Wednesday, August 17, 2022

Bab 55 - Sick for Love

 


Tepat jam enam sore, Nanda langsung menarik tubuh Ayu yang masih berendam di dalam kolam. Ia langsung membaringkan tubuh Ayu di tepi kolam dan pelayan lain buru-buru menghampiri Nanda untuk membantunya.

“Nin, Tuan Puteri baik-baik saja?” tanya salah seorang pelayan sambil memperhatikan wajah Ayu yang sudah memucat dan nyaris tak sadarkan diri.

“Nan ... Nan ...!” lirih Ayu dengan tubuh gemetaran dan langsung merangkul Nanda yang masih memangkunya.

“Nan itu siapa?” tanya salah seorang pelayan sambil mengulurkan handuk ke arah Nanda dan membantu melepas kain jarik yang melilit tubuh Ayu.

“Nama suaminya,” jawab Nanda sambil menatap tubuh Ayu yang sedang dibuka oleh pelayan lain.

“Iya. Nama suaminya itu Mas Nanda. Kalau nggak salah ingat,” sahut pelayan lain.

“Huft ...! Kasihan sekali Tuan Puteri kita ini. Hanya untuk mendapatkan restu dari keluarganya, harus menerima hukuman seberat ini. Kisah cinta orang-orang tinggi, memang diuji dengan masalah yang tinggi juga. Untungnya aku hanya orang biasa. Ujianku ya biasa-biasa saja.”

“Nggak usah banyak bicara! Cepat lepaskan kain Tuan Puteri! Keburu kedinginan,” perintah pelayan lain yang mengetahui kalau Nindi adalah suami dari Roro Ayu yang sedang menyamar.

Pelayan yang dimaksud langsung melepaskan jarik basah yang menutupi tubuh Ayu.

Nanda menahan napas saat tubuh polos Ayu yang terpampang di pangkuannya. Tubuhnya yang putih polos itu, berhasil membuat aliran darahnya tak karuan. Dengan cepat, tangannya menarik badcover dari tangan pelayan lain dan menggulungkannya ke tubuh Ayu. "Hangatkan jariknya supaya bisa digunakan lagi besok pagi!" perintahnya pada pelayan lain.

Pelayan itu mengangguk. Mereka segera menghangatkan kain jarik yang digunakan Ayu menggunakan api yang ada di sana.

“Masih ada penjaga di luar?” tanya Nanda.

“Masih.”

“Kalian siapkan makanan untuk Tuan Puteri dan beristirahatlah dengan baik! Biar aku yang menemani dan mengurus Tuan Puteri di sini,” pinta Nanda.

“Tapi ... kami juga ingin menemani Tuan Puteri di sini,” tutur salah seorang pelayan yang ada di sana.

“Hush! Jangan sampai kita semua sakit dan menularkan virus ke Tuan Puteri karena kita kurang istirahat. Lebih baik, kita beristirahat dengan baik dan kita bergantian jaga untuk besok lagi,” tutur pelayan lain sambil melangkah pergi.

Nanda menghela napas lega. Ia memeluk tubuh Ayu yang sudah ia baringkan di atas tikar yang disediakan di sana. “Ay ...!” panggilnya lirih sambil menepuk pipi Ayu. Ia ikut berbaring di samping tubuh Ayu sembari memeluk erat tubuh wanita itu.

“Ay ...! Wake up! Say something for me!” bisik Nanda sambil menempelkan keningnya ke kening Ayu. Ia terus mengusap pipi Ayu yang dingin dan pucat. Air matanya mengalir perlahan. Rasanya, ia ingin membawa Ayu pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi ia tahu, keinginan besar Ayu saat ini adalah diterima oleh keluarganya sendiri. Mungkin, terlalu banyak hari sepi yang dijalani wanita ini selama ia mengasingkan dirinya di London.

“Nan ...!” panggil Ayu lirih sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda yang terasa sangat hangat.

“It’s me,” tutur Nanda sambil membelai lembut kepala Ayu.

“Dingin,” lirih Ayu sambil mendekatkan bibirnya ke leher Nanda yang terasa hangat.

Nanda langsung membenamkan kepala Ayu ke dalam dadanya. “Ay, kita akhiri saja, ya! Aku nggak sanggup lihat kamu kayak gini,” bisiknya.

“Aku masih kuat,” bisik Ayu sambil merasakan tubuh Nanda yang terasa sangat hangat dan nyaman. Ia terus memeluk erat tubuh pria itu hingga kesadarannya bisa kembali dengan sempurna.

“Masih dingin?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk. Ia membuka matanya perlahan dan langsung berhadapan dengan wajah Nanda yang nyaris tak berjarak dengannya. Suhu dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat gairahnya tiba-tiba bangkit saat berhadapan dengan pria ini. Seluruh tubuhnya yang tadi lumpuh dan tidak bisa bergerak, langsung merangkul tubuh Nanda dan menyambar bibir pria itu penuh sensual.

Debar jantung Nanda semakin menderu kala Ayu mulai memberikan sentuhan di tubuhnya dan meminta diperlakukan lebih dari sekedar pelukan dan ciuman. Ketika gairah itu mulai menguasai mereka, Nanda tiba-tiba terbangun dari fantasy seksualnya dan langsung mendorong tubuh Ayu yang sudah bergerak agresif di atasnya.

“Ay, sadar!” pinta Nanda sambil menangkup wajah Ayu.

“Aku kedinginan, Nan,” ucap Ayu sambil menatap lekat wajah Nanda.

“Kita ada di kolam suci. Bertemu dengan pria bukan mahrom saja kamu tidak diperbolehkan. Aku tidak ingin kalau kamu harus menanggung hukuman yang lebih berat lagi dari leluhurmu,” ucap Nanda.

Ayu menghela napas mendengar ucapan Nanda.  Ia langsung mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Nanda dan duduk di samping pria itu. Ia mengedarkan pandangannya ke semua api unggun yang mengelilingi kolam tersebut.

“Kamu yang buat api-api ini, Nan?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk. “Dibantu dengan pelayan lain. Mereka bawakan aku kayu bakar untuk memastikan kalau api ini tidak akan pernah mati.”

“Semoga tidak pernah mati dan abadi di sini. Aku suka melihatnya,” ucap Ayu sambil tersenyum. Ia memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan badcover yang menjadi selimutnya.

Nanda tersenyum mendengar ucapan Ayu. “Kalau benar-benar bisa abadi, itu keajaiban. Aku ingin ... cinta kita saja yang abadi. Tidak mati dimakan usia, tidak hilang ditelan zaman.”

Ayu tersenyum dan menoleh ke arah Nanda. “Kamu udah pinter ngegombal?”

Nanda tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalau nggak pandai gombal, mana mungkin dinobatkan sebagai playboy paling keren di negeri ini.”

“Playboy paling keren nggak akan ngejar-ngejar aku,” sahut Ayu.

“Kamu ...!?” Nanda mendelik ke arah Ayu sambil menahan geram. “Kamu udah pandai ngejek aku, hah!?”

“Di dunia ini ...  karma beneran ada. Dulu, kamu selalu bilang kalau aku ini cupu, kutu buku dan nggak menarik sama sekali. Kenapa sekarang malah nempel mulu kayak lem tikus?”

“Karena kamu itu beda sama cewek lain. Cuma kamu satu-satunya wanita yang mau berkorban banyak buatku, Ay. Rela memberikan nyawa kamu buat aku dan satu-satunya wanita yang menjadi tempat untuk melahirkan bayi-bayiku,” jawab Nanda.

“Bayi-bayi? Kamu kira aku ini binatang ternak?” dengus Ayu.

Nanda terkekeh dan menarik tubuh Ayu ke pelukannya. “Hehehe. Jangan ngambek, dong! Kamu tuh makin lucu kalau lagi ngambek. Eh, kapan aku pernah ngomong kalau kamu cupu dan nggak menarik?”

“Entah kapan,” sahut Ayu sambil melirik Nanda.

“Serius, Ay!”

“Iya, serius. Udahlah, nggak usah dibahas! Oh ya, gimana acara pernikahan Sonny? Kamu jadi datang ke acara dia?”

Nanda menggeleng. “Aku mana mungkin pergi ke pesta saat kamu lagi dihukum seperti ini. Nanti, kita datang ke rumah Sonny saat hukumanmu sudah selesai. Gimana?”

Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku rindu sama semua temen-temen SMA kita. Mereka semua apa kabar, ya? Kenapa saat kita sudah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, kisah-kisah remaja itu menguap begitu saja?”

“Karena ...” Nanda menghentikan ucapannya saat ia mendengar langkah kaki memasuki gua tersebut. Ia langsung melepas pelukannya dan merapikan pakaiannya.

“Permisi ...! Kami mau antar makan malam untuk Tuan Puteri,” ucap dua pelayan sambil menghampiri Ayu.

“Taruh saja di sini!” perintah Ayu sambil menunjuk ke bagian depan kakinya. “Kalian bisa langsung keluar! Aku nggak mau diganggu.”

Dua pelayan itu mengangguk dan segera keluar dari dalam gua tersebut.

“Kamu udah makan?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda menggeleng.

“Makan dulu, ya!” pinta Ayu sambil membuka kotak makanan yang dibawakan untuknya.

Nanda langsung menyambar kotak makanan itu dari tangan Ayu. “Kamu yang belum makan, masih bisa memperhatikan orang lain?”

“Kamu sudah menjagaku seharian. Pasti belum makan ‘kan? Aku nggak mau kalau kamu sakit. Kalau sakit, siapa yang jaga aku lagi?” tanya Ayu balik.

Nanda tersenyum menanggapi pertanyaan Ayu. “Baiklah. Kita makan sama-sama, ya!”

Ayu mengangguk. Ia menikmati makanan yang disuapkan Nanda ke mulutnya dengan perasaan bahagia. Semakin banyak ujian yang ia hadapi, membuat Nanda semakin perhatian terhadapnya. Tidak bisa dipungkiri jika naluri wanita memang selalu ingin dimanja dan dicintai seperti ini. Ia harap, cinta Nanda kepadanya bisa terus bertambah dan membuat kisah mereka bisa berakhir bahagia.

 

 

 ((Bersambung...))

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

  


Bab 54 - Menghangatkanmu

 



Tok … tok … tok …!

Pintu kamar Ayu tiba-tiba diketuk saat ia sedang asyik bercanda dengan Nindi alias Nanda.

“Siapa?” tanya Ayu dari dalam kamar. Sementara, Nanda langsung beringsut ke depan cermin dan memperbaiki riasan wajahnya. Juga merapikan pakaian pelayan yang ia kenakan dan memoleskan lipstik di bibirnya.

“Cepet rapiin! Ntar ketahuan kalau kamu laki-laki!” pinta Ayu sambil mengalungkan selendang ke leher Nanda.

Nanda mengangguk. “Udah?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia mengecup pipi Nanda dan beringsut ke atas tempat tidurnya. Sementara, pria itu langsung melangkah menuju pintu kamar Ayu dan membukakan pintu untuk seseorang di luar sana.

Nanda membungkuk hormat begitu mengetahui kalau yang datang adalah ibu kandung dari Roro Ayu.

Bunda Rindu langsung melangkah masuk ke dalam kamar Ayu begitu pintu terbuka untuknya.

Nanda buru-buru keluar dari kamar tersebut sebelum Bunda rindu mengetahui kehadirannya yang sedikit mencurigakan.

"Ayu, gimana keadaanmu?" tanya Bunda Rindu sambil menghampiri Ayu yang sedang duduk di atas ranjang tidurnya.

“Baik Bunda, Ayu baik-baik saja,”  jawab Ayu dingin.

“ Kamu marah sama Bunda?”

Ayu menggelengkan kepala. Dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat berhadapan dengan orang tuanya sendiri. Selama ini Ayu melihat kedua orang tuanya adalah sosok yang sangat baik. Dia bahkan masih belum mempercayai dan mempertanyakan tentang kematian bayinya dan perawatannya di luar negeri yang dilakukan tanpa sepengetahuan Nanda.

“Ayu, maafkan Bunda! Bunda  bukan bermaksud mengabaikanmu. Kamu tahu, semua orang  akan mengecam keluarga Keraton kita jika hukuman ini tidak dijalankan.”

Ayu mengangguk. “Ayu  mengerti, Bunda.”

“Tubuhmu baik-baik saja kan?" tanya  Bunda rindu sambil berusaha menyentuh pundak Ayu.

“Aku  baik-baik saja, Bunda. Bunda tidak perlu menghawatirkan Ayu. semua pelayan di sini memperlakukan aku dengan baik.”

“Syukurlah  kalau begitu. Bunda sangat senang mendengarnya. Apa yang sebenarnya membuatmu kembali ke sini? Kamu masih mencintai Nanda?"

“Bunda, takdir membawaku untuk selalu bertemu dengan Nanda. Berkali-kali aku menolak, berkali-kali pula Tuhan mendekatkan aku kepadanya. Sudah begitu jauh, sudah begitu lama aku pergi.  Takdir sengaja mempermainkan hidup kami. Tuhan pasti punya rencana Mengapa aku menjadi satu-satunya wanita yang mengandung anak dari Nanda. Padahal,  ada banyak wanita yang bersamanya dan semuanya terlihat sempurna.”

Bunda paham perasaanmu. Jika kamu ingin bersama dia, tidak harus kembali ke tempat ini. Tempat ini terlalu suci untuk kamu.”

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Bunda Rindu. “Aku aku tahu, wanita kotor sepertiku tidak pantas untuk masuk ke dalam tempat yang suci ini. Aku hanya butuh restu, Bunda.  Apalah artinya hubunganku dengan dia jika keluarga tidak merestui kami?  Aku Aku tidak ingin dicelakai lagi oleh karma.”

Bunda rindu menghela napas sambil menyentuh lembut rambut Ayu. “Bunda tidak bermaksud menyinggung Ayu. Kenapa Ayu jadi sedingin ini sama bunda?”

“Mungkin karena Ayu sudah terlalu lama tinggal di England,” jawab Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu.

Bunda Rindu menghela napas sambil menatap wajah Ayu. “Maafin Bunda dan Ayah, ya!”

Ayu mengangguk sambil menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur. “Ayu ngantuk, Bunda. Mau tidur. Bisakah Bunda keluar dari kamar ini?”

Bunda Rindu mengangguk sambil tersenyum manis. “Istirahatlah dengan baik!”

Ayu mengangguk. Ia membaringkan tubuhnya ke atas kasur dan memejamkan mata.

Bunda Rindu menghela napas. Ia menatap pilu ke arah puterinya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba membuat hukuman untuk puterinya bisa lebih ringan hingga bisa menyelesaikannya dengan baik. Ia lebih senang jika Ayu tidak pernah mengambil keputusan untuk kembali ke istana keluarga besar mereka. Meski sudah masuk ke zaman modern. Ada hal yang tidak bisa diganggu gugat dalam peraturan keluarganya.

 

...

Hanya selang satu minggu dari hukuman pertamanya, Ayu sudah harus menjalani hukuman yang kedua. Kali ini, ia harus berendam selama tujuh hari tujuh malam di sebuah kolam untuk mensucikan diri.

“Ay, minum obat ini!” pinta Nanda saat Ayu baru saja selesai mengganti pakaiannya.

“Obat apa?” tanya Ayu.

“Obat supaya tubuh kamu tetap hangat saat di dalam air.”

“Ada obat beginian?” tanya Ayu sambil menatap sebuah pil yang ada di atas telapak tangan Nanda.

“Ada. Buruan diminum!” pinta Nanda dengan telapak tangan menjulur ke hadapan Ayu. Sedang tangan satunya lagi, sudah menggenggam segelas air putih untuk Ayu.

Ayu tersenyum dan segera menelan pil hangat yang disodorkan Nanda. “Kamu ini ada aja ide curangnya.”

“Hehehe. Apa aja akan aku lakuin buat kamu, Ay. Asal kita bisa bersama lagi sampai tua,” jawab Nanda sambil tersenyum ceria.

Ayu tertawa kecil melihat sikap Nanda. “Sepertinya kamu sudah mulai terbiasa dengan setelan seperti ini.”

“Eh!?” Nanda memandangi tubuhnya sendiri yang mengenakan kebaya kembang khas pelayan keraton tersebut dan kain jarik di bawahnya. “Beneran?”

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil.

“Asal bisa bersamamu, aku rela berpakaian seperti ini setiap hari,” ucap Nanda sambil mengecup pipi Ayu.

“Eh!? Astaga!” Nanda buru-buru mengambil tisu basah dan membersihkan noda lipstik di pipi Ayu.

Ayu tertawa kecil menatap wajah Nanda.

“Sekarang aku tahu, kenapa cowok nggak diciptakan pakai lipstik. Kalau semua cowok pake lipstik, bekas bibirnya bisa ketahuan tertinggal di mana-mana,” ucap Nanda.

“Maksudmu? Kamu mau bilang kalau bekas bibirmu udah ada di mana-mana?” tanya Ayu menyelidik.

“Hehehe. Itu ‘kan dulu. Sekarang aku udah tobat. Promise! Nggak akan savage lagi,” sahut Nanda sambil mengacungkan dua jari sejajar dengan telinganya.

Ayu tertawa kecil sambil merapatkan selendang ke tubuhnya. “Kenapa di saat aku pengen mati, aku nggak bisa mati? Di saat aku pengen hidup, banyak hal yang ingin membunuhku?” tanyanya.

“Mmh, jangan bilang seperti ini lagi! Aku tidak akan membiarkan siapa pun membunuhmu,” sahut Nanda.

Ayu tersenyum. “Makasiih ...!” ucapnya. Ia bergegas keluar dari dalam kamar karena di luar sana sudah ada banyak pelayan yang menunggunya dan beberapa sesepuh kota yang akan membantunya melakukan prosesi ritual di kolam suci.

 

Satu jam kemudian ...

Ayu sudah masuk ke dalam kolam usai melakukan prosesi adat sesuai dengan aturan dari keraton tersebut. Kolam suci itu juga sudah ditambahkan air suci dari empat penjuru negeri. Ia harus bisa bertahan selama mungkin di kolam tersebut.

“Apakah Tuan Puteri diizinkan keluar dari dalam kolam ini meski hanya sebentar saja?” tanya Nanda pada beberapa pelayan yang bersamanya saat semua orang sudah meninggalkan tempat itu satu per satu.

“Kanjeng Sultan memberikan keringanan. Katanya, boleh keluar dari dalam kolam setelah dua belas jam. Tapi tidak boleh meninggalkan kolam ini dan tidak diperbolehkan mengganti pakaiannya,” jawab pelayan yang ditanya.

Nanda bernapas lega mendengar ucapan pelayan yang ada di sana. Kolam yang ada di sana adalah kolam yang berada di dalam gua dan membuatnya lebih kecil terkena dingin dibandingkan harus berendam di danau terbuka.

“Setiap jam enam pagi dan jam enam sore, utusan pengadilan kerajaan akan mengecek kemari. Kita pastikan Tuan Puteri sedang dalam keadaan berendam,” tutur pelayan lain lagi.

Semua yang ada di sana mengangguk setuju.

Nanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling kolam berbentuk piring dengan diameter sekitar tiga puluh meter. “Pelayan, bisakah meminta bantuan pelayan keraton ini untuk mencari kayu bakar? Yang lain, siapkan makanan dan minuman untuk Tuan Puteri. Juga bawakan tiga badcover ke sini! Aku akan menemani Tuan Puteri.”

“Kayu bakar? Untuk apa?”

“Untuk membuat tempat ini selalu hangat,” jawab Nanda.

“Apa kita tidak menyalahi aturan?” tanya pelayan lain.

“Tidak ada aturan lain yang tertulis selain Tuan Puteri kita berendam di sini selama tujuh hari tujuh malam,” sahut Nanda. “Aku sudah memeriksa literatur keraton ini.”

“Iya juga, sih.” Pelayan yang ada di sana mengangguk-anggukkan kepala dan segera mengerjakan perintah dari Nanda agar Roro Ayu bisa menjalani hukumannya dengan baik tanpa harus menderita.

Nanda tersenyum sambil meraih beberapa ranting kayu yang ada di sekitarnya dan membuat api unggun untuk membuat keadaan tetap hangat. Ia memerintahkan semua pelayan untuk tidak berhenti memberinya kayu bakar selama Ayu menjalani masa hukumannya. Dengan cekatan, ia membuat banyak api yang mengelilingi kolam tersebut untuk menjaga tubuh Ayu tetap hangat, begitu juga saat wanita itu naik ke permukaan. Ia tidak ingin Ayu terkena hipotermia karena terlalu lama berendam di dalam air. Baginya, tujuh jam pun masih terlalu lama dan bisa saja membuat tubuh Ayu tidak tahan.

 

 

 

((Bersambung...))

 

I’m so sorry ...!

Seharusnya author update tadi malam. Tapi karena ngelonin si bocil dan aku ketiduran, bablas dah... hiks ... hiks ... hiks ... ngelonin anak mengalihkan duniaku.

 

 

 

 


Bab 53 - Cemburu yang Indah

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya. Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita biasa.

“Hei, kamu pelayan pribadinya Roro Ayu, ya?” sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba menghadang langkah Nanda.

Nanda langsung mengangkat wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup terkenal.

“Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil memperhatikan wajah Nanda.

“Nindi, Tuan!” jawab Nanda sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun.

“Nindi? Kamu tinggi banget untuk seorang perempuan?” tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu lebih cocok jadi model daripada jadi pelayan di keraton ini.”

Nanda tersenyum manis menanggapi pertanyaan pria itu. “Terima kasih atas pujiannya, Tuan! Mohon maaf ...! Saya harus segera ke kamar Tuan Puteri untuk membawakan makanan ini. Dia sedang sakit, tidak boleh telat makan,” pamitnya sambil melangkah.

“E-eh. Tunggu!” Pria itu kembali menghadang langkah Nanda.

“Ada apa, Tuan?”

“Ini obat oles mujarab dari keratonku. Obat ini sangat terkenal dan bisa menyembuhkan luka dengan cepat. Tidak semua orang bisa mendapatkan obat ini. Aku tahu, tubuh Roro Ayu pasti masih terluka karena cambukan di tubuhnya,” ucap pria itu sambil menyodorkan botol mungil berbahan keramik ke hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak mata dan langsung menyambar obat tersebut begitu tahu kalau obat itu terkenal mujarab. Meski ia sudah mencoba melindungi tubuh Ayu menggunakan busa. Tapi tetap saja lima puluh cambukan yang menimpa wanita itu, meninggalkan bekas luka di tubuh dan lengan belakangnya.

Pria itu tersenyum puas menatap Nanda. “Sampaikan salamku untuk Roro Ayu! Bilang kalau Mas Enggar Dierjaningrat akan tinggal di sini untuk memastikan keselamatan dia.”

“Baik, Tuan! Terima kasih ...!” ucap Nanda sambil bergegas melangkah pergi dengan cepat. Ia mendengus kesal sambil mencebikkan bibirnya. “Mentang-mentang keluarga ningrat dan bisa masuk ke sini dengan bebas, mau ngambil kesempatan ngambil perhatian Ayu? Hellow ...! Ada Nanda di sini. Aku nggak akan biarkan siapa pun deketin Ayu. Meski anaknya presiden sekali pun, langkahi dulu mayatku!” gerutu Nanda sambil menahan kesal.

Nanda langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

“Nanda?” Ayu langsung menutup tubuhnya saat ia sedang memperhatikan punggungnya yang masih memar karena terkena cambukan beberapa kali.

“Sakit, ya? Aku bawain obat oles buat kamu,” tutur Nanda sambil menghampiri Roro Ayu dan menarik kain jarik yang menutupi punggung wanita itu.

“Nan, kamu lancang banget, sih!?” seru Ayu sambil berusaha menutup kembali tubuhnya menggunakan jarik yang ia kenakan.

“Ay, aku udah lihat semuanya! Ngapain sih masih malu-malu? Biar aku obatin lukamu,” pinta Nanda sambil menarik jarik yang menutupi tubuh Ayu. Seketika, terjadi tarik-menarik antar mereka berdua dan tidak ada yang mau mengalah.

“LEPASIN!” teriak Ayu kesal sambil menarik jariknya.

Nanda mendengus kesal dan melepaskan jarik yang ditarik oleh Ayu.

Bruug ...!

“Aargh ...!” Ayu merintih kesakitan saat tubuhnya tersungkur ke lantai karena Nanda refleks melepas tarikan jariknya.

“NANDA ...! Kenapa dilepasin beneran!?” seru Ayu kesal sambil merintih kesakitan.

“Sorry ...! Sorry ...! Abisnya, kamu nyuruh aku lepasin,” tutur Nanda sambil meraih kedua pundak Ayu dan membantu bangkit dari lantai.

“Iya. Tapi jangan dilepasin tiba-tiba juga, dong!” seru Ayu sambil memegangi punggungnya yang semakin sakit karena terbentur lantai.

Nanda terkekeh dan mengecup kening Ayu berkali-kali. “Jangan marah, dong! Aku nggak sengaja.”

“Sakit, tau! Kamu tuh nggak ada puasnya bikin aku tersakiti?” protes Ayu sambil memonyongkan bibirnya.

Nanda tersenyum sambil menjepit kedua pipi Ayu dan mengecupnya.

“Nan, kamu jangan cium aku! Jijik banget tahu dicium sama perempuan,” tutur Ayu sambil menahan tawa.

“Aku laki-laki tulen, Ay,” sahut Nanda sambil mengusap lipstik merah di bibirnya dan menyodorkan bibirnya kembali ke bibir Ayu.

Ayu menarik mundur tubuhnya sambil menahan bibir Nanda menggunakan jari telunjuknya. Tangan satunya memegang pinggang Nanda karena Nanda masih terus menyodorkan tubuhnya hingga ia hampir terjengkak ke lantai kembali.

Nanda mengalihkan pandangannya ke bagian dada Ayu yang polos karena kain jarik yang menutupi tubuhnya sudah terkulai di lantai yang ada di bawah mereka.

Ayu melebarkan kelopak mata dan menoleh ke arah dadanya sendiri. Ia langsung mendorong kuat tubuh Nanda dan buru-buru menarik kain jarik di bawahnya. “Kamu ini nyari kesempatan, ya!?” dengusnya. Ia melilitkan kain jarik tersebut di tubuhnya.

Nanda tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu nggak kangen sama aku, Ay?”

“Nggak!” sahut Ayu kesal sambil duduk di kursi meja riasnya.

“Jangan ngambek, dong!” pinta Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dari belakang.

“Nggak usah macem-macem dan bikin aku kesel, deh! Ntar aku minta ganti pelayan, mau!?” dengus Ayu.

“Hehehe. Jangan, dong! Serius, deh! Aku mau obatin kamu,” tutur Nanda sambil menarik kursi yang ada di sana dan duduk di belakang Ayu.  Ia membuka botol obat dan mengoleskan salep perlahan di luka memar yang ada di bahu wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia memegangi jarik untuk menutupi dadanya dan membiarkan Nanda mengobati lukanya perlahan. “Pelan-pelan!” pintanya lirih.

“Sakit, ya?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk pelan sambil menundukkan kepala.

“Ay, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Nanda.

“Hmm.”

“Kamu kenal sama anak bangsawan dari keraton Jogja yang namanya Raden Mas Enggar ... mmh, nama belakangnya siapa ya tadi?”

“Dierjaningrat?” tanya Ayu balik.

“Kenal?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Kenal. Partner nari aku,” jawab Ayu santai.

Nanda mengernyitkan dahi. “Jangan bilang kalau dia cowok yang nari sama kamu di ulang tahun kota waktu itu!”

“Emang dia orangnya,” jawab Ayu.

“HAH!? Kamu ngakuin kalau itu dia? Kenapa santai banget? Nggak ngerasa bersalah? Kamu ada hubungan apa sama dia?” cecar Nanda.

Ayu langsung memutar tubuhnya menatap Nanda yang ada di belakangnya. “Ini pertanyaan apa? Sejak kapan kamu peduli dengan hubungan pertemananku di luar sana?”

Nanda gelagapan sambil menatap wajah Ayu. “Sejak detik ini!” tegasnya.

Ayu tertawa kecil dan kembali mengalihkan pandangannya ke cermin di hadapannya.

“Ay, kamu nggak mau jelasin sesuatu ke aku?” tanya Nanda.

“Apa yang perlu dijelaskan?” tanya Ayu.

“Hubungan kamu sama dia. Kamu punya simpanan waktu pacaran sama Sonny?” tanya Nanda.

“Simpananku banyak!” sahut Ayu sambil membanggakan dirinya.

“Kamu ...!?” Nanda mengernyitkan dahi. “Diam-diam, kamu punya banyak pacar juga?”

Ayu mengangguk. “Emangnya cuma kamu doang yang bisa punya banyak pacar? Aku ini cantik, baik hati dan puteri bangsawan. Cowok mana yang nggak mau sama cewek kayak aku??” ucapnya penuh percaya diri.

Nanda mengernyitkan dahi. “Kamu begitu percaya diri kalau di kandang sendiri, ya? Dulu, kamu nggak seperti ini?”

“Status sosial memengaruhi rasa percaya diri seseorang ‘kan?” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda ikut tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Bukankah dari dulu status sosialmu yang paling tinggi waktu SMA?”

“Mmh ... saat itu aku belum terpikirkan dengan hal-hal seperti ini. Yang aku tahu hanya belajar, belajar dan belajar,” jawab Ayu sambil tersenyum. Ia menghela napas saat mengingat masa-masa SMA-nya. “Jadi orang dewasa itu nggak enak, ya? Jadi anak kecil terus juga nggak mungkin,” keluhnya.

“Siklus hidup manusia memang harus seperti ini ‘kan?” tutur Nanda sambil menutupkan jarik kembali ke tubuh Ayu begitu ia selesai mengoleskan obat di punggung wanita itu.

“Tumben bijak?” sahut Ayu sambil tersenyum.

“Titik terendah dalam hidup, mengajarkan aku menjadi bijak. Makasih ...!” jawab Nanda sambil memeluk tubuh Ayu.

“Makasih untuk apa?” tanya Ayu sambil tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku sudah membuat hidupmu menderita. Masih bisa bilang terima kasih?”

“Karena aku sudah membuat hidupmu jauh lebih menderita dari apa yang aku alami,” jawab Nanda sambil tersenyum dan mengecup pipi Ayu. “Benar kata Bunda Yuna. Kamu sudah mengorbankan diri dan menyelamatkan nyawaku sejak kita masih duduk di bangku SMA. Jangan-jangan, kamu sebenarnya suka sama aku, ya?”

“Iih ... apaan, sih? Kepedean banget? Sonny jauh lebih baik dari kamu,” sahut Ayu.

“Cuma karena gengsi sama status kamu yang baik dan smart. Terus, kamu nggak mau mengakui kalau kamu cinta sama aku?” goda Nanda.

“Iih ... nggak kayak gitu!” sahut Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Halah ... ngaku aja! Mana mungkin kamu mau terluka berkali-kali demi aku kalau nggak cinta?” goda Nanda sambil menggelitiki pinggang Ayu.

“Nanda ...! Geli tahu!” sahut Ayu sambil membalas perlakuan Nanda. Mereka asyik bermain dan berkejar-kejaran di kamar tersebut sambil tertawa bahagia. Menjalani waktu-waktu bersama seolah tak ada rasa sakit dan penderitaan dalam hidup mereka.

 

 

((Bersambung...))

 

Setidaknya, Ananda udah tahu bagaimana cara mengalihkan kesedihan Ayu dan membuatnya tetap bahagia menjalani kesulitan dalam hubungan mereka. Supaya dia bisa belajar, bagaimana menghargai seseorang dari ujian hidup yang sudah ia alami.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 52 - Hukuman Pertama untuk Ayu

 


Ayu melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arena terbuka, tempat di mana dia akan menjalani hukuman pertamanya. Di sebelah kirinya, ada seorang pelayan yang biasa mendampinginya. Di sebelah kanan, ada Nanda yang menjadi pelayan baru di kediaman tersebut.

Ayu langsung duduk bersimpuh di tengah lapangan. Tepat di tribun yang ada di hadapannya, Sri Sultan dan seluruh keluarga keraton sudah berkumpul untuk menyaksikan penebusan dosa yang telah dilakukan oleh Roro Ayu.

Nanda terus berdiri di belakang Ayu. Sementara, pelayan yang satunya lagi sudah melangkah mundur.

“Mas, Ayo pergi!” pinta pelayan itu berbisik di telinga Nanda. “Nanti kamu ketahuan kalau terlalu lama di dekat Tuan Puteri!”

Nanda mengikuti pelayan yang menariknya. Kedua matanya tetap mengawasi Ayu yang masih duduk bersimpuh di sana sambil memberi hormat kepada seluruh keluarganya, juga pada semua keluarga bangsawan yang diundang ke acara tersebut.

Nanda langsung diajak bergabung dengan pelayan-pelayan yang ada di sana.

“Saya belum pernah melihatmu. Pelayan baru?” tanya seorang pelayan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Nama kamu siapa?” tanya pelayan lainnya.

“Nindi,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

“Nindi? Nama yang cantik. Kamu beruntung sekali bisa langsung mendampingi Tuan Puteri meski baru bekerja,” sahut pelayan lainnya.

Nanda hanya tersenyum saja mendengar pembicaraan semua pelayan yang ada di sana.

“Tidak semua pelayan diizinkan melayani Tuan Puteri. Hanya pelayan-pelayan tertentu saja.”

“Oh ya?” sahut Nanda sambil tersenyum bangga.

“He-em. Katanya, Tuan Puteri itu anak yang baik. Sejak kecil, dia selalu berprestasi. Bahkan, saat diasingkan dan tidak boleh masuk istana, Tuan Puteri menulis banyak buku,” tutur pelayan lain.

“Tuan Puteri itu tidak benar-benar diasingkan. Kalau diasingkan, mana mungkin dia bisa lanjut sekolah sampai ke Inggris. Dia hanya tidak dibolehkan masuk ke Istana. Kata diasingkan itu hanya untuk menutupi martabat keluarga ini dari keluarga bangsawan lain,” tutur pelayan yang ada di sana.

“Iya. Benar, benar.”

Semua pelayan yang ada di sana sibuk membicarakan kebaikan Roro Ayu dan terus memojokkan Nanda. Mereka semua menganggap kalau pria yang telah menodai Roro Ayu adalah pria yang sangat kejam karena membuat Roro Ayu harus menjalani hukuman leluhur yang sangat berat.

Karena sibuk bergosip dengan para pelayan, Nanda sampai tak menyadari jika hakim pengadilan keraton tersebut sudah mulai membacakan pasal-pasal aturan yang dilanggar oleh Ayu dan bersiap melakukan eksekusi yang disaksikan oleh semua keluarga bangsawan di negeri tersebut.

Satu orang algojo, sudah berdiri tegak di belakang Ayu dengan cambuk besar di tangannya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari ...! Apakah Ananda siap menjalani hukuman?” Suara Edi Baskoro terdengar menggelegar.

“Siap, Romo!” sahut Ayu sambil menangkup telapak tangan di depan wajah dan membungkuk hormat. Ia melirik ke algojo yang ada di belakangnya dan bernapas lega saat tahu kalau tali pecut itu terlihat lebih besar dari biasanya. Hal ini, bisa mengurangi rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak menyangka kalau keluarganya juga memikirkan untuk memberi tali pecut yang lebih besar.

Edi Baskoro menghela napas. Ia duduk kembali di kursinya dan memerintahkan algojo memulai hukuman untuk puterinya.

TAR ...!!!

Ayu menahan napas saat pecut itu menyambar punggungnya. Nanda yang memiliki ilmu beladiri, sudah mengajarinya cara bertahan agar tubuhnya tidak mudah tumbang saat mendapatkan hantaman. Menahan napas adalah bagian dari cara mempertahankan tubuhnya dari rasa sakit.

Nanda ikut menahan napas ketika di dalam dua manik matanya terlukis tubuh Ayu yang sedang dihukum begitu kejam oleh pengadilan keluarga besarnya. Tangannya mengepal erat-erat sembari menghitung jumlah cambukan yang menyambar tubuh Ayu.

“Tiga puluh ...”

“Empat puluh ...”

“Empat puluh delapan ...”

“Empat puluh sembilan ...”

Nanda langsung melangkahkan kakinya, ia berlari menuju ke tengah area dan langsung menangkap tubuh Ayu yang sudah terkulai lemas menahan rasa sakit di tubuhnya.

“Ay, bertahanlah! Kamu akan baik-baik aja,” bisik Nanda sambil menitikan air mata.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Terima kasih ...! Sudah mengajariku cara untuk bertahan,” ucapnya lirih sambil berusaha menyentuh pipi Nanda perlahan.

Nanda tertegun saat telapak tangan Ayu begitu susah payah mencapai pipinya. Ia berusaha mendekatkan pipinya ke telapak tangan wanita itu, tapi tangan itu malah jatuh terkulai begitu saja ke tanah.

“Tuan Puteri ...!” Pelayan-pelayan yang lain ikut menghampiri tubuh Roro Ayu. “Bawa ke kamar! Dia harus segera diobati,” seru mereka.

Nanda langsung mengangkat tubuh Ayu, ia segera menggendong wanita itu dan berlari secepatnya menuju ke kamar milik Ayu agar wanita itu bisa segera mendapatkan pengobatan.

Di atas tribun, Bunda Rindu hanya bisa menyaksikan puterinya dihukum dengan berderai air mata. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ayu ingin masuk kembali ke keluarga itu dan menjalani hukuman berat dari keluarganya. Ia sendiri, tidak bisa menyelamatkan puterinya karena nama baik keluarga besarnya juga sedang dipertaruhkan.

“Nggak perlu menangisi Ayu! Hukuman ini adalah pilihan dia sendiri,” tutur Edi sambil menggenggam tangan Bunda Rindu.

Bunda Rindu mengusap air mata dan berusaha bangkit dari tempat duduknya.

“Jangan pergi sebelum tamu-tamu kita pulang!” perintah Edi Baskoro.

Bunda Rindu terdiam dan mengurungkan niatnya untuk pergi melihat Ayu. Ia harap, semua pelayan di keraton tersebut bisa mengurus puterinya dengan baik.

Di sudut lain, sepasang mata milik seorang pria terus mengawasi jalannya acara tersebut. Ia adalah tamu bangsawan yang diundang hadir bersama keluarganya dan tidak menyangka jika puteri yang menjadi pembicaraan di seluruh negeri adalah wanita yang ia kenal.

Begitu sampai di kamar Ayu, Nanda langsung mengunci rapat kamar tersebut. Ia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke dalam kamar Ayu kecuali dokter yang sudah ia siapkan satu jam sebelum prosesi hukuman itu terjadi.

“Dokter, gimana keadaan istri saya?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa denyut jantung Ayu.

“Dia akan baik-baik saja. Hanya butuh istirahat karena harus menahan rasa sakit yang begitu banyak. Ini ... saya berikan obat anti nyeri dan obat luar untuk lukanya,” jawab dokter itu.

Nanda mengangguk. “Terima kasih, Dokter!”

Dokter itu mengangguk. “Saya akan pasangkan infus untuk dia untuk menstabilkan keadaannya.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lega. “Dokter, di keraton ini tidak ada yang boleh menggunakan ponsel. Bisakah dokter bantu saya?”

“Saya pasti akan membantu semampu saya,” tutur Nanda. “Istrimu adalah sahabat baik Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Saya pasti akan menghormati pertemanan kalian.”

Nanda tersenyum lega. “Mmh ... Ayu masih harus menjalani rangkaian hukuman lain. Dia masih harus berendam di danau selama tujuh hari tujuh malam. Bisakah dokter bantu saya mencarikan obat atau apa pun yang bisa menjaga tubuhnya tetap hangat dan bertahan di dalam air?” tanya Nanda.

Dokter itu berpikir sejenak. “Kemungkinan obat itu ada. Biasanya digunakan oleh tim penyelam agar tubuhnya tetap bisa bertahan di suhu yang dingin selama berjam-jam. Tapi, obat itu susah dicari dan harganya sangat mahal.”

“Soal harga, dokter tidak perlu khawatir! Berapa pun itu akan saya bayar,” ucap Nanda sambil menatap wajah dokter tersebut.

“Baiklah. Akan segera saya carikan obatnya. Dua hari lagi, saya akan ke sini untuk mengecek keadaan istri Anda.”

Nanda mengangguk. “Dokter bisa jaga rahasia kami ‘kan? Jangan sampai ada yang tahu kalau aku adalah suami Ayu. Mereka semua hanya tahu kalau aku pelayan.”

Dokter itu mengangguk sambil tertawa tanpa suara.

“Panggil saya Nindi, Dokter! Jangan sampai keceplosan panggil Nanda!” pinta Nanda.

Dokter itu mengangguk sambil tersenyum manis. “Baik, Mbak Nindi!”

Nanda tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya. “Terima kasih, Dokter! Salam untuk Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Sampaikan rasa terima kasih saya kepada mereka.”

Dokter itu mengangguk. Ia langsung berpamitan dan segera keluar dari dalam kamar Ayu setelah selesai melakukan tindakan pengobatan.

Nanda langsung duduk di tepi ranjang Ayu. Ia meraih tangan wanita itu dan menciumi punggung tangannya. “Ay, kamu harus bertahan, ya! Aku tidak akan membiarkan kamu menjalaninya sendirian. Maafkan aku yang dulu! Maafkan aku yang sudah membuatmu harus menderita seperti ini!” ucapnya sambil menitikan air mata.

Tok ... tok ... tok ...!

Nanda mengusap air mata dan menoleh ke arah pintu. Ia langsung menatap pelayan yang membuka pintu kamar Ayu dan masuk ke dalam.

“Ada Raden Mas dari keraton lain yang ingin mengunjungi Tuan Puteri,” ucap pelayan itu sambil menatap wajah Nanda dan Ayu yang terbaring di ranjangnya.

“Raden Mas?” Nanda mengernyitkan dahi. “Siapa?”

“Dari keraton Yogyakarta. Katanya, ingin menjenguk Tuan Puteri,” jawab pelayan itu.

“Apa dia pangeran di keraton itu?” tanya Nanda dengan suara wanita dan gaya centilnya yang dibuat-buat.

“Iya.”

Nanda terdiam sejenak. Ia langsung mengintip ke luar pintu. “Apa aku masih punya saingan cinta lagi? Gawat kalau sainganku pangeran keraton,” gumamnya dalam hati.

“Kita hanya pelayan. Tidak boleh membatasi Tuan Puteri. Apalagi menyinggung pangeran dari keraton lain,” tutur pelayan itu sambil menarik lengan Nanda dan mengajaknya duduk di lantai yang ada di sisi ranjang Ayu saat seorang pria muda dan tampan dengan pakaian mewah memasuki ruangan itu.

“Ayu, kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya pria itu sambil duduk di tepi ranjang Ayu dan mengusap lembut pipi wanita itu.

Nanda mengernyitkan dahi melihat sikap pria itu. Ia menahan rasa kesal di dalam dadanya sambil berusaha memperhatikan wajah pria yang terlihat sangat familier itu. Ia sibuk mengumpat di dalam hati saat melihat pria dari keraton lain tiba-tiba menghampiri Ayu dan mendapatkan akses khusus untuk masuk ke dalam keraton tersebut. Ia yang memiliki status sebagai suami Ayu saja, tidak pernah diizinkan masuk ke dalam keraton ini hingga membuatnya harus menyamar. Ia harus memikirkan cara untuk membuat pria-pria bangsawan lain tidak mendekati Ayu lagi.

“Minta pihak keraton untuk menyiapkan tempat tinggal untuk saya. Saya akan menginap di sini sampai hukuman Roro Ayu selesai,” perintah pria itu sambil menatap salah satu pengawalnya.

“Maaf, Raden Mas! Tuan Puteri dilarang untuk bertemu dengan pria yang bukan mahrom dia selama masa hukuman. Tolong, jangan menyulitkan puteri kami!” pinta pelayan yang ada di sana sambil membungkuk hormat.

“Aku tahu aturan keraton. Kamu tidak perlu mengajariku!” sahut pria itu. “Setidaknya, aku bisa melihat dia baik-baik saja meski dari kejauhan.”

Pelayan itu langsung menundukkan kepala tanda mengerti. Tidak ada satu pun yang berani bersuara hingga pria itu keluar dari dalam kamar Ayu.

Nanda menghela napas lega saat pria itu sudah keluar dari dalam kamar Ayu. “Bukankah Tuan Puteri tidak boleh bertemu dengan pria? Kenapa dia diizinkan masuk ke kamar Tuan Puteri?”

“Peraturan itu tidak akan berlaku untuk keluarga bangsawan. Mereka juga masih memiliki ikatan keluarga,” jawab pelayan lain.

“Maksudnya? Mereka bersaudara?”

“Saudara, meski sangat jauh,” jawab pelayan yang ditanya.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaannya semakin terganggu mendengar ucapan pelayan yang bersamanya. “Saudara sepupu saja masih boleh menikah, gimana dengan hubungan saudara yang lebih jauh?” gumamnya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Menikahi Lelaki Brengsek karya Vella Nine]

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas