penculikan Jheni.

 

 

(( Bersambung ... ))

Uh, nulis adegan action, bikin aku tahan napas mulu ...

Dukung terus cerita ini dengan cara kasih Star Vote dan review baik di kolom komentar. Terima kasih semuanya. I Love you

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas