Sunday, August 7, 2022

Bab 18 - Pura-Pura Cinta

 



Usai pulang kerja, Nanda melangkahkan kakinya perlahan, memasuki rumah dan menyusuri anak tangga menuju ke kamarnya dengan santai. Pandangannya langsung tertuju pada Ayu yang sedang duduk di depan meja rias.

“Udah siap?” tanya Nanda sambil menyentuh lembut pundak Ayu.

Ayu mengangguk. “Kamu mandi dulu! Aku sudah siapkan pakaian ganti untukmu.”

Nanda langsung menoleh ke atas ranjang, tempat Ayu biasa menyiapkan pakaian ganti untuknya. Ia pikir, Ayu akan bersikap baik kepadanya jika ia bisa memperlakukan wanita ini dengan manis. Ia tidak ingin wanita ini menghancurkan keluarganya dan harus bisa membuat keluarga keraton itu menarik surat perjanjian yang jelas-jelas mencekik keluarganya. Jika seperti ini terus, ia tidak akan bisa bebas melakukan apa pun di luar sana. Ia sangat kesal dengan Ayu yang terlalu cerdik dan licik. Tapi tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu mau cari gaun di mana dulu?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.

“Galaxy Mall aja,” jawab Ayu sambil menatap wajah Nanda dari balik cermin.

Nanda manggut-manggut. Ia segera melangkah perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, Nanda keluar dari dalam kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang digulung asal di pinggangnya. Ia langsung meraih pakaian yang telah disiapkan Ayu dan mengenakannya. Matanya terus mengawasi Ayu yang sedang menundukkan kepala sambil memainkan ponselnya.

Setiap kali melihat jemari tangan Ayu bergerak cepat di atas layar ponselnya. Ia selalu penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu. Tapi ia gengsi untuk mencari tahu isi ponsel istrinya itu. Ia pikir, apa yang dilakukan oleh Ayu yang banyak diam, malah benar-benar berbahaya baginya. Ia harus memikirkan banyak cara untuk menjinakkan wanita ini.

“Ay, kita berangkat yuk!” ajak Nanda sambil menyentuh pundak Ayu.

“He-em.” Ayu mengangguk sambil mematikan ponsel di tangannya. Ia menarik tas tangan, memasukkan ponsel tersebut dan bangkit dari kursi.

“Chatting sama siapa?” tanya Nanda lembut sambil merangkul pinggang Ayu. Kalimat itu, akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Bunda,” jawab Ayu santai sambil melangkah keluar dari kamarnya.

“Oh.” Nanda manggut-manggut mendengar jawaban dari Ayu. Ia langsung membawa Ayu menuju ke Galaxy Mall.

Dua puluh menit kemudian, Nanda dan Ayu sudah berada di dalam salah satu butik ternama yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

“Pilih aja gaun yang kamu mau. Aku tunggu di sana, ya!” perintah Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia melangkahkan kakinya perlahan sambil memperhatikan gaun-gaun yang terpajang dengan cantik di butik tersebut.

“Nanda ...! Kamu lagi di sini?” Suara seorang wanita yang memanggil nama Nanda, mengalihkan perhatian Ayu. Ia langsung beringsut, mencari tempat lain yang tidak akan terlihat oleh Nanda.

“Lita ...? Kamu ngapain di sini?” tanya Nanda. Ia langsung mengedarkan pandangannya ke semua ruangan. Mencari sosok Ayu yang mungkin saja akan melihat kehadiran Arlita.

“Mau cari gaun baru. Aku nggak nyangka kamu ada di sini. Apa kabar?” tanya Arlita sambil duduk di samping Nanda dan bergelayut manja di pundak pria itu.

Nanda langsung menepis tubuh Arlita dan menggeser tubuhnya menjauhi Arlita. “Ada istriku di sini, Lit. Kamu jangan deket-deket!” pintanya.

“Ada Ayu?” tanya Arlita sambil celingukan, mencari sosok Ayu yang mungkin saja ada di dekat mereka. “Di mana? Jauh kali, Nan.”

Nanda tak bereaksi. Ia juga ikut kebingungan, khawatir kalau Ayu memergokinya bersama Arlita.

“Kenapa? Kamu takut sama Ayu? Sejak kapan kamu tunduk sama wanita, Nan?” tanya Arlita sambil merapatkan tubuhnya ke Nanda.

“Ck. Kamu nggak usah bikin aku kena masalah, deh! You know Roro Ayu. Diam-diam, dia udah ngendalikan keluargaku. Kamu ngertiin posisiku dong, Lit!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa.

Arlita menghela napas kecewa sambil menundukkan kepala. “Terus, aku harus gimana, Nan? Kamu masih cinta sama aku ‘kan? Nggak kasihan sama aku?”

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Urusan kita nanti aja, deh! Jangan sampai Ayu ngadu ke orang tuaku dan bikin masalah lagi! Aku capek berdebat terus sama dia. Kamu bantu aku supaya bisa tenang!  Setelah aku berhasil mengendalikan Ayu, aku akan temui kamu.”

“Serius!?” tanya Arlita sambil tersenyum manis ke arah Nanda.

Nanda mengangguk.

“Mmh ... Nan, aku ada ambil job pemotretan. Aku ...” Arlita menatap Nanda penuh harap.

“Ambil aja baju yang kamu mau. Jangan sampai Ayu tahu! Aku bayarin,” perintah Nanda seolah ia sudah tahu maksud Arlita. Ia memang sudah sering memanjakan wanita-wanitanya dengan uang dan semua keperluan Arlita saat mereka masih pacaran, selalu ia penuhi.

“Beneran?” tanya Arlita sambil bangkit dari sofa dan mengecup pipi Nanda. “Makasih, ya! Kalau butuh aku, kamu call aja!” Ia tersenyum manis dan melenggang pergi.

Nanda menghela napas sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menjadi serba salah. Di satu sisi, ia masih menyayangi dan membutuhkan Arlita. Di sisi lain, ia harus bertanggung jawab dengan rumah tangganya.

Nanda bergegas mencari sosok Ayu yang ada di butik itu. Ruang butik yang besar dan bersekat kaca, membuatnya tidak mudah menemukan Ayu. Ia hanya bisa mencari Ayu dari warna pakaian yang dikenakan istrinya itu saat pergi ke sana.

Begitu melihat Ayu keluar dari kamar pas, ia langsung menghela napas lega dan segera menghampiri wanita itu sambil meraih beberapa gaun yang ia lewati.

“Cobain ini, Yu!” pinta Nanda sambil menyodorkan gaun-gaun itu ke hadapan Ayu.

“Banyak banget?”

“Iya. Aku mau lihat kamu pakai gaun-gaun ini. Kali aja ada yang cocok,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar ke arah Ayu. Ia berharap, wanita itu tidak melihat Arlita yang juga ada di sana.

 

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Ini ... aku coba semua?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis.

Ayu langsung meraih salah satu gaun yang disodorkan pelayan toko ke arahnya dan masuk ke dalam kamar pas. Ia menggigit bibir bawahnya, enggan untuk mengenakan gaun yang ada di tangannya. Ia mulai lelah berpura-pura manis seperti ini. Sebab, ia juga tahu kalau Nanda memperlakukannya dengan baik bukan karena ketulusan hatinya.

Ayu menyandarkan kepalanya sambil memeluk gaun di tangannya. Air matanya menetes perlahan. Semanis apa pun Nanda memperlakukannya, ia akan tetap merasakan sakit jika pria itu juga memperlakukan wanita lain dengan begitu manis.

Ayu membuka layar ponsel sambil mengusap bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Ia membuka aplikasi chatting dan menyentuh pesan masuk dari Dokter Sonny. Ia tidak pernah menghapus pesan dari pria itu dan selalu mengunci ponselnya dengan baik. Ia tidak ingin kehilangan kenangannya dengan Sonny. Baginya, bersama pria itu adalah saat-saat paling indah yang tidak akan pernah ia lupakan.

Ayu menatap satu kalimat yang telah ia beri tanda bintang dan selalu ia baca setiap harinya. Sonnya yang selalu bersikap lembut, manis dan selalu bijaksana dalam menghadapi setiap masalah yang mereka hadapi.

“Ay, jangan sedih, ya! Takdir cinta kita hanya cukup sampai di sini. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Bagiku, hatimu akan tetap suci untuk selamanya. Jika kamu tidak bahagia dengan Nanda, tell me! Aku akan merebutmu darinya,” tulis Sonny di dalam pesan yang ditandai oleh Ayu.

Air mata Ayu semakin berderai. Ia merasa tidak pantas untuk seorang pria sebaik Sonny. Kesucian cinta yang mereka jaga dengan sungguh-sungguh, dihancurkan dalam sekejap oleh Nanda. Sejak hari itu, setiap malamnya adalah mimpi buruk.

“Son, aku tidak bahagia bersama Nanda. Tapi dia adalah ayah dari calon anakku, aku harus bagaimana?” batin Ayu sambil menitikan air matanya. Ia benar-benar tidak tahan jika harus berbagi hati dengan wanita lain. Nanda, tidak akan pernah bisa meninggalkan wanita-wanitanya. Ia sudah mengenal Nanda sejak masih duduk di bangku SMA dan pria ini adalah pria yang paling ia benci di dunia, sebab Nanda selalu berganti pacar setiap minggunya. Apakah ini karma karena kebenciannya terhadap Nanda terlalu dalam?

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

 

 

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

Jangan lupa, beli paket dukungan aja supaya bisa dapetin harga yang lebih murah dari harga satuan!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 17 - Kerja Keras untuk Cinta

 



Di perusahaannya, Nanda tidak bisa berbuat apa-apa saat Ayu mulai ikut campur dan mengobrak-abrik management perusahaannya. Ia enggan berdebat dengan Ayu hanya karena ia memang enggan untuk berpikir dan lebih senang bersantai di kantornya.

“Nan, aku bisa diskusi sebentar sama kamu?” tanya Ayu sambil melangkah masuk ke ruang kerja Nanda.

Nanda mengangguk sambil memainkan penanya.

Ayu langsung meletakkan tumpukan dokumen yang ia bawa ke hadapan Nanda.

Nanda mengernyitkan dahi melihat dokumen yang ada di atas meja kerjanya. “Kamu nyuruh aku ngapain?” tanyanya sambil menelan saliva dengan susah payah.

“Ada hal penting yang mau aku diskusikan. Ini laporan dari semua departemen yang udah aku kumpulkan.”

Nanda memperhatikan judul map itu satu persatu. “Terus?”

“Keuangan perusahaan kamu sering minus seperti ini? Apa kamu nggak pernah ngecek di mana cost yang terlalu tinggi?” tanya Ayu.

“Aku pusing, Ay. Biar aja dicek sama manager yang lain. Aku percaya sama mereka aja,” jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Nggak bisa terlalu percaya sama mereka juga, Nan. Kamu nggak sadar kalau sedang dikhianati sama mereka? Semua laporan dari departemen udah aku periksa satu persatu dan laporan yang dikasih manager keuangan kamu itu, udah dia ubah,” sahut Ayu.

“Kamu tahu dari mana? Ada buktinya kalau dia mengubah laporan?” tanya Nanda balik.

“Ada.” Ayu langsung menarik salah satu map yang ada di sana dan menyodorkannya ke hadapan Nanda. “Look at this!”

Nanda langsung membuka laporan itu dengan santai dan melihat laporan keuangan perusahaannya. Ia merasa, tidak ada yang ganjil dengan laporan keuangan tersebut.

“Semuanya kelihatan normal ‘kan? Ini laporan aslinya.” Ayu menyodorkan dokumen lain. “Aku juga sudah buat laporan analisa dan evaluasi kinerja setiap departemen. Main issue juga sudah aku susun rapi dan bisa kamu lihat dengan detail di sini.” Ia menyodorkan dokumen yang lain lagi.

Nanda tertegun saat melihat laporan yang dibuat oleh Ayu. Ia langsung ikut memeriksa semua transaksi yang terjadi di perusahaannya. Semua laporan keuangan selalu minus setiap bulannya. Namun, laporan yang ia terima dan tanda tangani tidak sesuai dengan laporan aslinya.

“Aku harus bikin perhitungan sama managerku!” ucap Nanda sambil menggaruk kepalanya yang terasa berdenyut. Semua laporan yang disodorkan istrinya, berhasil membuat suasana hatinya memburuk.

“Jangan kita yang bertindak! Kita cukup tahu saja orang-orang yang bermain dan menggerogoti perusahaanmu,” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

“Terus? Siapa yang mau bertindak kalau bukan kita? Kita pimpinan di perusahaan ini, Ay,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu yang berdiri di sampingnya.

Ayu membungkukkan tubuh dan mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda. “Kita? Apa itu artinya kamu sudah mengakui kalau aku juga punya hak di perusahaan ini?” tanyanya sambil tersenyum manis.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia kesal dengan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang dan matanya yang tertuju pada bibir mungil Ayu yang berwarna merah jambu dan mengkilap. Rasanya, ia ingin segera melumat bibir itu hingga habis.

“Nanda ...!” panggil Ayu sambil menjentikkan jarinya ke hadapan pria itu.

Nanda gelagapan dan salah tingkah. Ia menarik dokumen di atas meja untuk mengalihkan perhatiannya.

“Kenapa salting? Aku cantik?” tanya Ayu sambil memutar kursi Nanda agar pria itu menatap kembali ke arahnya.

“Ck. Kamu nggak usah centil kayak gini!” pinta Nanda sambil membuang pandangannya ke arah lain, bukannya menatap wajah Ayu.

“Bukannya kamu suka cewek-cewek yang centil, agresif dan selalu gerayangin badanmu di klub malam? Kenapa istri sendiri malah nggak boleh centil?” tanya Ayu sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda.

Nanda memutar kursinya menghadap Ayu. Ia langsung menarik pinggang wanita itu dan menjatuhkan ke pangkuannya. “Kamu tahu ini kantor ‘kan?”

“Yes,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“Kamu sengaja godain aku, mau ngelayani aku di sini?” tanya Nanda.

Ayu langsung mengangkat tubuhnya dari pangkuan Nanda.

Nanda mengeratkan pelukannya ke perut Ayu. Ia langsung terdiam saat merasakan perut wanita itu sudah membuncit dan terasa begitu padat. Hatinya tiba-tiba bergetar hingga membuat kelopak matanya memanas. “It’s my baby?” batinnya sambil mengelus perut Ayu perlahan menggunakan jemari tangannya.

Ayu terdiam dan menundukkan kepala, menatap perutnya yang sedang dielus lembut oleh Nanda. Ia tersenyum dalam hati dan merasa sangat nyaman ketika Nanda memperlakukan bayi di dalam perutnya dengan lembut. Air matanya menetes terharu. Ikatan batin antara bayi dan sang ayah benar-benar bisa ia rasakan. Ia ingin, bisa diperlakukan seperti ini terus. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi janin di perutnya itu sangat membutuhkan sang ayah dan ... akan mencintainya.

Nanda tersenyum sambil mengendus punggung Ayu. Ia menciumi tubuh wanita itu perlahan, memperlakukannya seperti bayi kesayangan yang hadir dalam hidupnya. Begitu ia merasakan tetesan air jatuh di tangannya, ia langsung memutar wajah Ayu agar menatapnya. “Kamu nangis?”

Ayu terdiam sambil mengusap air matanya. Ia menarik cairan hidungnya yang ingin menetes keluar. Ia langsung tersenyum menatap wajah Nanda. “Nggak tahu. Tiba-tiba aja air mataku jatuh. Aku ngerasa ... aku ...” Ia menahan air matanya untuk jatuh kembali.

Nanda langsung melepaskan tangannya dari perut Ayu. “Sorry ...!”

Ayu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia menarik kembali tangan Nanda dan meletakkan di perutnya. “Dia bahagia karena kamu mau menyentuhnya.”

“Serius?”

Ayu mengangguk sambil menitikan air matanya.

“Kenapa kamu nangis?” tanya Nanda.

“Aku terharu. Aku masih nggak percaya kalau aku akan menjadi ibu. Aku sayang sama anak ini, Nan. Kalau kamu nggak bisa sayang sama aku ... bisakah sayangi dia? Dia anakmu dan ingin diperlakukan penuh kasih sayang sama ayahnya,” ucap Ayu sambil menitikan air mata.

Nanda mengangguk dan menatap lekat mata Ayu. Ia mengusap air mata wanita itu dengan lembut. Menangkup wajah Ayu dan mengulum lembut bibirnya. Setelah sekian lama, hari ini ia bisa merasakan getaran di dalam dadanya. Membuatnya merasa sangat nyaman saat memeluk dan menciuminya. Inikah rasanya cinta? Ia masih tidak percaya kalau ia akan menjadi seorang ayah. Dari sekian banyak wanita yang ia kenal dan menghangatkan ranjangnya, Tuhan memilih  Ayu menjadi wadah untuk melahirkan keturunan baginya.

“Bunda Yuna undang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu bisa datang?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Kapan?”

“Minggu ini. Kamu suka pakai gaun design siapa?”  tanya Nanda.

“Mmh ...” Ayu memutar bola matanya. “Aku nggak begitu perhatikan siapa designernya. Yang penting modelnya bagus dan sesuai seleraku, aku ambil.”

Nanda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Abis pulang kerja, kita cari gaun baru untukmu. Gimana?”

Ayu mengangguk dan bangkit dari pangkuan Nanda. “Oke. Kamu lanjutkan pekerjaanmu biar cepat selesai! Aku pulang dulu, ya!”

“Pulang?”

Ayu mengangguk. “Aku capek. Kamu mau ajak aku belanja ‘kan? Aku mau istirahat dulu.”

“Aku antar kamu pulang!” Nanda langsung bangkit dari kursinya.

“Kerjaanmu gimana?” tanya Ayu.

“Gampang. Kayak nggak ada hari besok aja. Ngurusin kerjaan mah nggak ada selesainya,” jawab Nanda. Ia menarik jas yang tersampir di punggung kursi dan mengenakannya. Kemudian, merangkul pinggang Ayu dan keluar dari ruangan tersebut.

Ayu tersenyum kecil saat Nanda mau memperlakukannya dengan baik. Ia harap, Nanda bisa menjadi pria yang baik untuknya. Menjadi ayah yang baik untuk anaknya. Ia ingin menyingkirkan wanita-wanita di sekelilingnya, bukan karena ia mencintai Nanda. Tapi karena ia ingin, anaknya memiliki seorang ayah yang bertanggung jawab dan bisa menjadi panutan. Meski hari ini masih menjadi bajingan, ia akan bekerja keras untuk membuat anaknya merasa bangga terlahir dari seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Pria yang akan menentukan ke mana arah hidup anaknya di masa depan.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

Jangan lupa untuk beli paket dukungan supaya bisa dapet harga lebih murah, karena harga satuan bab di sini tidak bisa di bawah 2K.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Sunday, July 31, 2022

Bab 16 - Masih Saja Cemburu

 


“Ndre, minggu depan acara ulang tahun kami. Mau bikin syukuran kecil-kecilan. Kalian semua datang, ya!” pinta Yuna sambil menatap wajah Andre dan Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Pasti, dong. Kalian berdua enak banget, ya? Hari ulang tahunnya sama. Jadi, bisa rayakan bareng.”

Yuna tersenyum, ia menoleh sejenak ke arah suaminya. “Kalian bisa datang ‘kan?”

Nia mengangguk. “Kebetulan, kami juga nggak terlalu sibuk.”

“Nanda juga datang, ya! Bawa istri kamu supaya kami bisa kenal. Tante dengar, dia salah satu lulusan terbaik di Melbourne. Tante juga lulusan dari sana. Bukan lulusan terbaik seperti dia. Hanya mahasiswa biasa. Tante penasaran sama dia. Pengen kenal.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lebar. “Baik, Tante. Saya pasti bawa dia untuk berkenalan dengan Tante Yuna.”

Yuna tersenyum bangga menatap wajah Nanda. Meski cara yang dilakukan pria muda ini melanggar norma, tapi tetap saja bisa dianggap beruntung karena mendapatkan wanita yang memiliki prestasi baik. Ia harap, bisa mengenal Roro Ayu dan sifatnya berbanding lurus dengan prestasi yang dimilikinya.

“Mmh, saya pamit dulu, Tante, Oom ...! Masih ada pekerjaan lain yang harus saya urus,” pamit Nanda.

Yuna dan Yeriko mengangguk.

“Silakan lanjutkan kesibukanmu! Goodluck, ya!” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

Nanda mengangguk. Ia segera berpamitan dengan sipan dan melangkah keluar dari ruang kerja papanya. It’s first time, ia merasa bangga memiliki Roro Ayu dalam hidupnya. Ia pikir, tidak akan pernah bisa memiliki wanita sebaik Ayu. Sebab, semua wanita baik hanya diciptakan untuk pria yang baik dan dia ... tidak memiliki kebaikan apa pun dalam dirinya.

“Siang, Mas Nanda ...!” sapa salah seorang karyawan yang berpapasan dengan Nanda.

“Siang ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis seperti biasanya. Hampir semua orang di perusahaan papanya, selalu menyapanya dengan ramah. Begitu juga dengan Nanda, selalu membalasnya dengan sikap ramah pula.

Nanda melangkahkan kakinya perlahan menuju ke parkiran mobil. Matanya tiba-tiba tertuju pada pria tua yang sedang merapikan tanaman di taman kantor perusahaan papanya itu. Ia mengurungkan niatnya masuk ke mobil dan melangkah menghampiri pria tua itu.

“Siang, Pak ...!”

“Ya, Mas.” Pria tua itu langsung menghentikan pekerjaannya. Ia buru-buru meletakkan gunting rumput yang ia pegang dan menghampiri Nanda. “Ada apa, Mas?”

“Ini sudah jam makan siang. Bapak nggak istirahat?”

“Oh. Iya, Mas. Sebentar lagi. Kerjaannya nanggung,” jawab pria tua itu.

“Bapak sudah tua. Lain kali kalau bersihkan luar gedung, pagi atau sore saja! Jangan saat terik seperti ini!” pinta Nanda.

“Baik, Mas Nanda!” ucap pria tua itu sambil menganggukkan kepalanya.

Nanda tersenyum. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya dan memberikannya pada pria tua itu.

“Apa ini, Mas?” tanya pria tua itu begitu Nanda mengulurkan lembaran uang ke hadapannya.

“Buat beli es teh!” perintah Nanda sambil menarik telapak tangan pria itu dan memasukkan lembaran-lembaran uang itu ke dalam telapak tangannya. Kemudian pergi begitu saja.

“Makasih, Mas!” seru pria tua itu sambil menatap Nanda yang bergerak  perlahan menuju ke mobilnya. Ini bukan pertama kalinya Nanda memberinya uang, sudah beberapa kali dan bos muda itu selalu menyarankan untuk melakukan pekerjaan yang lebih ringan karena usianya yang memang sudah memasuki usia pensiun.

Di ruangan kerjanya, Andre hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nanda yang terlihat begitu santai dan banyak berdiam diri saat mereka semua membicarakan bisnis.

“Tidak terasa, kita usdah ngobrol sampai jam makan siang. Gimana kalau kalian makan siang bersama kami saja?” tanya Andre sambil tersenyum menatap Yuna.

Yuna tersenyum sambil menggenggam punggung tangan Yeriko. “Terima kasih, Ndre. Tapi kami tidak bisa karena sudah ada janji makan siang dengan anak kami. Si Okky bisa ngomel sampai besok kalau tiba-tiba kami membatalkan jadwal makan siang kami dengan dia.”

“Oh. I see.” Andre manggut-manggut. “Kalian semua sangat sibuk. Waktu makan siang bersama keluarga jadi hal yang paling berharga untuk kalian. Kalau gitu, kami tidak akan mengganggu.”

Yeriko mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. “Kami pulang dulu, Ndre! Jangan lupa tanda tangani perpanjangan kontrak perusahaan kita!”

“Gampang,” sahut Andre santai sambil ikut bangkit dari sofa untuk mengantarkan kepergian Yuna dan Yeriko.

“Kami pulang dulu, ya!” pamit Yuna sambil menyalami pipi Nia.

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Makasih ya, sudah menyempatkan waktu berkunjung ke sini!”

“Iya. Kamu juga sering-sering berkunjung ke tempat kami, ya!” sahut Yuna sambil tersenyum manis.

“Kalian sibuk terus, Yun. Susah ditemui,” ucap Andre sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tertawa kecil. “Kamu bisa aja. Kalau kami di kota ini, kalian bisa telepon asisten kami untuk atur waktu.” Ia merangkul Andre dan berniat menyalami kedua pipi pria itu.

Yeriko buru-buru menarik lengan Yuna agar tidak mendekati Andre.

Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko dan tertawa kecil. “Sudah tua begini, masih aja cemburuan!”

Andre dan Nia tertawa kecil melihat sikap Yeriko yang tidak pernah berubah sejak mereka masih muda.

“Kalau aku cium Nia, kamu nggak keberatan?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

Yuna menggeleng. “Kalau ciumnya di depan aku dan Andre, kami nggak keberatan. Kalau sembunyi-sembunyi di belakang kami, barulah perlu dipertanyakan.”

“Kamu ini ... bisa aja jawabnya kalau dikasih tahu suami,” sahut Yeriko kesal.

Nia dan Andre tertawa kecil. “Kalian ini sampai tua nggak pernah berubah ya?”

“Apa yang mau berubah?” tanya Yuna balik. “Dia cemburuannya nggak hilang-hilang juga. Padahal aku sudah nenek-nenek gini. Andre aja udah nggak naksir sama aku. Iya ‘kan, Ndre?”

Andre tertawa kecil sambil merangkul tubuh istrinya. “Mengagumimu nggak  akan ada habisnya, Yun. Tapi niat memilikimu udah nggak ada. Kamu buat Yeriko ajalah! Istriku juga nggak kalah cantik, kok.”

“Begitu memang kalau suka sama cantiknya doang. Kalau udah nenek-nenek, udah nggak minat lagi,” ucap Yuna sambil tertawa kecil.

“Hahaha.” Andre dan Yeriko tergelak mendengar ucapan Yuna.

“Ndre, kami pulang dulu! Istriku kalau udah ngobrol, nggak ada selesainya. Jangan terlalu banyak meladeni dia! Anakku bisa mecat aku jadi ayahnya kalau kami telat,” pamit Yeriko lagi.

“Hahaha. Salam untuk putermu, Yer!” ucap Andre sambil menepuk pundak Yeriko dan mengantarkannya keluar dari perusahaannya.

Nia tersenyum lebar sambil merangkul lengan Andre saat Yuna dan Yeriko sudah menghilang bersama mobil yang membawa mereka. “Mas, gimana kalau kita ajak Roro Ayu makan siang bareng kita juga, ya?”

“Mendadak seperti ini, apa dia siap? Ini sudah jam makan siang,” jawab Andre.

“Iya juga, ya? Kita aja yang ke rumah mereka dan makan siang di sana. Gimana?”

“Apa tidak merepotkan Roro kalau kita datang tiba-tiba? Dia lagi hamil muda. Jangan buat dia kelelahan!”

“Gampang. Kita beli makanan dari luar aja dan makan di sana,” ucap Nia sambil tersenyum manis.

“Bolehlah kalau begitu. Kita juga bisa lihat bagaimana anak kita itu berumah tangga. Sudah lama tidak main ke sana. Kalau anak Roro sudah lahir, kita bisa main sama cucu setiap hari.”

Nia mengangguk. “Gimana perusahaan kalau kita main sama cucu terus?”

“Ada Nanda dan Roro,” jawab Andre.

Nia tersenyum dan melangkah menuju mobil bersama Andre. “Kalau ada Roro Ayu, aku merasa lebih tenang menyerahkan perusahaan ke anak kita. Kalau cuma Nanda yang urus, aku masih belum percaya sepenuhnya sama dia.”

Andre mengangguk. “Untungnya Nanda dapet istri yang bener. Setidaknya, bisa membantu kita untuk mengembangkan bisnis. Kalau sampai dia menikahi wanita model itu, mending perusahaan kita jual dan uangnya kasih ke panti asuhan saja.”

Nia tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Andre. Ia sangat beruntung karena Tuhan menjawab doa-doa dia selama ini yang menginginkan Nanda memiliki pasangan yang baik dalam hidupnya. Memiliki istri yang bisa menjadikan puteranya menjadi pria yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarga. Asalkan istrinya baik, masa depan anak-cucunya akan baik pula. Semua ibu, menginginkan anaknya mendapatkan hal terbaik di dunia ini dan yang paling utama adalah pasangan yang baik untuk menjalani sisa-sisa hidup mereka.

“Terima kasih, Tuhan ...! Sudah memberikan menantu yang baik untuk kami. Semoga, Roro Ayu bisa menjadi istri yang baik untuk Nanda, bisa menjadi ibu yang baik untuk cucu-cucu kami,” ucap Nia dalam hati. Ia merasa sangat bahagia setiap kali ingin bertemu dengan Roro dan calon cucu yang ada di dalam perut wanita itu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!


 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 15 - Pilih Menantu

 


Nanda melangkahkan kakinya dengan pasti menuju ke ruang Presdir Amora International. Tempat papanya biasa bekerja setiap hari. Amora International adalah grup perusahaan dari lima belas anak perusahaan. Nanda yang masih suka bermain-main, hanya diberi jatah untuk mengurus satu anak perusahaan saja. Satu perusahaan saja tidak berkembang dan sering mengalami kerugian. Membuat Andre tidak bisa mempercayakan semua perusahaan yang ia miliki kepada puteranya.

“Pagi, Pa ...!” sapa Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja Papa Andre.

“Pagi. Tumben ke sini? Perusahaanmu bermasalah lagi?” tanya Andre.

Nanda mengangguk dan duduk santai di kursi yang ada di hadapan meja kerja papanya. “Perusahaan produksi anak lagi kacau dan bermasalah.”

“Kamu lagi bicarain Roro Ayu?” tanya Nia yang baru saja keluar dari toilet ruangan tersebut.

“He-em,” jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Nan, Roro Ayu itu keturunan bangsawan. Dia wanita berpendidikan, gaya bicara santun, sikapnya lembut. Apa kamu tidak bisa merubah sikapmu jadi pria yang baik? Kamu ini sudah mau jadi bapak, loh,” tutur Nia sambil menatap wajah Nanda.

“Lembut apanya? Membangkang terus!” celetuk Nanda. “Aku tuh udah berusaha baik-baik sama dia. Kemarin, dia udah baik sama aku. Setelah ketemu Sonny, dia makin ngeselin. Jangan-jangan si Sonny yang udah pengaruh Ayu buat nyerang keluarga kita.”

“Ayu wanita yang cerdas. Dia nggak akan mudah terpengaruh sama orang lain. Dia selalu bersikap baik. Kalau dia bersikap buruk sama kamu, mungkin karena kamu sudah memperlakukan dia dengan buruk juga.” Sahut Nia.

“Ma, yang anak mama itu aku atau dia? Kenapa belain Ayu terus? Semua orang belain Ayu. Siapa yang belain aku?” tanya Nanda sambil menahan kesal. “Dia juga bisa menindas dan merendahkan aku ‘kan?”

“Kamu sudah salah, masih minta dibela?” tanya Papa Andre sambil menatap wajah puteranya.

Nia menghela napas sambil menatap wajah puteranya. “Nan, papamu sudah mempertaruhkan semuanya supaya kamu nggak masuk ke penjara. Apa itu namanya nggak lagi belain kamu, hah!?”

“Emangnya nggak ada cara lain selain menyerahkan perusahaan keluarga kita ke keluarga mereka? Ayu udah maafin aku dan aku bisa bujuk dia untuk terima semuanya. Orang dia juga keenakan, kok. Kenapa aku aja yang disalahkan? Alasan dia aja terlalu banyak supaya bisa menguras harta keluarga kita,” sahut Nanda kesal.

“Kalau kamu nggak salah, dia nggak akan menguras keluarga kita,” sahut Andre.

“Papa kayak nggak pernah muda aja,” sahut Nanda makin kesal.

“Mudanya papa nggak kayak kamu!” Andre melebarkan kelopak matanya ke arah Nanda.

Nanda terdiam saat mendapati tatapan tajam dari papanya. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi Ayu. Jika wanita itu masuk ke perusahaannya, ia tidak akan leluasa dan bergerak bebas di sana.

Nanda menghela napas dan merendahkan nada suaranya. “Oke, Pa. Aku tahu aku salah. I’m sorry ...! But ... mmh, bisa atau nggak bikin Roro Ayu berhenti mengurusi kehidupan pribadi dan perusahaanku?”

“Alasannya?” tanya Andre dingin sambil memperhatikan layar laptopnya kembali. Ia enggan menanggapi permintaan puteranya karena ia sudah mengetahui bagaimana prestasi Ayu semasa sekolah hingga ia bekerja sebagai manager pengembangan bisnis di salah satu perusahaan swasta di kota itu. Meski ayahnya punya perusahaan, tapi Ayu malah memilih bekerja di tempat orang lain. Alasannya, hanya Ayu yang mengetahuinya sendiri.

“Mmh, anu ... mmh, itu ... anu, Pa.” Nanda kebingungan mencari jawaban. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk mencari alasan yang tepat. Tapi tetap saja semua alasan yang ada dipikirannya, malah membuat keadaan semakin kacau.

“Anu apa?” tanya Andre sambil menatap wajah puteranya.

“Itu ... mmh ...” Nanda melirik ke arah mamanya yang berdiri di sebelah Andre. “Anu ...”

“Takut kalau ayu menghabisi semua perempuan simpananmu? Pantes aja perusahaan nggak bisa berkembang. Otakmu isinya cuma perempuan aja,” sahut Nia.

“Memangnya Mama bukan perempuan? Papa nggak pernah mikirin Mama?” tanya Nanda.

“Beda, dong. Mama di sini bantu bisnis papa kamu supaya bisa berkembang. Nggak kayak pacar-pacarmu yang nggak jelas itu. Bisanya cuma mintain duitmu doang. Kalau kamu tiba-tiba jatuh miskin, apa mereka masih mau sama kamu?” sahut Andre sambil menatap wajah Nanda.

“Pa, itu semua cuma hiburan doang. Setress sama kerjaan kantor yang numpuk, pulang ke rumah denger istri ngomel terus. Makin setress aku kalau nggak ada hiburan,” ucap Nanda berdalih.

“Pandai banget beralasan. Lebih baik, kamu urus aja perusahaan dengan baik! Ada Roro Ayu yang akan membantumu mengembangkan bisnis. Daripada kamu buang-buang waktu buat ngeluh di sini, lebih baik pulang dan urus perusahaanmu!” pinta Andre.

“Papa ngusir aku?” Nanda mengernyitkan dahi menatap wajah dingin papanya.

“Papa ada tamu penting. Lebih baik kamu keluar dari ruangan ini! Papa nggak mau dia tahu kalau papa punya pewaris bisnis yang begitu payah!” perintah Andre sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda langsung bangkit dari sofa dan menatap kesal ke arah papanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau papanya tidak mau mendengarkan dia sama sekali. Kedua orang tuanya lebih memilih untuk memihak Roro Ayu yang jelas-jelas sedang ingin mengendalikannya. Apa pun yang akan dia ucapkan saat ini, tidak akan berguna sama sekali.

Tok ... tok ... tok ...!

“Selamat pagi, Pak ...!” sapa sekretaris Andre sambil masuk ke dalam ruang kerja tersebut. “Tuan dan Nyonya Ye sudah datang. Langsung saya suruh masuk atau menunggu terlebih dahulu?”

“Suruh masuk saja!” pinta Andre sambil bangkit dari kursinya.

“Baik, Pak!” Sekretaris itu langsung keluar dari pintu ruangan tersebut dan mempersilakan tamu mereka untuk masuk ke dalam ruang kerja bos mereka.

Nia langsung merangkul Andre dan melangkah bersamaan menyambut kedatangan teman baik mereka untuk membicarakan bisnis.

“Hei, ada Nanda di sini?” sapa Yuna sambil menatap wajah Nanda.

“Iya, Tante,” balas Nanda sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan Yuna dan Yeriko bergantian. Memberi penghormatan untuk orang yang sudah seharusnya ia hormati.

“Gimana bisnis kamu? Lancar?” tanya Yuna sambil tersenyum manis.

“Lancar, Tante,” jawab Nanda sambil tersenyum canggung.

“Tante dengar, kamu sudah menikah ya? Istri kamu mana?” tanya Yuna.

“Di rumah, Tante. Lagi hamil muda. Jadi, harus banyak istirahat.”

“Wah, sudah mau jadi bapak?” tanya Yuna sambil tersenyum manis. Ia merangkul lengan Yeriko yang berdiri di sampingnya.

Nia tersenyum menatap wajah Yuna dan Yeriko. “Mari duduk!”

Yuna dan Yeriko mengangguk bersamaan dan duduk di sofa tamu yang sudah disediakan. Mereka terlihat serius membicarakan kerjasama bisnis yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.

“Nanda, kamu masih urus satu perusahaan?” tanya Yeriko sambil menoleh ke arah Nanda yang kebetulan juga ada di sana.

“Iya, Oom.”

“Kamu anak tunggal. Warisan keluargamu hanya akan jatuh di kamu. Nggak perlu berbagi dengan saudara yang lain. Kenapa masih urus satu anak perusahaan saja? Papamu terlalu memanjakanmu?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Nanda.

Nanda terdiam sambil menelan salivanya dengan susah payah. Sudah hampir empat tahun ia memimpin satu anak perusahaan milik Amora dan tidak ada perkembangan. Membuktikan kalau ia tidak bisa mengembangkan bisnis orang tuanya dengan baik.

“Nan, kamu punya previlege. Apa itu tidak bisa membantumu berkembang lebih pesat dari yang lain?” tanya Yuna.

Nia menghela napas mendengar pertanyaan Yuna. “Susah, Yun. Dia nggak bisa seperti anak-anakmu yang pandai berbisnis. Ngurus satu perusahaan aja keuangannya sering minus. Untungnya perusahaan lain masih bisa nolong.”

“Oh ya? Serius, Nanda?” tanya Yuna sambil menatap wajah Nanda. “Ibumu punya perusahaan transportasi yang cukup besar, loh. Harusnya stabil ‘kan? Bahkan bisa berkembang lebih cepet.”

“Dia mah berkembang biaknya aja yang cepet,” sahut Nia sambil menunjuk Nanda dengan dagunya.

“Hahaha.” Yuna langsung tergelak mendengar ucapan Nia. Ia teringat dengan cerita wanita itu saat bertemu beberapa waktu lalu.

Nanda terdiam. Ia hanya mendengarkan pembicaraan dua pasangan bisnis yang ada di hadapannya itu. Terlalu banyak hal yang ia tidak tahu tentang sejarah dan cara membaca masa depan. Membuatnya tidak bisa bergabung dalam pembicaraan tersebut. Terlebih, di setiap pembicaraan mereka selalu terselip kalimat yang terkesan menyindir kinerjanya di perusahaan dan juga kelakuan nakalnya yang tidak berubah meski kini ia sudah berkeluarga.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih selalu menjadi sahabat setia bercerita!

Semoga bisa menghibur, menginspirasi dan menjadi motivasi untuk kalian semua dalam menghadapi kesulitan hidup ini.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 



 

 

 


Thursday, July 14, 2022

Bab 14 - Istri Berbahaya

 





Nanda buru-buru melangkah keluar dari ruang kerjanya ketika ia baru saja selesai menerima panggilan telepon dari Arlita yang memintanya untuk mencarikan tempat tinggal baru karena ibunya mengambil paksa apartemen yang digunakan oleh wanita itu.

“Mau ke mana?” Ayu menghadang langkah Nanda yang baru saja sampai di pintu utama perusahaan tersebut. Ia tersenyum sambil memegang rantang makanan di tangannya.

“A-ayu? Ngapain kamu ke sini?” Nanda gelagapan saat melihat Ayu tiba-tiba datang ke perusahaannya.

“Mau antar makan siang untuk kamu,” jawab Ayu sambil mengangkat rantang yang ada di tangannya. Tentunya dengan senyuman manis yang terukir indah di bibirnya.

Nanda terdiam sambil memeriksa layar ponselnya saat notifikasi pesan dari Arlita masuk ke sana.

“Sudah ada janji sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Eh!?” Nanda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ayu menghela napas. “Ada janji makan siang sama siapa?”

“Sama klien,” jawab Nanda.

“Klien yang kamu kasih apartemen gratis untuk tinggal di sana?” tanya Ayu. Ia langsung melangkah santai menuju meja resepsionis yang ada di sana.

Nanda mengernyitkan dahi sambil menatap tubuh Ayu. Ia mengikuti langkah istrinya itu perlahan, tidak tahu apa yang sedang direncanakan wanita itu. Kehadiran Roro Ayu dalam hidupnya, benar-benar mengacaukan hidupnya.

“Permisi, Mbak ...!” sapa Ayu sambil tersenyum manis ke arah petugas resepsionis yang ada di sana. “Saya boleh minta copy schedule bos kalian?”

Petugas resepsionis itu melongo, ia melirik ke arah Nanda yang berdiri tak jauh di belakang Ayu.

“Saya istrinya Pak Nanda. Apa nggak boleh tahu schedule dia?” tanya Ayu sambil menatap wajah resepsionis itu.

“Ay, kamu ngapain sih mau tahu jadwalku segala? Kamu cukup istirahat di rumah, nggak perlu urusin perusahaan kayak gini,” pinta Nanda sambil memutar tubuh Ayu agar menatap ke arahnya.

“Aku bukan lagi ngurus perusahaan. Tapi aku lagi ngurus suamiku. Bukannya istri yang baik harus mengurus semua keperluan suami dengan baik juga? Aku harus tahu jadwalmu supaya aku nggak telat nyiapin semua kebutuhanmu,” jawab Ayu sambil tersenyum.

Ayu menyodorkan ponselnya ke arah resepsionis itu. “Ini alamat email saya. Kirimkan schedule suami saya secara berkala!”

“Ay, nggak perlu kayak gini banget ‘kan? Kamu itu makin lama makin nyebelin. Aku sudah ajak kamu berdamai dan baik-baik. Nggak usah kayak anak kecil gini, deh!” pinta Nanda lirih.

Ayu tersenyum sinis. “Ada anak kecil yang bisa minta schedule bos ke perusahaan?”

Nanda menghela napas. Ia merangkul tubuh Ayu dan membawanya pergi dari sana. “Kamu bawa makanan untuk aku ‘kan? Kita makan siang bareng, ya!” pintanya. Ia membawa Ayu masuk ke dalam lift dan naik ke ruang kerjanya yang ada di lantai empat.

KLEK!

Nanda langsung mengunci pintu ruangannya begitu ia dan Ayu sudah masuk ke sana. “Ay, mau kamu apa sih?”

Ayu meletakkan rantang ke atas meja dan membukanya satu per satu.

“Ayu ...! Aku lagi ngomong sama kamu.”

“Mau makan siang ‘kan?” tanya Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda menghela napas dan duduk di sofa, tepat di sebelah Ayu. “Aku tahu kamu istriku, Yu. Tapi menyelidiki aku seperti ini, apa pantas? Apa yang ada di dalam pikiranmu sampai minta schedule aku segala?”

“Aku sudah jawab pertanyaan itu. Nggak ada pertanyaan lain?” tanya Ayu balik.

Nanda gelagapan sambil mengusap wajahnya dengan perasaan tak karuan.

“Kenapa? Kamu menyesal punya istri sepertiku?” tanya Ayu sambil menyodorkan sepasang sendok dan garpu ke hadapan Nanda. “Makanlah! Setelah selesai makan, baru kita bicara.”

Nanda menghela napas. Ia menatap makanan yang sudah disiapkan Ayu untuknya. Udang goreng, perkedel kentang, sup jamur dan potongan ayam goreng, sudah terhidang di hadapannya. Ia menusuk satu buah perkedel dan menggigitnya perlahan. Manik matanya, terus mengawasi Ayu yang bergerak perlahan menyusuri ruang kerjanya.

Aku memperhatikan setiap detail ruang kerja Nanda. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam ruang kerja suaminya itu setelah mereka menikah. Sepertinya, ia terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Tidak bisa menerima apa yang sekarang ia miliki dan baru menyadari kalau suaminya punya kedudukan yang begitu bagus, kedudukan yang diinginkan semua wanita di dunia. Terutama wanita yang tidak bisa hidup mandiri dan menggantungkan hidup mereka pada pria berduit.

“Ruang kerjamu lumayan juga,” puji Ayu sambil duduk di kursi kerja Nanda. “Sepertinya, sudah lama aku nggak duduk di kursi seperti ini,” lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

Nanda tak menyahut. Hanya mengawasi Ayu dengan matanya sambil menikmati makanan yang ada di hadapannya satu per satu.

Ayu tersenyum sambil menekan tombol power yang ada di laptop Nanda. “Aku boleh akses laptop ini?”

“Mau ngapain, Ay?” tanya Nanda sambil memperhatikan Ayu lewat sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.

“Mau lihat-lihat aja. Setahu aku, istri sah boleh dapet akses ke perusahaan suami kalau dia yang punya perusahaan itu. Mmh, kepemilikan perusahaan ini udah punya kamu atau punya Oom Andre?” tanya Ayu balik sambil menatap layar laptop Nanda yang sudah menyala dan ia harus memasukkan pasword untuk mendapat akses semua aktivitas di laptop suaminya itu.

“Masih punya papa,” jawab Nanda.

“Oh.” Ayu manggut-manggut. “Kalau gitu, aku minta akses sama Oom Andre aja. Lebih mudah daripada minta sama kamu.”

“Jangan dikit-dikit bawa papa, dong!” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Nggak. Aku nggak akan bawa Oom Andre kalau kamu bisa kelarin urusan kita tanpa membuatku menyerang orang tuamu,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda menghela napas. “Kamu mau apa?”

“Pasword laptop kamu,” jawab Ayu sambil tersenyum manis.

“Ultahku,” jawab Nanda.

Ayu manggut-manggut. “Basicly banget,” celetuknya sambil memasukkan pasword ke laptop Nanda dan langsung membuka akses perusahaan tersebut.

Nanda menghela napas. Ia meletakkan makanan yang ada di tangannya dan bangkit dari sofa.

“Habisin makannya! Jangan menyinggungku karena aku bisa membuatmu kahilangan semua yang kamu miliki dalam sekejap,” pinta Ayu.

Nanda kembali menjatuhkan pantatnya ke sofa dan menyuapkan makanan ke mulutnya dengan cepat sambil menahan kesal di dalam dadanya. Memiliki istri yang terlalu cerdas, memang sangat berbahaya. Harusnya, ia tidak menikahi wanita seperti ini karena akan membuatnya tidak bisa berkutik ketika seorang istri ikut campur dalam urusan bisnis.

“Selain Arlita, siapa lagi perempuan yang kamu hidupi di luar sana?” tanya Ayu sambil melirik Nanda.

“Bukan urusan kamu,” sahut Nanda.

“Sekarang sudah jadi urusanku. Semua yang ada di hidupmu akan berhubungan dengan masa depan anak kita. Satu hal yang harus aku lakukan adalah menyelamatkan masa depan anakku. Waktumu untuk bersenang-senang sudah habis sejak malam itu. Semua yang kamu miliki sebagai bapak, akan diwariskan ke anakmu ini ‘kan?”

Nanda mengangguk.

“Termasuk wanita-wanita milikmu itu?”

“Maksudmu?” Nanda langsung menatap Ayu yang sedang memainkan laptopnya.

“Kalau kamu masih pelihara wanita-wanita di luar sana, warisin juga ke anakmu!” jawab Ayu.

Nanda terdiam mendengar ucapan Ayu. Ia mulai memikirkan ucapan istrinya itu. Ya, memiliki banyak wanita di luar sana adalah kebanggaannya di usia muda. But, ada saatnya ia harus mengakhiri semua itu. Hanya saja, ia tidak memiliki alasan yang tepat untuk meninggalkan kesenangan-kesenangan itu.

“You wanna be a dad. Aku tidak bisa menolak takdir kalau anak yang kulahirkan adalah keturunan darimu. Aku wanita baik-baik, terlahir di keluarga yang baik, dididik dengan baik untuk menjadi teladan yang baik juga untuk keturunan kamu. Kamu bukan hanya seorang suami. Kamu adalah seorang ayah dan juga leader untuk keluarga kita. Apa kamu berencana memberikan sepuluh Mom untuk anak kita?” tanya Ayu sambil menatap layar laptopnya.

Nanda menghela napas sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Aku sudah bisa menyingkirkan Arlita yang terus menggerogoti hartamu. Bersihkan perempuan-perempuan kecilmu yang lain sebelum aku yang bertindak!” pinta Ayu.

“Kamu ...!? Diam-diam kamu berbahaya, ya? Aku nggak nyangka kamu setega ini.”

“It’s your fault!” sahut Ayu. “Kamu menghancurkan semua impianku dan kamu harus membayar semuanya!” tegasnya.

Nanda terdiam sambil memijat keningnya yang berdenyut. Apa pun yang keluar dari mulutnya, semua akan menjadi kesalahan di hadapan Ayu. Berdebat dengan dia, tidak akan pernah ada habisnya. Tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Ayu tunduk terhadapnya dan berhenti menyelidiki semua hal yang ia lakukan.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menghargai semua karya author!

Semoga, author bisa menjadi sahabat setia bercerita dan memberikan hiburan yang baik untuk pembaca.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas