Thursday, November 2, 2017

Cerpen "Surya Kemerdekaan"


www.pixabay.com
www.pixabay.com/StockSnap




CERPEN 
SURYA KEMERDEKAAN
Karya : Rin Muna

Surya berlari kecil menuju rumahnya, dia sudah berteriak-teriak memanggil Mamaknya sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mak, kata Bapak kepala sekolah. Dua minggu lagi Tujuh belas agustus, Surya akan jadi pasukan pengibar bendera di kantor kecamatan.” Teriak Surya penuh semangat.
“Oh ya?”
Mamak Widuri tersenyum bangga sambil mengelus rambut Surya. Walau dalam hatinya masih digelayuti perasaan yang tak menentu. Dia teringat akan mendiang suaminya yang selalu menanamkan jiwa patriotisme kepada Surya. Mengajarkan kepada Surya bagaimana mencintai tanah airnya. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau bangga sekali anaknya bisa menjadi seorang pengibar bendera pusaka yang selalu ia agung-agungkan itu. 
Menjadi seorang pengibar bendera di kota kecamatan bukan perkara mudah bagi Mak Widuri. Mengingat perjalanan ke sana sangat jauh dan sulit, harus melewati tiga desa yang jalannya masih tanah. Kalau hujan, sudah pasti ojek tidak dapat menembus sulitnya medan yang berlumpur. Andai saja suaminya masih hidup, mungkin tidak seberat ini dia memikirkannya. Belum lagi memikirkan bekal yang harus dibawa anaknya, tidak mungkin ia membiarkan Surya pergi jauh tanpa membawa uang sepeserpun. 
Dengan penghasilan Mak Widuri yang tak menentu. Jangankan untuk ongkos ke kota, untuk membeli beras saja masih senin kamis. Ia lebih sering mengkonsumsi singkong rebus yang ia tanam sendiri di pekarangan rumahnya.
“Tapi Mamak ragu kamu bisa ikut Nak.” Tutur Mak Widuri lirih.
“Kenapa Mak?”
“Kamu tidak punya seragam Paskibraka.” Jawab Mak Widuri lesu. Melihat seragam merah putih milik surya saja wajah Mak Widuri sudah merasa iba. Seragam surya tak lagi putih bersih, banyak hiasan benang benang jahitan. Andai saja punya uang, seharusnya seragam Surya diganti dengan seragam baru.
Surya terduduk lemas memandangi lantai rumah yang masih beralas tanah. “Andai saja Bapak masih hidup. Pasti Surya dibelikan seragam paskibraka sama Bapak ya Mak.” Celetuk Surya.
Mak Widuri merengkuh tubuh Surya sambil menahan air matanya jatuh. Ia tak tega melihat impian putra kecilnya itu kandas begitu saja. “Kamu tidak perlu bersedih, Mamak akan tetap berusaha membelikan kamu seragam. Yang penting kamu benar-benar giat berlatih, supaya saat upacara nanti kamu tidak salah-salah. Jangan bikin malu Mamak dan sekolah kamu!” kata Mak Widuri mencoba memperbaiki suasana.
“Iya Mak, nanti Surya juga akan bantu Mamak cari uang,” tutur Surya.
“Tidak usah Nak! Lebih baik kamu banyak berlatih saja, daripada waktumu terbuang sia-sia. Kamu juga harus banyak beristirahat, supaya saat upacara nanti fisik kamu tetap sehat dan kuat. Jangan sampai saat puncak upacara kamu justru kelelahan dan pingsan,” tutur Mak Widuri.
Surya manggut-manggut saja menuruti perintah Mamaknya. Dengan penuh semangat Surya berlatih paskibraka setiap pulang sekolah. Tak peduli terik matahari menyengat kulitnya atau gerimis hujan yang membasahi tubuhnya, Ia sangat senang bisa menjadi pasukan pengibar bendera pusaka saat upacara di kota kecamatan nanti. 
Pak Jarwo sebagai kepala sekolah juga sangat bangga dengan semangat Surya. Andai saja semua murid-muridnya seperti Surya, tidak hanya pandai tapi juga memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan berlatih apapun. Bahkan mempelajari hal yang sederhana saja, semangat Surya tetap menggebu-gebu.
Mak Widuri juga terus berjuang sekuat tenaga agar dapat membelikan seragam paskibraka untuk Surya. Mak Widuri hanya seorang buruh tani, ia tidak mendapatkan hasil apapun bila tak ada petani yang menyuruhnya membantu mengolah sawah. Sudah beberapa hari tidak ada yang memburuhkan keringatnya. 
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Widuri berjualan tapai singkong keliling. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi mampu membuatnya bertahan hidup. Mak Widuri berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk menawarkan tapai singkong buatannya sendiri. Lelah sudah tak dirasanya lagi. Bahkan Mak Widuri sampai menjajakan tapainya ke kampung sebelah. Sudah jelas jaraknya tidak dekat, sehingga Mak Widuri baru sampai di rumah selepas sholat isya’. Seringkali ia pulang dan mendapati Surya sudah tertidur pulas karena lelah berlatih seharian. 
Surya anak yang pandai dan rajin membantu orangtuanya sejak kecil. Sepulang berlatih paskibra, ia membereskan rumahnya. Mengambil air ke sungai untuk kebutuhan memasak tanpa harus diperintah oleh Mamaknya. Seringkali ia sudah menyiapkan singkong rebus dan kopi hangat untuk Mamaknya. Walau terkadang sudah dingin saat Mamaknya sudah sampai rumah. Karena lelah menunggu Mamaknya pulang, ia sering ketiduran di dipan. 
Sebenarnya Mak Widuri tak pernah memerintahkan dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Surya sendirilah yang merasa kasihan melihat Mamaknya berjuang seorang diri agar bisa membelikan seragam untuknya. Mak Widuri segera mandi ke sumur walau hari sudah petang. Setelahnya ia bergegas makan singkong rebus dan kopi yang sudah disiapkan Surya di meja dapur. Mak Widuri mengeluarkan kantong kecil dari keranjang dagangannya. Hanya dengan penerangan dari ublik saja, Mak Widuri menghitung hasil jualan hari ini. 
“Alhamdulillah… Hasilnya lumayan, semoga besok bisa lebih lagi dan aku bisa membelikannya seragam baru,” tuturnya sambil menghela nafas lega. 
Tanpa berlama-lama lagi Mak Widuri langsung bergegas ke dapur, mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak singkong yang akan dibuat tapai. Setiap sebelum tidur ia terlebih dahulu sibuk menyiapkan semuanya. Ditinggalnya tidur sejenak dan melanjutkannya kembali seusai sholat subuh. Sebelum menjajakan tapainya dari rumah ke rumah, Mak Widuri terlebih dahulu mengambil singkong dari kebun dan membersihkannya. Sehingga saat pulang jualan, hanya tinggal mengukus dan mengolahnya.
Beberapa hari kemudian, uang yang terkumpul dirasa cukup untuk membeli seragam paskibraka. Mak Widuri mengajak Surya ke pasar untuk membeli seragam paskibraka. Jarak dari rumah ke pasar sekitar 4 kilometer dan mereka harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Karena mereka tak punya cukup uang untuk naik ojek. 
Sesampainya di pasar, Surya dan Mak Widuri berkeliling kios satu persatu menanyakan seragam paskibraka. Tapi tak ada satupun yang menjualnya di pasar. Katanya harus ke kota kecamatan untuk membeli seragam tersebut. Atau dengan memesan pada tukang jahit, tapi tidak bisa juga langsung jadi dalam waktu dekat. 
Karena di kampung itu hanya ada satu orang tukang jahit yang alat jahitnya pun sudah sering ngadat termakan usia. Wajah Surya sudah terlihat sangat sedih. Ia meneteskan air mata sambil berjalan pulang. Ia takut tak bisa ikut upacara nanti hanya karena dia tak punya seragam.
“Bagaimana ini Nak?” tanya Mak Widuri kebingungan.
“Kalau ke kota kan lama Mak. Masih sangat jauh dari sini. Kalau berjalan kaki 3 hari baru bisa sampai di sana. Berarti Surya tidak akan bisa ikut upacara nanti.” Jawab Surya sambil menangis.
“Sudahlah, tidak usah bersedih seperti itu. Besok saja kita ke kota kecamatan. Mamak cari uang ongkos dulu untuk ke sana, kita bisa ikut menumpang menuju ke sana, jadi kita tidak perlu berjalan kaki.” Tutur Mak Widuri.
“Bener Mak?” tanya Surya mengusap air matanya.
Mak Widuri mengangguk dan dengan berat hati mereka kembali ke rumah dengan tangan kosong. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan,hanya mendapat lelah berjalan kaki berkilo-kilo meter.
“Mak… dari mana saja? Saya tadi pagi ke sini tidak ada orang.” sapa Pak Jarwo ketika Mak Widuri dan Surya baru sampai di halaman rumah.
“Kami dari pasar Pak. Ada keperluan apa ya Pak? Mari masuk dulu!” Kata Mak Widuri mempersilahkan.
 “Tidak usah lah Mak. Saya juga masih banyak keperluan yang lain. Saya hanya ingin memberikan ini.” Tutur Pak Jarwo sambil menyerahkan 1 kantong kresek hitam kepada Mak Widuri. Surya hanya memandang dengan rasa penasaran.
“Apa ini Pak?” tanya Mak Widuri.
“Ini seragam paskibraka untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
Mak Widuri dan Surya saling bertatapan dan tersenyum girang. “Ini benar untuk Surya Pak?” tanya Mak Widuri masih tak percaya.
“Iya benar. Itu untuk Surya. Kan Surya mau jadi pengibar bendera di kota kecamatan, jadi saya belikan ini untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
“Alhamdulillah…!” teriak Mak Widuri dan Surya bersamaan.
“Kami baru saja dari pasar untuk mencari seragam paskibraka Pak, tapi kami tidak mendapatkannya. Kata orang-orang harus ke kota kecamatan. Di sana tidak ada yang menjual seragam paskibraka, kalau mau pesan di tukang jahit sudah tidak sempat lagi Pak.” Tutur Mak Widuri.
“Astagfirullah…!” kata Pak Jarwo sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa Pak?” tanya Mak Widuri bingung.
“Saya lupa kasih informasi ke Surya dan Mak Widuri, kalau seragam paskibraka sudah disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi, Mak Widuri tidak perlu repot membelikan seragam baru untuk Surya. Mak juga tak perlu khawatir, selama lima hari di sana akan ada uang saku untuk Surya.” Tutur Pak Jarwo kemudian.
“Alhamdulillah…” kata Mak Widuri lega. “Apa Pak? Lima hari!?” Mak Widuri sedikit tersentak ketika menyadari ucapan Pak Jarwo.
“Iya, karena Surya juga harus ikut berlatih dahulu dengan tim paskibraka dari sekolah lain di sana.” Jawab Pak Jarwo.
“Surya tidak bilang begitu. Katanya hanya upacara saja.”
“Maafin Surya Mak. Kalau surya bilang sama Mamak lebih dulu, pasti Mamak tidak akan mengijinkan Surya pergi ke sana.” Tutur Surya lirih.
“Kata siapa Mamak tidak izinkan? Pasti Mamak beri izin. Menjadi paskibraka bukan hanya impian kamu, tapi juga impian almarhum ayah kamu.” Sentak Mak Widuri.
Pak Jarwo dan Surya saling memandang dengan senyum sumringah.
“Kalau begitu, besok pagi Surya sudah harus siap-siap! Kita akan berangkat besok.” Tutur Pak Jarwo.
“Apa? Besok Pak!? Cepat sekali.” tutur Mak Widuri terkejut.
“Iya Benar. Persiapkan diri ya Surya!” pinta Pak Jarwo.
“Siap Pak!” jawab Surya dengan sikap hormat dan suara lantangnya.
Pak Jarwo membalas hormat Surya dan segera berpamitan.
Keesokan harinya, Surya sudah siap untuk berangkat pagi-pagi sekali. Semua perlengkapan sudah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Bahkan semalaman Surya tidak dapat tidur nyenyak karena membayangkan ingin ke kota kecamatan. Mobil Jeep yang dikendarai oleh wakepsek sudah terparkir di depan rumah Mak Widuri tepat saat jam tujuh pagi. Pihak sekolah sudah siap mengantarkan Surya menuju ke kota kecamatan.
“Kamu baik-baik di sana. Tidak boleh nakal, tidak boleh berkelahi dengan teman di sana. Latihan yang giat supaya jadi pasukan yang gagah.” Tutur Mak Widuri. “Ini untuk bekal kamu di sana, gunakan dengan baik dan jangan boros!” pinta Mak Widuri sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Surya.
Surya mengangguk, mencium tangan dan kedua pipi Mamaknya. Kemudian bergegas menaiki mobil Jeep yang dikendarai oleh Pak Wakepsek. Ada Pak Jarwo juga yang sudah duduk manis di samping Wakepsek. Surya melambaikan tangan kepada Mak Widuri. Begitu pula dengan Mak Widuri, terus melambaikan tangan sampai mobil yang dinaiki Surya tak terlihat lagi. Tanpa disadari Mak Widuri meneteskan air mata melepas keberangkatan Surya ke kota kecamatan. Ingin sekali ia ikut ke sana dan melihat langsung putranya menjadi seorang pengibar bendera pusaka.
Sesampainya di kota kecamatan, Surya langsung berbaur dan berkenalan dengan peserta paskibraka dari sekolah lain. Mereka semua berlatih dengan baik dan penuh semangat. Anak-anak seperti mereka memang semangatnya masih tinggi. Surya terpilih menjadi penarik bendera dan Ia memanfaatkan waktu latihan dengan baik.
Tibalah saatnya upacara bendera yang tepat pada tanggal 17 Agustus. Surya memandangi tubuhnya di cermin yang sudah terbalut rapi dengan seragam paskibraka.
Upacara berjalan dengan penuh khidmat. 
        Surya menitikan air matanya ketika sangsaka merah putih tepat berada di ujung tiang bendera. Ini adalah hari kemerdekaan baginya, hari kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Impian Surya sederhana, hanya ingin mengibarkan merah putih. Tanpa harus memikirkan bagaimana ia berjuang untuk bertahan hidup bersama Mamaknya. 
        Seperti pesan almarhum ayahnya, merah putih harus terus berkibar. Sekalipun keringat dan darah jadi penghiasnya. Surya tahu, ayahnya akan lihat apa yang sekarang dia lakukan. Surya melihat bayangan Sang Ayah yang sedang hormat dan tersenyum bangga padanya ketika ia menatap Sangsaka Merah Putih yang sudah ada di ujung tiang bendera. Baginya, ayahnya tetap hidup dalam hatinya, dalam jiwa dan pikirannya. Kemerdekaan Surya adalah ketika ia bisa menghantarkan Sangsaka merah putih ke tempat tertinggi.



Cerpen ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam antologi cerpen berjudul "Syair Tujuh Belas Agustus"


_______________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
🅒 Copyright.
Karya dilindungi undang-undang. 
Dilarang copy paste atau menyebarluaskan cerita ini tanpa mencantumkan nama penulisnya.



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas