Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Tuesday, June 24, 2025

Jebakan Ilusi Sosial : Ketika Hidup Tak Lagi Milik Kita

Jebakan Ilusi Sosial: Ketika Hidup Kita Tak Lagi Milik Kita Sendiri
Oleh Rin Muna






Kita terlahir telanjang dan bebas. Tapi tumbuh besar dengan beban dan tuntutan. Sejak kecil, kita diberi daftar panjang hal-hal yang "seharusnya" kita lakukan. Bersekolah di tempat yang bagus, dapat pekerjaan mapan, menikah di usia tertentu, punya anak, punya rumah, dan punya mobil. 
Tanpa sadar, kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain. Kita dibayangi oleh penilaian masyarakat, keluarga, bahkan algoritma media sosial. 

Inilah yang disebut sebagai jebakan ilusi sosial. Sebuah kondisi di mana hidup kita tidak lagi otentik, melainkan menjadi cermin dari apa yang orang lain harapkan.


Filsuf Muslim Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa banyak manusia tertipu oleh dunia. Mereka mengira kemuliaan terletak pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Padahal itu semua hanya fatamorgana. “Orang yang cinta dunia,” kata Al-Ghazali, “akan diperbudak olehnya.”

Apa yang disebut Al-Ghazali ini mirip dengan gagasan stoikisme dalam filsafat Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi sekaligus filsuf stoik, mencatat dalam Meditations: “Sangat mudah untuk menjadi budak opini orang lain, dan lupa pada suara hatimu sendiri.” 

Di zaman sekarang, opini orang lain tak hanya berbisik lewat mulut, tapi berteriak lewat notifikasi, komentar, dan likes.

Ilusi sosial ini menjadi jebakan yang sulit dilepaskan karena kita mengira itu adalah kebenaran. Kita berpikir bahwa mengikuti standar sosial berarti hidup kita akan bahagia. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Kita semakin gelisah, mudah iri, dan kehilangan arah. Sehingga kita kehilangan diri sendiri. 

Bayangkan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi diam-diam mencintai dunia seni lukis. Karena tekanan lingkungan, ia terus menunda-nunda impiannya. Ia terjebak dalam narasi "pekerjaan yang aman" dan takut dijuluki "seniman gagal". Maka ia hidup seperti orang lain, bukan seperti dirinya sendiri.

Filsafat stoik menekankan pada diri sebagai pusat kebaikan. Epictetus berkata: “Hal yang berada dalam kuasamu adalah pikiran, keinginan, dan tindakanmu. Semua hal di luar itu bukan milikmu.” Artinya, kita harus mengarahkan kembali pusat kontrol hidup pada diri, bukan pada standar luar yang berubah-ubah.

Islam pun mengajarkan prinsip serupa. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 disebutkan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” 
Maka, jika beban hidup terasa terlalu berat, boleh jadi itu bukan beban yang datang dari Tuhan, tapi dari ilusi sosial yang kita pelihara sendiri.
Akhirnya, kita terpenjara dalam ilusi sosial yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari jebakan ini? 

Cobalah menjadi diri yang merdeka! 

Menjadi merdeka dari ilusi sosial bukan berarti menjadi egois. Justru ini adalah jalan menuju keikhlasan. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunaikan amanah sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: “Jangan puas hanya dengan cerita tentang orang lain. Tulis kisahmu sendiri.”

Caranya bagaimana? Ada 4 hal yang bisa kita lakukan, seperti:

1. Mengenali nilai-nilai diri. Apa yang benar-benar penting bagimu? Bukan menurut orang lain, tapi menurut nuranimu.
2. Membatasi distraksi. Media sosial bukan realita. Kurangi konsumsi konten yang membuatmu membandingkan diri tanpa sadar.
3. Berteman dengan kesederhanaan. Stoikisme dan Islam sama-sama memuliakan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Dalam kesederhanaan ada kejernihan.
4. Berani berkata tidak. Tidak pada standar yang tidak sesuai. Tidak pada jalan yang bukan milikmu. Ini adalah keberanian spiritual.

Kita berhak untuk memilih hidup yang otentik dan tidak perlu mewujudkan ekspektasi orang lain. 
Jebakan ilusi sosial tak selalu terlihat seperti perangkap. Ia sering menyamar sebagai cinta, perhatian, dan kebahagiaan semu. Tapi kita tahu, di dalam hati, ada suara kecil yang terus berbisik: "Ini bukan aku. Ini bukan jalan hidupku."
Maka dengarkanlah suara itu. Karena sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist, “Mintalah fatwa pada hatimu, meskipun orang-orang memberimu fatwa.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi). 

Kalau kamu merasa sedang menjalani hidup karena “kata orang”, mungkin saatnya berhenti sejenak. Bertanya ulang pada dirimu sendiri. Apakah hidup ini milikmu? Atau kamu cuma pemeran figuran dalam skenario orang lain?

Jangan tunggu sampai semuanya terasa kosong. Karena kebebasan sejati bukan soal keluar dari penjara, tapi keluar dari jebakan pikiran yang kita anggap kebenaran. Dan itu dimulai dari keberanian untuk menjadi dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin

QS. Al-Baqarah: 286

HR. Ahmad & Ad-Darimi

Marcus Aurelius, Meditations

Epictetus, The Enchiridion

Rumi, The Essential Rumi, trans. Coleman Barks

William Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy

Ryan Holiday, The Daily Stoic



Wednesday, June 18, 2025

Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran



Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran

Oleh: Rin Muna

Kita hidup di zaman di mana suara bisa dibeli dan popularitas bisa dipesan seperti fast food. Dunia penulisan pun tak luput dari arus besar ini. Di jagat novel digital—entah itu di platform seperti Fizzo, KBM App, Dreame, atau Wattpad—muncul satu fenomena baru yang membuat saya ingin angkat pena (atau tepatnya, keyboard): penulis yang menggunakan buzzer untuk mengangkat pamor karyanya.

Sebab, aku pernah menerima tawaran dari seorang admin untuk bergabung dengan buzzer penulis berinisial "E" yang juga aku kenal. Tapi aku menolaknya karena aku juga seorang penulis yang ingin mendapatkan komentar murni, tanpa embel-embel uang. 
Sudah seharusnya sastra itu membayar penulis, bukan pembaca. 

Sebelum kita menghakimi, mari kita duduk sejenak dan menyesap realitas.

 Menulis di Era Platform: Bukan Lagi Sekadar Tulisan

Dunia menulis kini sudah bukan hanya soal kualitas cerita, tapi juga soal siapa yang lebih terdengar. Semakin ramai komentar, like, dan share, maka semakin besar peluang karyamu direkomendasikan algoritma. Di sinilah buzzer masuk bermain—akun-akun (kadang palsu, kadang “teman”) yang disewa untuk membanjiri cerita dengan komentar positif, membela di forum, bahkan menyerang saingan diam-diam.

Buzzer dalam dunia politik sudah kita kenal: pembentuk opini, pengalihan isu, bahkan penyerang karakter. Tapi ketika para penulis digital mulai menyewa "pemain sorak" ini, kita harus bertanya: Apakah karya itu benar-benar disukai, atau hanya kelihatan seperti disukai?

Narasi vs Noise: Antara Karya dan Keriuhan

Menggunakan buzzer bisa jadi semacam “cetak instan” popularitas. Tapi seperti kata filsuf Jean Baudrillard, kita hidup dalam simulacra, di mana tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada realitas yang diciptakan. Popularitas palsu adalah simulakrum dari karya besar.

Sosiolog Jürgen Habermas pernah bilang bahwa ruang publik seharusnya menjadi arena dialog rasional. Tapi dengan masuknya buzzer ke dunia literasi, ruang diskusi itu jadi penuh bisik-bisik pesanan.

Kalau dulu karya diukur dari pengaruhnya secara substansial, sekarang kita terlalu sering membandingkan angka: berapa views, berapa bintang, berapa komentar. Padahal, “resonansi” yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari pembaca yang benar-benar merasa tersentuh, yang karyamu tinggal dalam kepalanya jauh setelah selesai dibaca.

Popularitas yang Bisa Dibeli, Tapi Tidak Selalu Bertahan

Banyak penulis digital merasa tertindih oleh sistem yang kompetitif. Untuk muncul di beranda pembaca, karya mereka harus bersaing dengan ratusan tulisan setiap hari. Lalu muncullah jalan pintas: menyewa jasa buzzer, menaikkan rating, bahkan memesan “review positif.”

Saya tidak menghakimi siapa pun. Semua penulis tentu ingin dibaca. Tapi sebagai seseorang yang percaya bahwa tulisan adalah suara hati yang diurai dalam bahasa, saya selalu bertanya: Apa yang kau kejar—pujian atau pengaruh?

Jangan sampai kita membangun popularitas dari keriuhan palsu. Karena ketika pembaca sadar bahwa cerita itu naik hanya karena dibantu "sorakan", maka rasa percaya itu runtuh. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari kualitas kebenarannya.”

Ada Jalan Lain Selain Buzzer

Menulis adalah maraton, bukan sprint. Banyak penulis yang lambat naik, tapi punya pembaca setia karena tulisannya jujur. Mereka mungkin tak punya ribuan komentar dalam semalam, tapi punya satu pembaca yang rela menangis sepanjang malam karena satu bab.

Membangun komunitas organik, membuat diskusi terbuka, menanggapi komentar dengan tulus, dan menjalin koneksi emosional dengan pembaca adalah cara membangun reputasi jangka panjang.

Bahkan stoikisme mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan: kualitas karya kita, etika kita, dan ketulusan kita dalam berkarya. Seperti yang dikatakan Epictetus, “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu berhenti khawatir pada hal-hal di luar kendalimu.

Sebagai penulis, kita punya dua pilihan: membangun istana dari batu bata kejujuran atau membangun menara dari kardus komentar palsu. Yang satu mungkin lambat, yang lain tampak megah. Tapi hanya satu yang akan tetap berdiri saat badai kritik datang.
Buzzer mungkin bisa mengguncang angka, tapi tidak bisa menyentuh hati.

Salam pena,
Rin Muna
(Penjahit kata dan perajut makna) 



Referensi:

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.

Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962.

Epictetus. Enchiridion.

Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah.

Diskusi Penulis di Forum Fizzo dan Komunitas KBM App (2024–2025).

Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu



Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu! 
Belajar Merdeka dari Dalam Diri

Oleh Rin Muna



Kamu pernah nggak, merasa hidup ini kayak ditarik-tarik dari segala arah? 
Mau milih jurusan kuliah, dibilang, "jangan aneh-aneh, nanti susah cari kerja!". 
Mau keluar dari pekerjaan yang bikin stres, langsung disodorin nasihat, "sabar, semua kerjaan memang berat." 
Lama-lama, kita bukan lagi hidup atas dasar pilihan sadar, tapi lebih mirip boneka tali—yang bergerak sesuai keinginan orang lain.

Aku pernah berada di fase itu. Dan rasanya… ngambang. Seolah hidup ini bukan milikku. Tapi suatu ketika aku membaca kutipan dari Epictetus, filsuf Stoik dari Yunani, yang berkata, “Jangan biarkan kekuatan luar mengganggumu! Gangguan hanya muncul jika kamu mengizinkannya masuk.


Boom ...!
Kepala langsung kayak disiram air es. Itu titik balik—bahwa kebebasan sesungguhnya bermula dari kemerdekaan memilih, tanpa dikendalikan ekspektasi orang lain.


Stoikisme mengajarkan bahwa dalam hidup ini, ada dua hal: yang dalam kendali kita, dan yang di luar kendali kita. Keputusan pribadi, cara berpikir, dan reaksi terhadap peristiwa—itu wilayah kita. Tapi opini orang, harapan mereka, bahkan pujian dan kritik—semuanya di luar kendali kita.
Lucunya, justru banyak dari kita menyerahkan kendali itu ke tangan orang lain.

Dalam filsafat Islam, hal ini senada dengan ajaran ikhlas dan tawakkal. Dalam QS. Az-Zumar ayat 17-18, Allah menyebutkan tentang "orang-orang yang mau mendengar perkataan orang lain, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya." Artinya, kita boleh mendengar, tapi tetap harus memilah dan memutuskan sendiri.

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut agar mereka tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka kabar gembira. Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
(QS Az-Zumar: 17-18)


Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada penilaian manusia adalah bentuk hijab—penghalang—dalam perjalanan spiritual. Karena pada akhirnya, pertanggungjawabanmu bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Tuhan dan dirimu sendiri.


Lantas, Haruskah Kita Egois?

Tentu tidak. Mendengar masukan itu penting. Tapi bedakan antara nasihat yang mencerahkan, dan opini yang mencekik. Ada perbedaan antara "ini mungkin bisa membantumu" dengan "kamu harus begini, titik!"

Menjadi merdeka dalam memilih bukan berarti menutup diri dari saran. Tapi kita perlu memproses saran itu secara sadar, bukan otomatis mengiyakan karena takut ditolak atau dianggap durhaka.

Di sinilah peran akal dan hati nurani yang dalam Islam disebut sebagai qalbun salim—hati yang bersih dan cerdas, yang mampu membedakan mana jalan yang penuh cahaya, dan mana jalan yang hanya penuh sorakan tapi hampa makna.



Cobalah sesekali bertanya dalam hati:

Apakah aku benar-benar menginginkan ini?

Atau aku hanya takut mengecewakan orang lain?

Apakah keputusan ini membuatku damai?

Atau justru semakin asing dengan diriku sendiri?


Karena sejatinya, hidup bukan soal menyenangkan semua orang. Hidup adalah tentang menjadi pribadi yang utuh, yang bisa berkata “ya” karena yakin, dan “tidak” karena sadar.

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik menulis dalam Meditations: “Jika kamu terhenti karena opini orang lain, berarti kamu memberikan kekuasaan atas dirimu pada mereka.”

Dalam kasus  yang sama, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata: “Orang yang paling kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah dan tetap kokoh di saat ragu.”


Kalau kamu sedang berada di persimpangan pilihan, tarik napas. Dengarkan hati. Tanyakan pada akal sehat, bukan pada ketakutan. Jangan biarkan suara di luar sana lebih keras dari suara di dalam dirimu.

Kamu bukan robot yang diprogram oleh ekspektasi orang lain. Kamu adalah manusia yang diberi kehormatan oleh Tuhan untuk memilih dan bertanggung jawab atas hidupmu sendiri.

Karena pada akhirnya, keputusan yang kamu buat hari ini, adalah pondasi bagi dirimu yang akan datang.

Dan ingat, hidupmu bukan panggung sandiwara. Jangan biarkan orang lain menulis naskahnya untukmu.


Referensi Singkat:

Epictetus – Discourses and Enchiridion

Marcus Aurelius – Meditations

Imam Al-Ghazali – Ihya Ulumuddin

QS. Az-Zumar: 17-18

Kutipan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Nahjul Balaghah)



Kalau kamu merasa tulisan ini menyentuh sesuatu dalam dirimu, bagikan ke temanmu. Siapa tahu, itu juga jadi titik balik untuk mereka.

Salam hangat,
Rin Muna
(Menulis agar tak kehilangan arah di dunia yang bising)


Seni dan Sastra Adalah Dua Saudara Yang Tak Bisa Dipisahkan



Sastra dan Seni: Dua Saudara yang Tak Bisa Dipisahkan

Oleh: Rin Muna

Saat kita menyelami dunia sastra, kita sedang menjelajahi dunia batin manusia dengan segala kompleksitasnya. Saat kita menyentuh seni, kita sedang mendekap bentuk-bentuk visual, gerak, bunyi, hingga ekspresi yang tak selalu bisa diucapkan kata.
Tapi, tahukah kamu bahwa sastra dan seni bukan dua dunia yang berbeda? Mereka ibarat saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama: imajinasi, perasaan, dan pencarian makna.

Sebagai seorang penulis dan pengelola Rumah Literasi Kreatif, saya sering menemukan bahwa karya sastra tidak pernah benar-benar steril dari sentuhan seni lain. Saat saya menulis puisi, saya memikirkan ritme dan musikalitas kata seperti dalam musik. Saat saya menulis cerita anak, saya memvisualisasikan latar dan karakter seperti seorang pelukis membuat sketsa. Di sanalah saya yakin: sastra dan seni tidak dapat dipisahkan.


Sastra adalah Seni Berbahasa. Sastra, pada dasarnya, adalah cabang dari seni itu sendiri—tepatnya seni bahasa. Dalam Ensiklopedia Britannica, sastra didefinisikan sebagai “a body of written works that possess artistic or intellectual value”. Artinya, sastra bukan sekadar tulisan; ia adalah tulisan yang memiliki nilai seni dan pemikiran (Britannica, 2024).

Coba bayangkan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata—tanpa gaya bahasa yang puitis, apakah kita bisa ikut terhanyut dalam semangat Ikal dan Arai? Tanpa metafora, imaji, dan irama, apakah puisi Chairil Anwar akan tetap abadi?

Seni adalah wadah berekspresi dan sastra adalah isinya. Seni rupa, musik, tari, teater—semuanya bisa menjadi medium untuk sastra. Dan sastra sendiri bisa menjadi dasar penciptaan seni. Keduanya saling menghidupi. Dalam pementasan monolog, misalnya, naskah sastra menjadi jiwa yang dihidupkan oleh seni peran. Dalam puisi visual, kata-kata tidak hanya dibaca tapi juga dilihat.

Menurut Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author (1967), teks sastra membuka ruang bagi interpretasi bebas pembaca. Di sinilah seni masuk: pembaca bisa merespon teks dengan melukis, menggambar, atau bahkan membuat tarian dari puisi. Sastra tak hanya dibaca; ia bisa ditonton, didengar, dan dialami dengan seluruh pancaindra.


Seni dan sastra sama-sama menjadi objek penting yang membangun peradaban. 
Jika seni adalah cermin zaman, maka sastra adalah suaranya. Di Kalimantan, tempat saya menulis dan berkarya, saya melihat bagaimana hikayat dan pantun berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai media pendidikan, pelestarian budaya, dan penguat identitas. Ketika seni Dayak ditarikan, dan cerita rakyat dibacakan dengan iringan musik tradisional, kita melihat keutuhan antara seni dan sastra yang nyaris sakral.

UNESCO dalam dokumen Culture 2030 Indicators menegaskan bahwa kebudayaan yang hidup—baik dalam bentuk seni maupun sastra—merupakan pondasi pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2020). Sastra dan seni bukan hanya ekspresi individu, tapi juga instrumen sosial.

Sastra dan seni ibarat dua sisi mata uang yang sama. Mereka tumbuh bersama, saling memberi nyawa, dan menghadirkan pengalaman manusia dalam bentuk yang paling indah. Jika kita ingin memahami dunia, atau bahkan menyembuhkan luka kolektif masyarakat, kita tidak bisa memilih salah satu. Keduanya harus dirayakan bersama.

Sebagai bagian dari komunitas sastra Pena Kreatif, saya percaya bahwa membesarkan sastra adalah juga membesarkan seni. Maka jangan heran jika dalam setiap buku saya, selalu ada ilustrasi, irama, bahkan nuansa panggung. Karena menulis, bagi saya, bukan sekadar merangkai kata—tapi mencipta dunia, dengan segala warna dan nadanya.


Sumber referensi:

1. Britannica. (2024). Literature. Retrieved from https://www.britannica.com
2. Barthes, R. (1967). The Death of the Author. In Image-Music-Text.
3. UNESCO. (2020). Culture 2030 Indicators. Paris: UNESCO.
4. Hirata, A. (2006). Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang Pustaka.
5. Anwar, C. (1957). Aku. Jakarta: Balai Pustaka.


Ingin ikut mendiskusikan hubungan sastra dan seni lebih jauh? Yuk mampir ke blog saya: www.rinmuna.com. Di sana, kita bisa saling berbagi gagasan dan karya!



Tuesday, June 17, 2025

Sebuah Renungan : Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial


Sebuah Renungan
Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial 




Halo, teman-teman.
Kita semua setuju, ya, kalau bullying itu nggak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Nggak lucu, nggak keren, dan jelas-jelas menyakitkan. Tapi, belakangan ini aku mulai resah dengan satu fenomena yang muncul diam-diam: gerakan anti-bullying yang terlalu ekstrem, sampai-sampai semua bentuk kritik dianggap kekerasan, dan kontrol sosial pun menjadi melemah.

Aku tahu ini topik sensitif. Tapi justru karena itu, kita perlu ngobrol.
Aku berharap bisa menemukan orang-orang yang masih memiliki welas asih dan kepedulian terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir.



Anti-Bullying: Dari Empati Menuju Kekebalan Sosial?

Dulu, kita kampanye anti-bullying dengan tujuan yang mulia: membela yang lemah. Tapi sekarang? Rasanya seperti semua orang berlomba-lomba jadi korban.

Anak ditegur karena malas? "Itu bullying!"
Teman dikritik karena bohong? "Jangan gaslighting!"
Guru memberi sanksi? "Toxic authority!"

Batas antara mendidik dan menghakimi jadi kabur. Kita kehilangan keberanian untuk mengatakan, "Kamu salah!" karena takut dituduh kasar.

Padahal, dalam kehidupan sosial yang sehat, teguran itu bagian dari kontrol sosial.
Kalau semua intervensi sosial dianggap bentuk penindasan, maka siapa lagi yang akan menjaga nilai?
Pada akhirnya, kita menjadi orang yang tidak peduli pada nilai-nilai sosial dan semua bentuk penyimpangan dianggap sebagai hal yang wajar (menormalisasi). 

Normalisasi pelanggaran sosial membuat orang-orang yang melakukan kesalahan tidak lagi ditegur. Dibiarkan saja dan membuat semakin menjamur ke mana-mana, bahkan menjadi sebuah trend.

Akhir-akhir ini kita mulai melihat banyak penyimpangan sosial di sekitar kita, seperti:

Anak-anak merokok di jalan, tapi kita takut menegur karena takut dibilang "sok suci".

Teman seenaknya membatalkan janji, tapi saat ditegur malah baper dan mem-posting di story, "Toxic people need to be left behind."
Pencurian kecil-kecilan dianggap wajar karena pelakunya mengalami "trauma masa lalu".

Banyak pelanggaran sosial yang dibiarkan karena kita terlalu takut menyakiti perasaan orang lain, hingga membuat penyimpangan sosial menjadi hal yang wajar, bahkan tindakan kriminalitas menjadi perbuatan yang dibenarkan.
Ironis, ya? Gerakan yang awalnya bertujuan melindungi justru membuat kita tak berani lagi menegakkan nilai di kehidupan ini.

Tidak adanya nilai-nilai sosial di masyarakat, sama dengan lunturnya hukum sosial. Hukum sosial yang luntur, membuat kriminalitas tumbuh dengan subur.

Aku pernah baca satu hasil riset sosiologi (iya, aku masih suka baca jurnal juga kok 😌), yang bilang:

"Ketika kontrol sosial informal melemah, maka hukum formal akan kewalahan. Dan akhirnya, pelanggaran menjadi budaya."

Kita bisa lihat sendiri kriminalitas remaja meningkat, kekerasan verbal di media sosial makin menggila, dan semua berlindung di balik klaim "aku sedang trauma". Bukan empati yang salah. Yang salah adalah jika empati dijadikan tameng untuk pembenaran.
 
Sebagai contoh, kita bisa menilik kasus anak yang membunuh ibu dan anak kandungnya sendiri di Cianjur, Jawa Barat. Berikut ini link video lengkapnya: Blak-blakan! Pelaku Mutilasi Beberkan Aksi Kejinya Habisi Ibu dan Anak | Fakta tvOne
Kabupaten Malang, juga punya cerita kriminal yang sama Anak Bunuh Ibu Kandung Karena Sering Dimarahi
Dan masih banyak kasus kriminalitas yang semakin merajalela dan dilakukan oleh remaja, bahkan ada anak di bawah umur yang sudah tersandung kasus kriminal berat. Seperti kasus anak yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Anak Bawah Umur Diduga Bunuh Ayah & Nenek di Lebak Bulus, Psikologi Tersangka Diperiksa padahal anak tersebut dikenal berprestasi dan kerap dibanggakan oleh orang tuanya.


Apakah Kita Kembali ke Zaman Tanpa Teguran?

Aku percaya kita butuh keseimbangan. Anti-bullying itu perlu, tapi harus ada ruang untuk kontrol sosial yang sehat. Teguran yang bijak, sanksi yang mendidik, dan keberanian untuk berkata jujur — walau tak nyaman.
Jangan sampai kita menciptakan generasi yang kebal kritik tapi rapuh dalam tantangan. Karena dunia ini keras, dan jika kita tak diajari tangguh sejak dini, maka luka yang lebih dalam bisa menunggu di luar sana.


Saatnya Introspeksi, Bukan Sensasi

Teman-teman, yuk kita bedakan mana bullying, mana didikan.
Mana kritik, mana kebencian.
Mana empati, mana manipulasi emosi.

Kalau kita terlalu sibuk merasa tersakiti atas setiap teguran, kita akan kehilangan kemampuan untuk bertumbuh. Dan jika semua hal dianggap penindasan, maka pada akhirnya tidak akan ada lagi nilai yang bisa ditegakkan.

Pelindung tidak boleh berubah menjadi pelindung keburukan. Sebab, tidak dibenarkan dengan alasan apa pun bahwa keburukan harus dilindungi, kecuali pelindungnya lebih buruk dari yang sedang dilindungi.
Mari tetap peka, tapi jangan buta.

With all love and care, 


Rin Muna

Thursday, May 22, 2025

SUKSES BUTUH TEKANAN

 


Pernahkah kamu berada di satu titik di mana kamu merasa hidup ini sangat berat dan tertekan?

Terkadang, kita merasakan tekanan yang sangat besar dalam kehidupan ini, terutama dalam dunia pekerjaan.

Pernah di satu waktu, aku merasakan tekanan yang berat dalam dunia kerja, juga dalam lingkungan sosial.

Selama bertahun-tahun aku menjalani banyak tekanan, tapi aku masih bisa terus berjalan hingga detik ini.

Ternyata, kita tidak bisa menghindari tekanan hidup, semua orang yang masih hidup akan merasakannya. Entah itu tekanan pekerjaan, tekanan dalam finansial maupun tekanan sosial.

Tidak bisa dipungkiri jika kita sebagai manusia kerap mengeluhkan tekanan hidup yang kita terima. Bahkan kita menyalahkan takdir yang Tuhan berikan kepada kita. 

Tapi semakin banyak mengeluh, tekanan itu terasa semakin besar. Padahal sebenarnya tekanan itu tetap sama. Yang membuatnya menjadi ringan atau berat adalah diri kita sendiri dan bagaimana cara kita menerimanya. 

Dalam menyikapi tekanan hidup yang besar, aku juga sering mengeluh, sering menyalahkan keadaan, sering merasa orang-orang di sekelilingku sangat jahat dan membuat hidupku semakin menderita. 


Di satu waktu, aku duduk di depan mesin jahitku karena aku memiliki hobi menjahit. Ada hal besar yang tidak aku sadari, padahal aku sudah menghadapinya bertahun-tahun. 

Ketika membuat pakaian, kita menginginkan semuanya berjalan dengan baik dan hasilnya rapi. Ada satu hal yang perlu kita ketahui ketika kita menjahit pakaian. Supaya mesin jahit dapat bekerja dengan baik dan rapi, maka pakaian yang akan dijahit harud ditekan dengan sepatu mesin jahit. Jika tidak ditekan, tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menghasilkan sebuah pakaian. 

Begitu banyak tekanan hidup yang aku jalani, membuatku tersadar ketika aku melihat sepatu mesin jahitku sendiri. Kenapa aku bilang ini bisa membuatku tersadar? Karena saat ini aku masih berjalan meski mendapatkan tekanan dari berbagai arah. 

Sungguh, hidupku kini bisa dianalogikan seperti cara kerja mesin jahit. Harus ditekan dahulu baru berjalan dan mendapatkan hasil yang baik. 

Aku yang sudah nyaman dengan kehidupanku sebagai seorang penulis, terkadang tidak ingin melakukan hal lain lagi selain hanya menulis buku. Tapi kemudian, keadaan memaksaku untuk melakukan lebih banyak hal. Termasuk bagaimana bertanggung jawab pada apa yang telah aku ciptakan dari keisengan-keisenganku selama ini. 

Keisengan yang kubuat melahirkan sebuah tanggung jawab besar yang terkadang membuatku muak. Ingin kutinggalkan, tetapi beban moral menjadi sangat berat untuk kupertanggungjawabkan. 

Pada akhirnya, aku harus terus berjalan meski perlahan dan berada dalam kondisi tertekan. Ada kalanya aku merasa dunia ini sangat kejam, terutama bagi mulut-mulut yang tidak menyukai keberadaanku. Rasanya ditekan dan disingkirkan dengan berbagai cara, tidak akan pernah aku lupakan. 

Tekanan yang dahulunya adalah beban hidup, kini jadi semangat hidup. Aku mulai menyukai sebuah tekanan yang membuatku terus bergerak. Hingga di satu titik, aku menganggap aku sukses menyelesaikan goals yang aku ciptakan sendiri. Meski bagi orang lain itu hal biasa, bagiku sangat istimewa karena bisa menjalaninya bersama tekanan yang aku terima. 

Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini. Karena aku tidak pernah memilikinya di masa lampau. Rumah yang nyaman dan kehidupan yang mapan meski jauh dari kemewahan. 

Aku tidak akan bisa berada di titik ini jika aku tidak berani berjalan di bawah tekanan. Tekanan yang aku terima dari banyak orang, ternyata menjadi cambuk untuk mempercepat langkahku. Sebab, jika aku tidak merasa disakiti, dikecewakan dan dikhianati, maka aku tidak akan berada di titik ini. 

Sungguh, tekanan hidup benar-benar bermanfaat bagiku. Tanpa adanya tekanan, aku tidak akan berjalan ke arah yang lebih baik. Berkat tekanan yang aku terima, aku bisa upgrading skil. Berkat tekanan sosial (dikucilkan) dari lingkungan terdekat, aku jadi bisa melangkah ke tempat yang lebih jauh. 

Hari ini aku sudah berada di titik bersyukur ketika ada orang yang mencaci-maki atau bercerita buruk tentangku. Karena itu adalah jalan rezeki yang sedang dibangunkan orang lain untukku. Dan aku sangat menikmatinya, meski bagi orang lain adalah beban. 

Kalau dibilang sukses, aku masih jauh dari kata sukses. Aku hanya sudah lebih baik dari segelintir orang dan aku bersyukur memiliki apa yang saat ini aku miliki. 

Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa tekanan. Orang-orang yang tidak mampu berada di bawah tekanan, biasanya akan berjalan mengambang atau stagnan di situ-situ saja. Sebab, tidak ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan hidup yang lebih besar lagi. 

Hingga saat ini aku masih belum percaya jika semua yang kumiliki saat ini karena aku terus-menerus mendapatkan tekanan. Tekananku jauh lebih besar dari orang lain, itulah sebabnya reward yang aku dapatkan juga lebih besar dari yang lain. (Jika kamu tahu jalan hidupku yang sesungguhnya, mungkin kamu akan menitikan air mata di setiap babnya)

Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain terus berjalan meski banyak tekanan yang harus kita terima. Hidup dengan banyak tekanan memang sakit, tapi lebih sakit lagi jika kita hidup tertekan dan tidak berjalan sama sekali. 

Jika saat ini kamu sedang berada dalam tekanan hidup yang berat dan menemukan tulisan ini, percayalah jika Allah sedang merencanakan sesuatu yang indah untukmu. Jadi, jangan menyerah! 

Nikmati tekanan itu dengan ikhlas dan panenlah kemudahan hidup di kemudian hari. Ingat, rencana Tuhan selalu lebih indah dari rencana manusia. Tuhan yang akan memberikan reward untuk setiap gerakan tulusmu... 



Much Love, 



Rin Muna






Saturday, April 5, 2025

Tulisan Tangan Sesepuh Desa, Mengabadikan Cerita Lampau Untuk Masa Depan


Ketika kamu dipercaya untuk menjalankan sebuah kewajiban, maka kamu harus bertanggung jawab penuh atas segalanya. 

Itulah kalimat yang tepat untuk gambar di atas agar aku bisa menjadi orang yang bertanggung jawab. 

Bantuan Pemerintah Rp 50 juta untuk komunitas literasi yang ada di seluruh Indonesia bukanlah diberikan cuma-cuma tanpa pertanggungjawaban. Bantuan itu ditujukan untuk membuat komunitas bisa terus bergerak di tengah keterbatasan. 
Komunitas adalah sekelompok masyarakat yang bergerak secara mandiri tanpa mengandalkan biaya dari pemerintah. Kehadiran komunitas-komunitas ini tentunya sangat membantu pemerintah dalam menjalankan program berkelanjutan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemerintah memberikan apresiasi kepada komunitas-komunitas yang aktif bergerak di dunia literasi secara mandiri.

Rumah Literasi Kreatif menjadi salah satu penerima banpem yang harus menjalankan program pemerintah sesuai dengan juknis yang telah ada. Salah satu program yang harus kami jalankan ialah membuat "Workshop Nulis Bareng" tentang kearifan lokal. 
Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi kami. Rumah Literasi Kreatif yang telah berdiri selama 6 tahun masih belum mampu menjadi pilar yang kuat dalam meningkatkan kemampuan literasi masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tidak suka dengan membaca, apalagi menulis. Jadi, untuk mendapatkan penulis-penulis buku, tentunya tidak mudah bagiku. 

Sebenarnya ada banyak penulis-penulis senior di Samboja, tapi mereka tidak mungkin bergabung dengan komunitasku yang masih pemula. Standarnya sudah berbeda. Aku juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengajak mereka terlibat dalam proyek penulisan ini.

Akhirnya, aku menyasar penulis-penulis pemula yang belum pernah menulis buku sama sekali, tetapi mereka memiliki keinginan untuk menulis buku. Yang mendaftar dalam event kepenulisan kali ini ialah anak-anak sekolah dan beberapa pendidik yang belum pernah menulis buku, ada juga pendidik yang telah menerbitkan buku yang bersedia menjadi kontributor dalam penulisan buku ini.

Dikejar target untuk melaporkan hasil kegiatan, tentunya membuatku sangat kesulitan untuk memilih antara kualitas tulisan dan percepatan penerbitan buku.
Tenggat waktu penyelesaian buku sejak workshop dimulai, hanya diberikan waktu 1 minggu saja. Ini cukup membuatku sakit kepala memikirkannya karena aku masih harus memeriksa naskah yang masuk. 
Dari seluruh naskah yang masuk, 90% naskah masih sangat berantakan. Kaidah kepenulisannya belum ada. Bahkan, tanda baca pun tidak diterapkan dengan baik. Aku hampir gila merevisi setiap tanda baca naskah yang masuk. Aku tidak merevisi konteks di dalamnya. Hanya memberikan tanda baca yang tepat seperti penggunaan titik, koma, tanda tanya, tanda petik, dan tanda seru.

Yang lebih mencengangkan lagi, aku menerima naskah narasi dalam bentuk tulisan tangan.
"Oh, My God! Ini harus aku ketikkan?" batinku.
Aku masih harus merevisi banyak tanda baca di naskah lain, kemudian mendapatkan naskah dalam bentuk tulisan tangan. Tentunya, ini akan semakin mempersulit kinerjaku.
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Beliau yang memberikan tulisan tangan memang sudah sangat sepuh. Sudah masuk usia pensiun, tetapi masih semangat untuk menulis. Akhirnya, aku tulis ulang tulisan tangannya agar bisa masuk ke dalam buku yang akan kami terbitkan bersama.
Awalnya aku minta tolong pada puteriku yang baru duduk di kelas 3 SD untuk mengetikkan naskah ini. Sebab, di tengah tanggung jawabku menyelesaikan naskah buku, aku juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. Aktivitas rumah tangga saja sudah sangat menyita waktuku. Sehingga, aku selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan lain selain kerjaan ibu rumah tangga.

Yang ingin aku ceritakan di sini bukanlah tentang kesulitanku. Ini hanya intermezo supaya kamu tahu bahwa  yang aku jalani tak semudah yang kamu pikirkan, tapi aku tetap semangat menyelesaikannya sampai tuntas.
Aku ingin mengabadikan momen di mana aku bisa mendapatkan tulisan tangan seorang sesepuh desa. Tulisan tangan yang tinta-tintanya digoreskan dari hati dan pikirannya. Pikirannya masih menyimpan memori masa lalu dengan jelas. Ia tuliskan di secarik kertas untuk mengingatkan kepada generasi muda bahwa ada cerita terdahulu yang harus mereka ketahui, agar mereka mencintai apa yang sekarang mereka miliki.
Tanpa tulisan kecil dari beliau, kita tidak akan pernah tahu bagaimana asal-usul berdirinya 2 sekolah dasar yang berdekatan di dalam satu desa. Ini sangat mengagumkan dan memberikan banyak arti bagi warga Desa Beringin Agung.
Berkat kepedulian dan perjuangan sesepuh-sesepuh terdahulu, kini kita bisa menikmati mudahnya menjangkau kehidupan.
Maka, ingatlah mereka dan abadikan mereka dalam sebuah tulisan.




5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat



5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat

oleh Rin Muna



Kita hidup di zaman di mana pelaku kejahatan tidak selalu bertopeng. Kadang mereka pakai hoodie, pegang kopi kekinian, senyum sambil bilang “self love itu penting”—tapi diam-diam mengiris hati orang lain dengan cara paling halus.

Tapi apa sebenarnya "jahat" itu?

Dalam filsafat Stoik, kejahatan bukan semata tindakan brutal, tapi ketidaksesuaian dengan logos, hukum rasional alam semesta. Orang jahat, menurut Seneca, adalah mereka yang tahu benar, tapi sengaja memilih yang salah karena untung pribadi.

Dalam Islam, kejahatan disebut zulm—meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, menyakiti makhluk tanpa hak, melanggar batas yang ditetapkan Allah.

Kejahatan bisa berbentuk ucapan, sikap, bahkan “energi” yang menguras jiwamu diam-diam. Jadi, yuk kita bedah 5 tandanya—berdasarkan filsafat dan kasus nyata yang pernah terjadi.


1. Mereka Menormalisasi Ketidakadilan

“Kejahatan terbesar adalah ketika orang-orang baik diam.” – Marcus Aurelius

Orang jahat biasanya tidak akan langsung membentak atau memukul. Tapi mereka memutarbalikkan realitas, membuat ketidakadilan tampak “wajar”.
Kamu dicurangi? Mereka bilang kamu terlalu sensitif.
Kamu dimanipulasi? Mereka bilang itu cuma “cara berkomunikasi”.


Psikolog sosial Philip Zimbardo, dalam bukunya The Lucifer Effect (2007), menunjukkan bagaimana sistem yang permisif membuat kejahatan jadi kelihatan “lumrah”—seperti yang terjadi dalam eksperimen penjara Stanford.

 Dalam Islam, QS Al-Baqarah:11 menyindir:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan!”

 

2. Mereka Menggunakan Topeng Kebaikan untuk Mendominasi

Jahat tidak selalu berarti galak. Kadang justru datang dalam bentuk perhatian palsu, kebaikan yang beracun.

Stoik Epictetus berkata:

“Jangan tertipu oleh kata-kata manis. Lihatlah bagaimana seseorang bertindak di saat mereka tidak mendapatkan keuntungan.”

Kasus Munafik Relasi dalam psikologi modern—seseorang memberi bantuan atau kasih sayang tapi diam-diam mengontrol dan mengikat orang lain secara emosional (lihat: konsep emotional hostage oleh Dr. Harriet Lerner).

Dalam Islam, ini disebut sebagai riya’, yaitu berbuat baik untuk citra, bukan untuk Allah. Orang seperti ini bisa menebar kebaikan ke publik sambil menyayat orang di balik layar.


3. Mereka Mengadu Domba untuk Kekuasaan

Salah satu ciri kejahatan yang paling merusak adalah memecah orang agar mereka bisa mengatur dari balik layar. Dalam filsafat Stoik, ini disebut sebagai ketidakbijaksanaan yang egois—menggunakan konflik untuk menaikkan ego sendiri.

Banyak kasus perundungan dalam organisasi pendidikan dan kerja, yang dimulai dari satu orang membisikkan narasi miring, lalu menikmati kekacauan yang terjadi. Psikolog organisasi Dr. Robert Sutton menyebut tipe ini sebagai “The Certified Asshole”—pembuat drama profesional.

Dalam Islam, QS Al-Hujurat:12 sudah mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka dan ghibah, karena itulah celah utama setan menyalakan fitnah.

yâ ayyuhalladzîna âmanujtanibû katsîram minadh-dhanni inna ba‘dladh-dhanni itsmuw wa lâ tajassasû wa lâ yaghtab ba‘dlukum ba‘dlâ, a yuḫibbu aḫadukum ay ya'kula laḫma akhîhi maitan fa karihtumûh, wattaqullâh, innallâha tawwâbur raḫîm.Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.




4. Mereka Menyembunyikan Diri di Balik "Tujuan Mulia"

“Jika kamu ingin melihat wajah asli seseorang, lihat bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak bisa memberi apa pun padanya.” – Seneca

Orang jahat sering menyembunyikan niat mereka di balik embel-embel perjuangan: demi agama, demi cinta, demi keluarga. Tapi dalam tindakan nyata, mereka menindas, menyakiti, dan merendahkan.


Dalam studi Gaslighting oleh Dr. Robin Stern (Yale), banyak pelaku kekerasan psikologis menggunakan narasi “Aku melakukan ini untuk kebaikanmu”—padahal tujuannya adalah mengikis identitas dan harga diri korban.

Dalam Islam, QS Al-Baqarah:204-205 menggambarkan orang yang lisannya manis, tapi tindakannya merusak:



5. Mereka Mengambil Tanpa Memberi, dan Menguras Tanpa Peduli

Orang jahat tidak peduli keseimbangan. Dalam hubungan apa pun—kerja, cinta, pertemanan—mereka akan menguras waktumu, energimu, dan akal sehatmu, lalu pergi ketika kamu hancur.

Stoik menyebut orang ini sebagai "musuh rasionalitas", karena mereka hidup hanya demi pleasure, tanpa akuntabilitas. Islam menyebut mereka sebagai orang zalim yang melampaui batas dan tidak bersyukur.

Fenomena Narcissistic Abuse yang dilaporkan oleh Psychology Today menyatakan bahwa banyak korban butuh bertahun-tahun untuk sadar, karena pelaku membuat mereka merasa “berhutang” padahal selama ini cuma jadi sumber eksploitasi.


Tidak Semua Orang yang Kamu Suka Itu Baik

Kita diajarkan untuk berbaik sangka, benar. Tapi kita juga diperintahkan untuk tidak bodoh dalam berinteraksi.

“Allah tidak menyukai kezaliman. Dan Allah menyuruh untuk berlaku adil dan memberi kepada kerabat.” (QS An-Nahl: 90)

“Tugas kita bukan menilai niat orang, tapi mengenali perilaku mereka dengan jernih.” – Marcus Aurelius

Bila kamu sedang berurusan dengan seseorang dan muncul tanda-tanda ini: manipulatif, penuh drama, membuatmu meragukan dirimu sendiri, dan enggan bertanggung jawab—janganlah ragu  untuk berjarak.

Jarak bukan kebencian. Jarak adalah pertahanan batin. Dan mencintai dirimu bukan egois—itu fardu.




Ditulis di sela laporan hak cipta dan memblokir orang yang bilang “aku sayang kamu” tapi ngebajak karyamu juga.



Rin Muna
Penulis yang mulai belajar bahwa cinta tidak pernah membuatmu kehilangan dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

  • Seneca, Letters from a Stoic

  • Philip Zimbardo, The Lucifer Effect (2007)

  • Robin Stern, The Gaslight Effect (2007)

  • Dr. Harriet Lerner, The Dance of Anger (1985)

  • Tafsir Ibn Katsir: QS Al-Hujurat, QS Al-Baqarah

  • Psychology Today – articles on emotional abuse and narcissistic behavior

  • 5 Tanda Kamu Sedang Berurusan dengan Orang Jahat | Filsafat Stoikisme

Friday, April 4, 2025

Cara Mengelola Setress Dengan Baik

 



Setres adalah kondisi yang terjadi pada setiap manusia dan tidak bisa kita hindari. Terutama di era yang sangat sulit seperti ini. Banyak orang yang merasakan aktivitas keseharian membuat setrss, bahkan setress bisa terjadi sejak masa anak-anak.

Setres menjadi salah satu kendala bagi kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Sangat terasa jika dalam waktu sebentar saja, kita bisa merasakan setres. Setiap perubahan yang terjadi dalam sehari, bisa memicu pikiran kita untuk setres.

Setres tidak bisa kita biarkan terus menerus karena kondisi ini memiliki dampak buruk pada kesehatan. Kesehatan mental yang tidak terjaga dapat mengakibatkan kesehatan fisik terganggu. Karena mental dan fisik adalah satu kesatuan yang ada dalam diri kita dan tidak bisa kita pisahkan.

Menurut Alodokter, ketika mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol dan adrenalin yang membuat kerja jantung menjadi lebih cepat. Daya tahan tubuh akan menurun dan menyebabkan tubuh menjadi sulit melawan virus atau bakteri, sehingga rentan terkena penyakit.


Tentunya kita tidak ingin menjadi manusia yang mudah sakit. Terlebih di zaman yang serba mahal ini. Kesehatan menjadi barang yang sangat mahal untuk kita. Oleh karenanya, kita harus mampu mengolah setres dengan baik agar kesehatan fisik kita juga terus terjaga.

Tak dapat dipungkiri jika setres menjadi salah satu faktor penyakit, meski terlihat sepele. Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah setres? 

Secara medis, ada banyak cara untuk menghilangkan setres. Mulai dari jalan-jalan, meditasi atau melakukan hobi yang kita sukai. Lalu, apakah hal tersebut benar-benar bisa menghilangkan setres di pikiran kita untuk jangka waktu yang lama? Tentunya tidak. Healing hanya bisa menjadi obat setres dalam jangka pendek apabila kita sendiri tidak bisa mengelola emosi dengan baik. Artinya, kondisi setres akan tetap muncul ketika kita sudah selesai healing/meditasi dan kembali ke rutinitas sehari-hari. 

Mengelola setres tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Kita harus bisa mengenali diri kita sendiri dan apa saja yang kita butuhkan. 

Setres seringkali muncul karena pemikiran kita yang berlebihan atau karena perkataan orang lain. Pemikiran yang berlebihan kerap menimbulkan kecemasan yang akhirnya berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik jika dibiarkan berkepanjangan. Perkataan orang lain yang terus-menerus kita pikirkan juga dapat memperburuk keadaan mental kita. Sedang, tujuan orang lain berkata buruk pada kita adalah untuk menyerang mental kita secara perlahan. Sehingga ketika memikirkannya terus-menerus, maka tujuan orang tersebut sudah berhasil. 


Belajar untuk menerima semua hal dengan baik, bukanlah hal yang mudah. Tapi semua orang bisa melakukannya jika mereka menginginkannya. Sayangnya, banyak orang yang memilih untuk menghakimi dirinya sendiri pada kenyataan pahit yang mereka terima. Hal ini tentunya akan memperburuk keadaan. 

Setres dapat dengan mudah kita hadapi ketika kita bisa mengelola isi pikiran kita dengan baik. 

Selalu berpikir positif adalah cara terbaik untuk mengelola setres. Pemikiran yang positif membuat kita lebih mudah menerima kenyataan hidup, sepahit apa pun itu. Ketika menghadapi masalah akan lebih mudah menemukan jalan penyelesaian atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Sekalipun kita harus menghadapi kesulitan bertubi-tubi, tapi kita tetap positif thinking kepada Tuhan sehingga kita akan menemukan jalan terbaik. 

Orang yang berpikir positif, biasanya memiliki ilmu spiritual yang cukup tinggi. Sehingga ia mampu berpikir dan menerima keadaan. Keadaan sesulit apa pun, akan tetap disyukuri. 

Bersyukur juga merupakan salah satu cara mengelola setres yang baik. Tanpa rasa syukur, hati kita akan selalu merasa kurang. Sehingga otak kita selalu berpikir bahwa si A memiliki hal yang lebih baik dari kita, sedang kita tidak seperti dia. Pemikiran yang seperti ini akan memberikan tekanan besar jika seseorang tidak memiliki kemampuan yang setara. Orang yang memiliki kemampuan sama juga bisa memiliki takdir hidup yang berbeda. 

Pada dasarnya, pengelolaan setres yang baik adalah dengan bersyukur dan berpikiran positif. 

Orang yang selalu bersyukur akan menerima dan berterima kasih atas apa yang sudah ia miliki. Ia tidak akan memiliki rasa iri hati terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain. Hatinya akan lebih tenang dan damai karena pikirannya tidak sibuk memikirkan orang lain yang hidupnya terlihat lebih baik. 

Orang yang selalu berpikiran positif akan berani menghadapi setiap masalah kehidupan. Ia berpikiran positif kepada orang-orang di sekitarnya dan juga kepada penciptanya. Orang yang seperti ini tidak akan mudah menyerah ketika ia sedang menghadapi masalah. Ia mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain dan selalu mencari cara untuk keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Mereka akan selalu berpikir bahwa setiap kesulitan yang mereka jalani adalah ujian dari Allah agar mereka bisa mencapai tangga kehidupan yang lebih tinggi lagi. Setiap naik satu tangga, mereka akan menghadapi ujian. Tidak ada ujian yang mudah, oleh karenanya mereka akan selalu bersyukur ketika menghadapi ujian karena mereka percaya bahwa Allah akan menolong mereka. 

Dua hal ini menjadi cara paling mudah untuk menghilangkan setres. Kita tidak perlu lagi harus menghabiskan uang untuk pergi berlibur dengan dalih menghilangkan setres karena pulang liburan masih akan setres lagi. 

Cukup dengan bersyukur dan berpikiran positif, kita bisa menghilangkan setres tanpa harus kehilangan apa-apa. Kita bisa self healing dengan membaca buku atau berdiam diri di dalam rumah karena setiap hal yang ada di dalam rumah adalah kebahagiaan. Sehingga kita bisa lebih banyak melakukan hal positif dan bermanfaat sebagai bagian dari self healing. 

Memang, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. 

Tapi cobalah untuk menghadapinya dengan cara yang sederhaba. Cobalah untuk menghadapinya dengan cara bersyukur dan berpikiran positif. Nantinya, kamu akan menemukan ketenangan hidupmu di sana, jika kamu menikmatinya. 








Monday, March 31, 2025

Tradisin Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

 

Tradisi Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

oleh Rin Muna



Ada yang makin ramai di timeline setiap lebaran: angpao. Bukan hanya di keluarga Tionghoa lagi, tapi sudah masuk ke rumah-rumah muslim, bahkan jadi agenda “wajib” saat Idulfitri. Amplop warna-warni, desain lucu, disisipkan selembar uang 10 ribu, 20 ribu, sampai 100 ribuan. Anak-anak ngantri, senyum manis—atau kadang cemberut kalau “isinya kecil”.

Tapi pertanyaannya sederhana:
Apakah kita masih benar-benar saling memaafkan, atau sedang sibuk menilai nilai nominal?


Lupa pada Akar ‘Minal Aidzin wal Faidzin’

Kita sering mengucapkan “Minal Aidzin wal Faidzin”—meski artinya sering salah dimengerti. Banyak yang mengira artinya “mohon maaf lahir dan batin”, padahal frasa ini berasal dari bahasa Arab klasik:

“Ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn”
Artinya: “Semoga kita termasuk orang yang kembali (kepada fitrah) dan menang (dari hawa nafsu).”

Jadi ini bukan sekadar kalimat basa-basi, tapi doa spiritual mendalam—harapan agar kita menjadi manusia yang kembali jernih, bersih, dan menang melawan ego.

Kalau lebaran jadi ajang "tarik angpao", apakah kita masih menang dari hawa nafsu?


Kapitalisasi Hari Suci, Kritik dari Ahli Sosiologi

Sosiolog Jean Baudrillard pernah menulis bahwa “masyarakat modern menciptakan makna melalui simbol dan konsumsi”. Dalam konteks lebaran, angpao bukan hanya amplop berisi uang, tapi telah menjadi simbol status, gengsi, dan ekonomi keluarga.

Dari sini muncul fenomena:

  • Keluarga merasa malu kalau tidak bisa memberi banyak.

  • Anak-anak membandingkan isi amplop.

  • Silaturahmi jadi transaksional: siapa yang dapat lebih banyak.


Dalam survei kecil oleh Pusat Studi Sosial UGM yang dilakukan pada tahun 2022, 68% orang tua di perkotaan merasa tekanan finansial saat lebaran karena angpao anak-anak dan "gengsi keluarga besar". Tradisi yang seharusnya hangat dan penuh makna, berubah jadi ajang “saling ukur dompet”.


Pandangan Filsafat: Keikhlasan vs Ekspektasi

Filsuf Stoik Epictetus mengingatkan:

“Semakin kita bergantung pada hal di luar kendali kita, semakin kita jadi budaknya.”

Ketika silaturahmi dikaitkan dengan angpao, maka momen suci kehilangan substansi. Anak-anak tumbuh tanpa nilai syukur dan ikhlas, hanya belajar bahwa "pertemuan" sama dengan "hadiah". Ini menciptakan ilusi tentang nilai kasih sayang diukur dari nilai rupiah.

Pandangan Islam: Memberi itu Sunnah, Menyombong itu Celaka

Islam sangat menganjurkan memberi, tapi bukan dalam kerangka pamer atau menjerumuskan orang dalam keterpaksaan.

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari)

Tapi memberi juga harus disertai dengan niat yang ikhlas, bukan demi sebuah citra sosial. Memberi tidak menyakiti yang diberi (QS Al-Baqarah: 262):

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya... lalu mereka tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebut pemberian itu dan tidak menyakiti (perasaan si penerima)...”

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa membuat saudaranya merasa malu karena tidak mampu, maka ia telah berdosa." (HR. Abu Dawud)

Apa jadinya kalau keponakan jadi minder karena “nggak bisa kasih balik”, atau orang tua jadi tertekan karena tidak punya cukup uang untuk membagi angpao?


Lalu, apa solusi yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan esensi Minal Aidzin Wal Faidzin yang sebenarnya?

Memaafkan dan silaturahmi bukan bisnis tahunan. Kalau mau memberi, lakukan dengan senyap dan tulus. Tanpa pamer, tanpa ditagih, tanpa jadi standar sosial.

Beberapa alternatif yang lebih mendidik:

  • Alihkan angpao ke bentuk kegiatan bersama: membuat kue, berbagi cerita, main tradisional.

  • Kalau tetap ingin memberi, ajari anak-anak untuk bersyukur dan menyisihkan sebagian untuk sedekah.

  • Kurangi tekanan gengsi: beri sesuai kemampuan, bukan demi “balapan” amplop.


Jangan Biarkan Uang Membakar Niat Baikmu!

Minal Aidzin wal Faidzin adalah doa kemenangan ruhani. Jangan biarkan ia dikalahkan oleh inflasi angpao dan ekspektasi palsu. Karena pada akhirnya, anak-anak akan lupa berapa yang mereka terima. Tapi mereka akan ingat siapa yang benar-benar memeluk mereka tanpa syarat.




Ditulis di tengah suara mesin jahit dan tumpukan bahan kebaya yang harus selesai, tapi hati ingin tetap pulang ke sesuatu yang penuh esensial di masa lalu.



Rin Muna


Monday, March 24, 2025

Kamu Bukan Tuan Atas Emosiku







Suatu hari aku duduk di sebuah forum diskusi di mana aku adalah penanggung jawab sebuah kegiatan. Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dan aku belum memahami seperti apa sifat orang-orang yang ada di lapangan kala itu. 
Sebagai penanggung jawab, aku memilih untuk banyak diam dan mendengarkan. Mencoba memahami satu per satu apa yang mereka inginkan dan mencocokkannya dengan beberapa wawancara kecil yang telah aku lakukan secara individu sebelumnya. 

Ada satu hal yang cukup mengejutkan bagiku dan cukup memancing emosi ketika koordinator lapangan mencoba menyampaikan ke dalam forum tentang kesalahan-kesalahan yang aku sendiri tidak pahami. Dia bilang sudah berkomunikasi denganku, tapi aku tahu persis bahwa tidak ada komunikasi apa pun di antara kami. Bahkan semua rencana kerja yang aku buat, dibuat berantakan oleh koordinator lapangan yang bisa seenaknya mengubah jadwal tanpa koordinasi. 
Jika aku tidak bisa mengendalikan emosiku, tentunya aku akan marah. Aku akan tidak terima dengan pernyataan dia yang diungkapkan di depan banyak orang, tapi tidak pernah dia ungkapkan langsung kepadaku sebelumnya. 
Aku tidak bisa mengontrol apa yang orang lain ucapkan, tapi aku bisa berusaha mengontrol bagaimana caraku meresponnya. 
Aku hanya bertanya dalam hati, "apa maksud orang ini?"
Aku tidak merespon apa pun. Mungkin, semua orang akan menilai bahwa ucapan dia benar, sedang aku yang bersalah dan harus menanggung semuanya. Tapi kita tahu persis apa yang terjadi dan seberapa besar ketidakjujuran yang sedang ia ciptakan. 

Sampai forum diskusi selesai, aku hanya berpikir dan berdialog dengan diriku sendiri. Aku tahu jika aku sedang berhadapan dengan orang yang manipulatif dan pembohong patologis. Itulah sebabnya aku tidak ingin merespon apa pun. Aku tidak ingin bereaksi apa pun meski aku adalah tipe orang yang suka berdebat. Aku tidak ingin berdebat kosong dengan seseorang yang sedang berusaha memancing emosiku. Aku tidak ingin berdebat dengan orang yang manipulatif dan pembohong patologis. Aku tidak perlu validasi dari sana-sini untuk mendapatkan pembenaran karena aku sudah tahu siapa sesungguhnya yang benar dan yang salah. Suatu hari nanti, kebenaran akan menemukan jalannya. 


Kemudian, ada satu waktu di mana ada seseorang yang datang padaku untuk memancing emosiku. Dia datang padaku dan berkata, "Mbak, si A ada bilang ke aku kalau Mbak Rina suka makan uang anak-anak taman baca".
Aku terkejut dan nyaris emosi dalam waktu beberapa detik. Tapi kemudian aku berhasil mengendalikan diriku sendiri dan memilih untuk tersenyum. Semua orang tahu kalau taman baca aku dirikan secara pribadi. Belajar di taman baca selalu gratis. Semua biaya operasional (kebersihan, listrik, air, dll.) aku tanggung secara pribadi. Lalu, bagaimana aku bisa dikatakan makan uang taman baca? Sedang uang untuk taman baca pun, aku mengeluarkan dari kantongku sendiri. 

Beberapa waktu kemudian, aku duduk di forum persaudaraan. Seseorang menyampaikan berita kepadaku bahwa si B berkata, "Kapok jadi janda!" 
Aku hanya bisa beristigfar mendengar kalimat yang begitu bersemangat menginaku. Terlebih, saat itu memang aku baru saja menyandang status "janda". Aku berusaha keras mengendalikan emosiku. Aku tersenyum dan berkata, "Nggak papa. Pada akhirnya, semua orang akan jadi janda/duda. Hanya soal waktunya saja yang berbeda."

Tak sekedar tiga hal itu saja yang berusaha membangkitkan emosiku. Masih ada banyak kalimat buruk yang kerap kudengar di luar sana dan sampai ke telingaku. 
Aku tidak emosi. Aku hanya berpikir, "apa maksudnya orang ketiga menyampaikan ucapan itu ke aku? Apakah ada indikator untuk mengadu domba kami? 
Meski perkataan itu jujur dan apa adanya, aku tetap tidak bisa merespon dengan emosi. Aku sudah terbiasa mendapatkan penghinaan dan diremehkan. Aku biasa mudah emosi, tapi aku selalu bisa mengolah emosiku. Aku tidak akan emosi untuk hal-hal yang tidak layak untuk diperjuangkan. 
Aku belajar banyak hal untuk bisa mengolah emosi, mulai dari tokoh-tokoh Yunani kuno sampai tokoh-tokoh Islami yang mengajarkan banyak pola pikir sehat. Sehingga, aku tidak akan mudah untuk emosi. 

Aku memilih untuk bisa merespon perkataan/tindakan orang lain dengan diam dan tenang. Bukan aku lemah atau tidak bisa bicara, tapi karena aku tidak perlu bicara dan aku merasa tidak perlu merespon apa pun yang tidak layak untuk kuperjuangkan. 

Aku adalah pemilik emosiku sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa mengendalikannya, apalagi menjadi tuan bagi emosiku. Tidak ada yang bisa menyakitiku hanya dengan kata-kata karena aku tidak mudah untuk terpengaruh. 
Sifatku adalah menganalisa keadaan, bukan ingin menjadi pengendali keadaan. Jadi, aku tidak akan mudah terpengaruh dengan kata-kata orang lain yang berusaha untuk menjatuhkan harga diriku. 
Sudah begitu banyak kalimat penghinaan yang ditujukan ke aku, tapi tidak pernah dibicarakan padaku langsung, selalu dibicarakan di depan orang lain. Entah apa maksudnya. Tapi aku enggan menghadapi orang-orang yang seperti itu. Sedang aku tidak punya waktu untuk meresponnya, apalagi untuk balas membicarakan keburukan mereka. 

Sesungguhnya, satu kalimat saja yang aku tuliskan ketika emosi, bisa diketahui oleh banyak orang di dunia ini. 

Bukankah mudah bagiku menghancurkan reputasi orang lain? Sedang mereka yang ingin menghancurkan reputasiku hanya bisa sebatas di kampung sendiri. 

Aku memilih diam bukan karena aku takut atau lemah. Tapi karena aku justru sangat kuat karena bisa mengendalikan emosiku sendiri. Aku tidak ingin emosi yang menguasai diriku, apalagi ada orang lain yang menjadi tuan atas emosiku. 

Aku berusaha untuk merespon dengan baik setiap kalimat atau tindakan negatif dari orang lain. Tidak semua hal harus aku dengarkan. Tidak semua saran orang harus aku laksanakan. Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain terhadapku.

Jika kamu juga tidak suka dengan sikapku, cobalah untuk merenung sejenak! 
Benarkah kamu benci denganku karena sikapku atau kamu sedang bermasalah dengan hati dan pikiranmu sendiri? 


Ingatlah, kamu bukan tuan atas emosiku! 
Kamu bukan orang yang berhak menggugah emosiku untuk hal-hal yang tidak layak untuk aku perdebatkan. 
Kalau kamu kecewa, itu bukan karena aku, tapi karena kamu tidak bisa mengolah masalahmu sendiri sehingga mengorbankan orang lain untuk sebuah pembenaran/validasi.



Sunday, March 23, 2025

Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 



Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 Luka yang Tidak Tampak, Tapi Nyata


Ada luka yang tidak meneteskan darah, tapi menganga dalam diam: luka karena kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu bukan satu-dua kali, melainkan terus-menerus seperti napas—kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan. Inilah yang disebut sebagai kebohongan patologis (pathological lying).

Sebagai penulis yang gemar mengamati dinamika relasi manusia, saya sering menjumpai tema ini dalam kisah nyata maupun fiksi. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang sadar bahwa pasangannya bukan sekadar "berbohong sesekali", tapi memiliki pola bohong kronis yang membentuk realitas semu—seolah hidup dalam sandiwara.

Apa Itu Kebohongan Patologis?

Kebohongan patologis bukan sekadar dusta sesekali untuk menghindari konflik. Ini adalah kebohongan yang berulang, tidak perlu, dan kadang tidak masuk akal, bahkan ketika tidak ada keuntungan jelas dari kebohongan itu.

Psikolog Charles Dike dari UCLA menyebut kondisi ini sebagai bagian dari Pseudologia Fantastica—sebuah fenomena di mana pelaku menyusun narasi palsu yang ia percayai sendiri, dan menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian. Dalam jurnal Psychiatric Times (2008), Dike menjelaskan bahwa kebohongan patologis bisa muncul karena trauma masa kecil, dorongan untuk terlihat superior, atau keinginan kompulsif untuk mengontrol persepsi orang lain.

Mengapa Ini Bisa Menghancurkan Hubungan?

Hubungan dibangun atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu seperti gelas kaca—sekali retak, sulit kembali seperti semula. Ketika seseorang terus-menerus dibohongi, ia bukan hanya kehilangan kepercayaan pada pasangannya, tapi juga pada persepsinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan: “Apakah aku terlalu curiga? Apakah aku yang berlebihan?”

Kebohongan yang terus diulang akan melahirkan gaslighting, di mana korban dipaksa meragukan realitasnya sendiri. Dan inilah yang sangat berbahaya. Hubungan menjadi tidak sehat. Ada ketimpangan kuasa. Dan sering kali, sang pembohong akan memutarbalikkan logika hingga ia tampil sebagai korban.

Kita tahu, dalam relasi apa pun—baik romantis, pertemanan, keluarga, maupun profesional—integritas adalah fondasi. Ketika seseorang berbohong terus-menerus, maka ia menghancurkan fondasi itu secara perlahan, seperti rayap yang memakan rumah dari dalam.

Kebohongan Sebagai Alat Manipulasi

Kebohongan patologis bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis. Pelakunya kadang tampak charming, penuh pesona, tapi di balik itu ia menyimpan agenda. Ia bisa membuat pasangannya tergantung padanya secara emosional, dan memutar fakta demi menjaga ilusi citra diri.

Kisah-kisah seperti ini banyak diangkat dalam literatur populer maupun dunia nyata. Salah satunya dalam kisah Dirty John (kisah nyata yang difilmkan oleh Netflix), di mana seorang pria manipulatif membohongi istrinya tentang identitas, pekerjaan, hingga masa lalunya demi keuntungan pribadi. Ia membungkus semua itu dalam pesona dan perhatian semu, yang pada akhirnya membuat korbannya hampir kehilangan segalanya.

Islam dan Filsafat: Perspektif tentang Dusta

Dalam Islam, berbohong adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa ke neraka." (HR. Bukhari & Muslim).

Sementara dalam filsafat, Plato menganggap kebenaran sebagai bentuk tertinggi dari keadilan. Berbohong berarti mencederai logos, merusak harmoni antara pikiran dan kenyataan. Dalam tradisi stoikisme, seperti yang diajarkan oleh Epictetus, kejujuran adalah wujud integritas diri. “It’s not things themselves that disturb us, but our interpretations of them.” Maka jika seseorang terus-menerus menciptakan ilusi, ia bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu dirinya sendiri dari realitas yang jujur.

Apakah Bisa Disembuhkan?

Secara psikologis, orang dengan kecenderungan kebohongan patologis membutuhkan terapi yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan nasehat atau kemarahan. Mereka harus memahami akar dari kebohongan itu: apakah karena trauma, rasa tidak aman, atau kelainan kepribadian seperti antisosial atau narsistik.

Tapi sayangnya, banyak dari mereka tidak menyadari masalahnya. Bahkan ketika relasi mereka mulai runtuh, mereka akan mencari kambing hitam, bukan bercermin.

Cinta Tidak Akan Tumbuh di Atas Kebohongan

Membangun relasi itu seperti merawat taman. Butuh kesabaran, kejujuran, dan konsistensi. Jika tanahnya diracuni kebohongan, maka bunga cinta akan layu bahkan sebelum sempat mekar.

Jadi, jika kamu berada dalam hubungan yang dipenuhi dusta, tanya pada dirimu sendiri: “Apakah aku sedang mencintai seseorang, atau sedang mencintai ilusi yang ia ciptakan?”

Beranilah untuk membuka mata, dan jangan biarkan kebohongan—sekecil apa pun—merusak jiwamu. Karena hubungan yang sehat selalu tumbuh di atas kebenaran, meski terkadang pahit.

Referensi:

  1. Dike, Charles. Pathological Lying: Symptom or Disease? Psychiatric Times, Vol. 25 No. 9 (2008).

  2. American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic Criteria for Personality Disorders.

  3. Hadis Riwayat Bukhari & Muslim.

  4. Plato. The Republic.

  5. Epictetus. Discourses.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas