Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Tuesday, November 18, 2025

Memory of Yupa || Memory of The World : Peradaban Nusantara yang Perlu Dijaga

 

Muara Kaman, 17 November 2025


Muara Kaman dan Museum (Situs) Lesung Batu (Lesong Batu) punya peran penting dalam sejarah kuno Kalimantan / Indonesia. Muara Kaman adalah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luas wilayahnya sangat besar (sekitar 3.410 km²) dengan banyak desa.

Muara Kaman dianggap sebagai pusat kerajaan Kutai Martadipura, yang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Raja terkenal dari kerajaan ini adalah Maharaja Mulawarman. Lokasi Muara Kaman juga strategis karena berada di pertemuan sungai (Mahakam dan anak sungainya), menjadikannya jalur perdagangan penting di masa kuno.

Ada museum purbakala di Muara Kaman yang mengabadikan situs sejarah kerajaan Kutai. Museum ini menyimpan replika dari prasasti Yupa, benda pusaka purbakala, serta makam raja-raja Islam di wilayah itu. Sejak 2022, pengelolaan museum ini diambil alih oleh pemerintah kecamatan Muara Kaman, dengan rencana pembenahan dan pengembangan wisata sejarah. 

Prasasti Yupa adalah tiang batu yang ditulisi dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Ada 7 buah yupa yang ditemukan di area Muara Kaman. I si yupa menceritakan silsilah kerajaan (misalnya Raja Kudungga, Aswawarman, Mulawarman) dan kedermawanan Raja Mulawarman — misalnya memberi ribuan sapi sebagai persembahan. Dari kajian etimologi tertentu, meskipun dikenal sebagai “Kerajaan Kutai”, ada argumen bahwa nama sebenarnya kerajaan kuno ini adalah Martapura, bukan “Kutai”. Penelitian cagar budaya menyatakan bahwa situs Muara Kaman — yang meliputi Lesong Batu / yupa, makam, dan batu Lembu Ngeram — adalah “zona inti” penting yang harus dilestarikan.


Saya tidak pernah terpikir kalau akan menjadi bagian dari saksi sejarah Yupa bagi masa depan negeri ini. Sebagai Relima Perpusnas RI, tentu saya akan dilibatkan dalam beberapa kegiatan yang digagas oleh perpustakaan daerah maupun perpustakaan provinsi. Sehingga, saya bisa menjadi bagian dari festival Memory of Yupa yang baru dilaksanakan pertama kalinya di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam menyusuri jalur Sungai Mahakam, akhirnya kami sampai di Muara Kaman. Tempat di mana situs peradaban tertua di Indonesia ada dan masih dijaga kelestariannya. 

Tubuhku belum benar-benar pulih setelah berkegiatan selama 4 hari di Kota Bogor dan Jakarta. Tapi, aku tidak ingin melewatkan momen yang sangat langka ini. Jadi, aku berusaha sampai ke tujuan meski kondisiku tidak baik-baik saja. Selama masih bisa bergerak dan aku kuat untuk berdiri, maka aku tidak akan menyerah. 


Berangkat pukul 11.30 WITA, rombongan kami sampai saat menjelang magrib. Kami disambut oleh tetua adat dengan ritual 'Sawai', sebuah ritual untuk membersihkan diri dan jiwa sebelum kami memasuki tanah leluhur Muara Kaman. 
Kami dibawa ke sebuah 'Homestay' milik warga Muara Kaman. Entah rumah siapa, yang jelas bukan orang biasa karena rumahnya sangat besar dan cukup menampung sekitar 50 orang. Rumahnya juga dilengkapi dengan 3 kamar mandi. Sehingga, kami tidak terlalu lama bergantian untuk mandi. 
Usai makan mandi, makan malam dan bersiap, kami segera bergeser ke Museum Lesung Batu Kecamatan Muara Kaman. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Jadi, kami bisa berjalan kaki menuju ke sana. 
Saat sampai, acara langsung dimulai dan dibuka oleh Wakil Bupati Kutai Kartanegara (Rendi Solihin, S.M). 
Opening Ceremony Memory of Yupa berlangsung meriah. Acara diramaikan oleh band asal kota Samarinda, Valdiyandi. 
Begitu acara usai, kami bergegas kembali ke penginapan. Mengistirahatkan tubuh karena esok hari kita akan disibukkan dengan agenda kegiatan yang lebih padat lagi. 
Semoga ada banyak ilmu yang bisa kita dapatkan dan prasasti Yupa benar-benar menjadi salah satu warisan dunia versi Unesco. Aku tak sabar menunggunya... 
Semoga anak-anak Kecamatan Muara Kaman juga memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga prasasti berharga ini dan terus melestarikan kebudayaan asli Kutai. 



Sunday, November 9, 2025

Tips for Teaching English to Kids: Make It Fun and Simple

 


Tips for Teaching English to Kids

"Make It Fun and Simple"

Teaching English to children can be quite a challenge—but at Rumah Literasi Kreatif, it’s always filled with laughter, color, and creativity. The secret lies in two simple words: fun and simple.

1. Connect Lessons with Their Everyday World

Children learn faster when lessons relate to things they already know. In our classes, teachers often use “Show and Tell” with objects around the reading garden—like books, colored pencils, or dolls. Through these familiar items, kids learn new vocabulary and gain confidence to speak in front of others.

2. Sing and Move Together

Music is a magical bridge to language learning. Songs like Head, Shoulders, Knees, and Toes or If You’re Happy and You Know It are always favorites here. When kids sing and move along, they remember words more naturally. It feels more like playing than studying—and that’s exactly the point.

3. Use Visuals and Colors

In every class, teachers use colorful flashcards, word cards, and pictures. Visuals help children connect words with images and meanings. Sometimes, the kids even create their own flashcards! This creative process strengthens memory and sparks imagination.

4. Tell Stories and Act Them Out

Storytime is one of the best ways to teach English. At Rumah Literasi Kreatif, we often do short drama plays based on simple stories like The Hungry Caterpillar or Little Red Riding Hood. Role-playing helps children practice pronunciation, teamwork, and comprehension—all while having fun.

5. Give Praise and Positive Support

Children learn best when they feel appreciated. Every time a student says a new word or forms a sentence, we celebrate with claps or a little star sticker. Positive feedback builds confidence and teaches them that making mistakes is part of learning.

At Rumah Literasi Kreatif, our English class is more than just a place to learn a language—it’s a joyful space for creativity, curiosity, and growth.
Here, children discover that English isn’t something to be afraid of—it’s a bridge to explore a bigger, brighter world.

Because learning is always beautiful when it comes from a happy heart.

Thursday, November 6, 2025

Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja




Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja
oleh Rin Muna

Pagi itu, Kamis 6 November 2025, udara di halaman Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja terasa lebih semarak dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 09.00 WITA ketika anak-anak kecil dengan seragam berwarna-warni mulai memasuki aula dengan wajah berseri. Ada yang membawa peralatan mewarnai, ada yang menenteng alat peraga buatan tangan, dan ada pula yang sibuk menepuk-nepuk kostum senam agar terlihat rapi di atas panggung.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Camat Samboja, Damsik, S.H., M.Si, bersama Bunda PAUD Kecamatan Samboja, Rusdiana Damsik, S.Hut, berdiri di depan panggung utama. Senyum mereka mengiringi pembukaan resmi Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025, yang tahun ini mengusung tema:
“Ceria, Cerdas, dan Berkarakter – Membangun Generasi Emas Sejak Dini.”

Dalam sambutannya, Camat Damsik menyampaikan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pondasi bagi lahirnya generasi yang kuat dan berkarakter. Ia berharap kegiatan ini menjadi wadah pembelajaran yang menyenangkan, penuh tawa, dan bermakna bagi semua peserta. Sementara Bunda PAUD Rusdiana menekankan pentingnya dukungan bersama antara guru, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang hangat dan inspiratif bagi anak-anak Samboja.

Begitu pembukaan selesai, suasana aula seketika berubah menjadi lautan warna dan tawa. Lomba mewarnai tingkat PAUD dan KB se-Kecamatan Samboja menjadi ajang pembuka. Anak-anak duduk berbaris rapi di atas tikar, menggoreskan warna-warna cerah dengan jemari mungil mereka. Ada yang menatap serius, ada pula yang sesekali tersenyum kecil saat melihat hasil goresannya tampak indah di atas kertas.

Di sudut lain ruangan, para guru PAUD memamerkan karya kreatif mereka dalam Lomba APE (Alat Peraga Edukasi). Dari bahan sederhana seperti kardus bekas, stik es krim, hingga kain perca, mereka menciptakan alat belajar yang menarik. Beberapa alat mengajarkan huruf, sebagian mengenalkan bentuk dan warna, sementara yang lain menumbuhkan rasa ingin tahu anak tentang lingkungan sekitar. Kreativitas para pendidik itu menjadi bukti bahwa semangat belajar bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang sederhana.

Menjelang tengah hari, lantunan musik ceria menggema. Saatnya Lomba Senam Anak Indonesia Hebat. Di panggung, anak-anak berbaris dengan percaya diri. Gerakan tangan dan kaki mereka mengikuti irama lagu penuh semangat, disambut tepuk tangan para penonton. Ada yang sedikit terlambat mengikuti irama, ada pula yang menari terlalu cepat, tapi justru di situlah letak keindahannya — ketulusan dan keceriaan tanpa beban.

Sore menjelang, suasana aula menjadi lebih tenang. Kali ini giliran para Bunda PAUD tampil dalam Lomba Mendongeng. Satu per satu naik ke panggung, membawa kisah yang mereka rangkai sendiri. Ada yang bercerita tentang persahabatan, tentang pentingnya kejujuran, hingga tentang keberanian. Dengan ekspresi lembut dan suara yang penuh kasih, para bunda menyampaikan pesan moral yang menyentuh hati. Anak-anak yang duduk di barisan depan tampak terpukau, sesekali ikut menirukan tokoh-tokoh dalam cerita.

Jam dinding menunjukkan pukul 15.30 WITA ketika acara Jambore akhirnya ditutup. Di wajah setiap peserta, baik anak-anak, guru, maupun panitia, terpancar rasa lelah yang bercampur bahagia. Aula yang semula ramai kini perlahan lengang, namun gema tawa kecil dan warna-warna cerah di atas meja lomba seolah masih menempel di udara.

Jambore PAUD Kecamatan Samboja tahun ini bukan hanya tentang siapa yang menjadi juara, melainkan tentang bagaimana keceriaan, kreativitas, dan semangat belajar bisa menyatu dalam satu ruang waktu. Di antara warna krayon, alat peraga sederhana, dan kisah dongeng yang hangat, tersulam harapan besar — bahwa dari sinilah, dari tawa kecil anak-anak Samboja, generasi emas masa depan sedang tumbuh dengan indah.


Wednesday, November 5, 2025

Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025




Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja


Hari ini, udara sore di Samboja terasa hangat dan penuh semangat. Di Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja, panitia Jambore PAUD Kecamatan Samboja sudah berkumpul sejak pukul dua siang. Mereka datang dengan senyum dan semangat gotong-royong yang khas — menyapu ruangan, menghias panggung, menata kursi, hingga menyiapkan sound system untuk kegiatan besar: Jambore PAUD Kecamatan Samboja.

Aku tahu betul bahwa jadwal gotong-royong dimulai pukul 14.00 WITA. Namun, sebelum berangkat, ada satu tanggung jawab kecil yang harus kuselesaikan — menjahit pesanan dress yang sudah dijanjikan sejak beberapa hari lalu. Mesin jahit di sudut ruang kerja masih berputar saat jarum jam hampir menyentuh angka dua. Setiap tarikan benang seolah menjadi simbol antara dua tanggung jawab yang sama penting: profesi dan pengabdian.

Setelah benang terakhir terkunci rapi, aku segera bergegas. Dengan tangan masih berbau kain dan jarum pentul terselip di ujung jilbab, aku melangkah cepat menuju BPU. Rumahku cukup jauh dari Kantor Camat. Aku harus menempuh perjalanan setidaknya 30 menit untuk bisa sampai ke sana. 

Saat tiba, suara riuh tawa sudah terdengar dari kejauhan. Para panitia gotong-royong tampak sibuk namun bahagia. Beberapa sedang membersihkan lantai aula, sementara sekelompok ibu-ibu tengah menata meja dan mempersiapkan sound. Meskipun aku datang sedikit terlambat, kehangatan mereka membuatku tidak merasa canggung. 

Aku tersenyum, mengangguk, dan langsung ikut menata kursi. Di tengah kegiatan itu, aku menyadari bahwa gotong-royong bukan sekadar tentang bekerja bersama, tetapi tentang merangkai kebersamaan dari waktu-waktu kecil yang kita sisihkan untuk kepentingan bersama. Tidak ada yang menghitung siapa datang lebih dulu atau siapa paling banyak berbuat — semua hanya bergerak dalam satu irama: ikhlas.

Sore itu, di antara canda dan tawa, aku merasa bahwa kehadiran meskipun sedikit terlambat tetap berarti. Sebab dalam setiap upaya, yang paling penting bukan waktu kedatangan, tetapi niat yang menyertai langkah.

Menjelang magrib, kami semua menatap hasil kerja bersama — aula yang semula tampak biasa kini berubah meriah. Di sanalah besok guru-guru dan anak-anak PAUD akan berlomba dan tertawa bahagia. Dan aku, yang datang setelah menyelesaikan jahitan, merasa telah menyulam satu lagi kenangan indah: kenangan tentang kebersamaan yang dijahit dengan benang niat baik dan cinta terhadap dunia pendidikan.

Setelah memastikan semua kebutuhan acara telah siap, aku pun berpamitan pulang. Beberapa teman juga sudah berpamitan lebih dahulu karena rumah mereka juga cukup jauh. 

Terima kasih untuk Pokja PAUD Kecamatan Samboja yang telah mengukir cerita bersamaku. Meski posisiku sederhana, tapi aku sangat bahagia menjadi saksi keceriaan dan kebersamaan bunda-bunda PAUD Kecamatan Samboja. 

Tuesday, November 4, 2025

Semangat yang Tak Pernah Padam



Semangat yang Tak Pernah Padam

Karya: Rin Muna


Setiap Minggu pagi, ketika matahari belum begitu tinggi, suara sapu lidi dan cangkul mulai terdengar di sepanjang gang kecil RT 03. Ada aroma tanah basah yang berpadu dengan semangat kebersamaan, seolah setiap ayunan tangan yang mengangkat sampah adalah tanda cinta terhadap tempat kami berpijak. Gotong-royong membersihkan lingkungan bukan sekadar rutinitas; ia adalah napas kehidupan yang meneguhkan bahwa kami masih peduli, masih ingin hidup dalam ruang yang layak, bersih, dan manusiawi.

Namun, seperti daun kering yang tertinggal di sudut jalan, selalu ada yang absen dari pemandangan itu. Beberapa warga memilih menutup pintu rumah rapat-rapat, berpura-pura tidak mendengar suara sapu yang menggesek jalan atau tumpukan daun yang menunggu dikumpulkan. Barangkali mereka lelah. Barangkali mereka sibuk. Atau barangkali, mereka lupa — bahwa setiap rumah yang berdiri di tanah RT 03 membawa konsekuensi: menambah beban energi, air, dan tentu saja, sampah.

Lingkungan adalah cermin dari penghuni di dalamnya. Sampah yang berserakan bukan semata soal kebersihan, melainkan juga soal kesadaran. Di balik kantong plastik yang terbang tertiup angin, terselip pesan sunyi: bahwa sebagian dari kita masih menunda tanggung jawab bersama. Kita menunggu orang lain bergerak lebih dulu, padahal perubahan selalu dimulai dari langkah paling kecil — satu tangan yang rela menyapu, satu hati yang mau peduli.

Gotong-royong bukan tentang siapa yang datang dan siapa yang absen. Ia tentang semangat yang tak pernah padam meski jumlah tangan yang bekerja tak seimbang dengan jumlah kepala yang menghuni. Selalu ada wajah-wajah yang tersenyum di tengah peluh, ada tawa yang menutupi lelah, dan ada rasa syukur yang tumbuh setiap kali selokan bersih kembali mengalir.

Saya percaya, gotong-royong bukan sekadar warisan budaya; ia adalah bentuk perlawanan terhadap sikap individualis yang semakin kuat menggenggam masyarakat modern. Di tengah dunia yang sibuk menghitung keuntungan pribadi, warga RT 03 yang masih turun ke jalan dengan sapu di tangan adalah pahlawan kecil yang menjaga denyut sosial agar tak padam.

Barangkali suatu hari nanti, mereka yang kini bersembunyi di balik alasan dan waktu akan menyadari bahwa rumah yang bersih tidak lahir dari tangan petugas kebersihan, melainkan dari kesadaran kolektif. Karena sejatinya, setiap warga yang bermukim di sini — termasuk yang diam — turut meninggalkan jejak energi dan sampah bagi lingkungannya. Maka, tidakkah adil jika beban itu juga dibagi dalam bentuk kerja bersama?

Gotong-royong adalah cermin jiwa kita sebagai bangsa. Ia mungkin tak lagi seramai dulu, tapi di RT 03, semangat itu masih menyala. Tak sebesar nyala obor, mungkin hanya seberkas cahaya kecil di ujung gang, tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa kepedulian — sekecil apa pun — adalah tanda bahwa hati kita belum mati.



Aroma Kopi dan Ide yang Menyala



 Aroma Kopi dan Ide yang Menyala

Oleh: Rin Muna

Ada sesuatu yang magis setiap kali aroma kopi menyeruak dari cangkir. Seolah-olah waktu berhenti sejenak, dan ruang menjadi tempat yang lebih hangat untuk berbagi cerita. Di meja kayu sederhana Teman Diskusi Coffee — unit usaha kecil yang tumbuh dari semangat Rumah Literasi Kreatif — setiap tegukan kopi bukan hanya minuman, melainkan percikan ide yang menyala dari obrolan ringan hingga diskusi yang mendalam.

Aku sering berpikir, bahwa kopi dan literasi memiliki jiwa yang serupa. Keduanya sama-sama menuntut waktu, kesabaran, dan ketulusan untuk menghasilkan rasa yang berkesan. Tak bisa terburu-buru. Seperti membaca buku, meracik kopi pun butuh perhatian pada detail kecil — suhu air, takaran bubuk, bahkan cara menuang yang menentukan aroma terakhir di permukaannya.

Teman Diskusi Coffee lahir bukan sekadar sebagai tempat nongkrong atau menikmati kopi lokal, melainkan ruang bertemunya pikiran. Di sinilah para pegiat literasi, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga, dan siapa pun yang mencintai percakapan datang untuk mencari makna di balik setiap kalimat dan cangkir. Kadang kita membicarakan buku, kadang tentang rencana kegiatan literasi, dan tak jarang tentang kehidupan itu sendiri.

Ada hari-hari di mana aku melihat meja penuh dengan kertas coretan ide. Ada yang menulis puisi sambil menyeruput kopi tubruk, ada yang menggambar desain kaos literasi di sudut ruangan, dan ada pula yang hanya diam, menatap uap yang naik dari cangkir sambil berpikir. Suasana seperti itu mengingatkanku pada pandangan filsafat Islam tentang tafakkur — merenung sebagai jalan menemukan makna hidup. Bahwa berpikir bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah yang mendekatkan manusia pada Sang Pencipta.

Maka, di setiap percakapan yang lahir di kedai kecil ini, selalu ada makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Kadang, ide besar lahir dari hal sederhana — dari sepotong kalimat yang tak sengaja terucap, atau dari tawa ringan di antara percakapan sore. Seperti halnya api yang menyala dari percikan kecil, inspirasi pun sering datang dari momen-momen yang tak direncanakan.

Teman Diskusi Coffee mengajarkan satu hal penting: bahwa ruang untuk berbagi tak selalu harus megah. Cukup ada meja kayu, kopi hangat, dan niat baik untuk saling mendengarkan. Karena ide-ide besar tak butuh tempat mewah untuk tumbuh, tapi butuh suasana yang memberi ruang bagi kejujuran dan ketulusan.

Setiap kali aku menatap papan nama kecil bertuliskan Teman Diskusi Coffee, aku merasa sedang menyaksikan semangat literasi yang bertransformasi menjadi kehidupan nyata. Dari buku menuju gelas kopi, dari kata menuju tindakan. Ini bukan sekadar bisnis, tapi wujud nyata dari kolaborasi — antara rasa, ide, dan gerakan.


Aroma kopi selalu mengingatkanku bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja — dari kesederhanaan, dari percakapan, bahkan dari keheningan. Di Teman Diskusi Coffee, kami belajar bahwa berbagi gagasan bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling tulus mendengarkan. Karena di balik setiap cangkir kopi, selalu ada cerita yang menunggu untuk diseduh, dan di balik setiap cerita, selalu ada api kecil yang siap menyala — menerangi langkah kita dalam perjalanan literasi yang panjang.




Kutai Kartanegara, 04 November 2025

Monday, November 3, 2025

Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November

 


Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November
Oleh: Rin Muna

Bulan November datang seperti benang yang perlahan menjahit ulang hidupku. Setiap helainya membawa kisah tentang waktu, tanggung jawab, dan cinta yang ditenun dengan kesabaran. Di bulan ini, aku memutuskan membuat kebaya pertamaku — bukan sekadar pakaian, tapi simbol perjalanan yang kusulam di antara tumpukan kesibukan dan kelelahan.

Siang hari, aku duduk di depan meja jahit. Jarum dan benang menari di atas kain, sementara pikiranku berkelana di antara kalimat sastra Inggris yang harus kuterjemahkan untuk tugas kuliah. Kadang, aku berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, menatap payet-payet kecil yang menunggu untuk dijahit satu per satu. Ada rasa lelah yang mengendap, tapi juga kehangatan yang tumbuh di sela kerja tangan.

Malam hari, ketika warga lain sudah mulai beristirahat, aku masih harus memastikan jadwal ronda malam berjalan. Sebagai ketua RT, aku memegang tanggung jawab untuk menjaga rasa aman di lingkungan. Dua kelompok dasawisma — Kenanga dan Kantil — pun menjadi bagian dari keseharian yang tak pernah jauh dari urusan koordinasi, data, dan kegiatan sosial. Kadang aku tertawa sendiri, betapa lucunya hidup ini: pagi membahas morfologi bahasa Inggris, sore memeriksa hasil kegiatan dasawisma, malam menjahit kebaya sambil mendengar suara tongkat ronda di kejauhan.

Namun justru di situlah letak indahnya hidup. Di antara tumpukan peran yang harus dijalani, aku menemukan keseimbangan yang halus — seperti garis jahitan yang rapi di tepi kebaya. Hidup tidak selalu tentang memilih satu peran dan meninggalkan yang lain, tapi tentang menemukan irama agar semuanya bisa berjalan berdampingan.

Setiap payet yang kutambahkan di kebaya itu seperti doa kecil. Ada yang melambangkan ketekunan, ada yang menyiratkan rasa syukur. Aku teringat pesan dalam filsafat Islam tentang ihsan — melakukan sesuatu sebaik-baiknya seolah kita melihat Allah, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat kita. Maka setiap jahitan pun kutanam dengan niat yang tulus, agar hasilnya tidak hanya indah di mata, tapi juga membawa ketenangan di hati.

Kebaya itu akhirnya selesai di akhir pekan, di tengah hujan November yang turun perlahan. Aku menatap hasil karyaku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Bukan karena lelah, tapi karena ada rasa bangga yang lembut — bahwa dari segala kesibukan dan tanggung jawab, aku masih bisa menciptakan sesuatu yang lahir dari cinta dan ketekunan.

Kini, setiap kali melihat kebaya itu tergantung di lemari, aku tak hanya melihat hasil karya tangan. Aku melihat perjalanan — perjuangan seorang perempuan yang terus belajar menyeimbangkan hidupnya antara seni, ilmu, dan pengabdian sosial. Aku melihat benang-benang kecil yang mengikat banyak cerita: tentang waktu yang terbatas, tentang sabar yang diuji, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kesibukan.

Hidup ini, seperti menjahit kebaya, membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk tidak menyerah di tengah detail yang rumit. Kadang kita harus menjahit ulang, mengurai benang yang salah arah, atau menambahkan payet baru agar hasilnya sempurna. Namun yang terpenting bukan seberapa cepat kita menyelesaikannya, melainkan seberapa tulus kita menenunnya. Karena pada akhirnya, setiap benang yang kita ikat dengan cinta akan menjelma menjadi cerita — dan setiap cerita yang lahir dari ketulusan akan selalu abadi, bahkan setelah waktu berlalu.

Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas



Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas
Oleh: Rin Muna

Ada masa di mana aku merasa hidup ini berlari terlalu cepat. Seakan waktu memiliki sayap, dan aku hanya berusaha mengejar agar tak tertinggal. Setiap hari penuh dengan to-do list, agenda, rapat, target, dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Dalam kesibukan itu, ada satu hal yang sering terlupa — keheningan yang menenangkan hati.

Aku pernah berpikir, produktivitas adalah segalanya. Bahwa sibuk berarti berguna, bahwa lelah berarti berharga. Tapi ternyata, di tengah hiruk-pikuk kesibukan, aku justru kehilangan sesuatu yang lebih dalam: kedamaian.

Suatu sore di taman baca kecilku, saat anak-anak mulai pulang dan suara mereka mereda, aku duduk sendiri sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ada desir lembut angin yang menyinggung wajah, ada aroma tanah yang baru saja disiram air. Di sanalah aku tersadar — bahwa ketenangan tidak datang dari berhentinya aktivitas, tapi dari kemampuan kita untuk tetap hening di tengah gerak yang ramai.

Dalam pandangan filsafat Islam, hati manusia adalah pusat keseimbangan. Al-Ghazali pernah berkata, “Jika hati itu baik, maka baiklah seluruh jasad.” Maka, segala kesibukan, pencapaian, dan usaha duniawi kita sebenarnya akan kehilangan makna jika hati kita terus bergejolak. Islam mengajarkan bahwa dzikir — mengingat Allah — bukan hanya aktivitas ritual, tapi juga ruang batin untuk menenangkan diri. Saat lidah berzikir, hati belajar pasrah; dan di situlah kedamaian sejati tumbuh.

Damai bukan berarti berhenti bekerja, tapi bekerja dengan niat yang lurus. Sibuk bukan berarti tersesat, asal langkah kita tetap terarah kepada tujuan yang benar. Dalam konsep ihsan, setiap aktivitas, sekecil apapun, bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Mungkin di sinilah letak rahasia ketenangan para sufi — mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tapi hatinya tenang seperti air yang jernih.

Aku belajar, bahwa menemukan damai bukan tentang melarikan diri dari keramaian, tapi tentang menyelaraskan diri dengan irama hidup. Bahwa sesekali menatap langit, menghela napas panjang, atau hanya sekadar diam di antara tumpukan kesibukan, bukan tanda kemalasan — tapi bentuk penghormatan pada jiwa yang juga butuh istirahat.

Kini, setiap kali hari terasa padat, aku mencoba untuk berhenti sejenak. Menutup mata, mengucap Alhamdulillah, dan membiarkan hatiku berbicara. Karena sering kali, kedamaian itu sudah ada di dalam diri, hanya tertimbun oleh kebisingan dunia.

Dan pada akhirnya, aku menyadari — hidup yang sibuk tetap bisa damai, asal hati tahu ke mana ia pulang.

Mungkin kita tak bisa menghindari kesibukan, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Jadikan setiap langkah, setiap helaan napas, sebagai bentuk ibadah kecil yang menenangkan jiwa. Ketika hati mampu berdamai dengan waktu, dunia yang berisik pun terasa lembut. Mari belajar untuk berhenti sejenak hari ini — bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin kembali mengingat siapa diri kita, dan kepada siapa semua ini akan kembali.

Saturday, November 1, 2025

My Journey as an English Literature Student in a Small Village

 


My Journey as an English Literature Student in a Small Village

by Rin Muna


Dreams sometimes bloom late — just like wildflowers that wait for the right season to show their colors. My journey as an English Literature student began not in my teenage years, but at the age of thirty. It wasn't because I lacked passion or interest, but because life had a different plan for me.

Growing up in a small village, opportunities often felt far away. Education was something to be grateful for, but also something that depended on how much we could afford. For years, I carried my dream quietly — the dream of studying English, of reading Shakespeare’s words and understanding them without translation, of writing stories that could travel beyond the borders of my village.

When I finally became a student of English Literature, I felt both excitement and fear. Excitement, because it was a dream finally taking shape. Fear, because I realized how limited my environment was. I lived far from people who were fluent in English. There were no cafés filled with writers discussing novels, no clubs for English debate, and no native speakers to practice with. Most of my conversations about English happened in my own head — or sometimes, with my students.

Yes, I decided to open a small, free English class in my village. It started with only a few children, curious about the sounds of new words: apple, book, star. Their eyes would light up when they managed to say a full sentence in English. For me, it was not just about teaching — it was about keeping my own flame alive. Every lesson I gave was also a reminder for myself to never stop learning.

Sometimes, I study late at night when the village is silent. I read poetry by Emily Dickinson under a dim light, or try to translate short stories into English while sipping coffee from my own small shop, Teman Diskusi Coffee. My learning process is slow, but it is steady. Every word I understand feels like a small victory. Every essay I write reminds me that dreams do not expire with age.

My goal is simple yet big — one day, I want to publish a book written fully in English. Not because I want to prove something, but because I want to show that even from a small village, a voice can reach the world.

This journey has taught me that limitations can be powerful teachers. They push us to be creative, to find new paths where none existed before. I may not have all the resources that big-city students have, but I have determination, and that is enough to keep me going.

So, as I walk this path — as a woman, a student, a teacher, and a dreamer — I carry one belief close to my heart: it’s never too late to begin, and it’s never too small to dream big.

Thursday, October 30, 2025

Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung




Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung


Di sebuah sudut Desa Beringin Agung, aroma nanas yang manis pernah menjadi saksi lahirnya sebuah ide sederhana namun bernilai besar. Tahun 2019, sekelompok ibu rumah tangga yang tergabung dalam Mamuja—singkatan dari Mama Muda Samboja—memutuskan untuk memanfaatkan hasil kebun lokal yang sering kali berlimpah namun mudah busuk: nanas. Dari tangan-tangan terampil mereka, lahirlah camilan renyah bernama Stick Nanas, produk unggulan yang kini menjadi ikon kecil dari semangat perempuan desa.


Stick Nanas bukan sekadar camilan. Ia adalah kisah tentang kemandirian, kebersamaan, dan inovasi dari dapur-dapur sederhana. Proses pembuatannya pun dilakukan dengan penuh ketelitian. Nanas segar dikupas, dilumatkan, lalu diolah dengan campuran tepung dan sedikit bumbu manis gurih. Setelah melalui proses penggorengan dan pengeringan, jadilah camilan yang renyah di luar namun masih menyimpan rasa nanas yang khas di dalam. Setiap gigitan menghadirkan rasa segar tropis yang seolah membawa kita ke tengah hamparan kebun nanas di bawah matahari sore.


Bagi para ibu di Mamuja, Stick Nanas bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang peluang. Mereka belajar bersama di bawah pendampingan Rumah Literasi Kreatif (Rulika) — mulai dari teknik produksi, pengemasan, hingga cara memasarkan produk secara mandiri. Tak jarang, kegiatan mereka menjadi tempat belajar bersama anak-anak muda desa atau peserta magang yang tertarik dengan dunia wirausaha rumahan.


Dalam perjalanan usahanya, Stick Nanas juga mempertemukan para ibu Mamuja dengan banyak pihak yang peduli pada ekonomi kreatif lokal. Mereka mengikuti bazar, pameran UMKM, hingga pelatihan pengembangan produk. Semua itu dilakukan dengan semangat gotong royong — karena mereka percaya, hasil kecil dari kebersamaan akan selalu lebih berarti daripada usaha besar yang berjalan sendiri.


Kini, Stick Nanas telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak dicari saat ada acara literasi, kunjungan komunitas, atau sekadar buah tangan dari Samboja. Kemasan yang sederhana namun menarik, isi yang gurih dan manis seimbang, membuat produk ini mudah diterima berbagai kalangan. Lebih dari itu, produk ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan desa bisa berdaya tanpa harus meninggalkan rumah — cukup dengan mengolah potensi yang ada di sekeliling mereka.


Setiap kali seseorang membuka bungkus Stick Nanas, di sanalah tersimpan cerita: tentang tangan-tangan gigih ibu-ibu Mamuja, tentang semangat Rulika yang menyalakan api kreatif, dan tentang manisnya perjuangan kecil yang tumbuh dari tanah Desa Beringin Agung.


Dari nanas, mereka belajar arti kesabaran. Dari stik kecil yang renyah itu, mereka membangun mimpi besar — agar nama Mamuja, Rulika, dan Desa Beringin Agung selalu harum, sama manisnya dengan rasa Stick Nanas yang mereka ciptakan.


Kita Tidak Perlu Jadi Hebat

 

KITA TIDAK PERLU JADI HEBAT — HANYA PERLU BERGERAK LEBIH CEPAT DARI YANG LAIN UNTUK MENGAMBIL KESEMPATAN
Oleh: Rin Muna

Ada kalanya hidup ini terasa seperti perlombaan maraton tanpa garis akhir. Semua orang tampak berlari, sebagian tersenyum karena sudah di depan, sebagian lagi kelelahan tapi tetap memaksa kaki melangkah. Dalam perjalanan seperti itu, sering kali kita merasa kecil — tidak cukup hebat, tidak cukup pandai, tidak cukup beruntung. Tapi siapa bilang kita harus jadi yang paling hebat untuk bisa sampai? Kadang, kita hanya perlu lebih cepat bergerak ketika kesempatan lewat di depan mata.

Aku percaya, banyak orang gagal bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tapi karena terlalu lama berpikir, terlalu sibuk menimbang, hingga kesempatan yang semestinya jadi milik mereka justru diambil orang lain yang lebih berani. Dalam dunia nyata, kecepatan bukan sekadar tentang langkah kaki, tapi tentang kepekaan hati — kapan harus mulai, kapan harus berhenti, dan kapan harus berani melompat.


Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah menulis tentang praxis — tindakan yang lahir dari kebijaksanaan praktis (phronesis). Artinya, pengetahuan saja tidak cukup; ia harus diikuti oleh tindakan nyata. Dalam konteks modern, banyak orang berhenti di fase berpikir, menganalisis, dan merancang strategi sempurna, padahal dunia terus berubah tanpa menunggu.

Di sini, keberanian mengambil langkah menjadi bentuk kebijaksanaan itu sendiri. Kierkegaard, filsuf eksistensialis, bahkan menyebut bahwa lompatan iman (leap of faith) diperlukan untuk menembus batas logika dan rasa takut. Karena sering kali, kesempatan tidak datang dua kali — dan yang menentukan bukan siapa paling pintar, tapi siapa paling siap saat momen itu tiba.

Maka, tak perlu menunggu jadi hebat dulu untuk memulai. Justru, dengan memulai lebih dulu, kita akan tumbuh menjadi hebat. Seperti benih kecil yang tak menunggu menjadi pohon sebelum ditanam — ia menanam dulu, baru tumbuh.






Dalam Islam, konsep bergerak cepat di jalan kebaikan disebut fastabiqul khairat — “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 148). Ayat ini bukan hanya perintah untuk berbuat baik, tapi juga seruan agar jangan menunda. Sebab, kebaikan yang ditunda bisa kehilangan maknanya.

Rasulullah SAW juga bersabda:
 “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum datang miskinmu, waktu luangmu sebelum datang sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim)



Hadis ini sejatinya mengajarkan urgensi gerak cepat dalam kebaikan dan kesempatan. Hidup ini sementara, dan waktu adalah sumber daya paling mahal yang tidak bisa dibeli kembali. Maka, setiap detik yang diisi dengan langkah berarti adalah bentuk kemenangan kecil dalam perjalanan panjang menuju makna hidup.



Kita sering berpikir bahwa dunia akan memberi ruang bagi yang paling berbakat. Padahal kenyataannya, dunia lebih menghargai yang berani. Orang hebat memang dikagumi, tapi orang yang bergeraklah yang mengubah keadaan.

Coba lihat di sekeliling — banyak orang sederhana yang sukses bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka tidak takut mencoba lebih dulu. Mereka menjemput peluang bahkan ketika belum siap sepenuhnya. Dan sering kali, kesuksesan datang bukan dari kesiapan penuh, melainkan dari langkah awal yang berani.

Dalam bahasa sederhana: kadang kita hanya perlu lebih dulu satu langkah.




Gerak cepat bukan berarti terburu-buru. Ini soal kesadaran dan ketegasan mengambil keputusan. Dalam filsafat Timur, terutama dalam ajaran Lao Tzu, ada keseimbangan antara wu wei — bertindak tanpa paksaan — dan momentum. Artinya, bergerak dengan kesadaran penuh, tahu kapan waktu yang tepat, tapi tidak menunggu terlalu lama hingga kehilangan kesempatan.

Begitu pula dalam Islam, ada istilah ijtihad — usaha sungguh-sungguh untuk mencari solusi terbaik. Ijtihad adalah bentuk gerak intelektual dan spiritual. Jadi, bergerak cepat tidak berarti tanpa pikir, melainkan berpikir secukupnya dan bertindak seperlunya.



Kita lahir dalam gerak — detak jantung, tarikan napas, bahkan waktu yang terus berjalan. Maka, diam terlalu lama adalah bentuk kemunduran. Tidak bergerak berarti menyerahkan diri pada stagnasi.

Ketika Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11),
ayat ini bukan sekadar motivasi spiritual, melainkan prinsip perubahan. Tidak perlu jadi hebat, cukup mau bergerak lebih dulu — karena perubahan tidak lahir dari kehebatan, tapi dari kemauan.



Aku pernah mendengar seorang sahabat berkata, “Aku bukan orang paling pintar di ruangan ini, tapi aku ingin jadi orang pertama yang berani mencoba.” Kalimat itu sederhana tapi kuat. Karena pada akhirnya, kehidupan ini bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau.

Kita tidak perlu jadi hebat untuk memulai sesuatu. Tapi kita perlu memulai agar suatu hari bisa jadi hebat. Karena kesempatan sering kali hanya menampakkan diri pada mereka yang sudah bersiap — dan bersiap itu dimulai dengan langkah kecil hari ini.

Maka, jangan tunggu sampai sempurna untuk melangkah. Dunia terlalu cepat berubah untuk menunggu seseorang yang masih sibuk merasa belum siap.

Bergeraklah.
Sekarang juga.
Sebelum kesempatan menutup pintunya.


Thursday, October 23, 2025

Keluarga Literasi dari Manado || Festival Literasi Nasional Tahun 2024

 



Jakarta, 10 Desember 2024


Di hadapan kerlip lampu kota Jakarta — di saat saya melangkah dari bandara ke ruang pertemuan besar, saya merasa seperti memasuki sebuah arena di mana ide-ide, kisah, dan semangat literasi berkumpul. Sebagai perwakilan dari komunitas literasi Provinsi Kalimantan Timur, saya diundang ke Festival Komunitas Literasi dan Sastra Nasional 2024” yang ditutup secara resmi pada 12 Desember 2024 di Jakarta. 

Pagi berangkat dari bandara, perjalanan terasa seperti menyelami rasa ingin tahu yang telah lama menyala. Saya membayangkan bagaimana suara komunitas literasi dari Kalimantan Timur akan bertemu dengan suara‐suara dari pulau dan provinsi lain—sesuatu yang terasa sakral dan sekaligus riuh. Tiba di lokasi acara, saya merasa agak canggung: seorang wakil dari Kalimantan Timur, berdiri di tengah ratusan wajah yang datang dari seluruh Nusantara.


Tapi kemudian, kehangatan itu datang—bukan dari acara besar, bukan dari panggung tampak megah, melainkan dari sosok‐sosok kecil yang menepi, tersenyum, dan menyapa. Di sana, saya bertemu tiga orang pegiat literasi dari kota Manado. Meskipun kami berbeda provinsi, bahkan berbeda agama, mereka menyambut saya dengan tangan terbuka. Dalam rona hangat sapaan mereka, saya merasa diterima sebagai bagian dari satu keluarga literasi.


Dua nama yang terekam dalam memori saya adalah Pak Devi dan seorang lagi (nama mungkin terlupa karena sibuk bersalaman dan tertawa bersama). Pak Devi, dengan suara tenang dan senyum lebar, sering menyapa: “Nak, ayo mampir sini,” katanya, seolah saya adalah bagian dari keluarganya sendiri. Ia dan teman‐temannya dari Manado memperlakukan saya bukan sebagai “wakil” saja, tetapi sebagai “anak” yang mereka anggap istimewa—dengan rasa hormat, perhatian, dan kehangatan yang tulus.


Momen itu membekas: di antara keramaian diskusi panel, pameran komunitas, dan bazar buku, saya duduk di sebuah bangku sederhana bersama mereka, berbagi cerita asal‐usul komunitas kami di Kalimantan Timur, serta mendengarkan kisah bagaimana mereka – meskipun berasal dari latar yang berbeda – membawa semangat literasi di Manado. Kebersamaan lintas agama dan provinsi menjadi sebuah simbol kecil bahwa literasi memang jembatan persaudaraan.


What It Taught Me


Dari event ini saya pulang dengan beberapa pelajaran yang terasa nyata:


Literasi sebagai ruang inklusi. Saat kita bicara tentang literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi saling menghargai, berbagi gagasan, dan merayakan keberagaman—momen bersama tiga pegiat dari Manado menguatkan bahwa literasi mempersatukan.


Keberagaman bukan hambatan, melainkan kekuatan. Kami berbeda agama, berbeda provinsi, dan latar kami juga berbeda. Namun saat berada di sana, hal itu bukan menjadi faktor yang memisahkan, melainkan justru penguat. Kenapa? Karena literasi membuka hati untuk mendengar, dan mendengar mengantar pada rasa saling menghormati.


Jejaring itu nyata dan personal. Sering kali acara besar terasa formal, namun di sana, penyambutan sederhana seperti “kita anggap kamu anak kami” dari Pak Devi membuat saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih manusiawi.


Komunitas dari daerah terpencil punya suara. Sebagai wakil dari Kalimantan Timur, saya merasa bahwa kehadiran kami di festival itu bukan “hanya dipanggil”, tetapi kami ambil posisi sebagai peserta aktif—untuk berbagi, melihat, dan membawa pulang inspirasi ke daerah kami. 


Saat saya berjalan menuju meja registrasi, Pak Devi sudah berdiri menunggu dengan segelas kopi dan dua teman dari Manado. Mereka mempersilakan saya duduk, bertanya dengan hangat tentang perjalanan saya dan komunitas kami. Saya merasa seperti anak yang pulang ke rumah keluarga besar literasi.


Di sesi pameran komunitas, saya sempat menunjukkan hasil literasi kami di Kalimantan Timur—buku kecil, majalah komunitas, dan poster film pendek literasi. Mereka memuji dengan tulus, menanyakan latar belakang dan tantangan yang kami hadapi. Rasa dihargai itu terasa menyentuh.


Tak pernah saya bayangkan bahwa dalam satu acara di Jakarta, saya bisa merasa “di rumah” oleh orang‐orang yang baru bertemu beberapa jam sebelumnya. Mereka mengajak jalan bersama ke bazar buku, memilih buku bertema anak-anak, jalan santai di malam hari, cari makan di luar hotel dan tertawa bersama ketika staf bazar mengira mereka sudah “papan atas”.


Kembalinya saya ke Kalimantan Timur, saya membawa lebih dari sekadar materi acara. Saya membawa cerita—cerita bahwa ruang literasi bisa mempertemukan manusia tanpa batas. Ketika saya ceritakan pengalaman bersama tiga pegiat Manado kepada tim di komunitas kami, mata mereka berbinar: “Wah, jadi kita juga bisa punya jejaring nasional, ya.”


Kami kemudian merancang program setelah festival: sesi sharing daring dengan komunitas dari luar provinsi, membentuk “teman literasi lintas pulau” sebagai mitra, agar keberagaman kami terasa sebagai kekuatan, bukan alasan untuk merasa kecil.


Acara seperti Festival Literasi dan Sastra Nasional 2024, dengan tema “Komunitas Literasi dan Sastra Berkarya untuk Indonesia Emas,” menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi soal berkarya bersama menuju masa depan yang cemerlang.


Kehadiran saya di festival itu bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi hadir secara hati. Saya belajar bahwa literasi adalah ruang yang memeluk keberagaman, merangkul kehangatan, dan menyulut harapan. Perjumpaan saya dengan tiga pegiat dari Manado adalah bukti kecil bahwa ketika kita buka diri—walau berbeda—kita menemukan persaudaraan. Dan ketika komunitas dari Kalimantan Timur berdiri di panggung nasional, itu bukan hanya soal “kami datang”, tetapi soal “kami hadir dan kami berbicara”.


Semoga pengalaman ini menjadi bahan bakar untuk saya dan komunitas di Kalimantan Timur — agar kita terus menyalakan literasi, merajut jejaring, dan menulis kisah kita sendiri dalam panggung besar literasi nasional.



Wednesday, October 22, 2025

Rempong yang Indah dari Ibu-Ibu Dasawisma Kantil

 


Rempong yang Indah dari Ibu-Ibu Dasawisma Kantil


Hari itu suasana RT 03 Desa Beringin Agung terasa lebih riuh dari biasanya. Bukan karena ada hajatan, bukan pula karena ada rapat penting. Penyebabnya sederhana: ibu-ibu Dasawisma Kantil mau foto-foto. Tapi jangan salah, urusan foto bagi para ibu ini bukan perkara sepele. Harus kompak, bagus, dan maksimal — tiga syarat wajib yang ternyata bisa bikin satu kampung heboh.

Pagi-pagi, grup WhatsApp Dasawisma sudah penuh dengan pesan. “Ada yang punya jarik motif parang nggak?” tanya seorang ibu. “Aku udah pinjam baju lurik di rumah sepupu,” balas yang lain. “Aku nggak punya caping, pinjem di siapa ya?” tambah satu lagi. Dari situ saja sudah kelihatan semangat mereka: mau tampil sebaik mungkin, seindah mungkin, meski semua harus diusahakan dari sana-sini.


Begitu hari pemotretan tiba, pemandangan di posko Dasawisma seperti ruang rias dadakan. Ada yang sibuk melilitkan kain jarik, ada yang belajar cepat memakai caping biar miringnya pas, ada yang minta bantuan merapikan kerah lurik. Suara tawa bercampur dengan riuh suara anak-anaknya yang juga hadir di sana. Semua ingin tampil kompak. Semua ingin terlihat cantik.





Sementara mereka sibuk berdandan, aku hanya duduk di sudut, memperhatikan. Hari itu aku memilih tidak memakai alas bedak sama sekali. Wajahku polos tanpa polesan, hanya senyum tulus sebagai hiasan. Bukan karena malas berdandan, tapi karena aku merasa semakin kita punya value, semakin kita ingin tampil apa adanya. Bukan pakaian atau make-up yang membuat seseorang berharga, melainkan makna yang ia bawa dalam dirinya.


Tentu saja, bukan berarti aku tidak ikut senang. Justru aku menikmati keriuhan itu — rempong yang hangat, riuh yang membahagiakan. Ibu-ibu Dasawisma Kantil bukan sekadar kumpulan warga, mereka adalah wajah-wajah perempuan tangguh yang tahu cara bersenang-senang setelah lelah mengurus rumah, keluarga, dan kehidupan.



Setelah sesi foto usai, wajah-wajah yang tadi tegang karena takut riasannya luntur kini berubah ceria. Sambil tertawa, mereka mengajakku ikut berkeliling. “Ayo, kita jalan-jalan ke Dasawisma RT 1 sampai RT 10!” seru Bu Misna, pemilik mobil Grandmax yang hari itu jadi kendaraan kebersamaan kami.

Kami pun berangkat. Mobil Grandmax itu terasa seperti mini bus wisata, penuh tawa dan cerita. Di setiap RT yang kami lewati, selalu ada sapaan, senyum, dan canda. Tak ada yang sibuk dengan ponsel, tak ada yang sibuk membandingkan hasil foto. Yang tersisa hanyalah kebersamaan yang tulus — hal yang jarang, tapi begitu mahal nilainya.

Sore itu, aku pulang dengan hati hangat. Di balik rempong dan hiruk-pikuk persiapan, aku melihat sesuatu yang lebih dalam: semangat untuk kompak, untuk tampil bersama, dan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.



Mungkin, begitulah indahnya menjadi bagian dari Dasawisma Kantil — di mana keriuhan bukan tanda kekacauan, tapi bukti bahwa cinta, persaudaraan, dan semangat hidup masih hidup di antara kami.




Kutai Kartanegara, 21 Oktober 2025



Rin Muna

Friday, October 17, 2025

Hati Selapang Yusuf: Belajar Memaafkan Mereka yang Menyakiti Kita




Hati Selapang Yusuf: Belajar Memaafkan Mereka yang Menyakiti Kita


Oleh: Rin Muna

Kadang, hidup memberi kita pelajaran paling berat lewat orang yang paling kita sayangi.
Bukan dari musuh, bukan dari orang asing, tapi dari mereka yang kita kira akan selalu melindungi kita.
Dari sinilah kisah Nabi Yusuf AS mengajarkan sesuatu yang nyaris mustahil dilakukan manusia biasa, yakni memaafkan tanpa sisa.

Dalam surah Yusuf ayat 8–10, Allah mengisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf merasa iri kepada Yusuf kecil yang disayangi ayahnya, Nabi Ya’qub. Kecemburuan itu berubah jadi niat jahat. Mereka melemparkannya ke dasar sumur dan berbohong bahwa ia telah dimakan serigala.

Bayangkan!
Dikhianati oleh darah sendiri. Diterlantarkan, lalu dibesarkan di negeri asing, dijual sebagai budak, difitnah, dan dipenjara, semua berawal dari permulaan yang pahit itu. Tapi anehnya, Yusuf tidak menyimpan dendam sedikit pun.

Ketika akhirnya menjadi penguasa Mesir dan berkuasa penuh atas nasib saudara-saudaranya, Yusuf hanya berkata lembut:

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”


Lihatlah, betapa lapangnya hati itu.
Ia bisa saja menghukum, bisa saja menuntut balas, tapi Yusuf memilih untuk melepaskan beban luka dan menggantinya dengan kasih sayang.

Kadang kita salah sangka, mengira orang yang hatinya lapang berarti tidak pernah sakit. Padahal, justru karena hatinya pernah remuk, ia belajar bagaimana cara menyembuhkannya.
Yusuf juga manusia. Ia menangis, ia kecewa, ia rindu ayahnya. Tapi setiap kali luka itu datang, ia tidak menambah luka baru dengan kebencian.

Dalam Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa doa Nabi Yusuf ketika dalam penjara:

“Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka.” (QS. Yusuf: 33)

Ini menunjukkan bahwa ia memilih kesucian hati daripada kesenangan sesaat. Ia tahu, menjaga hati lebih penting daripada memenangkan ego.

Begitu juga dalam kehidupan kita sekarang.
Ketika teman kerja menjelekkan di belakang, ketika saudara sendiri iri terhadap keberhasilan kita, atau ketika orang yang kita bantu justru menikam dengan kata-kata, maka itu semua adalah "sumur" kecil yang menanti reaksi kita.
Apakah kita akan menenggelamkan diri dalam amarah, atau belajar berenang menuju permukaan dengan hati yang ringan?

Lapang hati itu bukan teori, tapi latihan harian.
Misalnya, saat seseorang membatalkan janji di menit terakhir, atau teman yang tiba-tiba menjauh tanpa penjelasan.
Awalnya pasti ada rasa “kok tega sih?”. Tapi perlahan, kalau kita belajar seperti Yusuf, kita akan menemukan kekuatan baru. Kekuatan untuk berkata, “Tidak apa-apa, mungkin Allah sedang mengajarkan aku tentang ikhlas.”

Di rumah, lapang hati bisa terlihat dari bagaimana kita menahan suara saat marah kepada anak, atau bagaimana kita memilih diam saat disalahpahami pasangan.
Di tempat kerja, lapang hati berarti tidak membawa dendam ke dalam pekerjaan, dan tetap profesional walau kecewa.
Di dunia maya, lapang hati berarti tidak membalas komentar kasar dengan komentar kasar, tapi dengan senyum dan doa dalam hati.

Karena lapang hati bukan kelemahan, justru itu tanda kekuatan sejati.
Sebagaimana dikatakan oleh ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin:

“Tanda hati yang bersih adalah ketika engkau tidak merasa senang atas musibah orang yang pernah menyakitimu.”

Itu sulit, tapi bukan tidak mungkin. Yusuf telah membuktikannya.

Yang membuat Yusuf menang bukan tahtanya, tapi cara ia memperlakukan mereka yang menjatuhkannya.
Ketika ia memeluk saudara-saudaranya yang dulu mencelakainya, itu bukan hanya pelukan fisik, tapi pelukan spiritual yang menyembuhkan masa lalu.

Di titik itu, Yusuf sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Ia tak lagi butuh pembuktian, tak lagi mencari balasan. Ia hanya ingin menebar kebaikan karena tahu jika Allah-lah yang menulis cerita dari awal sampai akhir.

Dalam hidup ini, kita juga akan bertemu banyak “saudara” dalam berbagai bentuk: teman, rekan kerja, bahkan orang tua. Karena terkadang saudara justru menjadi orang asing hanya karena tidak bisa menerima siapa kita hari ini.






Nabi Muhammad SAW: Mukjizat Intelektual dan Cahaya Kecerdasan yang Abadi



Nabi Muhammad SAW: Mukjizat Intelektual dan Cahaya Kecerdasan yang Abadi

Oleh: Rin Muna

Banyak kisah tentang para nabi yang menakjubkan. Nabi Sulaiman dengan kekayaan dan kekuasaannya, Nabi Ayyub dengan kesabarannya, Nabi Yusuf dengan ketampanannya, Nabi Nuh dengan keteguhannya, dan Nabi Musa dengan keberaniannya menghadapi Fir’aun. Namun di antara mereka semua, ada satu sosok yang tidak hanya mulia karena mukjizatnya, tetapi karena kecerdasannya yang melampaui batas manusia , dialah Nabi Muhammad SAW.

Sering kali aku memikirkan tentang sosok Nabi Muhammad SAW. Tentang bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa membaca dan menulis, mampu melahirkan sebuah peradaban ilmu yang mengubah dunia. 
Di sinilah letak mukjizat yang sering terabaikan. Bukan hanya mukjizat Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, tetapi juga mukjizat intelektual yang menjadikan beliau sebagai sumber inspirasi bagi para pemikir lintas zaman. Bagiku, Rasulullah memiliki kecerdasan intelektual yang sempurna. Beliau bisa mengingat dengan baik setiap wahyu yang Allah turunkan, yang kemudian menjadi Al-Qur'an dan Al-Hadist yang saat ini menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat.

Rasulullah SAW memiliki kecerdasan yang menyeluruh (Intelektual, Emosional, dan Spiritual).

Kecerdasan Rasulullah SAW tidak hanya terbatas pada kemampuan logika atau ilmu pengetahuan, tetapi menyeluruh dalam semua dimensi kehidupan.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebutkan bahwa Rasulullah memiliki ‘aql al-tam atau  akal yang sempurna. Ini berarti kecerdasan beliau mencakup nalar, intuisi, empati, dan kemampuan sosial yang tinggi.

Dalam setiap situasi genting, beliau menunjukkan keseimbangan yang luar biasa antara akal dan hati. Saat Perang Badar, misalnya, beliau menata strategi militer yang matang. Beliau mmemilih posisi di dekat sumber air, membentuk barisan, dan mengatur logistik pasukan. Namun pada saat yang sama, beliau tetap berdoa dengan linangan air mata, menggantungkan segala keputusan kepada Allah.

Inilah puncak kecerdasan sejati. Yakni ketika logika tidak menyingkirkan iman, dan iman tidak menafikan akal.


Rasulullah SAW diutus kepada bangsa Arab yang kala itu dikenal dengan budaya lisan dan kefasihan berbahasa. Mereka gemar beradu syair, menimbang kata, dan berdebat dalam majelis-majelis sastra. Namun ketika Al-Qur’an turun, para penyair terhebat pun terdiam.

Ayat-ayatnya bukan hanya indah, tetapi mengandung logika, struktur, dan keilmuan yang melampaui batas manusia. Sungguh, aku sangat menyukai ayat-ayat Allah. Terlebih ketika membaca buku terjemahan Al-Qur'an yang diterbitkan pada zaman dahulu. Pilihan diksinya terasa lebih menyentuh hati meski tidak mudah dipahami oleh orang awam, terutama untuk generasi Z dan Alpha seperti sekarang ini.

Allah menegaskan dalam (QS. Yasin: 69) :

“Dan Kami tidak mengajarkan dia (Muhammad) syair, dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas.”


Mukjizat intelektual Rasulullah terletak pada kemampuannya menerima, memahami, dan menyampaikan wahyu dengan ketepatan makna, meski tanpa pendidikan formal. Ia menyampaikan pesan-pesan yang mencakup teologi, hukum, etika, sains, bahkan politik, dengan bahasa yang paling jernih dan rasional.

Para cendekiawan seperti Dr. Maurice Bucaille, dalam bukunya La Bible, le Coran et la Science, menegaskan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan sains modern. Ini bukti bahwa Rasulullah menerima wahyu yang melampaui kecerdasan manusia pada zamannya.


Dalam sejarah, Rasulullah tidak hanya dikenang sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai pemimpin yang visioner dan komunikator ulung.
Beliau mampu mempersatukan suku-suku Arab yang bertikai selama ratusan tahun menjadi satu ummah.

Salah satu contoh nyata kecerdasan sosial beliau tampak saat peristiwa peletakan Hajar Aswad. Saat itu, suku-suku Quraisy hampir berperang karena berebut kehormatan untuk meletakkan batu suci itu.
Rasulullah yang saat itu masih muda, datang membawa solusi sederhana tapi jenius.
Beliau membentangkan selembar kain, meletakkan batu di tengahnya, dan meminta setiap pemimpin suku memegang sisi kain tersebut bersama-sama.

Dengan cara itu, beliau tidak hanya menghindari pertumpahan darah, tetapi juga membuat semua pihak merasa dihormati.
Itulah puncak kecerdasan emosional dan sosial di mana Rasulullah mampu membaca situasi, menenangkan konflik, dan menghadirkan solusi damai tanpa menyinggung siapa pun.


Kadang aku merenung di tengah kesibukan dunia yang sangat bising ini.
Kita sering mengukur kecerdasan dari seberapa cepat kita berpikir, seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa besar inovasi yang kita hasilkan. Tapi Rasulullah mengajarkan bahwa kecerdasan sejati lahir dari ketundukan kepada kebenaran.

Beliau tidak pernah membanggakan dirinya sebagai orang paling cerdas. Beliau justru sering berdoa:

“Ya Allah, tambahkanlah ilmuku.” (QS. Taha: 114



Doa sederhana ini adalah tanda bahwa kecerdasan bukanlah puncak, melainkan perjalanan. Bahwa belajar adalah ibadah, dan memahami adalah bentuk kasih sayang Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.

Maka benar jika Rasulullah disebut memiliki mukjizat intelektual. Bukan karena beliau menulis buku atau membangun perpustakaan, melainkan karena beliau membangun peradaban berpikir  yang hingga kini masih menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia.



Kadang aku berpikir, andai setiap manusia belajar dari kecerdasan Rasulullah, mungkin dunia akan lebih tenang. Karena kecerdasan beliau bukan untuk mengalahkan, tapi untuk memahami. Bukan untuk meninggi, tapi untuk menunduk pada kebenaran.
Dan mungkin di sanalah letak cahaya yang disebut nur Muhammad, sumber ilmu yang tak pernah padam di hati mereka yang mencari.


Sumber Referensi:

1. Al-Qur’anul Karim (QS. Yasin: 69, QS. Taha: 114)


2. Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Bab 6: Tentang Akal dan Ilmu)


3. Maurice Bucaille, La Bible, le Coran et la Science, 1976


4. Hamka, Sejarah Umat Islam, Balai Pustaka, 1975










Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas