Wednesday, August 17, 2022

Bab 23 - Firasat

 



Nanda menghentikan mobilnya di tepi pantai Kenjeran usai ia dan Ayu keluar dari pesta ulang tahun Nyonya Besar keluarga Hadikusuma.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela mobil.

Nanda tersenyum. Ia segera keluar dan membukakan pintu untuk Ayu. “Kita santai di sini dulu. Lagipula, ini masih jam sepuluh.”

“Oh.” Ayu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam mobil tersebut.

Nanda dengan cepat menyambar pinggang Ayu dan meletakkan tubuh wanita itu ke atas kap mobilnya. “Ayu, kita bisa bicara dari hati ke hati?” tanyanya.

Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum manis. Kedua telapak tangannya bertumpu pada kap mobil dan mengunci tubuh Ayu di tengahnya. “Apa aku masih kurang ganteng, Ay?”

“Kenapa kamu tanya begitu?”

“Karena kamu selalu dingin sama aku,” jawab Nanda.

“Masa, sih? Mungkin perasaanmu aja karena sudah ada orang lain yang lebih menghangatkanmu,” sahut Ayu.

Nanda menghela napas. “Bisa nggak, kamu positif thinking ke aku, Ay? Kamu masih curiga kalau aku punya banyak cewek di luar sana?”

Ayu menggeleng. “Aku tahu mereka nggak akan berani deketin kamu saat mereka tahu kalau kamu sudah menikah.”

“Nah, itu pinter. Kalau gitu, berhenti menyelidikiku! Aku akan sayangi kamu setiap hari,” pinta Nanda sambil mengecup bibir Ayu.

Ayu tersenyum kecut menanggapi ucapan Nanda. “Kamu pura-pura manis ke aku supaya kamu bisa jalan sama perempuan lain tanpa merasa bersalah?”

“Ck. Kenapa kamu masih mikir negatif kayak gini, sih? Aku mana mungkin jalan sama perempuan lain. Aku sudah punya istri yang cantik dan baik hati kayak gini,” ucap Nanda sambil menjepit dagu Ayu.

Ayu tersenyum dan menatap hangat ke arah Nanda. “Udah sadar?”

Nanda menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Kamu nggak akan terima tawaran Galaxy ‘kan?”

“Aku nggak bisa nolak. Juga nggak bisa menerima.”

“Jadi?”

“Kalau kamu mengizinkan, aku akan bergabung dengan Galaxy,” jawab Ayu.

“Jangan, dong! Papa pasti pecat aku jadi anaknya kalau kamu sampai bergabung sama Galaxy. Papa akan siapkan jabatan buat kamu di Amora. Kamu bisa kerja dari rumah tanpa mengabaikan tugas dan kewajibanmu sebagai istri. Gimana?”

Ayu mengangguk setuju.

Nanda tersenyum lebar menatap wajah Ayu. Ada baiknya juga punya istri bangsawan yang terikat dengan aturan dan norma keluarga yang dijunjung tinggi. Meski Ayu terlihat membangkang dan menyebalkan, tapi tetap saja menurut dan melakukan banyak hal di luar sana atas izin suami terlebih dahulu.

“Nan, pulang yuk! Aku kedinginan,” ajak Ayu sambil menatap wajah Nanda yang berada tepat di hadapannya.

Nanda tersenyum dan mengangguk kecil. Ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Ayu dan melumatnya perlahan.

Ayu menelan salivanya sambil menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia memejamkan mata perlahan. Aroma alkohol yang menyeruak dari mulut Nanda, menyusup ke dalam hatinya dan membuatnya minta diperlakukan lebih.

Nanda semakin bergairah saat Ayu membalas ciumannya. Ia memainkan telapak tangannya dengan liar di punggung wanita itu. Perasaannya semakin tak karuan saat bagian bawah tubuhnya tergerak. “Shit!” umpatnya dalam hati. Dengan cepat, ia menggendong tubuh Ayu. Membawanya masuk kembali ke dalam mobil dan bergegas pulang ke rumah untuk melampiaskan gairahnya pada istrinya itu.

 

...

 

Hari-hari berikutnya, Ayu disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Kehamilannya yang semakin membesar, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Menonton film atau membaca buku untuk mengusir kebosanan.

“Sore, Sayang ...!” sapa Nanda saat ia pulang ke rumah. Ia langsung mencium kedua pipi Ayu sembari mengulurkan bucket bunga mawar yang ada di tangannya.

“Sore ...! Tumben bawain bunga?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Iya. Tadi lewat toko bunga. Sekalian aku beliin buat kamu. Oh ya, aku tadi dari agen property,” ucap Nanda sambil membuka tas laptopnya. “Kamu pilih aja design kamar anak yang kamu mau!” Ia menyodorkan katalog interior ke hadapan Ayu.

Ayu tersenyum dan meraih katalog tersebut. Ia membuka katalog itu dan memperhatikan detail design kamar anak satu per satu.

Nanda tersenyum sambil mengelus perut Ayu yang sudah menginjak usia tujuh bulan. “Ay, di adat kamu itu ada acara tujuh bulanan ‘kan? Kenapa keluarga kamu nggak pernah bahas ini sama kita?”

“Anak yang hamil di luar nikah, dilarang melakukan upacara sakral,” jawab Ayu sambil menatap katalog yang ada di tangannya.

“Oh ya? Tapi ... banyak aja temen-temenku yang hamil di luar nikah dan mereka tetap lakukan acara tujuh bulanan,” ucap Nanda.

“Setiap keluarga punya aturan. Di keluargaku, wanita yang hamil di luar nikah dilarang melakukan upacara sakral. Aku juga dilarang menginjakkan kakiku ke keraton sampai anak ini lahir.”

DEG!

Kalimat terakhir Ayu, seolah menghujam jantung Nanda. “Ma-maksudnya ...? Keluargamu nggak menerima kehadiran anakku ini?”

Ayu mengangguk tanpa ragu.

Nanda menghela napas. Ia terduduk lemas di hadapan Ayu. “Apa anakku juga tidak akan diperbolehkan memasuki keratonmu itu?”

“Boleh. Setelah melahirkan, kami harus melakukan upacara suci supaya kami bisa memasuki keraton.”

“Ribet amat, sih?” gumam Nanda.

Ayu hanya melirik sekilas, kemudian bangkit dari sofa. “Mau mandi? Aku siapin air hangat untukmu.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia menghela napas lega karena Ayu tak lagi mengurusi pekerjaannya di luar sana dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Membuatnya lebih bebas melakukan banyak hal di luar sana tanpa rasa was-was.

Di saat bersamaan ...

Sonny melangkahkan kakinya menyusuri koridor Galaxy Hotel. Kali ini, ia harus pergi ke kota ini karena diminta untuk mengisi seminar parenting yang diselenggarakan salah satu universitas ternama di kota Surabaya.

“Ners, jam berapa jadwal seminar saya?” tanya Sonny pada asisten perawat pria yang ikut mendampinginya.

“Jam delapan, Dok,” jawab perawat yang ditanya.

Sonny melirik arloji di tangannya. “Lima belas menit lagi. Kita udah nggak sempat makan dan istirahat,” ucapnya. Karena terjebak macet, mereka harus tiba di kota Surabaya dalam waktu yang begitu mepet.

“Nggak papa, Mas. Tadi sudah ngemil di mobil. Saya nggak laper kok, Dok.”

“Ya udah. Kita makan abis seminar aja. Kamu reservasi, ya! Katanya, makanan di restoran hotel ini juga enak-enak,” perintah Sonny sambil menghentikan langkahnya saat ia sudah sampai di depan pintu nomor kamar yang sama dengan kartu yang ada di tangannya.

Belum sampai pintu itu terbuka, pandangannya langsung teralih pada sosok wanita seksi yang melangkah menuju pintu hotel yang berjarak satu pintu dari tempatnya berdiri. Wajah wanita itu tak asing lagi baginya. Ia langsung menarik asisten perawat yang ikut bersamanya agar menutupi tubuhnya. Dari balik tubuh pria muda itu, ia bisa melihat jelas Arlita memasuki pintu hotel dengan santai dan dalam keadaan sadar.

“Kenapa, Dok? Kenal sama cewek itu?” tanya asisten perawat itu sambil menatap Sonny.

“Temen SMA.”

“Wah ...! Cantik dan seksi, Dok! BO-an, ya?”

“Lihat aja kalau cewek begituan.” Sonny menoyor kepala asistennya dan masuk ke dalam kamar tersebut. Ia bergegas mengganti pakaiannya sembari menerka-nerka, siapa pria yang akan bersama dengan Arlita di kamar hotelnya. Ia harap, pria itu bukan Nanda. Sebab, ia tidak ingin melihat Roro Ayu terluka karena dikhianati oleh suaminya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Sonny sudah berada di ballroom ruang seminar yang ada di hotel tersebut. Pertemuannya dengan Arlita, tiba-tiba mengganggu pikirannya. Ia terus memikirkan bagaimana rumah tangga Ayu dan Nanda yang sebenarnya. Ia tidak ingin melihat wanita yang paling ia cintai itu terluka. Ia merelakan Ayu bersama Nanda agar wanitanya itu bisa hidup bahagia. Tapi jika tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan Ayu saat ini, maka ia akan merasa bersalah telah menyerahkan wanita itu pada sahabatnya.

Di tengah kemelut hatinya, Sonny tetap bersikap profesional. Ia berusaha menepis hal-hal buruk yang membayangi pikirannya. Berharap, Ayu tidak akan pernah dilukai oleh sahabatnya itu.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia berkarya dan bercerita!

Dukung terus biar author makin semangat nulisnya!

 

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 22 - Terancam Direbut Galaxy

 



Roro Ayu melangkah masuk ke dalam mansion keluarga besar Hadikusuma sambil menggandeng lengan Nanda. Mereka langsung menghampiri Nyonya Ye yang menyambut semua tamu undangannya dengan ramah. Di sana, sudah ada papa dan mama mertua Roro Ayu yang datang lebih dulu.

"Selamat ulang tahun, Oom, Tante ...!" ucap Roro Ayu sambil menyodorkan hadiah yang sudah ia siapkan.

"Ini menantunya Andre?" tanya Yuna sambil tersenyum manis. "Cantik banget!"

Ayu tersenyum menatap wajah Yuna. "Biasa aja, Tante."

"Nggak usah panggil Tante! Panggil Bunda Yuna aja, ya!" pinta Yuna sambil menyerahkan hadiah yang diberikan Ayu kepada salah satu pelayan di rumahnya. "Harusnya nggak usah kasih hadiah segala. Kami ini bukan anak kecil lagi."

Ayu hanya tersenyum mendengar ucapan Yuna. "Nggak papa Tante. Eh, Bunda," ralatnya. "Anggap saja ini tanda perkenalan dari saya."

Yuna tersenyum sambil menatap wajah Ayu. "Ayo, duduk!"

Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia membungkuk sopan melewati beberapa orang yang ada di dekatnya dan menghampiri Andre dan Nia. Ia langsung menyalami tangan mertuanya dan mencium punggung tangan mereka tanpa canggung.

"Gimana kabar Mama?" tanya Ayu sambil menatap wajah Nia.

"Baik. Kami semua baik. Gimana kandungan kamu? Sehat?" tanya Nia sambil mengelus perut Ayu yang sudah terlihat membuncit. Ia merasa sangat bahagia karena akan memiliki cucu. Terlebih, wanita yang mengandung anaknya adalah wanita baik-baik dan berpendidikan. Ia harap, rumah tangga anaknya itu bisa bertahan sampai maut memisahkan.

"Alhamdulillah ... sehat, Ma."

"Sudah USG atau belum?" tanya Nia.

"Belum," jawab Ayu sambil menggelengkan kepala. 

“Kalau mau USG. Ajak Mama Nia, ya! Mama pengen lihat calon cucu Mama,” pinta Nia berbisik.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia segera duduk berdampingan dengan Nia. Membiarkan Nanda bergabung dengan Rocky dan teman-temannya.

“Ndre, kamu udah mau punya cucu?” tanya Chandra yang ikut duduk di meja bersama Andre dan yang lainnya.

“Iya, Chan. Kamu kapan?”

“Nggak tahu. Masih belum pengen nikah anakku itu. Malah ambil S2 lagi di New York. Nemenin anaknya Lutfi,” jawab Chandra santai.

“Oh.” Andre manggut-manggut.

“Kamunya kapan, Chan?” goda Lutfi. “Jangan menduda terus! Banyak janda-janda yang nganggur di luar sana,” ucapnya sambil memainkan mata ke arah Mira.

“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Mira.

“Nggak papa,” jawab Lutfi sambil menahan senyuman di bibirnya.

“Satria nggak ke sini, Mir?” tanya Andre sambil menatap wajah Mira.

Mira menggeleng. “Dia sibuk. Udah diwakilin anaknya, tuh.” Ia menunjuk ke arah Nadine yang sedang berbincang dengan Yuri dan yang lainnya.

Andre manggut-manggut sambil menoleh ke arah Nadine.

“Ayu, kamu nggak mau gabung sama anak-anak muda yang lain?” tanya Nia lembut sambil menunjuk ke arah Rocky dan teman-teman sebayanya yang sedang asyik mengobrol.

Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. Sejak hari pernikahannya, ia tidak pernah berada di tengah keramaian. Ia takut dengan dirinya sendiri. Takut orang-orang akan memandang rendah ke arahnya karena ia mengandung anak di luar pernikahan. Rasa malu dalam dirinya, tidak pernah bisa hilang. Bahkan untuk bertemu dengan keluarga besarnya sendiri saja, ia merasa sangat canggung.

“Eh, Ayu di sini aja, dong! Aku mau ngobrol sama dia,” pinta Yuna sambil duduk di kursi kosong yang ada di sebelah kanan Ayu.

“Dia masih muda, biarkan ngumpul sama sebayanya! Mau ngobrolin apa sama kamu?” pinta Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan suaminya. “Eh, si Roro ini lulusan terbaik di Melbourne University, loh. Aku sekolah di sana, belajar tiap malam sampai tidur di perpustakaan, tetap aja nggak bisa dapet nilai bagus.”

“Emang dasarnya kamu bodoh,” sahut Yeriko.

“Iih ... ngolok banget! Biar bodoh di sekolah, nggak bodoh ngurus perusahaan ‘kan?” ucap Yuna sambil memainkan kedua matanya ke arah Yeriko.

Yeriko tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Udah tua, centilnya nggak ilang-ilang.”

“Kamu jatuh cinta sama aku karena aku centil ‘kan? Kalau centilku ilang, ntar kamu cari perempuan lain yang lebih centil,” sahut Yuna. Suaranya menguasai ruangan tersebut dan membuat semua orang geleng-geleng kepala, termasuk Rocky yang duduk di sebelah meja sebelahnya.

“Bunda, maunya punya menantu yang centil atau kalem?” tanya Rocky sambil menoleh ke arah Yuna.

“Yang kalem dan elegan kalau di luar, tapi sayang dan peduli sama kamu,” jawab Yuna.

Rocky terkekeh sambil menyandarkan lengannya ke punggung kursi yang diduduki Nadine. “Kamu sayang sama aku, nggak?”

“Apaan sih?” sahut Nadine sambil menyubit perut Rocky.

“Aw ...! Sakit, Nad!” bisik Rocky sambil mengelus perutnya yang terasa memanas.

“Kalian berdua udah balikan?” tanya Yuna sambil menatap Nadine dan Rocky yang terlihat mesra.

“Nggak, Bunda,” jawab Nadine sambil tertawa kecil.

“Nggak mau dipacarin, Bunda. Dia maunya langsung dilamar. Kapan bunda lamarkan Nadine buat aku?” sahut Rocky sambil memainkan alisnya.

“Heleh, kemarin kamu masih jalan sama cewek lain. Kok, mau minta lamarkan Nadine. Nadine terlalu baik buat kamu.”

Rocky mendelik ke arah Yuna yang tidak mendukung dirinya sedikit pun.

Nadine menjulurkan lidahnya ke arah Rocky.

Rocky langsung memajukan wajahnya, berniat menyambar lidah Nadine yang terjulur menggunakan bibirnya. Tapi Nadine sudah berkelit dengan cepat dan berusaha menghindari Rocky meski pria itu terus memaksa dan mengunci kepala Nadine ke lengannya.

“Okky ...! Ampun ...!” seru Nadine saat kepalanya dijepit di dada Rocky. “Nanti make-up aku rusak!”

Semua orang tertawa melihat kelakuan Rocky yang  mengganggu teman-teman wanitanya. Tidak hanya dengan Nadine, Chika dan yang lain pun sudah biasa menghadapi candaan Rocky.

Yuna menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Roro Ayu. Mengajak wanita muda itu bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka saat masih bersekolah di Melbourne University.

“Ternyata tongkrongan kita sama aja, ya? Tetep aja perpustakaan. Sekarang, kamu berhenti kerja? Kenapa?” tanya Yuna sambil menatap wajah Roro Ayu.

 

 

 

 

 

 

“Di keluarga kami, perempuan yang sudah menikah harus fokus mengurus rumah tangga dan mengutamakan pendidikan anak-anak. Jadi, saya resign.”

“Duh, sayang banget. Kalau ikut ngurus perusahaan keluarga, boleh kan?” tanya Yuna. “Aku juga nggak kerja. Orang lain yang kerja untuk aku,” lanjutnya sambil mengerdipkan sebelah matanya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Yuna.

“Ndre, kamu jangan biarin dia jadi ibu rumah tangga doang, dong! Sayang loh prestasi yang dia punya. Kasih jabatan di perusahaanmu, Ndre. Amora ‘kan perusahaan besar. Masa menantu sendiri nggak dikasih kursi? Orang lain aja bisa menduduki kursi pimpinan di perusahaanmu.”

Andre tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jangan senyum-senyum aja! Menantu kayak gini harus diperlakukan dengan baik. Kalau urusan rumah, bisa pakai pelayan. Kamu jangan kayak orang susah gitu dong, Ndre!” ucap Yuna sambil menatap wajah Andre.

Andre menahan tawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan aku pikirkan.”

“Jangan dipikir doang! Langsung bertindak! Kamu mau kasih jabatan apa buat menantumu ini? Kami semua jadi saksinya,” pinta Yuna.

Andre menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Eh, dia punya track record yang bagus. Prestasi bagus dan pengalaman kerja di perusahaan yang bagus juga. Kalau kamu nggak mau kasih jabatan buat dia. Aku hire dia jadi Wakil Direktur Pengembangan Bisnis. Chandra lagi butuh wakil karena yang sebelumnya udah resign,” tutur Yuna.

“Hahaha.” Andre tergelak mendengar ucapan Yuna. “Kamu jangan terang-terangan ngambil orangku, Yun.”

“Kamu sia-siain orang seperti ini. Aku mana bisa melewatkan orang-orang berpotensi seperti ini. Galaxy need generasi baru yang seperti ini,” ucap Yuna sambil menoleh ke arah Ayu. “Kamu mau salary berapa? Tinggal sebut dan kami akan kasih untukmu!”

Ayu tersenyum menatap wajah Yuna. “Nyonya, saya  merasa sangat terhormat mendapat tawaran seperti ini. Tapi saya sudah menikah. Kalau bekerja di luar, harus atas izin suami. Saya tidak bisa melanggar peraturan keluarga kami.”

Yuna tersenyum sambil mengusap lembut lengan Ayu. “Kamu istri yang berbakti banget?” ucapnya terharu. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok suami Ayu yang ada di meja lain.

“Nanda, Ayu boleh kerja di Galaxy?” seru Yuna.

Nanda yang baru ingin menyuapkan makanan ke mulutnya, langsung memutar kepala menatap wajah Yuna.

“Boleh, ya!” pinta Yuna sambil memainkan alisnya menatap Nanda.

Nanda langsung meletakkan sendoknya perlahan ke atas piring. “Nggak kerja aja dia udah pinter. Kalau kerja di Galaxy, aku bakal jadi jongos buat dia, dong?” batinnya.

“Kalau diam artinya setuju!” seru Yuna sambil tersenyum puas dan langsung merangkul Ayu. Mengajak wanita itu untuk membicarakan tentang ekonomi dan bisnis di masa depan.

“Uhuk ... uhuk .. uhuk ...!” Nanda langsung tersedak. Ia segera meminum air putih yang ada di hadapannya.

Rocky memperhatikan wajah Nanda yang duduk berseberangan dengannya. “Bundaku paling jago kalau ngerebut orang. Kalau kamu sia-siakan Roro Ayu. Galaxy akan menyiapkan rumah yang nyaman untuk dia,” ucapnya lirih.

GLEG!

Nanda menelan salivanya dengan susah payah. “Shit! Apa sih yang dilihat dari Roro Ayu sampai semua orang belain dia dan menginginkan dia seperti ini?” batinnya menahan kesal.

 

 ((Bersambung...))


Bab 21 - Kemarahan Mr. Rocky

 


Rocky langsung melangkah masuk ke dalam salon tempat Nadine dan Roro Ayu merias dirinya. Ia menghampiri Nadine yang sedang berdiri di depan cermin sambil memperhatikan hasil make-up di wajahnya.

“Udah selesai make-up?” tanya Rocky. Ia langsung merangkul pinggang Nadine tanpa meminta izin terlebih dahulu.

“Udah,” jawab Nadine sambil melepas lengan Rocky perlahan dari pinggangnya. “Gimana, cantik atau nggak?” tanyanya sembari memutar tubuh menghadap Rocky.

“Cantik banget,” jawab Rocky sambil tersenyum. “Temen kamu mana?”

“Lagi ke toilet. Katanya kebelet,” jawab Nadine sambil menoleh ke arah Nanda yang berdiri tak jauh di belakang Rocky. Ia tidak menyapa pria itu, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Rocky jika mengetahui kalau Nanda adalah suami Roro Ayu. Tidak tahu mengapa, mereka berdua bisa datang bersamaan.

“Oh ya ... kenalin, ini Nanda. Anaknya Oom Andre.” Rocky menunjuk Nanda yang tak jauh darinya. “Kebetulan, dia mau jemput istrinya juga di sini. Ternyata, dia diundang ke acara ulang tahun bunda. Kita bisa berangkat bareng.”

Nadine tersenyum kecut. Ia mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Nadine,” ucapnya memperkenalkan diri.

Nanda balas tersenyum dan menjabat tangan Nadine. “Oh. Ini Dokter Nadine? Temennya Dokter Sonny?” tanya Nanda. “Aslinya jauh lebih cantik dari foto.”

Nadine meringis mendengar pertanyaan Nanda. Perasaannya tak karuan dan membuatnya jadi salah tingkah.

“Hei, cewekku ini ...!” Rocky langsung menepis tangan Nanda. “Jangan lama-lama salamannya! Ingat istri!”

Nanda tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku nggak mungkin ngambil cewek orang. Bentar lagi bakal jadi bapak,” ucapnya sambil melirik wajah Nadine. Ia tahu, Nadine adalah salah satu teman Roro Ayu sejak kecil saat di sanggar tari. Tapi ia tidak tahu kalau Nadine memiliki hubungan khusus dengan Rocky, salah satu anak dari orang paling kaya di Asia dan ditakuti banyak para pebisnis di luar sana.

Beberapa saat kemudian, Roro melangkah keluar dari kamar mandi. Ia langsung tersenyum ke arah Nanda yang sudah menjemputnya. “Sudah datang?” tanyanya lembut.

Nanda mengangguk. Ia merangkul pinggang Ayu dan mencium kedua pipi wanita itu. “Udah siap?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Sementara itu, Rocky mengernyitkan dahi saat melihat pria yang menjadi suami Ayu adalah Nanda, anak dari sahabat orang tuanya. Ia menatap wajah Nadine untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba bersarang di kepalanya dan senyum kecut dari bibir Nadine, membuatnya mengerti kalau pria brengsek yang telah menghancurkan hidup Roro Ayu adalah Ananda, putera mahkota dari Amora Internasional.

“Nanda, kamu suaminya Roro Ayu?” tanya Rocky sambil mengernyitkan dahi.

“Iya. Kalian udah saling kenal, ya?” tanya Nanda balik. “Sorry, aku nggak tahu kalau Dokter Nadine ini pacarmu. Aku pikir, dia malah pacaran sama Sonny.”

“Kamu ...!?” Rocky mengepalkan kedua tangan sambil menatap geram ke arah Nanda. Rahangnya mengeras ketika wajah Nanda terlihat sangat santai menghadapinya.

“Ky, nggak usah bikin keributan di sini!” bisik Nadine sambil menahan dada Rocky agar tidak menyerang Nanda.

“Sorry, Ky ...! Aku bener-bener nggak tahu. Aku nggak bermaksud fitnah pacarmu,” ucap Nanda yang menyadari kalau Rocky sedang emosi.

“Bukan soal Nadine dan Sonny yang bikin aku marah sama kamu, Nan. Tapi soal Sonny sama Roro Ayu ...!” sentak Rocky sambil menatap tajam ke arah Nanda. “Aku udah tahu semuanya dari Nadine dan Sonny. Ternyata kamu cowok biadab yang udah menghancurkan hidup Roro, hah!?”

Nanda terdiam sambil menelan salivanya dengan susah payah. Ia tidak tahu apa yang terjadi hingga membuat salah satu putera Hadikusuma itu murka terhadapnya. “Kamu kenapa marah? Aku bertanggung jawab sama Roro Ayu,” tanyanya kebingungan.

“Ky, nggak usah dipermasalahkan, ya! Aku nggak mau ribut,” pinta Ayu sambil menatap wajah Rocky.

Rocky menarik napas dalam-dalam dan berusaha menurunkan emosinya saat melihat mata Roro Ayu yang penuh dengan penderitaan. “Aku nggak bisa lihat cewek mana pun disakiti. Apalagi itu orang-orang terdekatku dan itu wanita baik-baik. Parah kamu, Nan! Kalau dari awal aku udah ketemu kamu, udah kuhabisi!”

“Ky, udah ...! Nggak usah ribut di sini,” bisik Nadine saat mereka mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di salon tersebut. Ia langsung menarik lengan Rocky agar pergi dari sana.

“Udah bayar?” tanya Rocky sambil menatap Nadine yang merangkul lengannya sambil melangkah keluar dari salon tersebut.

“Udah diurus sama ajudanku,” jawab Nadine sambil menoleh ke arah ajudan yang ada di belakangnya.

“Kamu beneran bawa ajudan?” tanya Rocky sambil menunjuk pria bersetelan jas rapi yang ada di belakang mereka.

“Iya! Puas!” sahut Nadine sambil mendelik ke arah Rocky. “Lagian, kenapa kamu nggak jemput aku? Aku terlanjur sewain mobilku.”

“Kamu beneran sewain mobil? Aku pikir, cuma guyon, Nad. Kamu nggak punya uang sampai sewain mobilmu?”

“Punya. Tapi mobilku disewa sama orang buat bikin konten,” jawab Nadine sambil melangkahkan kakinya bersama Rocky. Sementara, Ayu dan Nanda sudah ada di belakang mereka.

“Konten apaan pake Lambo? Film gitu?” tanya Rocky.

Nadine menggeleng. “Buat  bikin konten video gitu, loh. Apa sih namanya? Aku nggak begitu paham. Konten pura-pura jadi orang kaya.”

Rocky menahan tawa mendengar ucapan Nadine. “Serius!? Ada yang begitu?”

Nadine mengangguk. “Ada. Roro tahu tuh orangnya.”

Rocky langsung menoleh ke arah Ayu. “Iya, Ro?” tanyanya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Videonya sering sliweran di media sosial pakai Lambo punya Nadine.”

“Terus, diakui kalau mobil itu punya dia?” tanya Rocky sambil menahan tawa. “Parah!”

“Iya. Buat konten gitu,” jawab Nadine.

“Kamu sendiri nggak pernah pamerin mobil kamu ke orang lain. Kenapa malah biarkan orang lain pakai mobil kamu buat pamer?” tanya Rocky sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, nggak papa. Toh, aku juga dapet duit,” jawab Nadine sambil tersenyum.

“Nggak gitu, Nad. Kamu  ... ck, kalau butuh uang, ngomong ke aku! Berapa sewain Lambo dalam sehari?” tanya Rocky.

“Sepuluh juta sehari,” jawab Nadine.

“Serius!? Supercar aku di bengkel ada banyak. Sepuluh unit aku sewain, udah dapet seratus juta sehari. Cari duit gampang banget?” tanya Rocky sambil melebarkan kelopak matanya.

“Iih ... sepuluh juta tuh udah yang paling murah. Sebenarnya, aku lagi berusaha melindungi diriku sendiri. Pakai mobil mewah, bisa jadi incaran perampok atau orang-orang jahat di luar sana. Aku ‘kan bisa pura-pura miskin dan bilang mobil ini punya si A kalau aku diculik,” jawab Nadine sambil tertawa kecil.

“Hahaha. Otakmu cerdas juga. But, lain kali nggak perlu sewain mobil kamu lagi! Lebih baik, taruh di rumah aja! Nanti kalau ketemu di jalan dan aku kejar mobil itu karena ngira itu kamu, gimana?” pinta Rocky.

Nadine tertawa kecil. “Aku nggak pernah pake mobil sport setiap hari. Pakainya kalau balapan, kalau kunjungi papa di Jakarta atau kunjungi nenek di Surabaya.”

“Alasan. Dulu, kamu sering bawa Lambo buat jalan-jalan sama mama kamu,” sahut Rocky sambil mencebik ke arah Nadine.

“Hehehe. Itu ‘kan dulu waktu masih remaja, masih suka pamer sama cewek-cewek lain di luar sana. Sekarang, aku lebih pentingin privasi dan keamanan. Aku nggak mau bikin Mama Nadia dan Papa Satria panik terus karena aku selalu kabur dari penjagaan ajudannya.”

“Nakal!” celetuk Rocky sambil mengetuk kening Nadine.

“Iih ... kamu yang ajari nakal ‘kan?” goda Nadine.

Rocky menahan tawa sambil merangkul tubuh Nadine dan memasukkannya ke dalam mobil begitu mereka sampai di parkiran.

Nanda juga ikut membawa Ayu masuk ke dalam mobil. Mereka memilih untuk bungkam, tidak ada pembicaraan yang bisa mereka bahas dan hanya menjadi pendengar Nadine dan Rocky.

Ayu menggigit bibir bawahnya sambil menatap lurus ke depan. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit dan semua rasa takut akan masa depan, terlintas di pelupuk matanya.

Nanda menoleh ke arah Ayu yang masih bergeming. Ia langsung menarik safety belt dan memasangkannya di tubuh Ayu. “Kenapa ngelamun?” bisiknya.

“Eh!?” Suara Nanda membuyarkan lamunan Ayu. “Nggak papa. Lagi mikir aja.”

“Mikirin apa?” tanya Nanda sambil menekan start engine dan mulai menjalankan mobilnya perlahan.

Ayu tak menjawab pertanyaan Nanda. Ia memilih untuk berdiam diri sepanjang perjalanan. Semua perasaan yang penuh sesak di dalam hatinya, tidak pernah bisa ia ungkapkan di hadapan Nanda. Ia tidak ingin terus berdebat dan membuat perasaannya malah semakin memburuk karena perlakuan Nanda terhadapnya tidak sesuai yang ia harapkan.

“Ay, kamu udah cantik banget kayak gini ... nggak bisa bersikap manis ke aku?” tanya Nanda saat Ayu masih saja bergeming ketika Nanda sudah memarkirkan mobilnya di depan mansion mewah di wilayah Virginia.

“Bukannya setiap hari aku sudah bersikap manis?” tanya Ayu balik.

“Bukan gitu, Ay. Aku mau, kamu lebih manis lagi ... lebih nurut sama aku. Aku akan penuhi semua permintaan kamu kalau kamu nggak pasang wajah pura-pura manis di depanku,” jawab Nanda sambil tersenyum manis menatap Ayu.

Ayu tersenyum dan balas menatap Nanda. “Kamu juga nggak perlu pasang sikap pura-pura sayang ke aku!” sahutnya sambil melepas safety belt dan keluar dari dalam mobil Nanda.

Nanda menahan geram saat Ayu keluar begitu saja dari dalam mobil. “Shit!” umpatnya sembari memukul setir di hadapannya.

“Dia tahu kalau aku pura-pura sayang? Gimana caranya bikin perempuan ini jatuh cinta sama aku, percaya sama aku dan nggak perlu menyelidiki perempuan-perempuan lain di belakangku?” gumam Nanda. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Roro Ayu dan menyelamatkan kekayaan keluarganya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah mendukung author untuk terus berkarya!

Doain authornya sehat terus dan lancar ide, ya!

Juga dijauhkan dari hal-hal yang bikin author terdistraksi saat nulis.

 

 


 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 20 - Bolehkah Aku Benci Anak Ini?

 




Dua jam sebelum pergi ke pesta ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya, mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota Surabaya.

“Mbak, teman saya ini lagi hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!” pinta Nadine saat ia dan Ayu sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.

“Oh ya? Tapi, harga untuk make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak.”

“Kami nggak permasalahkan harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang susah?” sambar Nadine dengan cepat.

Karyawan itu menggeleng. “Baik, Mbak.” Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.

Nadine menghela napas sambil melipat kedua tangan di dadanya. “Emangnya kita kelihatan kayak orang susah, ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.

Ayu tertawa kecil. “Sabar! Jangan emosi gitu, dong!” ucapnya sambil mengelus lengan Nadine.

“Kesel aku kalau diginiin sama orang. Nggak tahu apa kalau anaknya yang punya mall ini setiap hari ngejar-ngejar aku?”

“Hush! Jangan ngomong gitu! Ntar dikira kamu pamer,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

“Biar aja! Aku emang suka pamer.”

Ayu hanya terkekeh geli menatap wajah Nadine yang emosinya mudah sekali meledak hanya karena hal sepele. “Kamu lagi PMS?”

Nadine menghela napas. “Lagi kesel aku, Ay. Aku tuh dibikin kesel sama Okky sepanjang jalan. Dia bilang, mau jemput aku ke Semarang. Aku tuh udah ngalah dan mobilku kusewakan sama temen. Eh, satu jam sebelumnya ... dia bilang nggak bisa jemput aku karena di rumahnya sibuk banget. Coba dari awal ngomong gitu, aku nggak kesel kali. Akhirnya, aku harus dijagain sama ajudan kayak gini,” keluhnya.

“Emang biasanya, kamu nggak dijagain ajudan? Papamu Jenderal, Nad. Itu protokol keamanan untuk anak jenderal. Jangan main-main, deh! Aku serem loh yang waktu denger kasus dia mau ditembak mati itu. Kalau kamu yang jadi sasaran berikutnya, gimana?” tanya Ayu.

“Mati,” jawab Nadine santai.

“Kamu kok gitu sih, ngomongnya?” tanya Ayu sambil menatap sedih ke arah Nadine.

“Yah, setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Punya jalannya sendiri untuk mati. Kalau emang aku ketembak mati sama musuh-musuh papa, aku nggak keberatan. Asalkan papa baik-baik aja. Ada jutaan orang yang berlindung di balik punggung papa dan membutuhkan dia. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang anak jenderal yang nggak punya kekuatan untuk melindungi semua orang,” ucap Nadine.

“Jangan ngomong gitu, Nad! Semua ibu hamil butuh kamu. Kalau kamu nggak dinas di Semarang, aku bakal konsultasi sama kamu setiap hari supaya aku nggak setress.”

“Tarif gue mahal!” sahut Nadine sambil melirik tajam ke arah Nadine.

“Sialan kamu!” dengus Ayu sambil menoyor pundak Nadine.

Nadine tertawa kecil. “Eh, kamu beneran setress? Setress kenapa? Ibu hamil nggak boleh setress, loh. Bahaya.”

“Bahayanya gimana? Aku juga nggak mau setress. Tapi, kadang kepikir aja sendiri. Tiba-tiba kebayang hal-hal yang aku ... aku ... huft! Sulit buat aku ungkapin, Nad.”

Nadine menghela napas sambil menatap wajah Ayu. “Aku tahu, MBA itu udah beban. Apalagi, kamu harus menikah sama orang yang nggak kamu cintai. But, ada hal lebih penting yang harus kamu perjuangkan,” ucap Nadine sambil mengelus lembut perut Ayu yang mulai membuncit. “Dia,” lanjutnya.

Ayu menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca. “Boleh nggak sih aku benci anak ini, Nad?”

“Ayu ... kenapa kamu ngomong kayak gitu?” Nadine langsung menangkup wajah Ayu dan mengusap air matanya yang jatuh.

Air mata Ayu semakin mengalir deras. Ia tidak tahu pada siapa akan bercerita. Ia hampir tidak punya teman. Bercerita pada bundanya, hanya akan menambah beban orang tuanya. Rekan kerja, tidak ada yang terlalu dekat. Hanya Nadine, teman kecil yang masih begitu menjaga komunikasi dengannya meski mereka berbeda kota.

Nadine langsung memeluk tubuh Ayu. “Yang kuat, ya! Yang kuat, yang sabar, Ay! Aku percaya kamu kuat. Nggak boleh benci anak ini. Seperti apa pun papanya, dia sudah hidup dalam dirimu. Dia hidup dari darahmu, dari hatimu dan dari cintamu, Ay. Jangan benci anak ini! Dia nggak salah,” bisik Nadine tanpa bisa menahan air matanya untuk menetes.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Ayu semakin menangis sesenggukan saat Nadine memeluknya. Semua sesak di dadanya selama ini, rasanya bisa terlepas saat air mata itu bisa tumpah di dalam dekapan Nadine.

Nadine mengusap lembut punggung Ayu. Ini pertama kalinya ia melihat Ayu menangis sesenggukan dalam pelukannya. Ia rasa, beban yang sedang ditanggung Ayu memang sungguh berat. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain memeluk Ayu. Sebab, kata-kata bijak tidak akan bisa membuat masalah Ayu selesai begitu saja. “Kamu kuat, Yu! Kamu kuat. Jangan sedih lagi, ya!” bisik Nadine.

“Hiks ... hiks ... hiks ... Aku pengen balik ke Sonny, Nad. I miss him so much,” ucap Ayu sambil berlinang air mata.

Nadine melepas pelukannya dan mengusap air mata Ayu. “Aku akan bawa dia menemuimu kalau kamu rindu. But, aku nggak bisa berbuat banyak, Ay. Sonny pria yang baik, bijak dan tahu batasan. Dia bilang, nggak mau ganggu rumah tangga kalian. Dia ingin melihat kamu bahagia sama Nanda.”

“Gimana kalau aku nggak bahagia sama Nanda seumur hidupku, Nad?” tanya Ayu sambil mengusap air matanya dan berusaha menguatkan hatinya kembali.

“Kalau kamu udah nggak kuat. Kamu boleh lepaskan semuanya, Ay. Saat ini, kamu nggak usah pedulikan Nanda. Kamu pedulikan perkembangan janin kamu dulu. Urusan lain, diurus lain kali saja setelah kamu melahirkan. Kamu harus sabar, Yu! Demi si kecil. Okay?”

Ayu menganggukkan kepala perlahan sambil menatap Nadine.

“Gitu, dong! Senyum dong biar makin cantik!” pinta Nadine sambil menjepit dagu Ayu.

Ayu tersenyum menatap wajah Nadine.

Nadine tersenyum puas. “You’re strong mom! Lahirkan bayi ini dengan selamat dan sehat. Dokter Nadine akan membantu menjaganya.”

Ayu tersenyum lebar hingga memperlihatkan gingsul yang ada di sudut bibirnya. “Makasih, Nad.”

Nadine mengangguk sambil tersenyum. “Time to make-up! Pasangan kita bakal jemput jam tujuh. Nggak enak kalau mereka harus nunggu kita terlalu lama. Pasti nggak nyaman.”

Ayu mengangguk setuju.

“Oke. Mbak, bikin kita berdua jadi wanita paling cantik di negeri ini!” pinta Nadine sambil mengibaskan rambut panjangnya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajahnya di balik cermin. Make-up artist yang ada di sana, sudah memoleskan foundation ke atas wajah Ayu. Kemudian, mulai menjalankan step by step hingga dua wanita itu terlihat begitu cantik. Mereka terlihat semakin sempurna dengan balutan dress pesta yang terlihat sederhana, tapi tetap elegan.

Di parkiran, Nanda dan Rocky keluar dari mobil bersamaan secara tidak sengaja.

“Hei, Rocky ya?” sapa Nanda sambil memperhatikan wajah Rocky.

Rocky yang sedang memainkan kunci mobilnya sambil melenggang santai, langsung menghentikan langkahnya. “Siapa, ya?”

“Aku Nanda. Anaknya Oom Andre. Ingat, nggak?” sahuta Nanda.

Rocky membuka sedikit kacamata hitamnya dan memperhatikan tubuh Nanda. “Oom Andre? Andre Ahmad Perdanakusuma? Amora Internasional?” tanyanya.

Nanda mengangguk. “Iya. Udah lama kita nggak ketemu.”

“Kamu di luar negeri, ya? Nggak pernah ketemu sama kamu.”

“Emang sempet kuliah di luar negeri. Sekarang, udah di Indo lagi. Gimana kabarmu?” tanya Nanda.

“Baik. Baik banget. Eh, kamu ngapain di sini? Belanja?”

“Mau jemput istriku, Ky. Bundamu ulang tahun hari ini dan kami diundang.”

“Oh ya? Kamu udah nikah? Istrimu di sini? Ngapain? Kerja di sini?” tanya Rocky.

“Nggak. Dia lagi nyalon sama temennya. Biasalah, cewek.”

“Oh, ya? Kebetulan ... aku juga mau jemput pacarku di salon juga. Salon mana?”

“Serius!? Bareng aja kalau gitu,” ajak Nanda.

Rocky mengangguk. Ia melangkah beriringan bersama Nanda sambil bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka. Kedua orang tua mereka memang saling kenal sejak mereka kecil. Tapi, mereka tidak begitu akrab karena bersekolah di tempat berbeda dan tidak pernah bertemu lagi sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Membuat mereka bercerita banyak hal tentang masa-masa remaja mereka yang sudah terlewati dengan kenakalan mereka masing-masing.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah mendukung dan menghargai karya author. Tiap hari mau nangis tiap kali melihat kalian berbagi rejeki sama author tanpa perhitungan.

Semoga sehat selalu, banyak rejeki dan selalu jadi sahabat setia bercerita setiap hari!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 19 - Tak Mau Melepaskan Dia

 



Ayu menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya. Ia mengeluarkan kotak bedak dari tas tangannya dan memoleskan ke pipinya yang baru saja basah dengan air mata. Make-up, memang cara yang paling sempurna untuk menutupi kesedihan seorang wanita.  Ia langsung mengenakan gaun yang dipilihkan Nanda untuknya, kemudian keluar dari kamar pass.

“Gimana? Bagus?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda langsung tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Kamu beli semuanya juga boleh.”

Ayu menggeleng sambil tersenyum kecil. “Aku mau yang ini aja,” jawabnya. “Yang lain, kembalikan ke tempatnya aja ya, Mbak!” perintahnya pada pelayan yang melayaninya.

Pelayan itu mengangguk dan segera undur diri dari hadapan Ayu.

Ayu tersenyum kecil. Ekor matanya mengawasi tubuh seorang wanita muda yang mengenakan rok mini ala artis korea dan kaos ketat yang membuat pusarnya terbuka. Ia sudah tidak asing dengan wanita cantik dan seksi itu. Tubuhnya memang indah dan membuat Nanda sulit meninggalkan wanita itu.

Jika dibandingkan dengannya, Arlita memang jauh berbeda. Setiap harinya, Ayu hanya berpenampilan sederhana. Jangankan memperlihatkan pusarnya di depan umum. Memperlihatkan pahanya di depan Nanda saja, ia tidak percaya diri.

“Ayu, kamu nggak mau beli yang lain? Aku bisa belikan semuanya buat kamu,” tanya Nanda.

“Aku cuma butuh satu gaun. Nggak mungkin semuanya aku pakai ke pesta,” jawab Ayu sambil memperhatikan gaun warna putih dengan bahan lace di luarnya. Ia sangat menyukai detail motif lace dengan gambar bougenvile warna silver.

“Bisa dipakai untuk besok-besok ‘kan? Nggak perlu belanja lagi, Ay,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggelengkan kepala. “Aku hanya ambil apa yang aku butuhkan, bukan ambil apa yang aku inginkan. Lagian, aku bukan model. Nggak perlu ganti baju setiap saat,” jawabnya. Ia langsung masuk kembali ke kamar pass untuk mengganti pakaiannya kembali.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana dia bisa membayar pakaian Arlita bersamaan dengan invoice istrinya jika Ayu hanya membeli satu potong pakaian.

Nanda buru-buru berlari menghampiri kasir. “Mbak, saya bayar dulu tagihan pacar saya yang tadi, ya! Berapa semuanya? Cepat!” perintah Nanda sambil menyodorkan kartunya. Ia kemudian bersandar santai di meja kasir sambil menunggu Ayu keluar dari kamar pas.

“Enam juta empat ratus ribu, Mas. Yang barusan keluar itu pacarnya, Mas? Yang di kamar pas itu, pacar juga?” tanya kasir sambil memasukkan kartu milik Nanda ke dalam mesin pembayaran dan menyodorkannya ke arah Nanda. “Masukkan pin-nya, Mas!”

Nanda langsung memasukkan pin kartu kredit miliknya dan menariknya kembali setelah transaksi berhasil. “Jangan bilang ke istriku kalau aku bayarin belanjaan pacarku, ya!” pintanya sambil menatap tajam ke arah kasir yang ada di sana.

“Eh!? Mbak cantik itu istrinya?” tanya kasir sambil menunjuk wajah Ayu yang baru saja keluar dari kamar pas. “Udah punya istri cantik begitu, kok masih selingkuh?” celetuknya.

“Nggak usah bawel dan ikut campur urusan orang! Kerja aja yang bener!” Nanda menyeringai ke arah kasir yang ada di belakangnya itu. Ia langsung tersenyum ke arah Ayu yang sudah berada beberapa langkah di hadapannya.

“Yakin, cuma mau beli satu aja?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Iya. Aku cuma butuh satu.”

Nanda manggut-manggut sambil menahan napas saat Ayu menyodorkan gaun pilihannya ke hadapan kasir.

“Berapa, Mbak?” tanya Nanda sambil mengeluarkan kartu dari dalam dompet yang sudah ia pegang sejak tadi.

“Tujuh ratus ribu, Mas,” jawab kasir itu sambil menatap wajah Nanda. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan pria muda di hadapannya itu. Punya istri yang begitu baik, lembut dan anggun. Tapi malah selingkuh dengan wanita lain yang terlihat sangat jalang. Bahkan, tagihan untuk pacar jauh lebih mahal dari tagihan istri sahnya.

Nanda tersenyum sambil menyodorkan kartu ke arah kasir tersebut. Ia harus memastikan kalau kasir itu tidak bicara macam-macam kepada istrinya. Asalkan Ayu tidak mengecek mutasi bank-nya, semua akan aman di bawah kendalinya.

“Kamu mau belanja apa lagi?” tanya Nanda setelah ia selesai membayar gaun yang dipilih Ayu.

Ayu menggeleng. “Nggak ada.”

“Keperluan rumah, nggak ada yang mau dibeli?” tanya Nanda.

Ayu menggeleng. “Semuanya masih ada.”

“Sayur, ikan, daging atau apa gitu?” tanya Nanda lagi.

Ayu menggeleng lagi. “Semua masih ada stoknya di kulkas.”

“Kapan kamu belanjanya, Ay? Kamu nggak pernah ngajak aku belanja,” tanya Nanda.

“Aku suruh bibi di rumahku buat belanja. Kadang, aku belanja online aja. Kenapa?” tanya Ayu balik.

“Oh.” Nanda manggut-manggut. Ia merasa lega karena istrinya itu tidak melakukan banyak hal di luar dan lebih banyak berada di rumah.

“Kamu mau makan apa? Gimana, kalau kita makan dulu sebelum pulang?” tanya Nanda.

“Boleh,” jawab Ayu sambil menganggukkan kepalanya.

“Mmh ... bumil mau makan apa?” tanya Nanda sambil merangkul hangat tubuh Ayu dan tersenyum manis.

“Mmh ... apa ya?”

“Oyster?”

Ayu menggeleng. “Ibu hamil nggak boleh makan sembarangan. Nanti, Bunda Rindu marah kalau bayi ini kenapa-kenapa.”

“Oh ya? Bener juga, sih.” Nanda mengelus perut Ayu yang sudah mulai membuncit dan menciumi pipi wanita itu. “Makan bebek goreng, gimana?”

“Boleh.” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Matanya mengawasi tubuh Arlita yang melenggang santai di lantai lain di bawahnya sambil menenteng banyak paper bag dari butik yang baru saja ia masuki bersama Nanda. Ia tahu, Arlita tidak memiliki kemampuan untuk membeli banyak pakaian mahal. Wanita itu masih saja menggunakan uang Nanda untuk bergaya seperti orang kaya.

Arlita adalah teman Ayu semasa sekolah. Mereka pernah begitu dekat hingga akhirnya, Sonny memintanya untuk menjaga jarak dengan Arlita setelah mereka mengetahui kalau Arlita sering menjajakan tubuhnya pada pria-pria hidung belang agar ia bisa menikmati kehidupan ala sosialita.

Nanda menggandeng tangan Ayu memasuki salah satu restoran ternama yang ada di pusat perbelanjaan tersebut. Ia langsung memesan banyak makanan dan memperlakukan Ayu dengan begitu manis. Ia harap, hal ini bisa mengimpresi Ayu dan membuat wanita itu membatalkan tuntutan gila yang dibuat oleh keluarga bangsawan yang menjadi tameng terkuat bagi wanita ini.

“Makan yang banyak, ya! Biar anak kita sehat!” pinta Nanda sambil membantu Ayu memotong daging bebek goreng yang sudah terhidang di hadapan mereka.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu, sikap manis Nanda hanya berpura-pura saja. But, ia sebagai seorang wanita ... ia ingin tetap diperlakukan dengan manis meski itu hanya sebuah kebohongan.

Nanda terus memilah makanan dengan hati-hati dan sesekali menyuapkannya ke mulut Ayu. “Gimana? Enak?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum kecut. Tindakan manis Nanda kali ini, membuatnya teringat pada Sonny. Pria itu selalu memperlakukannya seperti seorang ratu dan Nanda kerap menyaksikan bagaimana Sonny memperhatikannya.

Semuanya menjadi serba salah. Ayu ingin diperlakukan dengan baik oleh Nanda. Tapi ketika pria itu melakukannya, ia malah dibayang-bayangi oleh masa lalu. Masa lalu yang membuatnya teringat pada Sonny dan membuat dadanya begitu sesak. Ia benar-benar tidak tahu saat ini ia sedang jatuh atau sedang bangkit. Semuanya hal baginya adalah penderitaan kebenciannya terhadap Nanda semakin hari semakin bertambah.

Ayu ingin kembali seperti dulu. Menjalani banyak hal sederhana. Punya teman cerita dan berbagi keluh kesah setiap ia selesai olimpiade atau setiap pulang bekerja. Sekarang, pria yang berstatus sebagai suaminya ini malah tidak pernah bisa menjadi teman bercerita. Lebih cocok menjadi teman berdebat dan menciptakan masalah untuk diri sendiri. Ia hanya bisa berpura-pura baik sampai ia bisa benar-benar menghancurkan hidup Nanda sebagaimana pria itu telah mengancurkan mentalnya hanya dalam sekejap.

 

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Tolong siapkan hati kalian karena bab 20 ke atas, author akan mulai masuk ke konflik. Siapkan jantung, hati dan ampela ... mari kita buat sambal goreng ala-ala author Vella Nine ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas