Nanda melambaikan telapak
tangannya di depan wajah Ayu. “Kamu nggak ngenalin aku?”
Ayu memperhatikan wajah wanita
cantik yang ada di hadapannya. “Kamu ...!? Nanda?” serunya.
Nanda tersenyum manis sambil
menganggukkan kepala. Ia menyodorkan keranjang susu yang ada di tangannya. “Susu
untuk Tuan Puteri,” ucapnya.
Ayu tertawa kecil sambil
menatap wajah Nanda. “Kamu kenapa pakai pakaian kayak gini?”
“Sst ...! Cuma cara ini yang
bisa aku pakai untuk masuk ke sini,” jawab Nanda sambil mengajak Ayu duduk di
kursi panjang yang ada di sisi tempat tidur Ayu.
“Kenapa kamu nekat? Kalau
ketahuan, gimana?” tanya Ayu sambil menatap pilu ke arah Nanda.
“Aku akan menanggungnya,” jawab
Nanda sambil tersenyum manis. “Kamu sudah makan?"
Ayu menggeleng.
“Kamu harus makan yang banyak,
ya!” pinta Nanda sambil meraih satu buah apel dan mengupasnya perlahan untuk
Ayu.
Ayu terus tertawa menatap wajah
Nanda. “Kamu cantik banget, sih?”
Nanda tersenyum sambil
memainkan matanya. “Aku cocok jadi perempuan?”
Ayu langsung tergelak menatap
sikap Nanda yang begitu menggelikan baginya.
Nanda tersenyum lega saat
melihat Ayu tetap ceria meski wanita itu akan segera menjalani hukuman dari
keluarganya. Ia langsung menyuapkan potongan apel di tangannya ke mulut Ayu.
“Ay, kenapa kamu mau menjalanin
hukuman seperti ini? Nggak masuk ke keluarga ini, masih bisa hidup bebas di
luar sana,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Aku janji, nggak akan
menyia-nyiakan kamu. Kita bisa bahagia meski tanpa keluargamu yang kejam ini.”
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Karena aku lahir sebagai puteri mahkota di keraton ini. Karena aku
memang sudah seharusnya menjunjung tinggi dan taat dengan aturan leluhurku.
Kalau aku terus melawan takdir, dinasti keluargaku akan semakin hancur, Nan.
Aku harus bertanggung jawab dengan apa yang aku perbuat di luar sana.”
“Ini salahku, Ay. Kenapa kamu
yang harus menanggungnya? Aku dengar, nggak ada puteri yang masih hidup saat
menjalani hukuman ini. Kamu pilih mati daripada hidup sama aku?” tanya Nanda
lagi.
“Iya,” jawab Ayu sambil menahan
senyuman menatap wajah Nanda.
“Kamu!?” Nanda mendelik ke arah
Ayu. “Aku nggak lagi bercanda, Ay.”
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. “Aku nggak akan mati kalau malaikat maut belum jemput aku.”
“Tapi menahan lima puluh
cambukan, apa kamu bisa bertahan hidup?” tanya Ayu.
Ayu mengangguk. “Kamu nggak
perlu khawatir! Aku pasti baik-baik saja.”
Nanda menatap nanar ke arah
Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu ke dadanya. Mendekap hangat wanita itu dan
tidak ingin melepaskan ia untuk selamanya. Di saat ia ingin membuat Ayu hidup
bahagia bersamanya, ia malah harus melihat Ayu menderita demi mendapatkan
pengakuan statusnya kembali di keluarganya sendiri.
...
Nanda terus membolak-balikkan
tubuhnya saat ia sudah berbaring di atas kasur yang dikhususkan untuk pelayan
yang ada di sana. Ia benar-benar tidak bisa tidur karena keesokan harinya Ayu
akan menjalani hukuman cambuk dari keluarganya. Ia terus memikirkan cara untuk
membebaskan wanita itu atau membuat Ayu tetap bertahan meski menerima begitu
banyak cambukan.
“Ay ...! Kenapa kamu harus
pilih jalan kayak gini, sih? Kenapa aku juga nggak berdaya? Kalau ketahuan sama
orang keraton aku ada di sisi Ayu. Aku akan lebih menyulitkan Ayu,” tutur Nanda
sambil menyentuh lembut kasur busa yang ia kenakan.
Nanda melebarkan kelopak mata
sambil menepuk kasur di bawahnya. Ia bangkit dari kasur dan menarik kain kasur
yang sedikit robek. Ia langsung merobek semua kain lapisan kasur itu dan
mengeluarkan lembaran busa dari dalamnya.
“Semoga ... ini bisa membantu
Ayu menahan sakit,” ucap Nanda sambil memasukkan busa-busa itu ke dalam tas
kain yang ada di kamar pelayan dan bergegas pergi dari sana.
Kumandang suara azan, membuat
Nanda tahu kalau hari sudah pagi. Ia mempercepat langkahnya menuju kediaman
milik Ayu dan mengetuk pintu wanita itu.
“Siapa?” seru Ayu dari dalam
kamarnya.
“Pelayan, Tuan Puteri,” jawab
Nanda sambil menjepit suaranya agar menyerupai suara wanita.
“Masuklah!” perintah Ayu.
Dua orang pelayan yang sedang
bersamanya, langsung membukakan pintu untuk Nanda.
“Ada apa?” tanya seorang
pelayan yang ada di sana.
“Bolehkah saya membantu memandikan
dan menggantikan baju Tuan Puteri?” tanya Nanda pada pelayan yang membukakan
pintu untuknya.
Ayu melebarkan kelopak matanya
mendengar pertanyaan Nanda.
Nanda langsung mengerdipkan
sebelah matanya ke arah Ayu.
Ayu menghela napas. “Kalian
berdua keluarlah! Biar dia yang melayaniku.”
“Baik, Tuan Puteri!” Dua
pelayan itu bergegas keluar dari kamar Ayu dan mempersilakan Nanda untuk masuk
ke sana.
Nanda menghela napas lega. Ia
segera mengunci pintu dan menghampiri Ayu yang ada di sana.
“Kamu mau apa? Mau mandiin aku?
Udah tahu kita lain mahrom. Masih aja mau cari masalah, hah!?” dengus Ayu
sambil menendang kaki Nanda.
“Kita suami-istri, Ay. Aku punya
alasan sendiri kenapa aku mau bantu gantikan bajumu. Ini,” jawab Nanda sambil
mengeluarkan kain busa yang ia bawa.
“Buat apa bawa beginian?” tanya
Ayu sambil mengerutkan keningnya.
“Buat ... lapisin tubuhmu
supaya nggak luka saat kena pecut,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.
“Eh!?” Ayu mengernyitkan dahi.
“Memangnya berfungsi? Cara pakainya gimana?”
“Kamu udah mandi?” tanya Nanda
sambil memperhatikan tubuh Ayu yang hanya mengenakan bathrobe.
“Udah. Baru kelar mandi.”
“Kalau gitu, pakai ini dulu!”
tutur Nanda sambil mengeluarkan busa-busa di tangannya.
Ayu langsung menyilangkan kedua
tangan ke dadanya. “Kamu mau melecehkan aku?”
Nanda menghela napas. “Mana
bisa dibilang melecehkan kalau lagi genting seperti ini.”
Ayu terdiam sejenak mendengar
ucapan Nanda. Ia menurunkan lengannya dan pasrah dengan apa yang akan dilakukan
oleh mantan suaminya itu.
“Nan, jangan terlalu tebal!
Kalau ketahuan, hukumanku bisa ditambah,” tutur Ayu sambil memperhatikan busa
yang dipasang Nanda di tubuhnya.
“Nggak, Ay. Ini nggak tebal,
kok. Aku akan buat semuanya terlihat sealami mungkin. Tadinya, aku berpikir
menggunakan besi atau aluminium untuk menutupi punggungmu. Tapi pasti akan
langsung ketahuan saat dicambuk dan berbunyi. Aku baru terpikirkan barang ini
pagi ini,” ucapnya sambil merapikan busa-busa yang sudah tertanam di punggung
Ayu dengan peniti dan plester yang ada di tangannya.
“Nan, apa ini nggak terlalu
jahat? Kita sedang menipu keluarga sendiri,” tanya Ayu sambil melirik ke arah
punggungnya.
“Keluargamu itu yang jahat. Ini
sudah zaman apa? Di luar sana, ada banyak wanita yang melahirkan anak tanpa
menikah dan mereka tetap punya hak untuk hidup. Kenapa aturan keluargamu sangat
tidak manusiawi seperti ini?” tanya Nanda sambil meraih kemben yang sudah ia
siapkan dan memasangkan ke tubuh Ayu.
“Hukuman itu untuk kontrol
sosial. Terlebih, aku adalah puteri mahkota di sini. Aku bertanggung jawab
bukan hanya diriku sendiri, tapi seluruh generasiku. Betapa mudahnya orang yang
terlahir di keluarga biasa.”
Nanda terdiam mendengar ucapan
Ayu. Ia langsung menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Kalau nanti
kita lahir di kehidupan selanjutnya, kita minta untuk lahir di keluarga biasa aja,
ya! Kita bisa tinggal di pinggiran kota. Menjadi petani, memelihara ternak,
melakukan banyak hal bersama tanpa rasa khawatir! Tidak akan ada yang mengusik
hidup kita jika kita jadi orang biasa seperti mereka. Asalkan itu bersamamu ...
itu udah bahagia buatku, Ay,” ucapnya lirih.
Ayu menatap Nanda dengan mata
berkaca-kaca. “Apa di kehidupan selanjutnya ... kita masih akan bertemu?”
Nanda mengangguk sambil menatap
mata Ayu. “Kita harus bertemu. Aku akan cari kamu sampai ketemu, Ay.”
Ayu tersenyum dan menyandarkan
kepalanya ke dada Nanda. “Kalau kehidupan selanjutnya itu ada ... aku ingin
kamu mencintaiku sejak pandangan pertama,” ucapnya lirih.
Nanda mengangguk sambil memeluk
erat tubuh Ayu. “Aku akan mencintaimu sejak aku dilahirkan,” ucapnya. Ia
membenamkan bibirnya ke kening Ayu dan terus memeluk tubuh dingin wanita itu
penuh kehangatan.
((Bersambung...))
Mohon maaf karena weekend
selalu ada kegiatan di luar, waktu nulis author jadi berkurang banyak! Efek
pandemi yang udah mulai longgar, kegiatan sosial makin banyak dan sering
dipanggil ke sana ke mari. Maklum, aku kan cewek panggilan, hahaha.
Dimaafin, yak! Semoga kalian
selalu sabar menunggu karya-karya dariku.
Terima kasih banyak sudah
mendukung aku untuk terus berkarya selama ini!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi