Thursday, November 2, 2017

Cerpen "Getar Dada di Ladang Lada"

CERPEN “GETAR DADA DI LADANG LADA”
Karya: Rin Muna


“Anggi….!” Seru seseorang dari dalam rumah.
“Ada apa Pak?” sahut Anggi sambil menggorek-gorek lada di penjemuran.
“Kamu yang antar Lada ke Samarinda besok ya!” pinta Pak Murto yang baru keluar dari pintu rumah.
“Kenapa Anggi Pak?”
“Besok Bapak ada pertemuan dengan para petani-petani yang lain.” Jawab Pak Murto sambil menyulut sebatang rokok dan duduk santai di kursi teras rumahnya.
“Oke deh Pak. Kok tumben banget ada pertemuan segala Pak? Emangnya ada apa?” Tanya Anggi sambil melangkah mendekati ayahnya.
“Bapak juga nggak tau, katanya sih dari Dinas Perkebunan atau Pertanian gitu. Bapak kurang paham juga.”
“Oh… gitu. Ya udah besok biar Anggi yang antar langsung mericanya ke sana.”
“Tapi, Anggi itu kan perempuan Pak, apa gak sebaiknya menyuruh orang lain saja?” sahut Ibu Darmi, mamanya Anggi yang baru keluar sambil membawa nampan berisi kopi hangat dan pisang goreng.
“Ya nanti bapak suruh Jamal temanin dia lah.”
“Nah, kalau begitu Ibu nda khawatir Pak.”
“Apa sih Bu yang dikhawatirkan? Anggi kan sudah besar.” Sahut Pak Murto.
“Iya Bu, lagipula Anggi malas kalo jalan bawa si Jamal. Dia itu ribet kayak perempuan.” Celetuk Anggi.
            Dan mereka asyik bercanda pagi itu. Tak lama kemudian Anggi menuju ke salah satu pondok dengan sepeda ontelnya. Di ladang lada milik ayahnya ada beberapa bangunan pondok yang dipergunakan untuk istirahat beberapa pekerja. Setelah menyandarkan sepedanya, Anggi berjalan kaki menuju sungai perendaman. Di Sungai itu sudah di atur slot slot perendaman untuk memisahkan lada yang hari panennya berbeda. Kemudian ia berjalan ke area lain yang sedang dilakukan peremajaan tanaman lada.
“Pak, ini bibitnya sudah disiapkan semua?” Tanya Anggi kepada salah seorang pekerja.
“Sudah Mba, semuanya sudah siap tanam. Ini masih proses pembuatan lubang tanamnya.” Jawab Pak Anto, salah satu pekerja di ladang itu.
“Wah,,, keren memang Bapak ya, sudah berapa persen yang selesai pembuatan lubang tanamnya pak?” Tanya Anggi kemudian.
“Sudah tujuh puluh persen Mba.”
“Siip deh. Oh… ya, Bapak lihat Jamal nggak?” Tanya Anggi sambil celingukan.
“Tadi ada saya lihat di lahan yang lagi panen.” Jawab Pak Anto.
Anggi segera menghampiri Jamal yang sedang memetik lada.
“Mal, besok kamu disuruh Bapak nemenin aku ke Samarinda.” Celetuk Anggi yang sudah berdiri di belakang tubuh Jamal.
“Wah,,, beneran!? Asyiik… Ke Samarinda lagi. Ntar skalian kita mampir ke Mall ya. Kita Belanja baju, trus kita makan di tempat makan yang enak-enak.”
Anggi langsung memutar bola matanya melihat tingkah Jamal yang emang ribet dan banyak maunya. “Ya deh, tapi jangan beli yang mahal-mahal ya!” tegas Anggi.
Keesokan harinya Anggi dan Jamal langsung melaju menuju kota Samarinda. Setelah selesai melakukan transaksi dengan pihak pabrik, Anggi langsung menuju mall untuk menuruti keinginan Jamal.
“Cewek-cewek di sini cantik-cantik ya Nggi, lumayan lah buat cuci mata. Mana tau bias dapat jodoh orang sini juga.” Celetuk Jamal.
“Nggak usah ketinggian deh. Kita ini cuma orang kampung, mana ada orang kota yang mau sama orang kayak kita. Punya selera jangan ketinggian lah.” Sahut Anggi.
“Takdir gak ada yang tau kan? Siapa tau aja ntar jodoh kita lebih baik. Kayak di sinetron gitu, orang kampung dapet jodoh orang kota yang kaya raya…..” Oceh Jamal panjang lebar.
“Itu sinetron Jamal!” ucap Anggi sebal.
Hampir seharian penuh mereka berkeliling kota Samarinda, sehingga mereka sampai di rumah usai sholat isya’.
“Sudah pulang?” Tanya Pak Murto.
“Iya, Jamal bener-bener bikin aku capek banget. Banyak maunya!” gerutu Anggi sambil berlalu masuk ke kamar tanpa menghiraukan suara panggilan Ibunya.
“Gimana ini Pak?” tanya Ibu Darmi sambil menatap Pak Murto yang juga bingung.
Aaaaaaaarrrrgggghhhhh!!!
Tiba-tiba teriakan Anggi meledak saat masuk ke kamarnya.
“Kamu siapa? Kok tidur di kamar aku seenaknya!” teriak Anggi sambil memukuli laki-laki itu dengan bantal gulingnya. “Pergi! Pergi!” pinta Anggi sambil mendorongnya keluar dari kamarnya.
“Kamu ini apa-apaan sih Nggi!” sentak Ibu Darmi.
“Bu, ini Ibu yang apa-apaan? Main masuk-masukin laki-laki ke kamar aku.” Sahut Anggi sebal. “Aku ini capek baru pulang, mau istirahat dan tiba-tiba di kasur aku ada orang asing yang baring-baring seenaknya. Dan….” ocehan Anggi terputus.
“Dengar Bapak dulu Nak!” kata Pak Murto memutus ocehan Anggi. “Ini Mas Fadli dari Dinas Perkebunan Kota Samarinda. Dia mau nginap di sini beberapa hari untuk melakukan pembinaan petani dan melihat langsung kegiatan perkebunan kita.”
“Kenapa harus di sini? Di kamar aku?” tanya Anggi.
“Tadi Bapak mau bicara sama kamu, tapi kamu buru-buru masuk kamar. Sementara kamu tidur di kamar Masmu saja dulu, kan dia juga lagi nggak di rumah.” Jawab Ibu Darmi.
“Nggak mau Bu, Kamar Mas Seno itu berserakan.”
“Kan bisa kamu bereskan dulu.”
“Nggak ah, aku capek mau istirahat. Mending dia aja yang suruh tidur di kamar Mas Seno, kan dia juga cuma numpang di sini.”
“Anggi…!” sahut Ibu Darmi sambil melotot melihat kelakuan Anggi yang kurang sopan terhadap tamu.
“Bu, lagipula pakaian aku kan di kamar, nanti kalau aku mandi trus mau ganti pakaian kan ribet bu kalo ada dia di kamarku.” Tutur Anggi yang menyadari maksud dari tatapan Ibunya.
“Bener juga kata anak Ibu, saya tidur di kamar lain saja.” Sahut Fadli.
“Nah,,, dia aja bilang gitu kan? Ya udah aku mau istirahat.” Tutur Anggi sambil berlalu.
Keesokan harinya Anggi mendapat perintah dari bapaknya untuk mendampingi Fadli dalam melakukan pembinaan ke petani-petani desa. Hampir semua masyarakat desa berladang lada, namun hanya keluarga Pak Murto yang memiliki lahan yang luasnya lebih dari 10 hektar dengan beberapa orang pekerja. Semua operasional kebun diurus langsung oleh Anggi. Sejak Anggi masih sekolah hingga sekarang, dia sangat rajin bekerja di ladang lada. Setiap hari selalu ia lalui dengan semangat, bahkan disaat tersulit sekalipun. Tidak heran bila Fadli terkesan dengan sifat dan sikap Anggi. Berkat bantuan Anggi, semua pekerjaan yang ia kerjakan beberapa hari ini menjadi lancar. Wajah ceria Anggi mampu membungkam emosi petani saat mereka mencoba mendebat apa yang disarankan oleh Fadli. Tak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh Fadli, dia hanya sedikit gugup karena tidak biasa berbicara di depan para petani langsung. Banyak yang harus ia dengar dari mulut petani, keluhan mereka tentang harga jual, keluhan mereka tentang mahalnya pupuk dan masih banyak lagi.
Seminggu berlalu, banyak hal yang Fadli pelajari tentang kehidupan di desa dan kehidupan para petani. Berat langkahnya meninggalkan desa yang memberinya berjuta pengalaman tak terlupakan. Terutama, pada gadis manis yang selama ini mendampinginya.
“Fadli pamit pulang ya Pak.” Tutur Fadli lirih pada Pak Murto.
“Iya Nak, hati-hati di jalan. Jangan sungkan berkunjung kembali kemari bila ada waktu luang.” Sahut Pak Murto.
Fadli hanya menggangguk sambil melirik Anggi yang tidak bicara sepatah katapun. Ada hal yang ingin ia utarakan, tapi bibirnya membeku. Perlahan ia jinjing tasnya dan melangkah pergi memasuki mobilnya. Lambaian tangan terakhir Anggi dan keluarganya mengiringi kepergiannya, sampai pada akhirnya mobil sedan berwarna silver itu tak terlihat lagi dari rumah Anggi.
“Huft… akhirnya tugas aku selesai juga damping dia. Saatnya sekarang aku istirahat.” Celetuk Anggi sambil berlalu masuk ke kamarnya.
Anggi menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil memandang langit-langit kamarnya. Matanya membelalak ketika ia merasakan ada sesuatu yang aneh menusuk punggungnya. Ia merasa seperti meniduri duri yang sebelumnya tidak ia lihat. Anggi bangkit dan melihat setangkai mawar di atas kasurnya. ‘Iseng banget sih naruh mawar di sini? Kerjaan siapa pula ini? Nggak tau ya kalo ini bahaya, sakit banget punggung aku ketusuk durinya’, batin Anggi sambil melangkah ke jendela untuk membuang bunga itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat gulungan kertas menempel di tangkai mawar itu. ‘Ini surat’ batin Anggi bingung. Dan yang lebih membingungkan lagi adalah siapa pengirim surat itu. Bagi Anggi ini adalah keisengan belaka. ‘Jangan-jangan si Jamal nih ngerjain’, batinnya. Di bukanya perlahan surat itu dan mulai membacanya.
Ada banyak hal yang ingin aku utarakan tapi tak tahu harus mulai darimana. Banyak hal yang ingin aku bicarakan tapi bibirku beku tak berdaya setiap kutatap mata indahmu. Aku kagumimu selayaknya wanita, wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya di setiap langkah hari-hariku. Wanita yang ajari aku banyak hal tentang perbedaan, tentang keceriaan, tentang kepedulian, dan tentang cinta. Cinta yang hanya bisa aku rasakan dalam dadaku. Setiap ada di sisimu aku merasakan dadaku bergetar tak menentu, detak jantungku berdetak tak teratur. Andai waktu bisa aku hentikan, aku masih ingin terus ada di sampingmu walau kita berada dalam ruang yang sepi. Tanpa ada kata terucap dari bibirmu pun aku merasa hatiku sedang ada dalam jutaan teriak kegaduhan. Aku tahu saat ini kamu tidak memiliki rasa yang sama denganku. Tapi, suatu hari nanti aku akan kembali dan kamu akan rasakan getaran cintaku. Aku janji kembali saat kamu sudah siap membuka hatimu…. Fadli.
Anggi termenung dalam beberapa menit. Hatinya masih tak percaya pada apa yang ia baca, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Membalas suratnya ke mana? Sampai akhirnya ia mengeluarkan handphone dari sakunya.
“Aku bukan tak mau membuka hatiku, hanya saja aku tak pernah tahu cinta itu apa.” Jemari tangan Anggi menari di atas keypad handphonenya dan mengirimkan pesan pada Fadli setelah berpikir cukup lama.
“Aku akan kembali dan tunjukkan padamu cinta itu apa.” Balas Fadli melalui pesan sms.
            Anggi tersenyum bahagia sambil memeluk handphone setelah membaca sms dari Fadli.


Sudah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku antologi cerpen berjudul "Padamu Aku Bercerita"



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan link atau nama penulis.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas