Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, May 21, 2025

Perfect Hero Bab 230 - Happy Time || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jhen, bagus nggak?” tanya Yuna sambil menunjuk gaun yang ia pegang.

“Bagus,” jawab Jheni sambil tersenyum.

“Serius?”

“Iya. Tapi ... aku ngak suka renda di bagian pundak itu. Nggak cocok sama kamu.”

“Huh, bilang aja nggak bagus!” celetuk Yuna sambil meletakkan kembali gaun tersebut ke gantungannya.

“Cha, kamu mau cari baju yang gimana?” tanya Jheni karena ia sudah mendapatkan baju pilihannya.

“Mmh ... aku mau cari Long Cardigan, tapi ...”

“Tapi apa?”

“Modelnya nggak ada yang sreg,” jawab Icha.

“Halah, modelnya atau harganya?”

“Dua-duanya,” jawab Icha.

“Tenang aja! Ada bos besar di sana!” sahut Yuna sambil menunjuk Yeriko dan Lutfi yang ikut menemani mereka berbelanja.

“Mmh ... iya juga, sih.”

“Ya udah, ngapain bingung sih?” sahut Jheni.

“Aah, udah. Nggak usah mikirin soal uang!” pinta Yuna. “Kalau kalian nggak enak pakai uang Yeriko, aku punya kartu sendiri. Aku rasa, kalian nggak akan sungkan habisin uangku kan?”

“Nah, kalo kayak gini, kita mah nggak sungkan belanjanya,” tutur Icha.

“Hahaha.” Yuna tertawa lebar. “Padahal kartu kreditku duit Yeriko juga,” tuturnya dalam hati. Ia hanya tidak ingin dua sahabatnya merasa sungkan karena harus menggunakan uang suaminya untuk berbelanja.

“Cari apa lagi?” tanya Yeriko begitu Yuna selesai membayar belanjaannya.

“Mmh ... cari makan. Laper.”

“Ayo!” Yeriko merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya menuju salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

“Kamu udah pakai kartu yang aku kasih?” bisik Yeriko di telinga Yuna sambil masuk ke restoran.

Yuna mengangguk. “Soalnya, mereka sungkan kalau kamu yang harus keluar uang. Padahal uang yang aku pakai, uang kamu juga.”

“Nggak papa. Bagus. Kalo gitu, hari ini kamu yang traktir. Gimana?”

“Pakai kartu yang kamu kasih?”

“Nggak mau. Pakai uang hasil kerja kamu sendiri.”

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Emangnya beda?”

“Beda.”

“Bedanya di mana?”

“Mmh ... uang yang didapatkan dari hasil kerja sendiri, pasti rasanya beda. Lebih tulus dan bakal aku ingat terus.”

“Oke.” Yuna tersenyum dengan mata berbinar.

Yeriko tersenyum. Mereka menuju ke salah satu meja makan dan memesan banyak makanan.

“Minum ini!” pinta Yeriko sambil menyodorkan jus alpukat ke hadapan Yuna.

“Yun, kenapa sih kamu nggak bikin akun instagram atau facebook gitu?” tanya Icha.

“Buat apa?”

“Buat aku kepoin,” sahutnya sambil tertawa kecil.

“Males sama orang-orang yang kepo kayak kamu.”

“Yah, kali aja Lutfi mau pinang kamu buat promoin villa-nya kalau kamu jadi selebgram, Yun.”

Yuna tertawa kecil, ia langsung menatap Lutfi yang duduk di hadapannya. “Emangnya, aku ada potensi jadi selebgram?”

“Mmh ...” Lutfi mengelus-ngelus dagunya. “Ada sih, tapi ...” Ia melirik Yeriko yang duduk di sebelah Yuna.

“Tapi apa?”

“Aku nggak akan pakai Kakak Ipar buat jadi endorser villa-ku.”

“Kenapa?”

“Karena sudah bersuami dan aku nggak berani ngajak Kakak Ipar liburan keliling villa-ku.”

“Kamu endorse aja dua-duanya,” sahut Jheni.

“Maksudnya?”

“Kamu kan usaha villa. Selama ini kamu selalu pakai model cantik buat promo villa kamu. Kamu nggak tertarik buat pakai sepasang suami istri yang ganteng dan cantik ini buat promosiin villa kamu? Bukannya lebih menarik kalau villa kamu itu dipromosiin sama sepasang suami istri yang suka mesra-mesraan di depan umum ini?”

“Mmh ... ide kamu bagus juga, Jhen. Kenapa aku nggak kepikiran ya?”

“Punya budget berapa?” tanya Yeriko dingin.

“Astaga! Sama adek sendiri nanyain budget. Harusnya, Kakak Ipar bantu aku tanpa aku harus bayar sepeserpun.”

“Jangan harap kamu bisa manfaatin istriku!” sahut Yeriko.

“Hmm ... baru rencana aja udah ditanggepin kayak gini. Kalo sampe aku beneran pakai Kakak Ipar jadi modelku, bisa habis digorok sama dia!”

Yuna tertawa kecil mendengar ucapan Lutfi.

“Aku kira, nggak ada orang yang kamu takuti di dunia ini,” tutur Icha sambil menatap Lutfi.

“Ada. Tiga orang yang aku takuti di dunia ini. Mama, Yeriko sama kamu!” sahut Lutfi kesal.

“Hahaha.”

Semua tenggelam dalam canda tawa.

Jheni tiba-tiba menghentikan tawanya saat melihat Chandra menghampiri meja mereka. “Dari mana dia tahu kalau kita ada di sini?” batinnya dalam hati.

Yuna dan yang lainnya menyadari perubahan ekspresi wajah Jheni. Mereka langsung menoleh ke arah Chandra yang baru saja datang.

Suasana menjadi canggung karena di belakang Chandra ada Amara yang datang bersamanya.

Yuna menyenggol lengan Yeriko. Ia juga menendang kaki Lutfi. Semuanya tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi Chandra yang datang bersama mantan tunangannya itu.

“Hai ...!” sapa Chandra sambil tersenyum.

“Oh ... sini, Chan! Duduk!” pinta Lutfi dengan ramah. Walau bagaimanapun, Chandra tetaplah sahabatnya. Ia tidak mungkin mengusir Chandra dari tempat itu walau semua orang yang ada di meja tidak menyukai Amara.

Chandra tersenyum. Ia melirik ke arah Jheni sejenak dan duduk di sebelah Lutfi. Amara juga ikut bergabung di meja tanpa rasa canggung walau semua orang tidak menyambutnya dengan baik.

“Yun, masker wajah yang kamu ke aku, belinya di mana?” tanya Jheni.

“Online.”

“Kamu masih suka belanja online?”

Yuna mengangguk. “Zaman sekarang, bukannya lebih enak belanja online. Nggak perlu capek-capek keluar rumah, barangnya udah dateng sendiri.”

“Huh, gaya Lu!” sahut Jheni sambil memonyongkan bibirnya ke arah Yuna. “Tetap aja masih suka muter-muter di mall tiap minggu.”

“Refreshing, Jhen. Seminggu sekali juga belum tentu. Bosen tahu kalau setiap hari mainnya cuma rumah sama kantor doang. Hahaha.”

“Mmh ... iya juga, sih. Apalagi sekarang kamu udah jadi asisten direktur. Pasti, kerjaan kamu padet dan bikin pusing banget kan?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia bersama Icha dan Jheni terus berbincang tanpa menghiraukan kehadiran Amara.

 

Lutfi dan Yeriko juga mengajak Chandra membicarakan soal bisnis akhir-akhir ini.

 

Chandra sesekali menoleh ke arah Jheni yang sedang berbincang dengan Yuna dan Icha. Ia melihat Jheni baik-baik saja. Seharusnya, tidak akan mempengaruhi hubungan mereka. Hanya saja, kehadiran Amara membuat semuanya jadi canggung. Pertemuannya dengan Amara yang tidak disengaja, membuat hubungannya dengan Jheni semakin renggang.

 

Jheni melirik ke arah Chandra sesekali. Sungguh, dalam hati ia merasa sangat kesal karena Chandra sama sekali tidak menghampirinya untuk meminta maaf atau memberikan penjelasan.

 

Oke, fix. Kamu lebih milih Amara daripada aku,” batin Jheni.

 

“Oh ya, besok aku ambil barang-barangku yang ada di rumah kamu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.

 

“Hah!? Aku cuma bercanda, Yun. Kamu baper banget?” Jheni mengernyitkan dahi.

 

“Mmh ... nggak baper. Biasa aja. Lagian, aku boleh bawa ke rumah sama suamiku.”

 

“Serius? Kamu udah berubah pikiran, Yer?” tanya Jheni sambil menatap Yeriko.

 

“Aku nggak pernah ngelarang dia bawa barang apa pun ke rumah. Dia aja yang punya pemikiran sendiri,” sahut Yeriko.

 

“Hahaha. Kamu, Yun ... masih o’on aja!” Jheni menoyor kepala Yuna.

 

Yuna memonyongkan bibirnya.

 

“Dia kalo di kantor, ngurusin kerjaan pinter dan cekatan. Tapi kalo soal kayak gini, kenapa nggak pinter?” tanya Icha.

 

“Hahaha. Curiga otaknya ditinggal di kantor?” sahut Jheni.

 

“Kalian kalo ngolok aku seneng banget ya!?” dengus Yuna.

 

“Kamu juga sama, pengolokan!” sahut Jheni.

 

“Hahaha.”

 

Mereka bertiga terus bercanda dan tertawa bersama. Merasa seperti tak ada orang lain selain mereka bertiga. Sementara, Yeriko dan dua sahabatnya berbincang serius soal pekerjaan.

 


((Bersambung....))

 

Perfect Hero Bab 229 - On Bathtub || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yer, teleponin si Chandra!” pinta Yuna begitu ia sudah kembali dari rumah Jheni. Ia langsung bergegas masuk ke kamar dan melepas pakaiannya.

“Buat apa?”

“Tadi di jalan udah aku ceritain soal Jheni. Kamu nggak mau bantu mereka?” tanya Yuna.

“Kamu yang telepon Chandra kan bisa, Yun.”

“Iih ... kalo aku yang telepon Chandra, yang ada aku naik darah dibuatnya. Kamu aja!” pinta Yuna sambil memakai baju mandi dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Yeriko langsung mengambil ponsel dari saku celana dan menelepon Chandra.

“Halo ...!” sapa Chandra begitu panggilan telepon Yeriko tersambung.

“Kamu di mana, Chan?”

“Di rumah.”

“Udah temui Jheni?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Huft, aku masih mau menenangkan diri sebentar.”

“Kamu balik sama Amara?”

“Nggak.”

“Yuna bilang ...”

“Apa?”

“Tadi pagi, Jheni nyusul ke rumah sakit. Dia lihat kamu sama Amara lagi ...”

“Apa? Dia ke rumah sakit?”

“He-em. Kamu nggak tahu?”

“Nggak tahu, Yer.”

“Chan, aku nggak mau kamu balik sama Amara. Kamu ngerti kan apa yang harus kamu lakuin?”

Hening.

“Chan!”

“Iya.”

Yeriko langsung mematikan ponselnya dengan kesal dan melemparkan ponsel tersebut ke atas kasur begitu saja. Ia sangat kesal dengan sikap Chandra yang tidak  bisa menolak Amara dengan tegas.

Yeriko menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ia melangkah mendekat dan menarik gagang pintu kamar mandi. “Yun, kenapa dikunci?” seru Yeriko.

“Hah!? Apa?”

“Aku mau mandi juga!” teriak Yeriko.

“Bentar!” sahut Yuna ikut berteriak. Ia bergegas membukakan pintu kamar mandi.

Yeriko langsung menatap tajam ke arah Yuna begitu Yuna membukakan pintu. “Lain kali, jangan dikunci pintunya!” pinta Yeriko.

“He-em.” Yuna mengangguk.

Yeriko masuk ke dalam mandi dan menceburkan dirinya ke dalam bathtub bersama Yuna.

“Yer, kenapa si Harry jadi penjudi?” tanya Yuna sambil menyandarkan kepalanya di dada Yeriko. Tangannya asyik memainkan busa sabun yang ada di dalam bathtub.

“Aku dah ngerencanain semuanya. Bikin hidupnya pelan-pelan terperosok. Bikin Amara menyesal seumur hidupnya. Mereka harus tahu lagi berhadapan sama siapa. Aku nggak akan ngebiarin siapa pun menyakiti orang-orangku. Aku tahu siapa saja yang harus aku lindungi,” jawab Yeriko santai sambil memainkan ujung hidungnya di pundak Yuna.

Yuna tersenyum kecil. “Hmm ... aku lihat sih kalo Amara nyesel banget. Tapi, aku nggak suka karena dia malah balik nempel ke Chandra lagi. Kalau Chandra luluh sama Amara gimana? Gimana nasib Jheni kalau sampe mereka balikan? Jheni udah ngelakuin banyak hal untuk Chandra. Aku masih nggak habis pikir, kenapa Chandra tega banget php-in Jheni,” cerocos Yuna.

 

 “Chandra nggak akan berpikir sesempit itu. Aku juga nggak akan biarin dia balik ke Amara,” tutur Yeriko pelan.

 

“Janji?”

 

“Janji apa?”

 

“Chandra nggak bakal balik ke Amara?”

 

Yeriko mengernyitkan dahi. “Apa aku kekurangan kerjaan?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Kenapa aku jadi sibuk mikirin hubungan orang lain?”

 

Yuna tertawa kecil. “Apa Chandra orang lain buat kamu?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

Yuna langsung memutar kepalanya menatap Yeriko. “Jheni juga bukan orang lain buat aku. Jadi, mereka berdua juga bagian dari keluarga kita kan? Kamu nggak mau Chandra tersakiti, aku juga nggak mau Jheni tersakiti. Seharusnya kita bisa bekerja sama supaya mereka baikan lagi kan?”

 

Yeriko tersenyum. “Iya, bawel.” Yeriko menggoyangkan dagu Yuna dan langsung mengulum bibir istrinya yang manis.

 

Mereka bergegas menyelesaikan mandinya, berpakaian dan turun ke ruang makan.

 

“Yer, foto prewedding kita udah jadi,” tutur Yuna sambil tersenyum menatap layar ponselnya. “Lihat!” Ia menunjukkan potret dirinya dan Yeriko saat melakukan pemotretan di Bali beberapa waktu lalu.

 

Yeriko tersenyum.

 

“Uch ... ternyata, aku bisa cantik juga ya?”

 

“Kamu emang udah cantik.”

 

“Tanggal pernikahan belum ditentukan juga sampai sekarang. Mmh ... kamu nggak buru-buru kan?” tanya Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Kita udah nikah secara resmi. Soal pesta pernikahan, aku ngikut aja.”

 

“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Aku juga nggak bisa mendesak mama untuk mempercepat persiapan pesta pernikahan kita.”

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya. Aku ngerti, kok.”

 

“Kita nggak dateng ke acara nikahan sepupu kamu. Kamu nggak nyiapin hadiah pernikahan buat mereka?”

 

Yuna mengedikkan bahu.

 

“Yun, Lian itu bos kamu juga di kantor. Nggak mau ngasih kenang-kenangan?”

 

“Nggak, ah. Apa-apaan sih!?” sahut Yuna sambil menahan tawa.

 

Yeriko tertawa kecil.

 

“Kamu ini kenapa sih malah nyodorkan istri kamu ke mantannya? Kamu nggak takut dia godain aku lagi?”

 

Yeriko tertawa kecil. “Bukannya sepupu kamu itu sudah jagain dia biar gak godain kamu? Itu sudah cukup bikin aku tenang. Lagipula, aku nggak perlu takut sama dia. Dia yang harus takut sama aku!” tegas Yeriko penuh percaya diri.

 

“Huh, sombong!” celetuk Yuna sambil mencebik.

 

Yeriko tertawa kecil sambil menatap Yuna. “Kamu nggak berminat bikin dia kayak Amara?”

 

“Eh!? Maksud kamu?”

 

Yeriko mengetuk kening Yuna. “Udah jadi asisten direktur, pinternya nggak nambah-nambah.”

Yuna mengembungkan pipinya.

Yeriko tersenyum kecil. “Makan yang banyak!” perintahnya. “Minggu ini, ada jadwal konsultasi sama dokter, kan?”

 

“Kamu ingat?”

 

Yeriko mengangguk. “Nggak mungkin aku lupa.”

 

Yuna tersenyum. Ia merasa sangat bahagia karena di tengah kesibukan, suaminya masih terus memperhatikannya.

 

“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Yeriko.

 

“Nggak boleh?”

 

Yeriko langsung mendekatkan wajahnya. “Masih belum puas lihat mukaku setiap hari?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

“Kamu ini ... jadi perempuan jujur banget. Nggak ada jaim-jaimnya sedikitpun,” celetuk Yeriko sambil tertawa kecil.

 

Yuna meringis. “Apa masih perlu jaim sama suami sendiri?”

 

Yeriko menahan senyum sembari melahap makanan yang ada di hadapannya. “Di luar, kamu nggak kayak gini kan?”

 

“Aku kayak gini. Suka bilang suka, nggak suka bilang nggak suka. Salah?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Mmh ... minggu ini aku mau ajak Jheni sama Icha jalan-jalan. Kamu ada waktu atau nggak?” tanya Yuna hati-hati.

 

“Ada.”

 

“Beneran?” tanya Yuna penuh semangat.

 

Yeriko mengangguk.

 

“Mmh ...” Yuna berpikir sejenak. Ia ingin menanyakan sesuatu. Namun ia tak yakin kalau Yeriko akan menjawab sesuai dengan harapannya.

 

“Mmh ...”

 

“Mmh ...”

 

“Kamu mau  ngomong apa?” tanya Yeriko.

 

Yuna menggigit bibirnya.

 

“Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”

 

Yuna menggeleng.

 

“Terus?”

 

“Aku ... mmh ... aku masih punya banyak barang di rumah Jheni. Apa boleh aku bawa ke sini semua?” tanya Yuna hati-hati. “Aku janji, nggak bakal bikin rumah berantakan. Aku bakal simpan barang-barang aku dengan baik sampai rumahku kembali,” lanjutnya.

 

“Rumah?” Yeriko mengernyitkan dahi.

 

Yuna mengangguk.

 

“Kamu nggak mau tinggal di sini lagi?”

 

“Eh!? Bukan. Bukan gitu maksud aku. Aku cuma nggak mau barang-barang aku ganggu ketenangan kamu. Jadi, aku mau simpan barang-barangku di rumah aku sendiri.”

 

“Apa aku pernah bilang kalau kamu nggak boleh bawa barang-barang kamu masuk ke rumah ini?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.

 

“Nggak, sih. Tapi ... aku lihat rumah ini nggak banyak aksesoris dan dekorasi. Aku nggak berani bawa barang aku ke sini. Tapi ... si Jheni udah mulai ngomel karena aku selalu nitip barangku di rumah dia. Jadi ...”

 

“Kamu kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Yeriko.

 

“Aku takut.”

 

“Kamu ini ...?” Yeriko tak habis pikir dengan pemikiran istrinya. “Rumah ini juga rumah kamu. Kenapa kamu takut bawa barang kamu sendiri ke sini?”

 

“Karena ... barang-barangku terlalu kekanak-kanakkan. Kamu pasti nggak suka kalau aku bikin kacau rumah ini,” jawab Yuna lirih.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam sambil menatap Yuna. “Mulai besok, bawa pulang semua barang-barang kamu ke sini!”

 

“Eh!?” Yuna melongo menatap Yeriko.

 

Yeriko menatap Yuna serius. Ia tidak ingin istrinya membantah ucapannya kali ini.

 

Yuna mengangguk kecil. Ia tersenyum bahagia karena akhirnya bisa membawa karya-karya tangannya ke rumah ini.

 

(( Bersambung ... ))

 

 

Perfect Hero Bab 228 - Perfect Bestfriend || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jhen, kenapa sih kamu mau bikin sarapan buat Amara?” tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam rumah Jheni.

 

“Sebenarnya, aku mau bawain buat Chandra. Dia pasti belum makan karena nungguin Amara semalaman. Aku rasa, aku harus berbesar hati dan nggak negative thinking ke Chandra. Tapi ... aku malah dapet kejutan tak terduga.”

 

“Huft, udahlah. Nggak usah sedih terus. Semoga aja, Chandra tetep setia sama kamu dan nggak goyah sama mantan pacarnya itu.”

 

“Aku nggak yakin, Yun.”

 

“Uch ... Jheni, aku nggak pernah lihat kamu seburuk ini. Kamu harus selalu semangat! Jheni yang aku kenal, nggak gampang nyerah! Oke?”

 

Jheni tersenyum kecil menatap Yuna.

 

“Mmh ... karena nggak jadi dikasih ke sana. Ini aku makan aja,” tutur Yuna sambil membuka kotak bekal yang dibawakan Jheni untuk Chandra.

 

“Makanlah!”

 

“Kamu udah makan?”

 

“Nggak nafsu makan.”

 

“Eh, kamu kalo kurus jelek banget, sumpah! Gimana Chandra ngelirik kamu kalo kamu jelek,” celetuk Yuna sambil menahan senyum.

 

Jheni langsung membelalakkan matanya menatap Yuna. Di saat seperti ini, sahabatnya itu masih bisa mengeluarkan celetukan-celetukan aneh dari mulutnya.

 

Yuna meringis sambil menyuap makanan ke mulutnya. “Jhen, kemarin aku ada nonton drama, ada boneka handmade yang lucu banget. Aku pengen punya boneka kayak gitu. Aku cari-cari di toko online, nggak ada yang jual.”

 

“Kamu ini, boneka mulu,” sahut Jheni. “Bikin aja kalo emang handmade!”

 

“Taruh sini ya!” pinta Yuna.

 

“Yun, rumahku bukan tempat penampungan. Lagian, rumah suami kamu itu kan besar. Kenapa nggak dimanfaatkan? Barang handmade kamu udah banyak banget di sini. Nggak lama, ini rumah jadi gallery. Mau sampai kapan kamu simpan barang-barang kamu di rumahku?”

 

Yuna menundukkan kepala. “Sampai aku bisa nebus rumah orang tuaku,” ucapnya lirih.

 

Jheni terdiam. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan Yuna. “Duh, bodoh banget sih aku?” gumamnya dalam hati.

 

“Sorry, Yun! Aku nggak bermaksud buat nyinggung kamu,” tutur Jheni sambil menatap wajah Yuna.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. “Nggak papa, Jhen. Aku ngerti, kok. Emang nggak seharusnya aku penuhi rumah kamu sama barang-barangku.”

 

“Nggak gitu, Yun! Aku cuma bercanda. Suer!” Jheni mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

 

“Huft, aku sendiri nggak tahu sampai kapan bisa nebus rumah keluargaku. Posisiku sekarang emang udah lumayan, tapi tetep nggak yakin bisa nebus rumahku dalam waktu cepat.”

 

“Yun, bukannya suami kamu kaya raya. Kenapa nggak kamu manfaatin?”

 

“Jhen, kamu mau jerumusin aku? Kalo aku sampai pakai uang suamiku buat nebus rumah, ucapan semua orang soal aku yang nikah sama Yeriko karena harta, bakal jadi kenyataan,” sahut Yuna. “Aku nggak mau manfaatin dia.”

 

Yuna menopang dagu dengan dua tangannya. “Huft, gimana caranya ngembaliin semua harta ayahku ya? Setidaknya, saat dia sembuh ... semua kembali seperti semula.”

 

“Kenapa nggak minta bantuan sama suami kamu?”

 

“Dia udah bilang mau bantu, sih. Tapi ...”

 

“Tapi apa?”

 

“Dia udah ngelakuin banyak hal. Aku makin banyak berhutang budi sama suamiku sendiri. Sedangkan aku, nggak pernah ngelakuin apa-apa buat dia.”

 

“Ya udah, kamu berusaha aja mulai dari sekarang. Toh, sekarang kamu udah jadi asisten direktur. Siapa tahu aja, tahun depan udah bisa jadi direktur.”

 

“Aamiin ...” Yuna tersenyum ke arah Jheni. Bukannya dia yang menghibur Jheni, malah Jheni yang menghibur suasana hatinya. Ia menertawakan dirinya sendiri yang terlihat begitu payah.

 

 

 

( You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

“Halo ...! Kamu di mana?” tanya Yeriko lewat panggilan telepon.

 

“Astaga!” Yuna menepuk dahinya. Ia langsung melihat jam yang ada di layar ponselnya. “Aku lupa kabarin, sekarang lagi di rumah Jheni. Hehehe. Jemput aku di sini ya, Sayang!” rayu Yuna.

 

“Oke. Aku ke sana sekarang!”

 

“Umh.” Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

“Kamu nggak bilang sama suami kamu kalo kamu di sini?” tanya Jheni.

 

“Lupa, Jhen. Sumpah! Nggak sengaja. Abisnya, gara-gara kamu juga nangis-nangis terus. Aku kan jadi bingung. Untungnya dia nggak marah.”

 

Jheni menahan tawa menatap Yuna.

 

“Kenapa ketawa?”

 

“Kamu udah mulai nurut sama suami kamu yang katanya dingin, galak, nggak berperasaan itu?”

 

“Iih ... itu kan dulu,” sahut Yuna sambil memonyongkan bibirnya.

 

“Emangnya sekarang gimana?”

 

“Sekarang dia itu penyayang, hangat, selalu nurutin semua permintaan aku. Pokoknya, dia itu perfect husband,” tutur Yuna sambil tersenyum bahagia.

 

“Senengnya bisa punya suami kayak gitu. Kayak di dongeng-dongeng. Cinderella sama pangeran. Eh!? Kok, mirip ya?”

 

“Mirip apa?”

 

“Cerita kamu sama Cinderella.”

 

“Aku nggak punya ibu tiri, Jhen!” dengus Yuna.

 

“Yah ... tapi, mirip-mirip lah. Dari puteri semata wayang, jadi upik abu dan diselamatkan sama pangeran kerajaan yang tampan dan kaya raya.”

 

“Umh.”

 

“Eh, betewe ... aku penasaran sama kehidupan mereka selanjutnya,” tutur Jheni lagi.

 

“Prince Henry sama Princess Ella?”

 

Jheni menganggukkan kepala. “Kok, mereka bisa happily ever after ya? Enak banget kehidupan rumah tangganya nggak ada masalah. Terus, mereka punya anak atau nggak sih? Harusnya, anak mereka juga Princess atau Prince. Tapi, kenapa nggak ada di cerita-cerita selanjutnya. Aku berharap kalau Princess Sofia itu anaknya Princess Cinderella atau ...”

 

“Itu dongeng, bego!” Yuna langsung melempar makanan ke arah Jheni.

 

“Ya, kali aja penulisnya bikin dongeng serial. Kayak Masashi Kishimoto yang bisa nulis serial Naruto sampe ke anak-anaknya,” tutur Jheni.

 

Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Duh, aku nggak paham kamu ngomong apa.”

 

“Iih ... kamu ini nggak pernah baca komik Naruto?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak suka baca komik. Bacanya suka kebalik-balik. Nggak tahu halaman mana dulu yang harus dibaca.”

 

“O’on banget!” sahut Jheni sambil menoyor kepala Yuna.

 

“E-eh, jangan bilang aku o’on! Biar o’on gini aku lulusan luar negeri loh.”

 

“Nah, itu ngaku! Hahaha.”

 

“Eh!?” Yuna memutar bola matanya. “Kamu!?” Yuna mengerutkan hidungnya dan langsung mengejar Jheni.

 

“Hahaha.” Jheni terus tertawa sambil menghindari kejaran Yuna.

 

“Awas kamu, Jhen!” seru Yuna sambil naik ke sofa.

 

Jheni terus tertawa. “Eh, itu Yeriko udah datang!” Jheni menunjuk ke arah pintu.

 

Yuna ikut menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. Ia tidak mendengar suara pintu itu diketuk. Namun, ia langsung melompat membukakan pintu rumah Jheni.

 

“Tapi bohong!” seru Jheni sambil menjulurkan lidahnya ke arah Yuna.

 

“Kamu!?” Yuna menunjuk Jheni. Ia langsung berlari ke arah Jheni dan mengeluarkan jurus gelitiknya.

 

Mereka terlarut dalam canda tawa.

 

Yuna tersenyum sambil memegang perutnya yang kram sembari mengatur napasnya yang tersengal karena terlalu banyak tertawa. Ia merasa lega karena akhirnya bisa membuat Jheni kembali tertawa riang. Sejenak melupakan masalah hubungannya dengan Chandra.

 

 

(( Bersambung ... ))

Detik-detik kehamilan Yuna, bagusnya ngidam atau nggak ya?

Review baik di kolom komentar. Terima kasih semuanya. I Love you double-double ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas