Jakarta, 10 Desember 2024
Di hadapan kerlip lampu kota Jakarta — di saat saya melangkah dari bandara ke ruang pertemuan besar, saya merasa seperti memasuki sebuah arena di mana ide-ide, kisah, dan semangat literasi berkumpul. Sebagai perwakilan dari komunitas literasi Provinsi Kalimantan Timur, saya diundang ke Festival Komunitas Literasi dan Sastra Nasional 2024” yang ditutup secara resmi pada 12 Desember 2024 di Jakarta.
Pagi berangkat dari bandara, perjalanan terasa seperti menyelami rasa ingin tahu yang telah lama menyala. Saya membayangkan bagaimana suara komunitas literasi dari Kalimantan Timur akan bertemu dengan suara‐suara dari pulau dan provinsi lain—sesuatu yang terasa sakral dan sekaligus riuh. Tiba di lokasi acara, saya merasa agak canggung: seorang wakil dari Kalimantan Timur, berdiri di tengah ratusan wajah yang datang dari seluruh Nusantara.
Tapi kemudian, kehangatan itu datang—bukan dari acara besar, bukan dari panggung tampak megah, melainkan dari sosok‐sosok kecil yang menepi, tersenyum, dan menyapa. Di sana, saya bertemu tiga orang pegiat literasi dari kota Manado. Meskipun kami berbeda provinsi, bahkan berbeda agama, mereka menyambut saya dengan tangan terbuka. Dalam rona hangat sapaan mereka, saya merasa diterima sebagai bagian dari satu keluarga literasi.
Dua nama yang terekam dalam memori saya adalah Pak Devi dan seorang lagi (nama mungkin terlupa karena sibuk bersalaman dan tertawa bersama). Pak Devi, dengan suara tenang dan senyum lebar, sering menyapa: “Nak, ayo mampir sini,” katanya, seolah saya adalah bagian dari keluarganya sendiri. Ia dan teman‐temannya dari Manado memperlakukan saya bukan sebagai “wakil” saja, tetapi sebagai “anak” yang mereka anggap istimewa—dengan rasa hormat, perhatian, dan kehangatan yang tulus.
Momen itu membekas: di antara keramaian diskusi panel, pameran komunitas, dan bazar buku, saya duduk di sebuah bangku sederhana bersama mereka, berbagi cerita asal‐usul komunitas kami di Kalimantan Timur, serta mendengarkan kisah bagaimana mereka – meskipun berasal dari latar yang berbeda – membawa semangat literasi di Manado. Kebersamaan lintas agama dan provinsi menjadi sebuah simbol kecil bahwa literasi memang jembatan persaudaraan.
What It Taught Me
Dari event ini saya pulang dengan beberapa pelajaran yang terasa nyata:
Literasi sebagai ruang inklusi. Saat kita bicara tentang literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi saling menghargai, berbagi gagasan, dan merayakan keberagaman—momen bersama tiga pegiat dari Manado menguatkan bahwa literasi mempersatukan.
Keberagaman bukan hambatan, melainkan kekuatan. Kami berbeda agama, berbeda provinsi, dan latar kami juga berbeda. Namun saat berada di sana, hal itu bukan menjadi faktor yang memisahkan, melainkan justru penguat. Kenapa? Karena literasi membuka hati untuk mendengar, dan mendengar mengantar pada rasa saling menghormati.
Jejaring itu nyata dan personal. Sering kali acara besar terasa formal, namun di sana, penyambutan sederhana seperti “kita anggap kamu anak kami” dari Pak Devi membuat saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih manusiawi.
Komunitas dari daerah terpencil punya suara. Sebagai wakil dari Kalimantan Timur, saya merasa bahwa kehadiran kami di festival itu bukan “hanya dipanggil”, tetapi kami ambil posisi sebagai peserta aktif—untuk berbagi, melihat, dan membawa pulang inspirasi ke daerah kami.
Saat saya berjalan menuju meja registrasi, Pak Devi sudah berdiri menunggu dengan segelas kopi dan dua teman dari Manado. Mereka mempersilakan saya duduk, bertanya dengan hangat tentang perjalanan saya dan komunitas kami. Saya merasa seperti anak yang pulang ke rumah keluarga besar literasi.
Di sesi pameran komunitas, saya sempat menunjukkan hasil literasi kami di Kalimantan Timur—buku kecil, majalah komunitas, dan poster film pendek literasi. Mereka memuji dengan tulus, menanyakan latar belakang dan tantangan yang kami hadapi. Rasa dihargai itu terasa menyentuh.
Tak pernah saya bayangkan bahwa dalam satu acara di Jakarta, saya bisa merasa “di rumah” oleh orang‐orang yang baru bertemu beberapa jam sebelumnya. Mereka mengajak jalan bersama ke bazar buku, memilih buku bertema anak-anak, jalan santai di malam hari, cari makan di luar hotel dan tertawa bersama ketika staf bazar mengira mereka sudah “papan atas”.
Kembalinya saya ke Kalimantan Timur, saya membawa lebih dari sekadar materi acara. Saya membawa cerita—cerita bahwa ruang literasi bisa mempertemukan manusia tanpa batas. Ketika saya ceritakan pengalaman bersama tiga pegiat Manado kepada tim di komunitas kami, mata mereka berbinar: “Wah, jadi kita juga bisa punya jejaring nasional, ya.”
Kami kemudian merancang program setelah festival: sesi sharing daring dengan komunitas dari luar provinsi, membentuk “teman literasi lintas pulau” sebagai mitra, agar keberagaman kami terasa sebagai kekuatan, bukan alasan untuk merasa kecil.
Acara seperti Festival Literasi dan Sastra Nasional 2024, dengan tema “Komunitas Literasi dan Sastra Berkarya untuk Indonesia Emas,” menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi soal berkarya bersama menuju masa depan yang cemerlang.
Kehadiran saya di festival itu bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi hadir secara hati. Saya belajar bahwa literasi adalah ruang yang memeluk keberagaman, merangkul kehangatan, dan menyulut harapan. Perjumpaan saya dengan tiga pegiat dari Manado adalah bukti kecil bahwa ketika kita buka diri—walau berbeda—kita menemukan persaudaraan. Dan ketika komunitas dari Kalimantan Timur berdiri di panggung nasional, itu bukan hanya soal “kami datang”, tetapi soal “kami hadir dan kami berbicara”.
Semoga pengalaman ini menjadi bahan bakar untuk saya dan komunitas di Kalimantan Timur — agar kita terus menyalakan literasi, merajut jejaring, dan menulis kisah kita sendiri dalam panggung besar literasi nasional.