“Jhen, bagus nggak?” tanya Yuna sambil menunjuk gaun yang
ia pegang.
“Bagus,” jawab Jheni sambil tersenyum.
“Serius?”
“Iya. Tapi ... aku ngak suka renda di bagian pundak itu.
Nggak cocok sama kamu.”
“Huh, bilang aja nggak bagus!” celetuk Yuna sambil
meletakkan kembali gaun tersebut ke gantungannya.
“Cha, kamu mau cari baju yang gimana?” tanya Jheni karena
ia sudah mendapatkan baju pilihannya.
“Mmh
... aku mau cari Long Cardigan, tapi ...”
“Tapi apa?”
“Modelnya nggak ada yang sreg,” jawab Icha.
“Halah, modelnya atau harganya?”
“Dua-duanya,” jawab Icha.
“Tenang aja! Ada bos besar di sana!” sahut Yuna sambil
menunjuk Yeriko dan Lutfi yang ikut menemani mereka berbelanja.
“Mmh ... iya juga, sih.”
“Ya udah, ngapain bingung sih?” sahut Jheni.
“Aah, udah. Nggak usah mikirin soal uang!” pinta Yuna.
“Kalau kalian nggak enak pakai uang Yeriko, aku punya kartu sendiri. Aku rasa,
kalian nggak akan sungkan habisin uangku kan?”
“Nah, kalo kayak gini, kita mah nggak sungkan
belanjanya,” tutur Icha.
“Hahaha.” Yuna tertawa lebar. “Padahal kartu kreditku
duit Yeriko juga,” tuturnya dalam hati. Ia hanya tidak ingin dua sahabatnya
merasa sungkan karena harus menggunakan uang suaminya untuk berbelanja.
“Cari apa lagi?” tanya Yeriko begitu Yuna selesai
membayar belanjaannya.
“Mmh ... cari makan. Laper.”
“Ayo!” Yeriko merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya
menuju salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.
“Kamu udah pakai kartu yang aku kasih?” bisik Yeriko di
telinga Yuna sambil masuk ke restoran.
Yuna mengangguk. “Soalnya, mereka sungkan kalau kamu yang
harus keluar uang. Padahal uang yang aku pakai, uang kamu juga.”
“Nggak papa. Bagus. Kalo gitu, hari ini kamu yang
traktir. Gimana?”
“Pakai kartu yang kamu kasih?”
“Nggak mau. Pakai uang hasil kerja kamu sendiri.”
Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Emangnya beda?”
“Beda.”
“Bedanya di mana?”
“Mmh ... uang yang didapatkan dari hasil kerja sendiri,
pasti rasanya beda. Lebih tulus dan bakal aku ingat terus.”
“Oke.” Yuna tersenyum dengan mata berbinar.
Yeriko tersenyum. Mereka menuju ke salah satu meja makan
dan memesan banyak makanan.
“Minum ini!” pinta Yeriko sambil menyodorkan jus alpukat
ke hadapan Yuna.
“Yun, kenapa sih kamu nggak bikin akun instagram atau
facebook gitu?” tanya Icha.
“Buat apa?”
“Buat aku kepoin,” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Males sama orang-orang yang kepo kayak kamu.”
“Yah, kali aja Lutfi mau pinang kamu buat promoin
villa-nya kalau kamu jadi selebgram, Yun.”
Yuna tertawa kecil, ia langsung menatap Lutfi yang duduk
di hadapannya. “Emangnya, aku ada potensi jadi selebgram?”
“Mmh ...” Lutfi mengelus-ngelus dagunya. “Ada sih, tapi
...” Ia melirik Yeriko yang duduk di sebelah Yuna.
“Tapi apa?”
“Aku nggak akan pakai Kakak Ipar buat jadi endorser
villa-ku.”
“Kenapa?”
“Karena sudah bersuami dan aku nggak berani ngajak Kakak
Ipar liburan keliling villa-ku.”
“Kamu endorse aja dua-duanya,” sahut Jheni.
“Maksudnya?”
“Kamu kan usaha villa. Selama ini kamu selalu pakai model
cantik buat promo villa kamu. Kamu nggak tertarik buat pakai sepasang suami
istri yang ganteng dan cantik ini buat promosiin villa kamu? Bukannya lebih
menarik kalau villa kamu itu dipromosiin sama sepasang suami istri yang suka
mesra-mesraan di depan umum ini?”
“Mmh ... ide kamu bagus juga, Jhen. Kenapa aku nggak
kepikiran ya?”
“Punya budget berapa?” tanya Yeriko dingin.
“Astaga! Sama adek sendiri nanyain budget. Harusnya,
Kakak Ipar bantu aku tanpa aku harus bayar sepeserpun.”
“Jangan harap kamu bisa manfaatin istriku!” sahut Yeriko.
“Hmm ... baru rencana aja udah ditanggepin kayak gini.
Kalo sampe aku beneran pakai Kakak Ipar jadi modelku, bisa habis digorok sama
dia!”
Yuna tertawa kecil mendengar ucapan Lutfi.
“Aku kira, nggak ada orang yang kamu takuti di dunia
ini,” tutur Icha sambil menatap Lutfi.
“Ada. Tiga orang yang aku takuti di dunia ini. Mama,
Yeriko sama kamu!” sahut Lutfi kesal.
“Hahaha.”
Semua tenggelam dalam canda tawa.
Jheni tiba-tiba menghentikan tawanya saat melihat Chandra
menghampiri meja mereka. “Dari mana dia tahu kalau kita ada di sini?” batinnya
dalam hati.
Yuna dan yang lainnya menyadari perubahan ekspresi wajah
Jheni. Mereka langsung menoleh ke arah Chandra yang baru saja datang.
Suasana menjadi canggung karena di belakang Chandra ada
Amara yang datang bersamanya.
Yuna menyenggol lengan Yeriko. Ia juga menendang kaki
Lutfi. Semuanya tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi Chandra yang
datang bersama mantan tunangannya itu.
“Hai ...!” sapa Chandra sambil tersenyum.
“Oh ... sini, Chan! Duduk!” pinta Lutfi dengan ramah.
Walau bagaimanapun, Chandra tetaplah sahabatnya. Ia tidak mungkin mengusir
Chandra dari tempat itu walau semua orang yang ada di meja tidak menyukai
Amara.
Chandra tersenyum. Ia melirik ke arah Jheni sejenak dan
duduk di sebelah Lutfi. Amara juga ikut bergabung di meja tanpa rasa canggung
walau semua orang tidak menyambutnya dengan baik.
“Yun, masker wajah yang kamu ke aku, belinya di mana?”
tanya Jheni.
“Online.”
“Kamu masih suka belanja online?”
Yuna mengangguk. “Zaman sekarang, bukannya lebih enak
belanja online. Nggak perlu capek-capek keluar rumah, barangnya udah dateng
sendiri.”
“Huh, gaya Lu!” sahut Jheni sambil memonyongkan bibirnya
ke arah Yuna. “Tetap aja masih suka muter-muter di mall tiap minggu.”
“Refreshing, Jhen. Seminggu sekali juga belum tentu.
Bosen tahu kalau setiap hari mainnya cuma rumah sama kantor doang. Hahaha.”
“Mmh ... iya juga, sih. Apalagi sekarang kamu udah jadi
asisten direktur. Pasti, kerjaan kamu padet dan bikin pusing banget kan?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia bersama Icha dan
Jheni terus berbincang tanpa menghiraukan kehadiran Amara.
Lutfi dan Yeriko juga mengajak Chandra membicarakan soal
bisnis akhir-akhir ini.
Chandra sesekali menoleh ke arah Jheni yang sedang
berbincang dengan Yuna dan Icha. Ia melihat Jheni baik-baik saja. Seharusnya,
tidak akan mempengaruhi hubungan mereka. Hanya saja, kehadiran Amara membuat
semuanya jadi canggung. Pertemuannya dengan Amara yang tidak disengaja, membuat
hubungannya dengan Jheni semakin renggang.
Jheni melirik ke arah Chandra sesekali. Sungguh, dalam
hati ia merasa sangat kesal karena Chandra sama sekali tidak menghampirinya
untuk meminta maaf atau memberikan penjelasan.
“Oke, fix. Kamu
lebih milih Amara daripada aku,” batin Jheni.
“Oh ya, besok aku ambil barang-barangku yang ada di rumah
kamu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.
“Hah!? Aku cuma bercanda, Yun. Kamu baper banget?” Jheni mengernyitkan dahi.
“Mmh ... nggak baper. Biasa aja. Lagian, aku boleh bawa
ke rumah sama suamiku.”
“Serius? Kamu udah berubah pikiran, Yer?” tanya Jheni
sambil menatap Yeriko.
“Aku nggak pernah ngelarang dia bawa barang apa pun ke
rumah. Dia aja yang punya pemikiran sendiri,” sahut Yeriko.
“Hahaha. Kamu, Yun ... masih o’on aja!” Jheni menoyor
kepala Yuna.
Yuna memonyongkan bibirnya.
“Dia kalo di kantor, ngurusin kerjaan pinter dan cekatan.
Tapi kalo soal kayak gini, kenapa nggak pinter?” tanya Icha.
“Hahaha. Curiga otaknya ditinggal di kantor?” sahut
Jheni.
“Kalian kalo ngolok aku seneng banget ya!?” dengus Yuna.
“Kamu juga sama, pengolokan!” sahut Jheni.
“Hahaha.”
Mereka bertiga terus bercanda dan tertawa bersama. Merasa
seperti tak ada orang lain selain mereka bertiga. Sementara, Yeriko dan dua sahabatnya berbincang serius soal
pekerjaan.